“Kakakmu Liu Bu Song itu dahulu adalah seorang pelajar miskin yang datang ke kota raja untuk mengikuti ujian. Melihat wajahnya yang tampan dan bakatnya yang baik dalam kesusastraan, Ayahku, pada masa itu kepala pengawas ujian, menaruh kasihan. Apalagi karena kakakmu gagal dalam ujian. Ayah lalu menolongnya, memberi pekerjaan sebagai tata usaha di gedung perpustakaan yang juga menjadi pegangan Ayah. Ia rajin dan pekerjaannya dilakukan dengan baik sehingga Ayah makin sayang dan percaya kepadanya. Kadang kala kakakmu itu disuruh melakukan pekerjaan tulis-menulis di gedung kami. Malah ia bersahabat baik denganku, karena usia kami memang sebaya dan aku tidaklah demikian lancar dalam pelajaran sastra. Ia banyak membantuku dalam hal itu.”
Pemuda bangsawan itu berhenti dan menarik napas panjang. Sian Eng senang sekali mendengar cerita ini. Ah, kiranya dia ini sahabat baik kakakku?
“Ceritamu itu baik sekali. Tapi, mengapa lalu terjadi permusuhan, Kongcu?”
“Nona, amatlah tidak enak mendengar suaramu yang merdu lewat mulutmu menyebutku Kongcu....”
“Akan tetapi, kau seorang putera pangeran....”
“Dan kau pun puteri seorang goan-swe (jenderal). Setelah kuketahui bahwa kau ini adik Bu Song yang pernah menjadi sahabat baikku, perlukah kita saling bersikap sungkan? Apalagi kita akan mengadakan perjalanan jauh bersama, alangkah tidak enaknya kalau kau menyebut Kongcu (Tuan Muda) dan aku menyebut Siocia (Nona).”
Jantung dalam dada Sian Eng bergelora, membuat mukanya terasa panas. Biarpun mereka berjalan di bawah sinar bulan yang remang-remang karena terhalang awan sehingga mukanya takkan tampak, namun Sian Eng menunduk, khawatir terlihat wajahnya yang membayangkan gelora hatinya.
“Habis.... bagaimana....?” katanya setengah berbisik.
Suma Boan menatap wajah yang tunduk itu, hatinya girang bukan main. Gadis ini cantik manis, biarpun kepandaiannya hanya lumayan saja, namun wataknya gagah berani, dan puteri jenderal besar pula, lebih penting lagi, dia ini adik Bu Song!
“Karena kau terlalu sungkan tadi, aku sendiri sampai takut menanyakan nama. Bolehkah aku mengetahui namamu dan selanjutnya kupanggil kau adik, sedangkan kau menyebutku kakak?”
Makin panas kedua pipi Sian Eng. Tiba-tiba kakinya tersandung batu dan ia hampir terguling. Suma Boan cepat-cepat menangkap lengannya untuk mencegah gadis itu jatuh.
“Hati-hati....!” serunya.
Agak lama juga baru lengan ini dilepas kembali. Padahal, seorang dengan kepandaian seperti Sian Eng, tak mungkin bisa jatuh hanya karena tersandung batu kakinya! Hal ini keduanya cukup maklum.
“Namaku Kam Sian Eng....”
“Nama yang indah. Adik Sian Eng, kau tentu sudi menyebutku kakak, bukan?”
Dengan suara lirih dan kepala tetap tunduk Sian Eng menjawab.
“Tentu saja, akan tetapi, kita baru saja berkenalan.... dan.... aku masih belum tahu apakah kau ini terhitung sahabat ataukah musuh....”
“Ha-ha-ha-ha, kau lucu....! Tapi benar juga, memang ceritaku tadi belum selesai. Nah kau dengarlah, Bu Song bekerja pada Ayah sampai lebih dari tiga tahun. Pada suatu malam.... ah, malam celaka itu.... kakakmu tertangkap basah sedang berduaan dengan adikku perempuan bernama Suma Ceng....”
Hening sejenak dan terdengar Sian Eng memprotes,
“Ah.... tapi.... tapi tentu adikmu.... eh, suka kepadanya.”
Suma Boan menarik napas panjang.
“Itulah soalnya! Kiranya sudah lama juga agaknya, lebih setahun, mereka itu saling mencinta diluar tahu semua orang. Akan tetapi kau tahu sendiri, tak mungkin Ayah menyetujui hal ini. Pertama, adikku itu sudah ditunangkan dengan Pangeran Kiang. Ke dua, kakakmu yang mengaku she Liu itu memperkenalkan diri sebagai seorang sebatangkara yang tak berayah ibu lagi, bahkan katanya datang dari sebuah dusun kecil, sama sekali tidak berdarah bangsawan. Maka tadi kukatakan, sayang kami tidak tahu bahwa dia itu putera seorang jenderal!”
“Kemudian bagaimana? Lalu kakakku itu.... diapakan dia?”
Suara Sian Eng mengandung was-was, juga berada di pinggir jurang kemarahan dan dendam. Tentu saja seorang yang berpengalaman cukup macam Suma Boan tahu akan hal ini dan ia sudah berhati-hati.
“Aku tidak dapat menyalahkan Ayahku dalam hal ini. Ayah marah dan malu bukan main. Kalau tidak kucegah, agaknya adikku itu sudah dibunuhnya malam hari itu juga. Baiknya dapat kudinginkan hatinya, adikku diampuni dan Bu Song dimasukkan dalam penjara. Sebagai seorang yang dianggap tak kenal budi, sudah ditolong oleh Ayah sampai tiga tahun lebih, kiranya membalas dengan penghinaan yang mencemarkan nama baik keluarga. Ayah tak dapat mengampuninya, lalu menyerahkan kepadaku untuk membunuh Bu Song....”
“Ahhhhh....!”
Sian Eng menghentikan langkahnya, membalik dan memandang wajah Suma Boan dengan mata berapi.
Suma Boan menggelengkan kepalanya.
“Tidak, Adik Sian Eng. Jangan kau sangka bahwa aku mau begitu saja membunuh seorang yang sudah tiga tahun menjadi sahabat baikku? Tidak! Tentu saja di depan Ayah aku tidak berani membantah, karena aku pun dapat menyelami perasaan Ayah dan secara jujur aku harus membenarkan hukuman itu. Namun, betapapun juga, aku tidak tega untuk melakukan perintah Ayah. Aku lalu mendatangi Bu Song di kamar tahanan, dan berunding dengannya. Aku hendak menjalankan siasat, menyuruh teman-teman dari luar kota yang pandai untuk tiga hari kemudian, malam-malam menyerbu dan membebaskan Bu Song. Dengan akal demikian Bu Song akan tertolong dan aku sendiri tidak disalahkan Ayah karena memang tahanan diserbu penjahat-penjahat pandai.” Kembali pemuda bangsawan itu berhenti, menjadi ragu-ragu.
“Kemudian bagaimana.... Koko?”
Diam-diam Suma Boan tersenyum girang karena jalan ceritanya telah membuat hati gadis itu kembali mesra terhadapnya, sehingga menyebutnya koko (kanda) dengan suara demikian merdu dan mesra. Tentu saja Sian Eng takkan berani menyebutnya koko kalau saja ia tidak mendahului menyebut gadis itu adik.
“Untuk memudahkan rencanaku itu, pada malam hari ke tiganya, di depan Ayah aku mencambuki Bu Song dan mengikatnya pada balok bersilang....”
“Seperti yang kau lakukan terhadap kakakku Bu Sin itu? Apakah kau juga menyiksa kakak Bu Song dengan anak panahmu?”
Bukan main kagetnya hati Suma Boan mendengar pertanyaan ini. Hampir saja ia melompat menjauhi, seakan-akan pertanyaan itu merupakan seekor ular berbisa yang menyerangnya tiba-tiba. Akan tetapi melihat sikap Sian Eng masih biasa, hanya pada suaranya terkandung kegetiran, ia dapat menguasai perasaannya dan berkata.
“Dari mana kau bisa tahu tentang kakakmu Bu Sin? Apakah kau sudah berjumpa dengannya?”
“Belum. Akan tetapi aku mendengar dari Suling Emas....”
“Ahhh! Kiranya dia pula yang telah membawa pergi Bu Sin? Heran sekali....!”
“Mengapa heran? Dia seorang pendekar yang sakti.”
“Aneh sekali.... dia benar-benar orang aneh....” Suma Boan berkata lirih, kepada diri sendiri.
“Memang dia aneh, akan tetapi sakti dan kalau tidak ada dia, agaknya aku dan Kakak Bu Sin tentu telah tewas.”
“Kau tidak tahu akan urusannya, Moi-moi. Dengarlah baik-baik, dan kau akan mengerti mengapa aku menjadi marah dan benci kepada Bu Song sehingga ketika kau dan Bu Sin muncul, aku tidak dapat menahan kemarahanku. Telah kuceritakan tadi, aku menyiksa Bu Song hanya untuk main sandiwara di depan Ayah saja. Terang saja aku hanya mencambukinya agar Ayah percaya. Lalu aku dan Ayah pergi meninggalkan Bu Song terikat di taman dan aku mengerti bahwa menjelang tengah malam, tentu teman-temanku yang sudah siap akan datang menyerbu dan membawanya lari keluar kota. Akan tetapi, apa yang terjadi? Teman-temanku benar menyerbu, akan tetapi.... Bu Song sudah tidak ada lagi di sana! Kegagalan ini membuka rahasiaku sehingga Ayah marah bukan main kepadaku dan hampir aku diusirnya kalau saja Ibu tidak turut campur. Nah, karena melanggar janji dalam rencana itulah aku menjadi benci kepada Bu Song. Apalagi setelah beberapa tahun kemudian, adikku sudah menikah dengan pangeran tunangannya, Bu Song secara sembunyi muncul lagi dan bahkan berani mengunjungi taman adikku, mengadakan pertemuan disana!”
“Apa....?”
Sian Eng berseru dengan hati tidak karuan. Heran, penasaran, juga terharu sekali. Demikian besarkah cinta kasih kakaknya terhadap Suma Ceng sehingga kakaknya tidak melihat kenyataan bahwa kekasihnya itu sudah menjadi isteri orang lain?
Suma Boan mengangguk-angguk.
“Itulah sebabnya mengapa aku tidak dapat menahan sabar lagi ketika melihat kau dan Bu Sin muncul dan mengaku sebagai adik dari Bu Song. Apalagi terhadap Bu Sin yang ketika kuceritakan hal ini malah membela kakaknya, sehingga kemarahanku menjadi-jadi. Baiknya aku masih ingat dan tidak membunuhnya, dan bukan main bingung hatiku ketika melihat kau lenyap. Syukur kau telah tertolong dari tangan Hek-giam-lo yang mengerikan.”
“Kalau begitu.... agaknya.... Kakak Bu Song memang keterlaluan. Kalau kekasihnya, adikmu itu sudah menjadi isteri orang lain, tidak semestinya ia datang mengunjunginya. Akan tetapi, bagaimana kau bisa tahu bahwa kita akan dapat bertemu dengan dia di Nan-cao?”
Suma Boan tersenyum penuh rahasia.
“Dia mempunyai hubungan dengan Kerajaan Nan-cao, kita pasti akan bertemu dengannya disana. Kau percayalah kepadaku Adik Sian Eng.”
“Kalau aku tidak percaya kepadamu, masa aku suka ikut?”
Mereka memasuki pekarangan sebuah gedung indah. Beberapa orang penjaga segera maju menghadang, akan tetapi mereka cepat memberi hormat ketika melihat Suma Boan membuka pintu depan dan seorang diantara mereka berlari-lari ke dalam untuk melaporkan kedatangan mereka. Suma Boan mengajak Sian Eng terus ke dalam, malah dengan ramah ia menggandeng tangan gadis itu.
Di ruangan tengah mereka disambut oleh seorang wanita yang cantik sekali dan mengenakan pakaian mewah. Sejenak Sian Eng tercengang dan kagum. Wanita itu lebih tua beberapa tahun daripadanya, wajahnya yang cantik jelita membayangkan keagungan, rambutnya yang panjang hitam itu digelung indah dan dihias permata mutu manikam. Sepasang matanya yang bersinar-sinar, dagunya yang runcing dan tubuhnya yang langsing padat mengingatkan ia akan Lin Lin.
Akan tetapi, tentu saja berlainan sekali karena Lin Lin mempunyai kecantikan yang asing, sedangkan wanita ini adalah seorang yang cantik seperti dewi dalam gambar. Ia cepat-cepat menjura dengan hormat ketika wanita itu berkata, suaranya halus dengan gerak-gerik yang lemah gemulai.
“Twako (Kakak), malam-malam begini kau datang mengunjungiku, dari manakah dan ada keperluan apa? Dan adik ini, siapakah?”
Sian Eng kini memandang sekali lagi, dengan penuh perhatian setelah mengerti bahwa inilah kiranya wanita yang menjadi kekasih hati kakaknya. Ah, pantas saja kakak sulungnya tergila-gila, karena memang wanita ini hebat. Diam-diam ia menaruh kasihan kepada kakaknya, juga kepada wanita ini, yang ternyata telah gagal dalam percintaan.
“Ceng-moi (Adik Ceng) aku mempunyai urusan di kota raja sehingga agak terlambat datang kesini. Besok pagi-pagi aku akan berangkat ke selatan, menghadiri pesta Agama Beng-kauw di Nan-cao bersama Nona Sian Eng ini. Maafkan kalau aku mengganggu, tapi mana suamimu?”
Pandang mata Sian Eng yang tajam menangkap wajah yang tiba-tiba muram itu, dan suaranya yang halus merdu tadi berubah tergetar membayangkan batin yang tertekan,
“Ah.... dia tidak berada di rumah, semenjak sore tadi pergi bersama teman-temannya....” kemudian suaranya meninggi, wajahnya berseri lagi seakan-akan ia memaksa diri melupakan hal itu dan mengubah percakapan. “Adik ini tentu lihai sekali ilmu pedangnya. Adik, kau murid siapakah. Twako, biarkan dia tidur bersamaku agar kami dapat bercakap-cakap, kau sendiri pakailah kamar di sebelah timur. Akan kuperintahkan pelayan membereskannya.”
Suma Boan tersenyum, menyatakan baik lalu meninggalkan dua orang wanita itu. Akan tetapi sebelum lenyap di ruangan lain, terdengar suaranya.
“Asal kau tahu saja bahwa Adik Sian Eng adalah adik dari Bu Song.”
Suma Ceng menahan seruannya dengan menaruh tangan kiri di depan mulut, matanya terbelalak memandang Sian Eng, wajahnya menjadi pucat! Sian Eng makin kasihan melihat ini dan maklumlah ia bahwa biarpun wanita ini sudah bersuamikan orang lain namun tetap mencinta kakaknya. Ia cepat memegang tangan Suma Ceng dan berkata,
“Enci, harap kau jangan kaget. Pertemuan ini tidak kusengaja, hanya kebetulan saja. Baru saja aku mendengar tentang kakakku dan kau. Selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan Kakak Bu Song dan sekarang aku sedang mencarinya. Suma-kongcu menyatakan bahwa kalau aku ikut dengannya ke Nan-cao, pasti aku akan dapat bertemu dengan Kakak Bu Song di sana.”
Suma Ceng menarik tangan Sian Eng.
“Adik Sian Eng, marilah kita bicara di dalam kamarku....!”
Dari suaranya, tahulah Sian Eng bahwa wanita itu menahan isak, agaknya menjadi amat terharu. Maka ia pun mengikutinya dengan hati berdebar karena ia merasa yakin bahwa dari mulut yang mungil ini ia akan dapat mendengar banyak tentang diri kakaknya.
Pemuda bangsawan itu berhenti dan menarik napas panjang. Sian Eng senang sekali mendengar cerita ini. Ah, kiranya dia ini sahabat baik kakakku?
“Ceritamu itu baik sekali. Tapi, mengapa lalu terjadi permusuhan, Kongcu?”
“Nona, amatlah tidak enak mendengar suaramu yang merdu lewat mulutmu menyebutku Kongcu....”
“Akan tetapi, kau seorang putera pangeran....”
“Dan kau pun puteri seorang goan-swe (jenderal). Setelah kuketahui bahwa kau ini adik Bu Song yang pernah menjadi sahabat baikku, perlukah kita saling bersikap sungkan? Apalagi kita akan mengadakan perjalanan jauh bersama, alangkah tidak enaknya kalau kau menyebut Kongcu (Tuan Muda) dan aku menyebut Siocia (Nona).”
Jantung dalam dada Sian Eng bergelora, membuat mukanya terasa panas. Biarpun mereka berjalan di bawah sinar bulan yang remang-remang karena terhalang awan sehingga mukanya takkan tampak, namun Sian Eng menunduk, khawatir terlihat wajahnya yang membayangkan gelora hatinya.
“Habis.... bagaimana....?” katanya setengah berbisik.
Suma Boan menatap wajah yang tunduk itu, hatinya girang bukan main. Gadis ini cantik manis, biarpun kepandaiannya hanya lumayan saja, namun wataknya gagah berani, dan puteri jenderal besar pula, lebih penting lagi, dia ini adik Bu Song!
“Karena kau terlalu sungkan tadi, aku sendiri sampai takut menanyakan nama. Bolehkah aku mengetahui namamu dan selanjutnya kupanggil kau adik, sedangkan kau menyebutku kakak?”
Makin panas kedua pipi Sian Eng. Tiba-tiba kakinya tersandung batu dan ia hampir terguling. Suma Boan cepat-cepat menangkap lengannya untuk mencegah gadis itu jatuh.
“Hati-hati....!” serunya.
Agak lama juga baru lengan ini dilepas kembali. Padahal, seorang dengan kepandaian seperti Sian Eng, tak mungkin bisa jatuh hanya karena tersandung batu kakinya! Hal ini keduanya cukup maklum.
“Namaku Kam Sian Eng....”
“Nama yang indah. Adik Sian Eng, kau tentu sudi menyebutku kakak, bukan?”
Dengan suara lirih dan kepala tetap tunduk Sian Eng menjawab.
“Tentu saja, akan tetapi, kita baru saja berkenalan.... dan.... aku masih belum tahu apakah kau ini terhitung sahabat ataukah musuh....”
“Ha-ha-ha-ha, kau lucu....! Tapi benar juga, memang ceritaku tadi belum selesai. Nah kau dengarlah, Bu Song bekerja pada Ayah sampai lebih dari tiga tahun. Pada suatu malam.... ah, malam celaka itu.... kakakmu tertangkap basah sedang berduaan dengan adikku perempuan bernama Suma Ceng....”
Hening sejenak dan terdengar Sian Eng memprotes,
“Ah.... tapi.... tapi tentu adikmu.... eh, suka kepadanya.”
Suma Boan menarik napas panjang.
“Itulah soalnya! Kiranya sudah lama juga agaknya, lebih setahun, mereka itu saling mencinta diluar tahu semua orang. Akan tetapi kau tahu sendiri, tak mungkin Ayah menyetujui hal ini. Pertama, adikku itu sudah ditunangkan dengan Pangeran Kiang. Ke dua, kakakmu yang mengaku she Liu itu memperkenalkan diri sebagai seorang sebatangkara yang tak berayah ibu lagi, bahkan katanya datang dari sebuah dusun kecil, sama sekali tidak berdarah bangsawan. Maka tadi kukatakan, sayang kami tidak tahu bahwa dia itu putera seorang jenderal!”
“Kemudian bagaimana? Lalu kakakku itu.... diapakan dia?”
Suara Sian Eng mengandung was-was, juga berada di pinggir jurang kemarahan dan dendam. Tentu saja seorang yang berpengalaman cukup macam Suma Boan tahu akan hal ini dan ia sudah berhati-hati.
“Aku tidak dapat menyalahkan Ayahku dalam hal ini. Ayah marah dan malu bukan main. Kalau tidak kucegah, agaknya adikku itu sudah dibunuhnya malam hari itu juga. Baiknya dapat kudinginkan hatinya, adikku diampuni dan Bu Song dimasukkan dalam penjara. Sebagai seorang yang dianggap tak kenal budi, sudah ditolong oleh Ayah sampai tiga tahun lebih, kiranya membalas dengan penghinaan yang mencemarkan nama baik keluarga. Ayah tak dapat mengampuninya, lalu menyerahkan kepadaku untuk membunuh Bu Song....”
“Ahhhhh....!”
Sian Eng menghentikan langkahnya, membalik dan memandang wajah Suma Boan dengan mata berapi.
Suma Boan menggelengkan kepalanya.
“Tidak, Adik Sian Eng. Jangan kau sangka bahwa aku mau begitu saja membunuh seorang yang sudah tiga tahun menjadi sahabat baikku? Tidak! Tentu saja di depan Ayah aku tidak berani membantah, karena aku pun dapat menyelami perasaan Ayah dan secara jujur aku harus membenarkan hukuman itu. Namun, betapapun juga, aku tidak tega untuk melakukan perintah Ayah. Aku lalu mendatangi Bu Song di kamar tahanan, dan berunding dengannya. Aku hendak menjalankan siasat, menyuruh teman-teman dari luar kota yang pandai untuk tiga hari kemudian, malam-malam menyerbu dan membebaskan Bu Song. Dengan akal demikian Bu Song akan tertolong dan aku sendiri tidak disalahkan Ayah karena memang tahanan diserbu penjahat-penjahat pandai.” Kembali pemuda bangsawan itu berhenti, menjadi ragu-ragu.
“Kemudian bagaimana.... Koko?”
Diam-diam Suma Boan tersenyum girang karena jalan ceritanya telah membuat hati gadis itu kembali mesra terhadapnya, sehingga menyebutnya koko (kanda) dengan suara demikian merdu dan mesra. Tentu saja Sian Eng takkan berani menyebutnya koko kalau saja ia tidak mendahului menyebut gadis itu adik.
“Untuk memudahkan rencanaku itu, pada malam hari ke tiganya, di depan Ayah aku mencambuki Bu Song dan mengikatnya pada balok bersilang....”
“Seperti yang kau lakukan terhadap kakakku Bu Sin itu? Apakah kau juga menyiksa kakak Bu Song dengan anak panahmu?”
Bukan main kagetnya hati Suma Boan mendengar pertanyaan ini. Hampir saja ia melompat menjauhi, seakan-akan pertanyaan itu merupakan seekor ular berbisa yang menyerangnya tiba-tiba. Akan tetapi melihat sikap Sian Eng masih biasa, hanya pada suaranya terkandung kegetiran, ia dapat menguasai perasaannya dan berkata.
“Dari mana kau bisa tahu tentang kakakmu Bu Sin? Apakah kau sudah berjumpa dengannya?”
“Belum. Akan tetapi aku mendengar dari Suling Emas....”
“Ahhh! Kiranya dia pula yang telah membawa pergi Bu Sin? Heran sekali....!”
“Mengapa heran? Dia seorang pendekar yang sakti.”
“Aneh sekali.... dia benar-benar orang aneh....” Suma Boan berkata lirih, kepada diri sendiri.
“Memang dia aneh, akan tetapi sakti dan kalau tidak ada dia, agaknya aku dan Kakak Bu Sin tentu telah tewas.”
“Kau tidak tahu akan urusannya, Moi-moi. Dengarlah baik-baik, dan kau akan mengerti mengapa aku menjadi marah dan benci kepada Bu Song sehingga ketika kau dan Bu Sin muncul, aku tidak dapat menahan kemarahanku. Telah kuceritakan tadi, aku menyiksa Bu Song hanya untuk main sandiwara di depan Ayah saja. Terang saja aku hanya mencambukinya agar Ayah percaya. Lalu aku dan Ayah pergi meninggalkan Bu Song terikat di taman dan aku mengerti bahwa menjelang tengah malam, tentu teman-temanku yang sudah siap akan datang menyerbu dan membawanya lari keluar kota. Akan tetapi, apa yang terjadi? Teman-temanku benar menyerbu, akan tetapi.... Bu Song sudah tidak ada lagi di sana! Kegagalan ini membuka rahasiaku sehingga Ayah marah bukan main kepadaku dan hampir aku diusirnya kalau saja Ibu tidak turut campur. Nah, karena melanggar janji dalam rencana itulah aku menjadi benci kepada Bu Song. Apalagi setelah beberapa tahun kemudian, adikku sudah menikah dengan pangeran tunangannya, Bu Song secara sembunyi muncul lagi dan bahkan berani mengunjungi taman adikku, mengadakan pertemuan disana!”
“Apa....?”
Sian Eng berseru dengan hati tidak karuan. Heran, penasaran, juga terharu sekali. Demikian besarkah cinta kasih kakaknya terhadap Suma Ceng sehingga kakaknya tidak melihat kenyataan bahwa kekasihnya itu sudah menjadi isteri orang lain?
Suma Boan mengangguk-angguk.
“Itulah sebabnya mengapa aku tidak dapat menahan sabar lagi ketika melihat kau dan Bu Sin muncul dan mengaku sebagai adik dari Bu Song. Apalagi terhadap Bu Sin yang ketika kuceritakan hal ini malah membela kakaknya, sehingga kemarahanku menjadi-jadi. Baiknya aku masih ingat dan tidak membunuhnya, dan bukan main bingung hatiku ketika melihat kau lenyap. Syukur kau telah tertolong dari tangan Hek-giam-lo yang mengerikan.”
“Kalau begitu.... agaknya.... Kakak Bu Song memang keterlaluan. Kalau kekasihnya, adikmu itu sudah menjadi isteri orang lain, tidak semestinya ia datang mengunjunginya. Akan tetapi, bagaimana kau bisa tahu bahwa kita akan dapat bertemu dengan dia di Nan-cao?”
Suma Boan tersenyum penuh rahasia.
“Dia mempunyai hubungan dengan Kerajaan Nan-cao, kita pasti akan bertemu dengannya disana. Kau percayalah kepadaku Adik Sian Eng.”
“Kalau aku tidak percaya kepadamu, masa aku suka ikut?”
Mereka memasuki pekarangan sebuah gedung indah. Beberapa orang penjaga segera maju menghadang, akan tetapi mereka cepat memberi hormat ketika melihat Suma Boan membuka pintu depan dan seorang diantara mereka berlari-lari ke dalam untuk melaporkan kedatangan mereka. Suma Boan mengajak Sian Eng terus ke dalam, malah dengan ramah ia menggandeng tangan gadis itu.
Di ruangan tengah mereka disambut oleh seorang wanita yang cantik sekali dan mengenakan pakaian mewah. Sejenak Sian Eng tercengang dan kagum. Wanita itu lebih tua beberapa tahun daripadanya, wajahnya yang cantik jelita membayangkan keagungan, rambutnya yang panjang hitam itu digelung indah dan dihias permata mutu manikam. Sepasang matanya yang bersinar-sinar, dagunya yang runcing dan tubuhnya yang langsing padat mengingatkan ia akan Lin Lin.
Akan tetapi, tentu saja berlainan sekali karena Lin Lin mempunyai kecantikan yang asing, sedangkan wanita ini adalah seorang yang cantik seperti dewi dalam gambar. Ia cepat-cepat menjura dengan hormat ketika wanita itu berkata, suaranya halus dengan gerak-gerik yang lemah gemulai.
“Twako (Kakak), malam-malam begini kau datang mengunjungiku, dari manakah dan ada keperluan apa? Dan adik ini, siapakah?”
Sian Eng kini memandang sekali lagi, dengan penuh perhatian setelah mengerti bahwa inilah kiranya wanita yang menjadi kekasih hati kakaknya. Ah, pantas saja kakak sulungnya tergila-gila, karena memang wanita ini hebat. Diam-diam ia menaruh kasihan kepada kakaknya, juga kepada wanita ini, yang ternyata telah gagal dalam percintaan.
“Ceng-moi (Adik Ceng) aku mempunyai urusan di kota raja sehingga agak terlambat datang kesini. Besok pagi-pagi aku akan berangkat ke selatan, menghadiri pesta Agama Beng-kauw di Nan-cao bersama Nona Sian Eng ini. Maafkan kalau aku mengganggu, tapi mana suamimu?”
Pandang mata Sian Eng yang tajam menangkap wajah yang tiba-tiba muram itu, dan suaranya yang halus merdu tadi berubah tergetar membayangkan batin yang tertekan,
“Ah.... dia tidak berada di rumah, semenjak sore tadi pergi bersama teman-temannya....” kemudian suaranya meninggi, wajahnya berseri lagi seakan-akan ia memaksa diri melupakan hal itu dan mengubah percakapan. “Adik ini tentu lihai sekali ilmu pedangnya. Adik, kau murid siapakah. Twako, biarkan dia tidur bersamaku agar kami dapat bercakap-cakap, kau sendiri pakailah kamar di sebelah timur. Akan kuperintahkan pelayan membereskannya.”
Suma Boan tersenyum, menyatakan baik lalu meninggalkan dua orang wanita itu. Akan tetapi sebelum lenyap di ruangan lain, terdengar suaranya.
“Asal kau tahu saja bahwa Adik Sian Eng adalah adik dari Bu Song.”
Suma Ceng menahan seruannya dengan menaruh tangan kiri di depan mulut, matanya terbelalak memandang Sian Eng, wajahnya menjadi pucat! Sian Eng makin kasihan melihat ini dan maklumlah ia bahwa biarpun wanita ini sudah bersuamikan orang lain namun tetap mencinta kakaknya. Ia cepat memegang tangan Suma Ceng dan berkata,
“Enci, harap kau jangan kaget. Pertemuan ini tidak kusengaja, hanya kebetulan saja. Baru saja aku mendengar tentang kakakku dan kau. Selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan Kakak Bu Song dan sekarang aku sedang mencarinya. Suma-kongcu menyatakan bahwa kalau aku ikut dengannya ke Nan-cao, pasti aku akan dapat bertemu dengan Kakak Bu Song di sana.”
Suma Ceng menarik tangan Sian Eng.
“Adik Sian Eng, marilah kita bicara di dalam kamarku....!”
Dari suaranya, tahulah Sian Eng bahwa wanita itu menahan isak, agaknya menjadi amat terharu. Maka ia pun mengikutinya dengan hati berdebar karena ia merasa yakin bahwa dari mulut yang mungil ini ia akan dapat mendengar banyak tentang diri kakaknya.
**** 055 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar