FB

FB


Ads

Selasa, 07 Mei 2019

Suling Emas Jilid 158

Hanya Hek-giam-lo yang diam saja, dan diam-diam Kim-mo Taisu menduga-duga siapa gerangan orang yang bersembunyi di balik kedok tengkorak ini.

Kim-mo Taisu menarik napas panjang.
"Menang atau kalah, hidup atau mati, sama saja. Yang penting adalah berdiri di atas kebenaran! Kalau kalian merasa penasaran, majulah!"

Pada saat itu Bu Song sudah tidak sabar lagi. Ia melompat keluar dan membentak,
"Manusia-manusia berhati keji dan curang! Setelah memiliki ilmu kepandaian tinggi, mengapa masih belum dapat membuang sifat pengecut dan curang? Suhu sedang terluka, hal ini kalian semua tahu. Akan tetapi kalian datang berempat untuk mengeroyoknya. Di mana keadilan dan kegagahan kalian?"

"Bu Song, kau mundurlah dan lihat saja. Jangan mencampuri dan melibatkan dirimu dengan urusan kotor ini. Bu Song, jangan kau tiru gurumu yang menanamkan pohon kebencian sehingga menghasilkan buah-buah dendam dan permusuhan."

Suara Kim-mo Taisu tenang dan sabar, namun mengandung wibawa sehingga Bu Song terpaksa mundur lagi. Dada pemuda ini panas dan penuh amarah, namun ditekan-tekannya dan ia hanya dapat memandang dengan hati was-was dan penasaran. Muak ia melihat sikap musuh-musuh gurunya itu yang sama sekali tidak mengindahkan aturan dunia kang-ouw.

Orang yang sudah menamakan dirinya pendekar, pantang melawan orang sakit, apalagi mengeroyoknya! Dan empat orang itu, melihat tingkat ilmunya, sudah menempati tingkat lebih tinggi daripada pendekar-pendekar silat biasa. Sungguh menjemukan dan menyakitkan hati, menimbulkan rasa penasaran.

Diantara empat orang itu, agaknya hanya Lauw Kiat seorang yang masih memiliki harga diri. Lauw Kiat murid kedua Ban-pi Lo-cia ini adalah seorang Khitan peranakan. Ibunya seorang Khitan, ayahnya seorang Han yang bernama keturunan Lauw. Akan tetapi karena sejak kecil ayahnya telah meninggal dunia dan ia ikut ibunya di Khitan, maka ia berjiwa orang Khitan. Ia selain berkepandaian tinggi, juga terkenal sebagi seorang gagah perkasa di Khitan, yang biarpun tidak mengikatkan diri dalam ketentaraan, namun ia setia kepada rajanya dan selalu membantu gerakan bala tentara Khitan. Ia menghargai kegagahan, dan mengenal tata cara, aturan dan sopan santun pendekar dunia persilatan. Mendengar teguran Bu Song tadi, merah seluruh muka Lauw Kiat. Ditegur tentang aturan oleh seorang pemuda, benar-benar amat memalukan. Maka ia lalu menerjang maju sambil berseru,

"Kim-mo Taisu, aku membela kematian Suhu Ban-pi Lo-cia! Lihat seranganku!"

Hebat juga serbuan Lauw Kiat ini, karena tongkatnya yang baru, berat dan terbuat daripada baja, menyambar ganas dan mendatangkan angin pukulan yang amat kuat.

Kim-mo Taisu yang sudah terluka di sebelah dalam tubuhnya dan masih belum sembuh, tidak mau menghamburkan tenaga dan ingin menyelesaikan pertandingan itu secara secepat mungkin. Maka ia tidak mengelak menghadapi sambaran tongkat baja itu, namun secepat kilat kipas dan pedangnya sudah berada di kedua tangan.

Kipas di tangan kirinya menahan tongkat yang menjadi lekat pada kipas, kemudian bagaikan halilintar menyambar pedangnya sudah membabat ke arah leher Lauw Kiat. Tokoh Khitan ini kaget bukan main. Berusaha keras membetot tongkatnya sambil merendahkan tubuh untuk menghindarkan sabetan pedang.

Akan tetapi sungguh tak disangkanya bahwa pedang itu sama sekali tidak menyabet leher seperti tampaknya, melainkan membabat kaki. Kasihan sekali Lauw Kiat yang tidak sempat menghindarkan serangan luar biasa ini. Terdengar ia mengeluh dan robohlah tokoh ini dengan kedua kakinya buntung. Darah bercucuran dari kedua lutut yang sudah buntung itu, akan tetapi Lauw Kiat sudah pingsan, tidak merasai nyeri lagi.

Kim-mo Taisu mengeluarkan suara aneh dari kerongkongannya dan tahu-tahu ia sudah berlutut di dekat tubuh Lauw Kiat, menotok jalan darah di paha untuk menghentikan darah yang mengalir keluar, kemudian mengeluarkan obat bubuk untuk mengobati luka agar melenyapkan rasa nyeri.

Akan tetapi tiba-tiba Bu Song berseru,
"Suhu, awas!"

Seruan peringatan Bu Song ini tidak ada gunanya karena tentu saja pendekar sakti itu sudah tahu bahwa dia diserang hebat oleh Kong Lo Sengjin, Hek-giam-lo dan Pouw-kai-ong secara berbareng, pada saat ia masih berlutut dan hendak mengobati luka kedua kaki Pak-sin tung!






Cepat Kim-mo Taisu menggerakkan tubuh melesat pergi dari situ sambil membawa pedang dan kipasnya. Obat bubuk tadi ia sebarkan, merupakan senjata rahasia mengarah mata ketiga orang pengeroyoknya yang terpaksa melompat mundur, karena tahu bahwa jika obat bubuk itu memasuki mata, akan celakalah mereka, mata menjadi pedih dan tak dapat dibuka dan tentu saja akan berbahaya bagi mereka.

Dalam detik-detik selanjutnya terjadilah pertandingan mati-matian yang amat cepat. Kalau tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian yang tinggi sudah mengeluarkan jurus-jurus simpanannya, pertandingan silat berubah menjadi adu nyawa yang cepat dan menyeramkan. Setiap gerak merupakan serangan maut. Cepat dan kuat, sukar diikuti pandangan mata, seakan-akan mereka sudah bergulat menjadi satu.

Tiba-tiba terdengar suara keras, dan empat buah senjata runtuh dan rusak. Tongkat Pouw-kai-ong patah menjadi dua ketika bertemu secara hebat dengan kipas di tangan kiri Kim-mo Taisu yang juga robek tengahnya dan patah gagangnya. Senjata sabit di tangan Hek-giam-lo yang mengerikan itu juga patah menjadi tiga bertemu dengan pedang Kim-mo Taisu yang juga patah menjadi dua.

Terdengar mereka mengeluarkan teriakan-teriakan kaget dibarengi dengan lengking tinggi yang keluar dari mulut Kim-mo Taisu dan tahu-tahu Kim-mo Taisu telah beradu telapak tangan dengan Kong Lo Sengjin. Keduanya berhadapan, Kim-mo Taisu agak merendahkan tubuh dengan lutut ditekuk, kedua lengan diluruskan kedepan, kedua telapak tangan beradu dengan telapak tangan Kong Lo Sengjin yang "berdiri" di kedua tongkatnya. Mereka mengerahkan sin-kang dan mengadu tenaga dalam secara mati-matian!

Pouw-kai-ong cepat menempelkan telapak tangan kanan ke punggung Kong Lo Sengjin sebelah kanan, dan Hek-giam-lo juga meniru perbuatan Raja Pengemis itu, menempelkan telapak tangan kiri ke punggung kakek lumpuh yang sebelah kiri. Mereka berdua sebagai ahli-ahli tingkat tinggi maklum bahwa dalam keadaan mengadu tenaga seperti itu, kalau mereka menyerang Kim-mo Taisu dengan pukulan, yang berbahaya adalah Kong Lo Senjin sendiri.

Pukulan yang mengenai tubuh Kim-mo Taisu dapat "ditarik" dan "disalurkan" oleh lawan kepada Kong Lo Sengjin sehingga sama artinya dengan memukul kawan sendiri meminjam tangan lawan! Satu-satunya cara terbaik untuk membantu adalah seperti yang mereka lakukan. Tenaga sin-kang mereka tersalur dan membantu Kong Lo Sengjin menekan lawan.

Hebat akibatnya. Tadinya menghadapi Kong Lo Sengjin yang sudah tua, Kim-mo Taisu masih menang tenaga. Kalau dilanjutkan, beberapa menit lagi tentu ia akan sanggup merobohkan kakek itu. Akan tetapi setelah dua orang lawannya yang lain datang mengeroyoknya, bukan main hebatnya tenaga yang tersalur melalui dua telapak tangan Kong Lo Sengjin, Kim-mo Taisu berusaha menahan, namun ia tidak kuat, apalagi karena di sebelah dalam dadanya masih terluka cukup berat.

Betapapun juga, pendekar yang gagah perkasa ini sama sekali tidak mengeluh, dan sama sekali tidak mau menyerah begitu saja. Ia tetap mengerahkan sin-kangnya dan mempertahankan diri sehingga wajahnya pucat, matanya berkilat dan dari kedua ujung bibirnya menetes darah segar!

Melihat keadaan gurunya sedemikian rupa itu, Bu Song tak dapat tinggal diam lagi. Biarpun suhunya tadi sudah memesan agar ia tidak turut campur, namun bagaimana ia dapat berpeluk tangan melihat suhunya terancam kematian oleh tiga orang lawan itu?

"Maaf, Suhu. Terpaksa teecu harus turun tangan!" Ia membentak dan segera melompat maju.

Seperti juga Hek-giam-lo dan Pouw-kai-ong, Bu Song mengerti bahwa untuk membantu suhunya yang sedang mengadu tenaga dalam itu, sama sekali ia tidak boleh menggunakan Iwee-kang memukul para lawan suhunya karena hal ini amat membahayakan suhunya sendiri. Maka ia lalu menggerakkan kedua tangannya, keduanya dengan jari-jari terbuka, yang kanan menusuk ke arah mata Pouw-kai-ong sedangkan yang kiri merenggut kedok hek-giam-lo.

Perhitungan Bu Song tepat, Pouw-kai-ong yang ia serang matanya, dan tidak dapat mengelak mau tak mau harus melayaninya dengan tangkisan, yang berarti menarik tenaganya membantu Kong Lo Sengjin, sedangkan Hek-giam-lo yang selalu mengenakan kedok, tentu merupakan pantangan paling besar baginya untuk dibuka kedoknya dan pasti akan melayaninya. Kalau dia menggunakan suling, tentu hasilnya lebih baik. Namun betapapun juga, Bu Song tak sampai hati dan merasa malu harus menyerang dua orang yang tak bersiap itu dengan senjata!

Pouw-kai-ong dan Hek-giam-lo yang melihat bahayanya serangan, cepat menangkis sambil melompat mundur, melepaskan bantuan mereka pada Kong Lo Sengjin. Bu Song kini baru mau menggunakan sulingnya dan sekali sulingnya bergerak, terdengar suara melengking tinggi dan sinar suling itu membawa hawa pukulan dahsyat.

Bukan main kagetnya Hek-giam-lo dan Pouw-kai-ong karena mereka maklum bahwa tenaga dan kepandaian orang muda itu hebat bukan main, jelas tampak dari gerakan serangan itu. Sedangkan mereka berdua sudah tidak bersenjata lagi, yang tadi patah dan rusak sampyuh (sama-sama rusak) dengan senjata-senjata Kim-mo Taisu. Maka mereka hanya mengandalkan gerakan mereka yang cepat untuk mengelak dan mundur-mundur!

Sementara itu, Kim-mo Taisu yang sudah terluka hebat di sebelah dalam tubuhnya, ketika melihat betapa Kong Lo Sengjin ditinggalkan kedua orang pembantunya, cepat mengerahkan tenaga terakhir dan mendorong sekuatnya. Kong Lo Sengjin mengeluh dan tubuhnya terlempar sampai enam tujuh meter ke belakang, seperti daun kering tertiup angin, lalu roboh terbanting. Ketika ia bangkit berdiri di atas kedua tongkatnya, wajahnya pucat sekali, matanya seperti tidak bersinar lagi, dan tanpa berkata apa-apa kakek ini melangkah pergi sempoyongan seperti orang mabok.

"Bu Song, mundur!!" Kim-mo Taisu berseru.

Bu Song girang mendengar suara suhunya dan ia mencelat mundur di samping suhunya, siap membela orang tua ini. Kim-mo Taisu lalu memandang dua orang musuh itu sambil berkata, suaranya penuh wibawa,

"Apakah kalian masih hendak melanjutkan pertandingan?"

Dua orang itu, Hek-giam-lo dan Pouw-kai-ong, tentu saja menjadi jerih hati mereka. Tanpa berkata apa-apa, Hek-giam-lo mengempit tubuh Lauw Kiat dan melompat pergi dari situ bersama Pouw-kai-ong yang juga pergi mengambil jurusan lain.

Kedua tokoh ini memang telah dapat dibujuk oleh Kong Lo Sengjin untuk membantunya, bersama Ban-pi Lo-cia, dengan janji-janji muluk seperti biasa. Kini melihat betapa Kong Lo Sengjin sendiri telah dikalahkan Kim-mo Taisu dan pergi meninggalkan gelanggang tanpa mempedulikan mereka, tentu saja mereka pun tiada nafsu lagi untuk menandingi Kim-mo Taisu yang demikian saktinya. Setelah semua musuh pergi, Kim-mo Taisu terhuyung-huyung dan tentu roboh kalau saja tidak segera dipeluk oleh Bu Song.

"Bagaimana, Suhu? Hebatkah lukamu...?"

Kim-mo Taisu menggeleng kepala, menarik napas dalam lalu berdiri lagi, dibantu oleh Bu Song.

"Lukaku hebat memang, dan berat, Akan tetapi tidak apa, sudah semestinya terjadi dalam pertandingan, tidak seberat luka Kong Lo Sengjin. Akan tetapi hatiku terasa pedih dan sakit. Bu Song, kau lihatlah baik-baik di sekelilingmu... kau lihatlah mayat-mayat itu..."

Tentu saja sejak tadi Bu Song sudah melihatnya. Ratusan, mungkin ribuan mayat berserakan di sekitar lereng bukit, mayat-mayat tentara Sung dan Khitan yang belum sempat diurus orang karena perang masih terus terjadi, kejar-mengejar. Pemandangan itu amat mengerikan, juga menyedihkan.

"Bu Song, kau berlututlah!" Tiba-tiba Kim-mo Taisu berkata.

Bu Song terkejut, juga merasa heran, akan tetapi ia tidak membantah, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan suhunya.

"Bersumpahlah bahwa kau mentaati pesanku yang terakhir ini!"

Bu Song menekan perasaannya yang diselimuti kedukaan karena ia maklum akan keadaan suhunya.

"Teecu bersumpah demi Thian Yang Maha Kuasa akan mentaati pesan Suhu."

"Kau hanya boleh mempergunakan kepandaian silat yang kau miliki untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, untuk menentang yang jahat dan untuk menolong yang lemah tertindas, di samping penggunaan untuk membela diri. Kalau kau mempergunakan ilmu silatmu untuk menyombongkan kepandaian, untuk menanam permusuhan, dan untuk melampiaskan nafsu mencari kemenangan, kau... kau akan terkutuk..!"

"Teecu akan mentaati pesan Suhu ini !"

Jawab Bu Song, suaranya tegas karena keluar dari hati yang jujur. Tanpa pesan suhunya, memang ia pun berpendirian seperti yang diinginkan suhunya itu.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar