FB

FB


Ads

Sabtu, 08 Juni 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 057

Bagaimanakah Sian Erg bisa datang bersama kakek pendek yang lucu ini dan siapakah gerangan kakek itu? Seperti telah kita ketahui, Sian Eng pergi bersama Suma Boan ke gedung indah milik adik Suma Boan yang bernama Suma Ceng. Seperti telah diduga oleh Sian Eng, setelah berada di dalam kamar berdua dengan bekas kekasih kakaknya ini, ia mendengar banyak tentang diri Bu Song. Kiranya cerita yang ia dengar dari Suma Ceng tiada bedanya dengan yang sudah didengarnya dari Suma Boan, hanya tentu saja, dari mulut Suma Ceng terdengar berlainan. Terang bahwa nyonya muda cantik ini benar-benar mencintai Bu Song.

“Dia meninggalkan aku....” Suma Ceng mengakhiri ceritanya sambil menghapus air matanya. “Tapi.... untung Boan-ko (Kakak Boan) menolongnya dan ia tidak sampai tewas. Aku dipaksa kawin.... sekarang sudah tiga orang anakku.... suamiku baik terhadapku.... aku berusaha melupakannya sedapat mungkin, tapi.... tapi....” kembali ia menangis perlahan, “yang menyedihkan hatiku, aku tidak tahu bagaimana nasibnya sekarang, dimana ia berada.... kalau saja dia sudah menikah dengan gadis lain dan hidup bahagia.... akan terobatilah hatiku....”

Sian Eng ikut menangis. Terharu hatinya mendengar cerita yang menyedihkan tentang asmara gagal yang diderita nyonya muda ini dan kakaknya.

“Betapapun juga, kau sudah berumah tangga, sudah berputera, harap jangan memikirkan kakakku lagi,” kata Sian Eng. “Dan kurasa kakakku juga berusaha melupakan peristiwa itu....”

“Tak mungkin! Bu Song takkan dapat melupakan aku, sampai mati pun takkan ia dapat melupakan aku! Kami.... kami.... ah....!” kembali nyonya muda itu menangis sedih. “Siapa tahu.... ia malah telah membawa cinta kasihnya ke balik kubur....” terisak-isak ia kini, “kalau aku tahu.... ah, aku pun lebih baik mati....”

Terkejut juga hati Sian Eng. Bukan main! Kiranya cinta kasih antara mereka itu sudah demikian hebat.

“Enci yang baik, harap kau tenangkan hatimu. Kakakku Bu Song belum mati dan besok aku diajak oleh Suma-kongcu menyusulnya. Aku akan sampaikan pesanmu kepadanya kalau aku bertemu dengan kakakku, akan kubujuk dia supaya menikah dengan gadis lain.”

Mata yang agak merah karena tangis itu memandangnya.
“Betulkah? Benar-benar Boan-ko tahu dimana adanya Bu Song? Hati-hati, Adik Sian Eng.... dia.... kakakku itu....”

Melihat keraguan ini, Sian Eng timbul curiga.
“Ada apa dengan kakakmu?”

“Dia baik, baik sekali kepadaku dan aku amat sayang kepadanya. Kami hanya berdua saudara dan dia amat sayang pula kepadaku. Tapi.... tapi.... ah, bagaimana aku bisa membiarkan adik Bu Song menjadi korban? Adik Sian Eng, terus terang saja, betapapun sayangku kepada kakakku, akan tetapi harus kuakui bahwa dia itu.... dia mudah terjatuh oleh wanita cantik. Dan kau amat cantik, adikku, kau cantik menarik. Aku khawatir kalau-kalau kau menjadi korbannya. Sudah terlalu banyak gadis-gadis tak berdosa jatuh ke tangan kakak kandungku. Kau adik Bu Song, aku harus memperingatkanmu, jangan kau bergaul dengannya. Kecuali....” wajahnya menjadi bersinar, “ah, alangkah baiknya. Kecuali kalau ia betul-betul cinta kepadamu dan mau mengambilmu sebagai isteri. Ah, benar! Ini bagus sekali. Aku gagal berjodoh dengan Bu Song, sekarang sebagai gantinya adiknya berjodoh dengan kakakku, bukankah ini baik sekali?”

Merah wajah Sian Eng.
“Ah, Cici, omongan apakah ini? Siapa yang berpikir tentang jodoh?”

Sampai di sini percakapan mereka berakhir dan malam hari itu Sian Eng tak dapat tidur nyenyak biarpun ia mendapatkan kamar yang indah dan tempat tidur yang mewah. Hatinya merasa tidak enak.

Akan tetapi Suma Boan ternyata pintar sekali mengambil hati. Ia memperlihatkan sikap sopan dan menghormat sehingga Sian Eng mulai percaya lagi kepadanya. Peringatan Suma Ceng sudah hampir lenyap bekasnya di hati, sungguhpun ia selalu masih berhati-hati dan tidak kehilangan kewaspadaannya. Perjalanan jauh itu dilakukan dengan penuh kegembiraan karena sikap Suma Boan yang baik, dan makin kagumlah Sian Eng ketika melihat betapa hampir di setiap kota dan dusun, putera pangeran ini agaknya mempunyai sahabat-sahabat yang amat hormat dan tunduk terhadapnya.

Akhirnya tibalah mereka di kota Ban-sin dan Suma Boan mengajaknya bermalam di kota ini. Juga di sini Suma Boan mempunyai banyak hubungan. Malah ia diterima oleh seorang pembesar, dipersilakan bermalam di sebuah rumah gedung yang dijaga oleh perajurit-perajurit, diperlakukan dengan segala kehormatan.

Yang membuat Sian Eng kaget bukan main adalah ketika ia melibat bayangan It-gan Kai-ong si raja pengemis yang mengerikan itu! Ia melihat pengemis tua ini tanpa sengaja. Ketika itu ia sudah memasuki kamarnya dan langsung membaringkan tubuh di tempat tidur, karena ia merasa amat lelah. Tiba-tiba ia mendengar suara Suma Boan di belakang rumah.






Selama ini kecurigaannya terhadap Suma Boan sudah hilang dan makin lama makin baiklah kesan di hatinya terhadap putera pangeran ini. Kini mendengar suaranya, tiba-tiba timbul keinginan hatinya untuk mengajaknya bercakap-cakap! Ia turun dari pembaringan, membuka pintu kamar dan di saat itulah ia mendengar suara parau yang membuat bulu tengkuknya berdiri.

“Sungguh kau sembrono sekali!” kata suara parau itu. “Dia hanya berada beberapa puluh li di belakangmu dan kau masih tidak tahu!”

“Tapi, Suhu, Locianpwe Tok-sim Lo-tong juga tidak memberi tahu sesuatu!” terdengar suara Suma Boan, membantah.

“Uh, dasar sembrono! Biar kusiapkan sambutan, untungnya ada Toat-beng Koai-jin di sini. Hati-hati, jaga baik-baik gadis itu, mungkin bisa dipergunakan untuk menundukkannya!”

Sian Eng cepat menyelinap ke balik daun pintu sambil mengintai. Dugaannya tidak keliru, tak lama kemudian ia melihat bayangan It-gan Kai-ong berjalan terbongkok-bongkok bersandarkan tongkat bututnya. Di bawah sinar lampu yang suram muram itu kakek ini tampak makin buruk saja, dengan mata satunya yang berair dan terhias kotoran kuning di ujung, rambutnya yang riap-riapan dan mulutnya yang hanya bergigi satu. Sian Eng bergidik dan kedua kakinya gemetar. Sukar untuk mengatakan siapa yang lebih mengerikan antara It-gan Kai-ong, Hek-giam-lo, dan Tok-sim Lo-tong, juga wanita iblis Siang-mou Sin-ni!

Munculnya It-gan Kai-ong ini tentu saja membuyarkan lamunan Sian Eng dan membatalkan niatnya untuk menemui Suma Boan. Akan tetapi agaknya putera pangeran itu mengalami dorongan hasrat hati yang sama. Buktinya, tidak lama setelah Sian Eng kembali melempar diri ke atas pembaringan, daun pintu kamarnya diketok orang. Ketika Sian Eng yang berdebar-debar hatinya membuka daun pintu, kiranya Suma Boan yang berdiri di situ sambil tersenyum!

Bukan main lega hati Sian Eng, karena tadinya ia sudah merasa cemas dan ngeri, takut kalau-kalau ia akan berhadapan dengan It-gan Kai-ong. Kelegaan hatinya ini memancing senyum manisnya.

“Sian Eng moi-moi, kau belum tidur?”

Sian Eng menggeleng kepala. Pertanyaan tentang It-gan Kai-ong berada di ujung bibir, akan tetapi ia tahan.

“Apakah kedatanganku ini mengganggumu?” tanya pula Suma Boan dengan suara halus.

“Tidak sama sekali. Kenapa kau begini sungkan, Koko? Dan kelihatan gugup? Ada apakah?”

Senyum Suma Boan melebar, tetapi suaranya gemetar ketika ia menjawab.
“Tidak apa-apa.... hanya aku.... ah, sudah beberapa malam aku tak dapat memejamkan mata, Moi-moi.”

“Kenapa? sakitkah engkau?” tanya Sian Eng, memandang tajam.

Suma Boan mengangguk-angguk.
“Memang sakit, tapi bukan tubuhku yang sakit, melainkan hatiku. Moi-moi.... Sian Eng.... hatiku menderita rindu, mataku tak dapat tidur karena selalu terbayang wajahmu. Ah, alangkah cantik manis engkau, Moi-moi, dam aku tergila-gila kepadamu, aku cinta padamu....”

Seketika kedua kaki Sian Eng menggigil, mukanya panas rasanya tapi tangan kaki merasa dingin, jantungnya berdegupan sehingga degup jantung itu terdengar berdentam-dentam di kedua telinganya, darahnya berdenyutan sampai terasa hampir memecahkan urat-urat di pelipisnya, ia menunduk, tak berani memandang, mulutnya setengah tersenyum setengah menangis.

Sian Eng masih dalam keadaan setengah sadar ketika ia merasa betapa pundaknya dirangkul orang, betapa rambut di kepalanya diciumi orang dan betapa Suma Boan memeluknya sambil berbisik-bisik tak tentu ujung pangkal atau pun isinya.

Sejenak Sian Eng memejamkan matanya, menyandarkan kepala pada dada pemuda itu, merasa bahagia dan napasnya terengah-engah sesak. Aku juga cinta padamu, bisik suara hatinya. Akan tetapi tiba-tiba telinganya mendengar bisikan-bisikan, itulah suara Suma Ceng ketika bicara kepadanya di dalam kamar.

“....aku khawatir kalau-kalau kau menjadi korbannya.... sudah terlalu banyak gadis-gadis tak berdosa jatuh oleh kakak kandungku....”

Dan tiba-tiba Sian Eng merasa betapa kurang ajar kedua tangan Suma Boan. Ia meronta dan tangannya menampar, tepat mengenai pipi Suma Boan, kemudian ia melompat ke belakang. Melihat betapa pemuda yang sebetulnya telah merebut hatinya itu berdiri bengong dengan muka pucat, dan pipi yang ditamparnya tadi merah sekali, Sian Eng menutupi muka dengan kedua tangannya dan menangis.

“....kenapa Moi-moi....? Kenapa kau menamparku? Bukankah.... bukankah kau juga cinta kepadaku seperti cintaku kepadamu?”

Dengan mata berlinang air mata Sian Eng memandang, kemudian terdengar ucapannya terputus-putus,

“....cintaku bukan untuk.... untuk.... menjadi permainanmu.... aku bukan.... bukan perempuan.... yang boleh kau perlakukan sesukamu.... yang boleh kau hina....”

Suma Boan menarik napas panjang,
“Eng-moi, kau aneh...., biarlah kau pikir dan pertimbangkan betapa tidak adilnya sikapmu terhadap aku yang mencintamu sepenuh hati....”

Setelah berkata demikian, Suma Boan keluar dari kamar sambil menutupkan daun pintunya.

Sian Eng tak kuasa menahan kakinya yang lemas gemetar. Ia menjatuhkan diri di atas pembaringan, duduk termenung mendengarkan langkah kaki Suma Boan yang makin lama makin menjauhi kamarnya. Kemudian ia merebahkan diri tertelungkup dan menangis di atas bantal.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Suma Boan sudah terdengar memaki-maki para penjaga yang berdiri dengan muka pucat dan saling pandang.

“Kalian tikus-tikus goblok! Apa kerja kalian malam tadi? Tidur semua, ya?”

“Ampun, Suma-kongcu, mana kami berani tidur? Tak sedikit pun kami tidur dan....”

“Bohong!” Suma-kongcu menggerakkan tangannya dan pembicara itu roboh tersungkur. “Orang luar telah memasuki gedung, nona dibawa pergi dan kalian bilang tidak tidur? Pemalas! Goblok!”

“Eh, eh, apakah yang terjadi?” Suara serak ini disusul muncuinya It-gan Kai-ong.

Melihat gurunya, Suma Boan menjadi agak tenang, akan tetapi kemurungan masih membayangi mukanya yang tampan.

“Suhu, semalam ada musuh mendatangi rumah ini dan membawa pergi Sian Eng. Sungguh teecu (murid) tak dapat menduga siapa dia. Akan tetapi dia meninggalkan tanda tapak kaki di tembok!”

“Apa katamu? Tapak kaki di tembok?”

Si Raja Pengemis bertanya heran. Memang luar biasa keterangan Suma Boan tadi. Mana bisa ada telapak kaki di atas tembok?

“Mari, harap Suhu periksa sendiri!” Pemuda itu mendahului suhunya menuju ke ruangan tengah.

Dan di atas tembok, dekat kamar Sian Eng, di atas sebuah meja kecil, terdapat beberapa tapak kaki berlumpur di atas tembok.

“Inilah tanda itu, Suhu, Bukankah ini penghinaan yang amat besar? Entah tapak kaki siapa ini?” kata Suma Boan sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah tembok.

Beberapa orang penjaga yang tadi dimaki-maki Suma Boan memandang juga dengan muka pucat. Pantasnya, hanya kaki binatang merayap sebangsa cecak yang dapat meninggalkan jejak di atas tembok. Akan tetapi, jejak yang tampak jelas di atas tembok itu adalah jejak kaki manusia! Kaki yang pendek, jari-jarinya terbentang seperti biasanya jari kaki orang yang tak pernah pakai sepatu. Jejak kaki itu kanan-kiri berjalan rapi seperti jejak orang berjalan dengan langkah pendek-pendek. Akan tetapi bagaimana mungkin seorang manusia berjalan di atas tembok seperti cecak?






Tidak ada komentar:

Posting Komentar