“Tuanku puteri, mengapa kita harus lari? Gadis yang masuk itu seorang biasa saja, tak usah kita takut, kalau perlu dia boleh hamba robohkan sekali!”
Pak-sin-tung memprotes ketika Lin Lin mengajaknya lari pergi meninggalkan pondok Suma Boan setelah ia mendengar munculnya Sian Eng. Akan tetapi ia menggelengkan kepala terus lari sehingga terpaksa kakek buntung itu mengikutinya sambil bersungut-sungut. Akhirnya Lin Lin berhenti di tempat sunyi dan kembali Pak-sin-tung memprotes.
“Tuanku puteri, belum pernah hamba Pak-sin-tung melarikan diri seperti ini! Gadis itu tidak lebih pandai daripada Suma-kongcu, ia hanya seorang di antara banyak kekasih kongcu hidung belang itu takut apa?”
“Diam kau!” Lin Lin membentak, betul-betul marah karena hatinya sudah mengkal menyaksikan peristiwa yang tidak ia duga-duga, yaitu bahwa cicinya itu ternyata bermain cinta dengan Suma Boan, hal yang benar-benar tak tersangka dan mendatangkan perasaan mendongkol. Ucapan kakek buntung itu menambah kemarahannya. “Aku bukannya takut kepada gadis itu, aku.... aku.... hanya mengubah niatku. Sekarang kita mencari Suling Emas!”
Pak-sin-tung kini kelihatan ragu-ragu.
“Tuan Puteri.... hal ini.... hamba rasa kita membutuhkan bantuan Suheng Hek-giam-lo....”
Diam-diam Lin Lin tertawa di dalam hatinya melihat kakek buntung yang lihai ini ketakutan. Memang ia sengaja hendak mencari Suling Emas, tentu saja bukan untuk menawannya, melainkan untuk mencegah orang-orang Khitan ini memaksanya ke Khitan. Kalau sudah bertemu dengan Suling Emas, ia akan minta tolong pendekar itu membantunya melawan orang-orang Khitan yang berani memaksanya pergi! Akan tetapi pada lahirnya ia pura-pura marah dan membanting kaki.
“Pak-sin-tung! Belum apa-apa kau sudah dua kali membantah kehendakku! Kelak di Khitan kalau kulaporkan kebandelanmu ini kepada Paman Kubukan, hemmm.... ingin kulihat kemana kau hendak menyembunyikan kepalamu!”
Wajah kakek buntung itu menjadi pucat.
“Maaf, Tuan Puteri.... bukan maksud hamba membangkang....”
“Cukup! Kau takut kepada Suling Emas, ya? Huh, jago macam apa ini! Jago Khitan tidak takut terhadap siapa pun juga. Kalau kau takut, aku tidak takut! Hayo, kau mau bantu atau tidak?”
“Baiklah, Tuan Puteri, baiklah....!”
Si buntung kaki ini mengeluarkan bunyi melengking di kerongkongannya dan dari tempat gelap bermunculan dua puluh empat orang pembantunya. Ia memberi tugas dalam bahasa Khitan yang tidak dimengerti Lin Lin. Beberapa menit kemudian dua puluh empat orang itu lenyap lagi seperti bayangan-bayangan setan di dalam gelap.
“Hamba telah siap,” kata Si buntung.
“Mari kita mencarinya. Kulihat tadi dia duduk dekat ketua Beng-kauw, agaknya ada hubungan baik sekali, maka malam ini kiranya dia pun akan ikut berjaga di ruangan sembahyang untuk persiapan upacara besok pagi. Mari kita mencari ke sana.”
Ruangan sembahyang itu amat lebar dan berada di ujung kiri yang sunyi dan jauh dari tempat pemondokan para tamu. Anehnya, di tengah-tengah ruangan itu terdapat sebuah peti mati yang besar dan panjang. Apakah jenazah Pat-jiu Sin-ong masih berada di dalam peti mati itu? Memang betul demikianlah. Menurut kehendak Pat-jiu Sin-ong sendiri ketika mau mati, ia minta agar supaya jenazahnya dimasukkan di dalam peti mati yang berlapis baja di sebelah dalam dan yang rapat sekali, kemudian petinya supaya dimasukkan ke dalam kamar samadhinya. Sebelum sepuluh tahun petinya tidak boleh dikubur!
Permintaan yang amat aneh, akan tetapi karena Pat-jiu Sin-ong sewaktu hidupnya memang amat aneh lagi sakti, tidak ada yang berani membantah permintaannya. Demikianlah, tiap setahun sekali peti mati yang besar dan berat itu diangkat ke ruangan sembahyang untuk disembahyangi dan kali ini, tiga tahun kemudian bertepatan dengan hari ulang tahun Beng-kauw, peti mati itu disembahyangi secara besar-besaran.
Ketika mengintai dari jauh dan melihat betapa di ruangan itu duduk banyak tokoh pandai, di antaranya ketua Beng-kauw sendiri dan Suling Emas, Pak-sin-tung menjadi pucat dan jelas sekali ia kelihatan gelisah.
“Dia disana, akan tetapi harap Paduka sabar dan menunggu kesempatan. Terlalu banyak orang lihai di ruangan itu.”
Lin Lin merengut.
“Ah, kalau tahu kau tidak becus seperti ini, tentu aku lebih suka mengajak Hek-giam-lo.... eh, tongkatnya masih ada. Celaka, Hek-giam-lo rupa-rupanya juga belum berhasil. Benar-benar memalukan sekali jagoan-jagoan Khitan! Pak-sin-tung, kau tunggu saja di sini, biar aku menyelundup ke dalam melalui bangunan belakang. Kau lihat dan biar mereka melihat bahwa puteri Khitan lebih berani daripada jago-jago Khitan! Kalau kalian yang memalukan nama besar Khitan, akulah yang akan mengangkatnya!”
“Tuan Puteri.... ini berbahaya....!”
Pak-sin-tung hendak mencegah akan tetapi Lin Lin sudah mencabut Pedang Besi Kuning dan mengacungkannya ke atas.
Terpaksa Pak-sin-tung melangkah mundur dengan sikap menghormat, dan ketika ia mengangkat muka memandang, gadis itu sudah menyelinap di antara bangunan di belakang ruangan sembahyang, lalu lenyap di sebuah bagian yang kecil.
“Celaka.... dia memasuki bagian terlarang.... kabarnya di situ tersimpan peti-peti mati keluarga kaisar dan ketua Beng-kauw, juga pusaka-pusaka Beng-kauw....!”
Pak-sin-tung berdiri dengan muka pucat, bingung tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Maka ia hanya bersembunyi dan mengintai ke arah ruang sembahyang, ke arah Suling Emas dengan tekad di hati kalau muncul puteri junjungannya itu, apa pun yang terjadi, ia akan membantunya sampai titik darah penghabisan!
Dengan hati tabah Lin Lin menyelinap masuk ke dalam sebuah pintu yang tak berdaun pintu, lagi amat gelap. Ia tidak melihat betapa di kanan kiri pintu itu terdapat tempat hio yang terisi hio (du-pa) masih mengebulkan asap, dan tidak melihat pula betapa di atas lantai di ambang pintu dan di atas pintu itu terdapat tulisan-tulisan yang melarang siapa pun juga memasuki pintu ini dengan ancaman hukuman mati!
Sebetulnya, tentu saja bukan sekali-kali maksud hati Lin Lin untuk mengacau dan menangkap Suling Emas, walaupun di lubuk hatinya ada pula keinginan ini, yaitu untuk melihat Suling Emas menjadi tawanannya dan dia sebagai Puteri Khitan.
Namun sekarang hal itu ia jadikan siasat untuk membebaskan diri daripada pengawasan Pak-sin-tung dan ia tahu menghadapi orang-orang sakti dari Khitan, hanya Suling Emas yang akan mampu menolongnya. Maka begitu melihat bahwa Suling Emas duduk di antara orang-orang sakti di ruangan sembahyang ia berlaku nekat, pura-pura hendak menyerbu dan menyelinap masuk ke pintu kecil yang gelap itu.
Kita tinggalkan dulu Lin Lin yang memasuki tempat terlarang tanpa ia sadari dan kita meninjau ke tempat para tamu karena di sana pun terjadi hal-hal yang amat hebat. Peristiwa yang menggemparkan terjadi di tempat kediaman para utusan Kerajaan Hou-han. Mereka ini adalah tokoh-tokoh Kerajaan Hou-han, terdiri dari tiga orang panglima perang bernama Lu Bin, Giam Siong, dan Gak Houw.
Seperti kita ketahui, secara tidak resmi, Siang-mou Sin-ni juga mengawal barang sumbangan Kerajaan Hou-han yang berupa sebuah kendaraan emas! Resminya, ketiga panglima ini berikut belasan orang anak buahnya yang mengawal, akan tetapi sebetulnya Siang-mou Sin-ni yang bertanggung jawab dan yang diandalkan oleh tiga orang panglima ini. Tentu saja tiga orang panglima ini pun bukan orang-orang sembarangan. Ilmu kepandaian mereka tinggi dan mereka merupakan orang-orang pilihan di Hou-han.
Malam hari itu, tiga orang panglima yang menjadi utusan Hou-han itu sedang menghadapi meja, menjamu makan pada orang lain yang mukanya seperti monyet, dahinya lebar dan sikapnya gagah serta lincah. Rombongan Hou-han mendapatkan tempat tersendiri, sebuah bangunan yang cukup besar karena mereka terdiri dari belasan orang. Tentu saja Siang-mou Sin-ni berada di tempat terpisah, tempat “terhormat”.
“Sam-wi (Tuan Bertiga) boleh rundingkan hal ini dengan Sin-ni,” terdengar suara si muka monyet itu berkata sambil minum araknya. “Jalan satu-satunya untuk menggerakkan hati para tokoh Nan-cao hanya dengan cara itulah. Kalau diminta bersekutu secara baik-baik, takkan mungkin berhasil. Siauwte (aku yang muda) tahu betapa keras hati Beng-kauwcu, tidak goyah oleh sodoran emas permata maupun kedudukan mulia. Satu-satunya jalan hanya membakar kayu basah agar menjadi kering dan dapat termakan api.”
Kalimat terakhir ini berarti membakar hati seseorang yang sukar ditundukkan agar orang itu menjadi marah dan mengubah pendiriannya yang kukuh.
“Akan tetapi menurut Sin-ni, Raja Nan-cao lebih mudah dibawa berunding,” bantah Gak Houw yang paling muda diantara tiga panglima itu. “Rasanya tidak enak kalau kita harus mengambil jalan fitnah. Kami orang-orang dari Hou-han tidak biasa melakukan hal-hal yang tidak sewajarnya.”
“Ucapan Gak-enghiong memang patut diperhatikan,” jawab si muka monyet, “akan tetapi hendaknya maklum bahwa siauwte berdua dengan suheng menerima anjuran ini sendiri dari Sri Baginda di Nan-cao. Harap Sam-wi ketahui bahwa biarpun Sri Baginda yang menjadi raja disini, namun kekuasaan mutlak berada di tangan Beng-kauwcu dan ketahuilah bahwa watak Beng-kauwcu amat keras dan percaya akan kekuatan sendiri, tidak suka bersekutu dengan kerajaan manapun, tidak berniat memusuhi kerajaan mana juga, akan tetapi juga tidak takut menghadapi musuh dari mana pun.”
Gak Houw mengangguk-angguk dan Lu Bin mengelus jenggotnya yang pendek sambil berkata.
“Saudara Su Ban Ki betul, biarlah hal ini akan kami sampaikan kepada Sin-ni. Agar jelas usul saudara saya ulangi, yaitu kita harus membakar hati Beng-kauwcu dengan melakukan pengrusakan kepada kendaraan emas sumbangan kami, kemudian mencuri bagian penting kendaraan itu yang harus dapat kita selundupkan ke dalam pondok penginapan orang-orang Sung. Akan tetapi, apakah hal ini dapat dilakukan dengan mudah?”
“Sukar bagi orang luar, akan tetapi tidak bagi kami,” jawab si muka monyet yang bernama Su Ban Ki. “Suhengku Ciu Kang sekarang pun sedang bertugas menjaga barang-barang sumbangan, mudah saja baginya untuk....”
Tiba-tiba terdengar suara “braaakkkk!” genteng di atas rumah itu pecah-pecah dan dari atas menerobos turun sebuah benda hitam besar. Mereka berempat kaget sekali, apalagi setelah menyaksikan betapa jebolnya genteng itu disusul meluncurnya benda hitam yang ternyata adalah sebuah peti mati! Tepat sekali peti mati ini jatuh ke atas meja, di bagian tengahnya terikat tambang yang panjang, membuktikan bahwa peti mati ini diturunkan orang dari atas genteng.
“Keparat, siapa berani main gila?”
Cepat sekali Lu Bin, Giam Siong, dan Gak Houw tiga orang jagoan Hou-han itu mencabut pedang sambil melompat keluar, terus melayang ke atas genteng.
Akan tetapi sunyi di atas genteng, tidak tampak bayangan seorang pun manusia. Para anak buah rombongan pengawal dari Hou-han juga sudah berserabutan keluar dan belasan orang ini mencari-cari di sekitar tempat penginapan mereka, namun sia-sia hasilnya, tidak ada seorang pun manusia yang tampak kecuali kawan-kawan mereka sendiri.
Ketiga orang jago Hou-han ini kembali ke dalam ruangan dan mereka melihat Su Ban Ki berdiri dengan muka pucat di dekat meja sambil memandang peti mati itu dengan mata terbelalak. Ketika tiga orang itu masuk, Su Ban Ki memandang mereka, menudingkan telunjuknya ke arah peti mati, mulutnya komat-kamit akan tetapi tidak dapat mengeluarkan suara.
Tiga orang jago Hou-han itu adalah orang-orang gagah sejati. Tentu saja mereka merasa muak juga menyaksikan sikap dan wajah ketakutan ini sehingga pandangan mereka terhadap Su Ban Ki berubah. Heran mereka mengapa Raja Nan-cao menaruh kepercayaan kepada orang yang jiwanya pengecut seperti ini.
“Saudara Su Ban Ki, tenanglah dan ceritakan kepada kami, apa artinya semua ini?” tanya Lu Bin, suaranya keren.
Su Ban Ki membasahi bibir dengan lidah, mencoba menelan ludah yang kering.
“Ini.... ini.... peti mati.... istana.... entah apa artinya....” Ia tergagap.
Gak Houw maju ke depan, membuka tambang yang mengikat peti lalu menggunakan kedua lengannya yang kuat membuka tutup peti.
“Kerrriittt!”
Tutup itu berbunyi dan tampaklah isinya. Sesosok tubuh seorang laki-laki sudah menjadi mayat.
“Suheng....!” Su Ban Ki berseru kaget, tubuhnya menggigil, “Celaka.... suheng dibunuh.... tentu rahasia bocor atau.... ah, ini alamat buruk. Selamat tinggal, aku harus segera pergi, lari keluar kota....”
Ia menyambar jenazah itu, mengeluarkannya dari dalam peti lalu memanggul jenazah dan lari dengan cepat sekali. Akan tetapi segera terdengar suara jeritannya di luar rumah dan terdengar orang jatuh.
Pak-sin-tung memprotes ketika Lin Lin mengajaknya lari pergi meninggalkan pondok Suma Boan setelah ia mendengar munculnya Sian Eng. Akan tetapi ia menggelengkan kepala terus lari sehingga terpaksa kakek buntung itu mengikutinya sambil bersungut-sungut. Akhirnya Lin Lin berhenti di tempat sunyi dan kembali Pak-sin-tung memprotes.
“Tuanku puteri, belum pernah hamba Pak-sin-tung melarikan diri seperti ini! Gadis itu tidak lebih pandai daripada Suma-kongcu, ia hanya seorang di antara banyak kekasih kongcu hidung belang itu takut apa?”
“Diam kau!” Lin Lin membentak, betul-betul marah karena hatinya sudah mengkal menyaksikan peristiwa yang tidak ia duga-duga, yaitu bahwa cicinya itu ternyata bermain cinta dengan Suma Boan, hal yang benar-benar tak tersangka dan mendatangkan perasaan mendongkol. Ucapan kakek buntung itu menambah kemarahannya. “Aku bukannya takut kepada gadis itu, aku.... aku.... hanya mengubah niatku. Sekarang kita mencari Suling Emas!”
Pak-sin-tung kini kelihatan ragu-ragu.
“Tuan Puteri.... hal ini.... hamba rasa kita membutuhkan bantuan Suheng Hek-giam-lo....”
Diam-diam Lin Lin tertawa di dalam hatinya melihat kakek buntung yang lihai ini ketakutan. Memang ia sengaja hendak mencari Suling Emas, tentu saja bukan untuk menawannya, melainkan untuk mencegah orang-orang Khitan ini memaksanya ke Khitan. Kalau sudah bertemu dengan Suling Emas, ia akan minta tolong pendekar itu membantunya melawan orang-orang Khitan yang berani memaksanya pergi! Akan tetapi pada lahirnya ia pura-pura marah dan membanting kaki.
“Pak-sin-tung! Belum apa-apa kau sudah dua kali membantah kehendakku! Kelak di Khitan kalau kulaporkan kebandelanmu ini kepada Paman Kubukan, hemmm.... ingin kulihat kemana kau hendak menyembunyikan kepalamu!”
Wajah kakek buntung itu menjadi pucat.
“Maaf, Tuan Puteri.... bukan maksud hamba membangkang....”
“Cukup! Kau takut kepada Suling Emas, ya? Huh, jago macam apa ini! Jago Khitan tidak takut terhadap siapa pun juga. Kalau kau takut, aku tidak takut! Hayo, kau mau bantu atau tidak?”
“Baiklah, Tuan Puteri, baiklah....!”
Si buntung kaki ini mengeluarkan bunyi melengking di kerongkongannya dan dari tempat gelap bermunculan dua puluh empat orang pembantunya. Ia memberi tugas dalam bahasa Khitan yang tidak dimengerti Lin Lin. Beberapa menit kemudian dua puluh empat orang itu lenyap lagi seperti bayangan-bayangan setan di dalam gelap.
“Hamba telah siap,” kata Si buntung.
“Mari kita mencarinya. Kulihat tadi dia duduk dekat ketua Beng-kauw, agaknya ada hubungan baik sekali, maka malam ini kiranya dia pun akan ikut berjaga di ruangan sembahyang untuk persiapan upacara besok pagi. Mari kita mencari ke sana.”
Ruangan sembahyang itu amat lebar dan berada di ujung kiri yang sunyi dan jauh dari tempat pemondokan para tamu. Anehnya, di tengah-tengah ruangan itu terdapat sebuah peti mati yang besar dan panjang. Apakah jenazah Pat-jiu Sin-ong masih berada di dalam peti mati itu? Memang betul demikianlah. Menurut kehendak Pat-jiu Sin-ong sendiri ketika mau mati, ia minta agar supaya jenazahnya dimasukkan di dalam peti mati yang berlapis baja di sebelah dalam dan yang rapat sekali, kemudian petinya supaya dimasukkan ke dalam kamar samadhinya. Sebelum sepuluh tahun petinya tidak boleh dikubur!
Permintaan yang amat aneh, akan tetapi karena Pat-jiu Sin-ong sewaktu hidupnya memang amat aneh lagi sakti, tidak ada yang berani membantah permintaannya. Demikianlah, tiap setahun sekali peti mati yang besar dan berat itu diangkat ke ruangan sembahyang untuk disembahyangi dan kali ini, tiga tahun kemudian bertepatan dengan hari ulang tahun Beng-kauw, peti mati itu disembahyangi secara besar-besaran.
Ketika mengintai dari jauh dan melihat betapa di ruangan itu duduk banyak tokoh pandai, di antaranya ketua Beng-kauw sendiri dan Suling Emas, Pak-sin-tung menjadi pucat dan jelas sekali ia kelihatan gelisah.
“Dia disana, akan tetapi harap Paduka sabar dan menunggu kesempatan. Terlalu banyak orang lihai di ruangan itu.”
Lin Lin merengut.
“Ah, kalau tahu kau tidak becus seperti ini, tentu aku lebih suka mengajak Hek-giam-lo.... eh, tongkatnya masih ada. Celaka, Hek-giam-lo rupa-rupanya juga belum berhasil. Benar-benar memalukan sekali jagoan-jagoan Khitan! Pak-sin-tung, kau tunggu saja di sini, biar aku menyelundup ke dalam melalui bangunan belakang. Kau lihat dan biar mereka melihat bahwa puteri Khitan lebih berani daripada jago-jago Khitan! Kalau kalian yang memalukan nama besar Khitan, akulah yang akan mengangkatnya!”
“Tuan Puteri.... ini berbahaya....!”
Pak-sin-tung hendak mencegah akan tetapi Lin Lin sudah mencabut Pedang Besi Kuning dan mengacungkannya ke atas.
Terpaksa Pak-sin-tung melangkah mundur dengan sikap menghormat, dan ketika ia mengangkat muka memandang, gadis itu sudah menyelinap di antara bangunan di belakang ruangan sembahyang, lalu lenyap di sebuah bagian yang kecil.
“Celaka.... dia memasuki bagian terlarang.... kabarnya di situ tersimpan peti-peti mati keluarga kaisar dan ketua Beng-kauw, juga pusaka-pusaka Beng-kauw....!”
Pak-sin-tung berdiri dengan muka pucat, bingung tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Maka ia hanya bersembunyi dan mengintai ke arah ruang sembahyang, ke arah Suling Emas dengan tekad di hati kalau muncul puteri junjungannya itu, apa pun yang terjadi, ia akan membantunya sampai titik darah penghabisan!
Dengan hati tabah Lin Lin menyelinap masuk ke dalam sebuah pintu yang tak berdaun pintu, lagi amat gelap. Ia tidak melihat betapa di kanan kiri pintu itu terdapat tempat hio yang terisi hio (du-pa) masih mengebulkan asap, dan tidak melihat pula betapa di atas lantai di ambang pintu dan di atas pintu itu terdapat tulisan-tulisan yang melarang siapa pun juga memasuki pintu ini dengan ancaman hukuman mati!
Sebetulnya, tentu saja bukan sekali-kali maksud hati Lin Lin untuk mengacau dan menangkap Suling Emas, walaupun di lubuk hatinya ada pula keinginan ini, yaitu untuk melihat Suling Emas menjadi tawanannya dan dia sebagai Puteri Khitan.
Namun sekarang hal itu ia jadikan siasat untuk membebaskan diri daripada pengawasan Pak-sin-tung dan ia tahu menghadapi orang-orang sakti dari Khitan, hanya Suling Emas yang akan mampu menolongnya. Maka begitu melihat bahwa Suling Emas duduk di antara orang-orang sakti di ruangan sembahyang ia berlaku nekat, pura-pura hendak menyerbu dan menyelinap masuk ke pintu kecil yang gelap itu.
Kita tinggalkan dulu Lin Lin yang memasuki tempat terlarang tanpa ia sadari dan kita meninjau ke tempat para tamu karena di sana pun terjadi hal-hal yang amat hebat. Peristiwa yang menggemparkan terjadi di tempat kediaman para utusan Kerajaan Hou-han. Mereka ini adalah tokoh-tokoh Kerajaan Hou-han, terdiri dari tiga orang panglima perang bernama Lu Bin, Giam Siong, dan Gak Houw.
Seperti kita ketahui, secara tidak resmi, Siang-mou Sin-ni juga mengawal barang sumbangan Kerajaan Hou-han yang berupa sebuah kendaraan emas! Resminya, ketiga panglima ini berikut belasan orang anak buahnya yang mengawal, akan tetapi sebetulnya Siang-mou Sin-ni yang bertanggung jawab dan yang diandalkan oleh tiga orang panglima ini. Tentu saja tiga orang panglima ini pun bukan orang-orang sembarangan. Ilmu kepandaian mereka tinggi dan mereka merupakan orang-orang pilihan di Hou-han.
Malam hari itu, tiga orang panglima yang menjadi utusan Hou-han itu sedang menghadapi meja, menjamu makan pada orang lain yang mukanya seperti monyet, dahinya lebar dan sikapnya gagah serta lincah. Rombongan Hou-han mendapatkan tempat tersendiri, sebuah bangunan yang cukup besar karena mereka terdiri dari belasan orang. Tentu saja Siang-mou Sin-ni berada di tempat terpisah, tempat “terhormat”.
“Sam-wi (Tuan Bertiga) boleh rundingkan hal ini dengan Sin-ni,” terdengar suara si muka monyet itu berkata sambil minum araknya. “Jalan satu-satunya untuk menggerakkan hati para tokoh Nan-cao hanya dengan cara itulah. Kalau diminta bersekutu secara baik-baik, takkan mungkin berhasil. Siauwte (aku yang muda) tahu betapa keras hati Beng-kauwcu, tidak goyah oleh sodoran emas permata maupun kedudukan mulia. Satu-satunya jalan hanya membakar kayu basah agar menjadi kering dan dapat termakan api.”
Kalimat terakhir ini berarti membakar hati seseorang yang sukar ditundukkan agar orang itu menjadi marah dan mengubah pendiriannya yang kukuh.
“Akan tetapi menurut Sin-ni, Raja Nan-cao lebih mudah dibawa berunding,” bantah Gak Houw yang paling muda diantara tiga panglima itu. “Rasanya tidak enak kalau kita harus mengambil jalan fitnah. Kami orang-orang dari Hou-han tidak biasa melakukan hal-hal yang tidak sewajarnya.”
“Ucapan Gak-enghiong memang patut diperhatikan,” jawab si muka monyet, “akan tetapi hendaknya maklum bahwa siauwte berdua dengan suheng menerima anjuran ini sendiri dari Sri Baginda di Nan-cao. Harap Sam-wi ketahui bahwa biarpun Sri Baginda yang menjadi raja disini, namun kekuasaan mutlak berada di tangan Beng-kauwcu dan ketahuilah bahwa watak Beng-kauwcu amat keras dan percaya akan kekuatan sendiri, tidak suka bersekutu dengan kerajaan manapun, tidak berniat memusuhi kerajaan mana juga, akan tetapi juga tidak takut menghadapi musuh dari mana pun.”
Gak Houw mengangguk-angguk dan Lu Bin mengelus jenggotnya yang pendek sambil berkata.
“Saudara Su Ban Ki betul, biarlah hal ini akan kami sampaikan kepada Sin-ni. Agar jelas usul saudara saya ulangi, yaitu kita harus membakar hati Beng-kauwcu dengan melakukan pengrusakan kepada kendaraan emas sumbangan kami, kemudian mencuri bagian penting kendaraan itu yang harus dapat kita selundupkan ke dalam pondok penginapan orang-orang Sung. Akan tetapi, apakah hal ini dapat dilakukan dengan mudah?”
“Sukar bagi orang luar, akan tetapi tidak bagi kami,” jawab si muka monyet yang bernama Su Ban Ki. “Suhengku Ciu Kang sekarang pun sedang bertugas menjaga barang-barang sumbangan, mudah saja baginya untuk....”
Tiba-tiba terdengar suara “braaakkkk!” genteng di atas rumah itu pecah-pecah dan dari atas menerobos turun sebuah benda hitam besar. Mereka berempat kaget sekali, apalagi setelah menyaksikan betapa jebolnya genteng itu disusul meluncurnya benda hitam yang ternyata adalah sebuah peti mati! Tepat sekali peti mati ini jatuh ke atas meja, di bagian tengahnya terikat tambang yang panjang, membuktikan bahwa peti mati ini diturunkan orang dari atas genteng.
“Keparat, siapa berani main gila?”
Cepat sekali Lu Bin, Giam Siong, dan Gak Houw tiga orang jagoan Hou-han itu mencabut pedang sambil melompat keluar, terus melayang ke atas genteng.
Akan tetapi sunyi di atas genteng, tidak tampak bayangan seorang pun manusia. Para anak buah rombongan pengawal dari Hou-han juga sudah berserabutan keluar dan belasan orang ini mencari-cari di sekitar tempat penginapan mereka, namun sia-sia hasilnya, tidak ada seorang pun manusia yang tampak kecuali kawan-kawan mereka sendiri.
Ketiga orang jago Hou-han ini kembali ke dalam ruangan dan mereka melihat Su Ban Ki berdiri dengan muka pucat di dekat meja sambil memandang peti mati itu dengan mata terbelalak. Ketika tiga orang itu masuk, Su Ban Ki memandang mereka, menudingkan telunjuknya ke arah peti mati, mulutnya komat-kamit akan tetapi tidak dapat mengeluarkan suara.
Tiga orang jago Hou-han itu adalah orang-orang gagah sejati. Tentu saja mereka merasa muak juga menyaksikan sikap dan wajah ketakutan ini sehingga pandangan mereka terhadap Su Ban Ki berubah. Heran mereka mengapa Raja Nan-cao menaruh kepercayaan kepada orang yang jiwanya pengecut seperti ini.
“Saudara Su Ban Ki, tenanglah dan ceritakan kepada kami, apa artinya semua ini?” tanya Lu Bin, suaranya keren.
Su Ban Ki membasahi bibir dengan lidah, mencoba menelan ludah yang kering.
“Ini.... ini.... peti mati.... istana.... entah apa artinya....” Ia tergagap.
Gak Houw maju ke depan, membuka tambang yang mengikat peti lalu menggunakan kedua lengannya yang kuat membuka tutup peti.
“Kerrriittt!”
Tutup itu berbunyi dan tampaklah isinya. Sesosok tubuh seorang laki-laki sudah menjadi mayat.
“Suheng....!” Su Ban Ki berseru kaget, tubuhnya menggigil, “Celaka.... suheng dibunuh.... tentu rahasia bocor atau.... ah, ini alamat buruk. Selamat tinggal, aku harus segera pergi, lari keluar kota....”
Ia menyambar jenazah itu, mengeluarkannya dari dalam peti lalu memanggul jenazah dan lari dengan cepat sekali. Akan tetapi segera terdengar suara jeritannya di luar rumah dan terdengar orang jatuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar