FB

FB


Ads

Sabtu, 08 Juni 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 056

“Heeeiiiii! Dengar kalian semua! Aku Si Suling Emas selamanya tidak pernah bermusuhan dengan orang-orang Nan-ping maupun Nan-han dan kerajaan-kerajaan di selatan lainnya. Mundurlah dan biarkan kami lewat, kami sedang menuju ke Nan-cao untuk menghadiri perayaan Beng-kauw disana. Mundur, aku tidak suka membunuh kalian!”

Biarpun teriakan Suling Emas itu bagaikan halilintar dan sulingnya digerakkan menjadi segulungan awan kuning yang hebat, ditambah pula di sebelahnya terdapat Lin Lin yang juga menggerakkan pedangnya sehingga gulungan sinar kuning yang lebih muda menyilaukan mata dan mengandung hawa dingin mengancam para pengurung, namun puluhan orang yang mengurung mereka itu tidak mau mundur, malah mendesak makin hebat.

“Jangan kira aku takut, tikus-tikus tak tahu diri!” Suling Emas membentak dan terdengarlah bunyi senjata yang patah-patah ketika sulingnya bergerak membabat pedang dan golok yang malang-melintang di depannya, “Lin Lin, serang dan robohkan mereka, tapi jangan bunuh!”

Akan tetapi jumlah pengeroyok makin banyak dan mereka berteriak-teriak,
“Bunuh anjing pengkhianat! Jangan percaya omongan anjing penjilat Sung Utara!”

Suling Emas dan Lin Lin dalam perjalanan mereka tiba di luar kota Ban-in di pinggir Sungai Yang-ce-kiang, dan di tempat inilah mereka dihadang kemudian dikeroyok oleh banyak sekali orang yang kesemuanya mahir ilmu silat dan membawa senjata. Hal ini saja cukup membayangkan bahwa mereka ini memang sudah berjaga disitu, dan bahwa pencegatan terhadap Suling Emas dan Lin Lin memang sudah diatur lebih dulu.

Biarpun puluhan orang pengeroyok itu adalah orang-orang yang melihat gerakan-gerakannya, ternyata pandai mainkan senjata tajam, namun mereka bukanlah lawan Lin Lin apalagi Suling Emas. Sebentar saja, golok-golok dan pedang-pedang berpelantingan, dan tubuh-tubuh terluka roboh saling tindih.

Tiba-tiba terdengar suara gerengan yang menggetarkan bumi. Agaknya suara ini merupakan komando karena para pengeroyok makin nekat dan mendesak, kemudian muncullah di antara para pengeroyok itu dua orang yang hebat-hebat. Mereka adalah dua orang laki-laki tua yang hampir telanjang. Hanya cawat dan celana yang menutupi tubuh mereka. Biarpun keduanya sama menjijikkan seperti binatang atau manusia hutan yang liar, namun keadaan mereka jauh berbeda.

Yang seorang bertubuh gemuk dan di tengkuknya terdapat daging punuk yang besar seperti punuk di punggung sapi jantan. Kedua lengannya panjang berbulu, kelihatan kuat sekali sedangkan sepuluh jari tangannya berkuku panjang dan kotor. Kepalanya gundul, mata dan mulutnya membayangkan kebuasan yang mengerikan.

Orang ke dua tinggi kurus, juga tak berbaju, hanya bercawat, juga gundul dan mukanya sama buas dan mengerikan. Kita pernah bertemu dengan yang tinggi kurus itu, karena ia bukan lain adalah Tok-sim Lo-tong, sahabat baik It-gan Kai-ong yang melakukan perjalanan bersama Suma Boan. Adapun yang gendut itu juga bukan tokoh sembarangan, karena dia adalah kakak Si Tinggi Kurus, berjuluk Toat-beng Koai-jin (Manusia Aneh Pencabut Nyawa)! Seperti juga Tok-sim Lo-tong, Toat-beng Koai-jin ini termasuk seorang diantara Thian-te Liok-koai Si Enam Jahat.

Melihat munculnya dua orang kakak beradik ini, kagetlah Suling Emas, akan tetapi ia pun menjadi marah sekali.

“Aha, kiranya Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong dua manusia buas yang berdiri di belakang semua ini? Kalian mau apa?”

“Heh-heh, Suling Emas, menyerah kau dan gadis itu!”

Toat-beng Koai-jin menggeram, air liurnya menetes dari pinggir mulut. Lin Lin mengkirik penuh kengerian.

“Suling Emas, menyerahlah menjadi tawananku kalau mau selamat!” Si Tinggi Kurus Tok-sim Lo-tong mengeluarkan suaranya yang tak enak didengar.

Tiba-tiba Suling Emas tersenyum lebar dan Lin Lin yang menoleh kepadanya menjadi bengong. Baru kali ini ia melihat Suling Emas tersenyum lebar. Wajahnya berubah sekali, kemuraman lenyap, wajah itu berseri-seri menjadi amat tampan. Alangkah inginnya dapat melihat Suling Emas seperti itu selalu!

“Kalian kira aku manusia macam apa, bisa kalian ancam untuk menyerah?”

“Heh-heh, aku tahu kau tentu melawan. Lebih baik lagi, tinggal menyeret bangkaimu kubawa pulang!” Toat-beng Koai-jin terkekeh lalu menerjang maju, menubruk Lin Lin.

Gerakannya kelihatan lambat, tubuhnya begitu besar dan kaku akan tetapi entah bagaimana, tubrukan ini hampir tak terhindarkan oleh Lin Lin! Baiknya ia cepat mengayun pedang yang menjadi sinar kuning berkelebat di depan tubuhnya, merupakan senjata yang amat kuat dan agaknya Toat-beng Koai-jin maklum pula akan keampuhan pedang pusaka ini maka ia menggeram dan mengubah gerakan menubruk menjadi gerakan mencengkeram dari samping bawah!






Sementara itu, Tok-sim Lo-tong juga sudah mengeluarkan senjata istimewa, yaitu seekor ular yang besar dan panjang. Ular dilibatkan di leher dan pinggang, ia sendiri memegang leher ular dan bersilatlah ia dengan kacau-balau menerjang Suling Emas. Biarpun kelihatannya ia berjingkrak dan bersilat kacau-balau seperti itu, namun Suling Emas yang sudah mengenalnya maklum bahwa Si Tinggi Kurus ini amat hebat kepandaiannya.

Justeru di dalam kekacau-balauan gerakan inilah terletak kekuatannya, apalagi “senjata” ular hidup itu bisa mulur dan mengkeret, amat sukar diduga perkembangannya. Angin pukulan yang menyambar-nyambar disertai bau amis dan berbisa, membayangkan tenaga sin-kang yang mujijat, bercampuran dengan hawa ilmu hitam dan hawa beracun. Di samping ini, masih banyak sekali orang yang mengeroyok Suling Emas dari kanan kiri dan belakangnya.

Mendapat lawan Tok-sim Lo-tong yang lihai ditambah banyak pengeroyok itu sama sekali tidak membikin gentar hati Suling Emas, akan tetapi yang membuat ia khawatir sekali adalah keadaan Lin Lin. Ia maklum bahwa betapapun lihainya Lin Lin dengan ilmu warisan dari Kim-lun Seng-jin, namun gadis itu masih jauh belum cukup kuat untuk menandingi seorang lawan yang seperti Toat-beng Koai-jin, seorang di antara Thian-te Liok-koai.

“He, Toat-beng Si Lembu Edan, tidak malukah kau melawan seorang gadis cilik? Hayo kau sekalian maju mengeroyokku!”

Bentak Suling Emas seraya mainkan sulingnya sedemikian rupa sehingga gulungan sinar sulingnya itu menahan semua pengeroyok.

Akan tetapi, kiranya malah Lin Lin yang menjawab,
“Siapa gadis cilik? Aku bukan kanak-kanak lagi. Monyet gundul liar menjemukan, jangan dengarkan dia, hayo kau layani pedangku kalau memang berani! Lihat, ujung pedangku akan mendodet perutmu yang gendut kebanyakan makan itu!”

Lin Lin menerjang hebat sambil memutar pedangnya dan dengan hati-hati, karena maklum akan kelihaian lawan, ia mainkan ilmunya Khong-in-liu-san sambil mengerahkan tenaga sakti dengan Ilmu Khong-in-ban-kin.

Toat-beng Koai-jin yang tadinya memandang rendah dan menyerbu gadis itu sambil tertawa-tawa, diam-diam kaget juga karena ini. Biarpun ia kelihatan buas dan liar seperti orang hutan, namun dalam hal ilmu silat di dunia kang-ouw, sebagian besar telah dikenalnya, maka ia mengenal pula Ilmu Khong-in (Awan Kosong) ini.

“Heh, kau murid Kim-lun Seng-jin? Bagus, tentu gurih dagingmu dibakar setengah matang. Heh-heh!”

Tiba-tiba kakek liar ini menyambar dua orang pengeroyok suling Emas, memegang pada kakinya dan menggunakan dua “senjata hidup” ini menerjang Lin Lin.

Lin Lin kaget setengah mati. Terpaksa ia menggerakkan pedang menangkis.
“Crak! Crak!”

Darah menyembur karena tubuh dua orang itu terbabat putus oleh pedangnya! Kakek itu tertawa-tawa dan.... menggelogok darah yang tersembur keluar itu ke dalam mulutnya, seperti orang kehausan minum air es! Kemudian ia melemparkan dua mayat itu dan sekali lagi ia menyambar kaki dua orang pengeroyok.

Lin Lin meramkan matanya melihat kakek itu minum darah, wajahnya menjadi pucat dan kakinya menggigil. Tapi kembali Toat-beng Koai-lojin sudah menerjagnya dengan dua “senjata hidup”. Lin Lin kewalahan, terpaksa kembali ia menangkis dan kembali dua orang itu mati seketika dengan perut dan dada terbelah.

Tangan Lin Lin yang memegang pedang gemetar dan sebelum ia tahu apa yang terjadi, tiba-tiba kakek itu telah menubruknya dan sebuah ketukan keras pada pergelangan tangannya membuat Lin Lin terpaksa melepaskan pedangnya. Tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas dan ia sudah disambar oleh Toat-beng Koai-jin yang tertawa terkekeh-kekeh sambil membawa lari tubuh Lin Lin yang lemas.

“Toat-beng Koai-jin, kalau kau mengganggu dia, aku bersumpah akan menyiksamu dan memotong-motong dagingmu sekerat demi sekerat!”

Bentakan Suling Emas ini keras sekali dan tiba-tiba sulingnya melakukan gerakan-gerakan aneh sekali, begitu halus akan tetapi mengandung kekuatan yang bukan main sehingga dalam sekejap mata enam orang pengeroyok terguling roboh sedangkan Tok-sim Lo-tong sendiri terdorong mundur sampai lima langkah.

“Ihhhhh.... ilmu apakah ini....?”

Tok-sim Lo-tong berseru kaget, akan tetapi ia mendesak lagi, dibantu oleh para pengeroyok yang nekat, menghalangi Suling Emas mengejar Toat-beng Koai-jin.

Memang hebat gerakan Suling Emas tadi. Dalam kemarahan dan kegelisahannya melihat Lin Lin tertawan, ia tadi mainkan jurus dari ilmu silat yang ia terima dari Bu Kek Siansu. Girang hatinya melihat hasil ini, dan tahulah ia bahwa ilmu silat sastra ini sama sekali tidak dikenal Tok-sim Lo-tong sehingga tentu saja hasilnya amat baik.

Cepat sulingnya bergerak lagi, membuat huruf KOK (Negara). Huruf ini mengandung gerakan dalam yang rumit, akan tetapi dilingkari garis-garis segi empat yang melengkung. Kembali empat orang pengeroyok roboh dan ketika tubuh Suling Emas melayang dalam pembuatan gerakan melingkar, tahu-tahu ia telah bebas dari pengepungan dan cepat ia berkelebat mengejar ke arah larinya Toat-beng Koai-jin. Akan tetapi yang dikejar telah lenyap, tidak tampak bayangannya lagi.

Suling Emas memasuki kota Ban-sin, langsung menuju ke rumah Ouw-kauwsu, seorang guru silat di kota itu yang dikenalnya. Ouw-kauwsu terkejut dan girang bukan main melihat munculnya pendekar sakti ini. Cepat ia menjura dengan hormat dan dengan wajah berseri-seri ia berkata.

“Wahai, tak pernah mimpi siauwte akan menerima kehormatan besar dengan kunjungan Taihiap (Pendekar Besar)!”

“Ouw-kauwsu, ada urusan penting. Maaf, aku ingin singkat saja. Tahukah kau dimana aku dapat menjumpai Toat-beng Koai-jin? Lekas, sekarang juga!”

Berubah wajah Ouw-kauwsu, terang bahwa dia menjadi ketakutan.
“Memang.... memang kulihat dia dalam bulan ini berada di Ban-sin, biasanya dia di.... di dalam kuil....”

“Heh-heh-heh, Suling Emas. Tak usah repot-repot, aku sudah berada disini!” tiba-tiba terdengar suara keras dan parau.

Suling Emas dan Ouw-kauwsu cepat memutar tubuh dan.... kiranya manusia iblis yang dijadikan bahan percakapan itu telah berada di situ, duduk nongkrong di atas tiang melintang dekat langit-langit rumah sambil menggerogoti daging dari tulang paha, entah paha apa!

Dan pada saat itu juga, terdengar suara orang mengomel,
“Nanti dulu.... tenanglah, kau ajak aku berlari-lari. Kalau betul dia Suling Emas, mau apakah? Mau suruh dia tiup suling? Eh, tidak enak memasuki rumah orang seperti ini. Heee, tuan atau nyonya rumah. kemana kalian? Wah, agaknya rumah kosong....”

Muncullah orangnya yang berkata-kata itu. Kiranya dia seorang kakek pendek, kumis dan jenggotnya jarang, sikapnya lucu dan selalu terkekeh. Di belakangnya berjalan seorang gadis cantik yang bukan lain adalah Sian Eng. Begitu memasuki ruangan itu, kakek lucu ini melihat Suling Emas dan Ouw-kauwsu berdongak memandang ke atas. Ia pun ikut memandang dan tiba-tiba ia berseru kaget.

“Eh, eh, anak nakal.... kenapa kau naik ke sana? Hayo turun lekas.... wah, kalau jatuh bisa pecah punukmu. Turun.... turun....!” Ia menggapai-gapai tangannya menyuruh turun.

Akan tetapi Toat-beng Koai-jin hanya memandang sambil menyeringai dan melanjutkan kesibukannya yaitu menggerogoti daging.

Kakek pendek itu makin gugup.
“Kau tidak turun? Celaka.... wah, aku paling ngeri melihat orang jatuh dari tempat tinggi.... hayo turunlah....!”

Ia lalu menghampiri tiang dan mulailah ia memanjat ke atas seperti seorang kanak-kanak memanjat pohon kelapa! Setelah ia tiba di atas, hampir sama tingginya dengan tempat di mana Toat-beng Koai-jin duduk nongkrong matanya terbelalak ketakutan.

“Kau makan apa itu? Hiiiiihhh, daging itu masih mentah! Lihat ada darahnya, wah-wah, kau memang bocah nakal. Bisa kembung perutmu. Eh, bukankah kau ini si nakal Toat-beng Koai-jin? Ya, kukenal punukmu itu! Ihhh, tentu daging manusia yang kau makan. Wah, serem.... serem....!”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar