FB

FB


Ads

Selasa, 04 Juni 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 047

Kita tinggalkan dulu Lin Lin yang terjungkal ke sebelah dalam gedung perpustakaan. Agar jalannya cerita menjadi lancar, mari kita menengok keadaan Bu Sin yang sudah terlalu lama kita tinggalkan.

Telah kita ketahui betapa Bu Sin yang tadinya disiksa oleh Suma Boan dan digantung di atas kayu bersilang, dapat ditolong orang sakti yang tidak ia ketahui siapa adanya. Ia ditinggalkan di dalam hutan, luka di tubuhnya akibat anak panah Suma Boan telah sembuh sama sekali oleh obat ajaib yang tahu-tahu telah berada di luka-lukanya, tentu oleh penolongnya itu.

Karena maklum bahwa kalau sampai tertawan lagi oleh Suma Boan ia akan celaka, Bu Sin lalu melarikan diri dari hutan itu dan beberapa hari lamanya ia terus menyusup-nyusup hutan, tidak berani menampakkan diri di tempat ramai.

Sepekan kemudian, menjelang senja, ia tiba di sebuah tanah kuburan yang amat sunyi menyeramkan. Ia tidak tahu bahwa ia berada di sebelah utara kota raja, dan juga tidak tahu bahwa penduduk sekitar tempat itu tidak berani mendekati kuburan ini di waktu malam, karena sudah terkenal bahwa kuburan itu berhantu!

Akan tetapi Bu Sin yang berusaha sembunyi dari kejaran Suma Boan dan orang-orangnya, merasa aman berada di tempat sunyi itu. Ia segera mencari sebuah tempat yang enak, di bawah pohon besar, duduk termenung memikirkan nasibnya. Dari jauh terdengar kokok ayam hutan yang agaknya hendak mengantar kepergian matahari, hendak menyambut sang bulan?

Malam itu bulan purnama. Di tempat sunyi ini, sambil makan buah-buah yang tadi ia petik di tengah jalan dalam hutan, Bu Sin menikmati bulan yang muncul dari timur, tampak besar bundar kemerahan amat indahnya.

Akan tetapi ia tidak bergembira, ia malah berduka, teringat akan kedua orang adiknya yang masih belum ia ketahui bagaimana nasibnya. Juga kakaknya yang dicarinya Kam Bu Song, amatlah tipis harapan untuk dapat dijumpainya, karena menurut pengakuan Suma Boan, agaknya kakaknya itu pun mengalami kesengsaraan dan sedikit saja harapan bahwa kakaknya itu masih hidup.

Kakaknya seorang pelajar yang lemah, apa dayanya mempunyai musuh seperti Suma Boan yang lihai? Dia sendiri yang sejak kecil belajar ilmu silat, tidak berdaya menghadapi putera pangeran itu. Bu Sin makin sedih mengingat akan hal ini dan berkali-kali ia menarik napas panjang.

Tiba-tiba napasnya terhenti, wajahnya pucat dan matanya terbelalak memandang ke depan. Dikejap-kejapkannya kedua mata itu, kemudian digosok-gosoknya, akan tetapi tetap saja pemandangan di depan itu tidak berubah. Bulu tengkuknya berdiri satu-satu. Jantung berdebar-debar dan Bu Sin merasa ngeri. Dia bukanlah seorang penakut, bahkan ia terkenal tabah, akan tetapi siapa orangnya takkan merasa ngeri melihat betapa di sebuah kuburan sunyi, di dalam terang bulan, mendadak di depan batu nisan yang tua berdiri seorang wanita yang rambutnya panjang riap-riapan sampai ke kaki?

Wanita itu berdiri membelakanginya, akan tetapi melihat bentuk tubuhnya yang langsing, kedua lengan yang diangkat ke atas itu dari jauh kelihatan halus putih dan jari-jarinya mungil, rambutnya pun hitam halus mengkilap, dapat diduga bahwa wanita itu masih muda. Dari mana dia datang? Mengapa Bu Sin tidak melihatnya ia datang? Dan apa yang dilakukannya di tempat itu?

Kuntilanak! Siluman! Tak salah lagi, pikir Bu Sin dengan jantung berdebar-debar. Otomatis tangannya meraba gagang pedang, dan ia tidak malu mendapat kenyataan bahwa tangannya menggigil. Ia membayangkan bahwa muka kuntilanak ini tentulah mengerikan, muka pucat seperti muka mayat, mata terbelalak tinggal putihnya saja, mulut bertaring. Iiihhhhh! Lebih baik ia pergi, menjauhi tempat setan ini, pikirnya dengan hati-hati dan perlahan-lahan Bu Sin bangkit berdiri lalu melangkah pergi dari tempat itu.

Akan tetapi baru lima enam langkah ia berjalan, tiba-tiba ada angin menyambar dan terdengar bentakan yang merdu, nyaring dan halus,

“Berhenti! Siapa itu?”

Tengkuk dan punggung Bu Sin serasa tebal saking ngerinya. Suara itu sudah berada tepat di belakang punggungnya, seakan-akan siluman itu telah hinggap di atas punggung. Ia mengeraskan hatinya dan sambil mengepal tinju ia membalik, siap menghadapi wajah yang mengerikan.

Ia membalik tiba-tiba dan.... Bu Sin ternganga menatap wajah yang cantik jelita, wajah yang amat manis dengan sepasang mata lebar bersinar-sinar, hidung kecil mancung dan mulut kecil dengan bibir merah yang selalu tersenyum mengejek. Bentuk tubuh langsing, padat, rambut yang hitam halus panjang terurai melalui punggung, pundak, dan dada. Lebih hebat lagi, bau yang amat harum semerbak menusuk hidung membuat Bu Sin terpesona. Sama sekali bukan siluman mengerikan. Andaikata siluman juga, inilah siluman cantik!

Siluman! Teringat akan ini, Bu Sin sadar dan kekagumannya akan kecantikan wajah wanita muda ini berubah menjadi kecurigaan dan otomatis ia meraba lagi gagang pedangnya.






Wanita itu tertawa, manis seperti madu bibirnya kalau tertawa, akan tetapi suara ketawanya mengerikan, hampir seperti tangis!

“Hi-hik, kau tampan dan gagah. Siapa kau?”

“Nama saya Bu Sin, Kam Bu Sin. Nona.... eh, Nyonya siapakah?”

Wanita itu tertawa, giginya berderet putih rapi, sama sekali tidak ada taringnya!
“Bagus sekali! Kau she Kam? Suaramu seperti orang selatan. Apamukah Jenderal Kam Si Ek?”

Bu Sin terkejut dan memandang heran.
“Dia.... dia adalah mendiang Ayahku.”

Sepasang mata yang indah lebar itu terbelalak, lalu wanita itu tertawa lagi.
“Hi-hi-hik, pantas saja tampan dan gagah. Betul, sekarang aku melihat persamaannya. Kau jauh lebih muda, lebih tampan. Hi-hik, kau tadi bertanya siapa aku? Aku Siang-mou Sin-ni, dahulu pernah menjadi sahabat baik Ayahmu. Karena kau puteranya, kau sekarang akan mampus di tanganku!”

Bu Sin makin kaget, dan kini ia menduga bahwa wanita ini tentulah miring otaknya. Kalau tidak gila, masa mengaku sahabat baik ayahnya tapi akan membunuh puteranya? Ia merasa tidak perlu banyak bertanya lagi, cepat tangannya bergerak mencabut pedangnya. Ia hendak menggertak dan mengusir wanita gila ini agar jangan mengganggunya lagi.

Akan tetapi, wanita itu tertawa dan tiba-tiba rambut panjang terurai itu bergerak, melibat pedang dan tubuhnya dan

“krak! krak!”

Pedangnya telah patah-patah menjadi tiga potong sedangkan tangan, kaki dan pinggangnya sudah dibelit-belit rambut halus dan harum, membuat ia tak dapat berkutik sama sekali! Bu Sin berusaha meronta dan mengerahkan lwee-kangnya, namun hal ini hanya mendatangkan rasa sakit karena rambut-rambut itu menekan lebih keras seakan-akan hendak mengiris kulitnya!

“Hi-hi-hik! Mau apa kau sekarang? Dengar baik-baik. Aku Siang-mou Sin-ni dahulu pernah dibikin sakit hati oleh Ayahmu, jenderal yang angkuh dan sombong itu. Mentang-mentang dia seorang jenderal yang tinggi kedudukannya, ia berani menolak aku! Hi-hik, dan sekarang kau puteranya jatuh ke tanganku. Apa yang akan kulakukan denganmu? Kau akan kujadikan korban yang ke empat puluh! Aku sedang menggembleng diri dengan Ilmu Sin-yang Hoat-lek (Ilmu Gaib Sin-yang) dan untuk keperluan itu aku membutuhkann hawa murni dan darah hidup jejaka-jejaka murni sebanyak-banyaknya! Dan kau masih muda remaja dan murni. Hi-hik, kau menjadi orang ke empat puluh, dan kau putera Kam Si Ek. Bagus sekali, tentu darahmu bersih, darah satria. Inilah yang kucari!” Wanita itu tertawa-tawa.

Bu Sin bergidik. Terang wanita ini gila. Ataukah dia bukan manusia?
“Pergi kau! Lepaskan aku!” teriaknya. “Kau bohong! Usiamu takkan lebih tua daripada aku, mana bisa kau mengenal Ayah.”

Siang-mou Sin-ni menggunakan telapak tangannya mengelus-elus pipi dan dagu Bu Sin yang tak berambut.

“Terima kasih, orang bagus! Pujianmu bikin aku tak tega membunuhmu. Kau betul-betul melihat aku lebih muda dari padamu? Hi-hik, usiaku hampir dua kali usiamu. Akan tetapi, inilah hasil pertama dari Sin-yang Hoat-lek! Aku takkan pernah menjadi tua, aku takkan.... takkan bisa mati! Nah, kau bersiaplah, sudah kemecer (berliur) mulutku, darahmu tentu manis dan hangat!”

Setelah berkata demikian, wanita itu mendekatkan mukanya ke muka Bu Sin. Pemuda ini bergidik dan meremang bulu tengkuknya. Hendak apakah perempuan ini? Ia mengira hendak dicium, akan tetapi wajah berkulit halus yang harum itu menunduk dan.... hidung dan mulut yang basah hangat itu menempel pada tenggorokannya!

Bu Sin merasa ngeri bukan main. Mampus aku sekarang, pikirnya dan ia meramkan mata menahan sakit, siap menanti maut karena sama sekali tidak dapat berkutik. Akan tetapi tiba-tiba wanita itu mengangkat mukanya, kedua tangannya meraba-raba muka Bu Sin, membelai-belainya.

“Kau tampan.... gagah, seperti Ayahmu.... sayang kalau dibunuh!”

Sejenak Bu Sin merasa betapa wajah yang halus kulitnya itu menempel pada pipinya. Ia tak berani membuka mata karena ngeri. Tiba-tiba rambut yang mengikat kaki tangan dan tubuhnya terlepas. Ia membuka mata. Siang-mou Sin-ni berdiri di depannya, mata wanita itu bersinar-sinar, bibirnya tersenyum manis sekali.

“Kau tampan dan ganteng, kau pemberani, seperti Ayahmu. Bu Sin.... eh, Kanda.... kau sembuhkanlah luka di hatiku yang disebabkan Ayahmu dahulu. Kau perbaikilah apa yang telah dirusak Ayahmu. Kau tentu mau, Koko (Kanda) yang ganteng?” Siang-mou Sin-ni mendekat lagi, mepet-mepet dengan lagak genit dan mengambil hati.

Bu Sin merasa tenggorokannya tercekik, mulutnya kering dan jantungnya berdebar tidak karuan.

“Apa maksudmu? Apa kehendakmu?”

Siang-mou Sin-ni mengangkat muka lalu dengan lagak genit mencubit dagu Bu Sin.
“Hi-hik, kau benar-benar masih hijau! Tentu saja maksudku agar kau suka menjadi suamiku!”

Kalau saja pada saat itu ada gunung meletus, kiranya Bu Sin takkan sekaget ketika mendengar kata-kata ini. Wajahnya menjadi pucat dan seketika ia membentak,

“Kau perempuan gila! Pergi, jangan dekat-dekat denganku! Aku tidak sudi menjadi suamimu. Huh, tak bermalu, lebih baik kau bunuh aku!”

Sambil berkata demikian, Bu Sin mengerahkan tenaga lalu menerjang wanita itu dengan pukulan. Ia mengerahkan semua tenaganya dalam pukulan ini karena ia amat benci dan hendak membunuhnya.

“Bukkk!”

Kepalan tangan Bu Sin tepat menghantam dada, bertemu dengan daging lunak, akan tetapi akibatnya, tubuh Bu Sin yang terlempar ke belakang! Sebelum pemuda ini tahu apa yang terjadi, tiba-tiba tubuhnya sudah menjadi lemas, jalan darahnya tertotok dan di lain saat tubuhnya yang lemas itu sudah di panggul dan dibawa pergi oleh Siang-mou Sin-ni dari tempat kuburan itu! Sambil berjalan di malam terang bulan, Siang-mou Sin-ni bernyanyi-nyanyi, kadang-kadang mengomel panjang pendek,

“Celaka, kenapa hatiku tertarik kepada bocah ini? Lebih celaka lagi. Dia menolak dan memaki-maki, keparat!”

Di sebuah anak sungai yang jernih airnya dalam sebuah hutan, ia berhenti, menurunkan tubuh Bu Sin yang ia lempar ke atas rumput.

“He, Kanda Bu Sin, bagaimana sekarang? Maukah kau?”

“Tidak sudi dan jangan sebut aku Kanda, perempuan hina dan gila!”

“Hi-hik, seperti Ayahnya!”

Tiba-tiba rambutnya bergerak dan tahu-tahu tubuh Bu Sin sudah dilibat rambut, lalu tubuh pemuda itu terlempar ke dalam air di depan Siang-mou Sin-ni! Bu Sin gelagapan, akan tetapi tak mampu berenang karena kedua tangan dan kakinya dibelenggu rambut. Ia gelagapan dan minum air, sedangkan tubuhnya menggigil kedinginan. Siang-mou Sin-ni mengangkat muka pemuda itu ke atas air, tapi tubuhnya masih terendam.

“Jawab, mau tidak kau!”

“Tidak sudi!”

Bu Sin membentak. Dan kembali ia dilelapkan ke dalam air, berkali-kali sampai sukar bernapas dan perutnya kembung kemasukan banyak air.

“Apakah kau masih bandel tidak mau?”

Siang-mou Sin-ni kembali bertanya ketika muka pemuda itu diangkat agar dapat bernapas.

Bu Sin tak dapat mengeluarkan suara lagi. Ia setengah pingsan, akan tetapi ia masih cukup kuat untuk menggeleng-geleng kepalanya tanda tidak sudi!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar