Kim-mo Taisu tertawa dan bertanya memotong kata-kata muridnya,
"Coba ceritakan bagaimana keadaan perang ketika kau tiba disini."
Ternyata ketika Bu Song tiba di medan perang yang terjadi di sekitar Pegunungan Tai-hang-san, pasukan-pasukan Sung berhasil menguasai keadaan dan memberi hajaran kepada pasukan-pasukan Khitan yang jumlahnya jauh kalah banyak. Girang hati Bu Song melihat keadaan ini dan di sepanjang jalan, sambil bertanya-tanya kepada para perajurit tentang suhunya, Kim-mo Taisu, ia membuka jalan darah dan merobohkan setiap musuh yang hendak menghalangi jalannya.
Akhirnya ia tiba di perkemahan besar itu dan pada saat itu, sedang terjadi penyerbuan hebat di perkemahan. Keadaan kacau balau dan perang terjadi dengan hebatnya. Keadaan para panglima terancam karena pihak musuh muncul seorang yang luar biasa sekali. Orang itu pakaiannya serba hitam, mukanya tertutup kedok tengkorak mengerikan, senjatanya sebuah sabit dan sepak-terjangnya pun menyeramkan. Gerakannya cepat dan tenaganya mujijat sehingga setiap orang perajurit yang berani menentangnya tentu roboh dengan tubuh terpotong menjadi dua!
Akan tetapi, para perajurit pengawal itu adalah perajurit-perajurit pilihan yang tidak takut mati. Untuk menyelamatkan para komandannya dari ancaman manusia iblis ini, puluhan orang perajurit mengurung iblis itu. Biarpun banyak sekali perajurit yang roboh malang melintang dan tewas di tangan manusia iblis ini, namun Sang Manusia Iblis tidak mampu menerobos ke dalam tenda besar untuk membunuh empat orang panglima.
Pada saat itulah Bu Song tiba di tempat itu. Melihat keadaan ini, ia menjadi marah dan sekali melompat, ia telah melompati pagar manusia yang mengeroyok manusia iblis, tiba di depan iblis itu lalu menerjang dengan suling emasnya yang ia tahu adalah senjata yang ampuh sekali.
Si Manusia Iblis itu tadi mengaku berjuluk Hek-giam-lo (Maut Hitam), kini berseru kaget karena hampir saja lehernya kena hantaman suling yang mengeluarkan sinar kuning. Ia cepat mengayun sabitnya yang tajam, ke arah pinggang Bu Song, akan tetapi dengan mudah Bu Song menangkis dengan sulingnya. Terdengar suara nyaring dan bunga api berpijar menyilaukan mata ketika kedua senjata itu bertemu. Akan tetapi Hek-giam-lo memekik kesakitan, hampir saja sabitnya terlepas dari pegangan.
Melihat betapa orang muda di depannya ini luar biasa kepandaiannya, Hek-giam-lo merasa khawatir, apalagi para perajurit pengawal yang nekat dan gagah berani itu masih mengepung. Ia mengeluarkan pekik aneh dan tubuhnya mencelat jauh, sabitnya diputar sehingga para pengawal terpaksa mundur. Kesempatan itu dipergunakan oleh Hek-giam-lo untuk melarikan diri! Setelah Hek-giam-lo lari, penyerbuan itu dengan mudah dan cepat dapat dibasmi habis. Selebihnya melarikan diri ke empat penjuru mencari selamat memasuki hutan-hutan di lereng gunung.
"Demikianlah, Suhu. Karena musuh telah dapat diusir mundur, para ciangkun memimpin barisan melakukan pengejaran ke utara dan teecu disuruh menyusul Suhu bersama sepasukan pengawal tadi," Bu Song mengakhiri ceritanya.
Kim-mo Taisu mengangguk-angguk, senang hatinya. Kemudian ia lalu mengerutkan keningnya lalu bertanya,
"Kau bilang tadi bahwa sastrawan tua Ciu Bun dan kakek sakti Bu Tek Lojin bersikap aneh sekali setelah mendengar perpaduan suara antara sajak dalam kitab dan suara suling? Coba jelaskan lagi, karena hal itu amat menarik."
Bu Song mengulang ceritanya tentang sikap Ciu Bun yang aneh setelah mendengar sajak terakhir dan iringan suara suling, kemudian betapa Bu Tek Lojin bersikap lebih aneh lagi. Dengan penuh perhatian Kim-mo Taisu mendengarkan, kemudian tiba-tiba ia berkata,
"Bagaimana bunyi sajak terakhir itu ?"
Bu Song lalu membaca sajak dengan suara bernada tinggi rendah, jelas dan berirama. Gurunya mendengarkan dan sekali saja mendengar, sebagai seorang sastrawan, Kim-mo Taisu sudah hafal. Ia menarik napas panjang dan berkata,
"Sajak yang baik dan mengandung kebenaran mutlak, namun terlalu tinggi untuk otak dan terlalu dalam untuk diselami pengertian. Hanya dapat diterima oleh rasa dan getaran. Akan kunyanyikan, coba kau iringi dengan tiupan suling, Bu Song muridku!"
Tiba-tiba Kim-mo Taisu yang tadinya menanggung nyeri di punggungnya tampak bergembira dan wajahnya berseri. Diam-diam Bu Song merasa khawatir. Dua orang tokoh golongan sastera dan silat bersikap aneh sekali mendengar perpaduan itu. Jangan-jangan suhunya juga akan bersikap aneh seperti mereka! Maka ia menjadi ragu-ragu. Siapa tahu perpaduan suara itu mengandung sesuatu yang mujijat dan jahat!
"Jangan kau khawatir, Bu Song. Ciu Bun kegirangan seperti gila karena ia memang mencari dan mengharapkan sesuatu sehingga ketika mendapatkannya ia menjadi girang luar biasa. Bu Tek Lojin terlalu banyak melakukan hal-hal yang membuat ia merasa menyesal, mungkin karena sesalnya ia bersikap sedih seperti orang gila pula. Aku tidak mengharapkan sesuatu, juga tidak menyesalkan sesuatu, maka tidak akan apa-apa kecuali mendapatkan penjernihan batin. Mulailah!"
Setelah berkata demikian, sambil duduk bersila dengan tulang punggung lurus, Kim-mo Taisu bernyanyi seperti Bu Song tadi, suaranya merdu dan nyaring.
"ADA muncul dari TIADA,
betapa mungkin mencari sumber TIADA?
Mengapa cari ujung sebuah mangkok?
Mengapa cari titik awal akhir sebuah bola?
Akhirnya semua itu kosong hampa,
sesungguhnya tidak ada apa-apa!"
Sampai tiga kali Kim-mo Taisu mengulang nyanyian ini, diiringi suara suling Bu Song yang merayu-rayu. Kemudian ia diam dan keadaan menjadi sunyi, sunyi hening dan gaib. Kim-mo Taisu memejamkan matanya. Dua butir air mata menempel di atas pipi. Napasnya tenang dan wajahnya tersenyum, seperti orang yang merasa puas dan lega. Tadinya Bu Song kaget melihat dua butir air mata, akan tetapi hatinya lega melihat wajah yang tenang tenteram itu.
"Bu Song, dengarlah baik-baik," katanya, suaranya lirih sehingga Bu Song mendekat dan duduk bersila di atas lantai, di bawah gurunya. "Ada muncul dari tiada, akan tetapi tiada itu sendiri adalah suatu keadaan, karenanya, tiada juga muncul dari ada. Maka jangan salah duga, muridku, dan jangan salah laku. Mencari sesuatu dalam arti kata mengejar-ngejar, berarti mencari kekosongan. Segala sesuatu tercipta atau terjadi karena dua kekuatan Im dan Yang di alam semesta ini, yang saling tolak, saling tarik, saling isi-mengisi. Segala sesuatu yang ada dan yang tidak ada dalam pengertian manusia, terjadi oleh Im Yang ini, kemudian segala sesuatu di alam semesta ini saling berkait, saling mempengaruhi sehingga tidak mungkin lagi dipisah-pisahkan.”
“Tidak ada yang paling penting dan tidak ada yang paling tidak penting, tidak ada yang paling tinggi ataupun paling rendah. Semua itu tali-temali dan kait-mengkait, seperti hukum Ngo-heng (Lima Anasir), Kayu, Api, Tanah, Logam, Air, saling mempengaruhi, saling membasmi juga saling menghidupkan, karenanya berputar dan terus berputar merupakan bibir mangkok. Tidak ada ujungnya dan tidak ada pangkalnya, tiada awal tiada akhir, sekali saja terganggu akan menjadi rusak sebentar dan mengakibatkan kekacauan, menjatuhkan korban, baru dapat pulih kembali, kait-mengait, berputar-putar.”
“Semua sudah sewajarnya dan sudah semestinya begitu, jadi tidak perlu dianehkan atau diherankan lagi. Semua itu kosong, lahirmu, hidupmu, sepak terjangmu, susahmu, senangmu, matimu. Semua itu kosong dan hampa belaka karena memang sudah semestinya begitu, sudah wajar, sehingga pengorbanan perasaan dan pikiran itu sia-sia dan kosong belaka. Karena sesungguhnya yang disusah-senangi, ditawa-tangisi manusia, itu bukan apa-apa. Kosong hampa dan sesungguhnya tidak ada apa-apa! Mengertikah engkau, Bu Song?"
Dengan terus terang Bu Song menjawab,
"Terlalu dalam untuk teecu, Suhu. Teecu kurang mengerti."
Kim-mo Taisu tersenyum dan membuka matanya. Sepasang matanya memancarkan sinar aneh dan tajam sekali, bening dan penuh pengertian.
"Tidak aneh, Bu Song. Memang kau masih terlalu muda untuk mudah menangkap semua itu, sungguhpun engkau sudah banyak dijadikan permainan perasaan dan jasmanimu sendiri. Nah, contohnya begini. Seorang ibu kematian anaknya yang terkasih. Apakah yang aneh dalam peristiwa ini? Tidak aneh. Anak itu terlahir, tentu saja bisa mati karena sakit atau karena sebab lain. Jadi tidak aneh, dan sewajarnyalah kalau seseorang yang dilahirkan itu akan mati, cepat atau lambat. Kuulangi lagi. Seorang ibu kematian anaknya yang terkasih. Peristiwa wajar, bukan? Kejadian itu wajar, semestinya, tidak ada sifat suka maupun duka. Sang ibu berduka, menangis dan tersiksa hatinya, merana dan merasa sengsara. Inilah yang tidak wajar!"
Bu Song kaget, terheran, jelas membayang di wajahnya.
"Mengapa kukatakan tidak wajar? Memang, karena semua ibu bersikap demikian, bagi umum hal ini adalah wajar. Namun bagi hukum alam tidaklah wajar karena tidak ada kaitannya sama sekali antara dua peristiwa itu. Disusah-senangi, atau ditawa-tangisi, peristiwa kematian itu tidaklah berubah karena tidak ada pertaliannya! Sang ibu berduka sampai jatuh sakit paru-parunya. Nah, ini wajar, karena duka itu ada hubungannya dengan paru-paru, keduanya termasuk kekuasaan Im. Karena hukum kait-mengait, tali-temali inilah maka timbul bermacam peristiwa di dunia ini, semua wajar dan semestinya.”
“Yang tidak semestinya, yang tidak wajar, mendatangkan kekacauan dan karenanya menimbulkan hal-hal lain sehingga meluas sampai menimbulkan perang, menjadikan wabah penyakit, menimbulkan bencana alam dan lain-lain karena perputarannya tidak selaras. Maka, kalau semua manusia dapat menempatkan diri masing-masing selaras dengan kehendak alam, kalau manusia dapat menyesuaikan diri dengan segala apa yang dihadapinya, menyesuaikan diri dengan segala apa yang diperbuatnya, dengan kehendak alam, maka kekuatan Im dan Yang akan berimbang, perputaran Ngo-heng akan sempurna, dunia akan tenteram dan aman."
Sampai lama keadaan menjadi hening. Akhirnya Bu Song berkata,
"Maafkan teecu, Suhu. Teecu yang masih bodoh hanya dapat menangkap secara samar-samar saja. Namun, menurut pendapat teecu, justeru menyesuaikan diri dengan kehendak alam itulah yang hanya mudah dibayangkan sukar dilaksanakan. Manusia sudah terlanjur menganggap wajar dan benar akan sesuatu yang sudah dilakukan dan dibenarkan banyak orang, sudah menjadi kebiasaan umum!”
“Daun telinga wanita menurut kehendak alam tidak ada lubangnya, akan tetapi oleh manusia dilubangi untuk tempat perhiasan telinga. Ini sudah wajar dan benar menurut pendapat umum sehingga kalau ada wanita yang daun telinganya tidak dilubangi, dia ditertawai dan dianggap menyeleweng dari kebenaran umum. Pula, manusia terikat oleh wajib, terikat oleh hal-hal yang menyangkut kemanusiaan. Betapa dapat melepaskan diri daripada kemanusiaan, Suhu? Manusia dikaruniai akal budi untuk dipergunakan. Maaf kalau kata-kata teecu keliru."
"Tidak, kau tidak keliru. Memang semua ucapanku tadi hanya dapat diterima oleh getaran perasaan. Memang manusia mempunyai wajib, yaitu wajib ikhtiar. Dan kau memang betul bahwa sukar bagi kita untuk melepaskan diri daripada kemanusiaan. Kalau tidak, tentu kita akan dicap sebagai seorang gila karena menyeleweng daripada kebiasaan umum. Kurasa cukuplah Bu Song, kelak kau akan mengerti sendiri. Kalau kau sudah hafal akan isi kitab itu, kau pelajari dan selami baik-baik. Nah, tinggalkan aku, aku hendak mengaso dan memulihkan tenagaku."
Bu Song keluar dari tenda suhunya. Di luar sunyi karena barisan sudah meninggalkan tempat itu. Hanya belasan orang pengawal tadi masih berjaga disitu, di depan satu-satunya tenda yang sengaja ditinggalkan untuk Kim-mo Taisu. Bu Song lalu menyuruh belasan orang pengawal itu menyusul barisan mereka, melapor kepada Phang-ciangkun bahwa Kim-mo Taisu selamat dan kini sedang beristirahat di situ, Enam belas orang pengawal itu memberi hormat lalu meninggalkan lereng untuk menyusul induk pasukan dan bergabung dengan teman-temannya. Kemudian Bu Song mengaso pula, dibagian belakang tenda.
Lewat tengah hari, Bu Song mendengar suara ribut-ribut di depan tenda. Baru saja ia tadi hening dalam samadhinya sehingga ia tidak memperhatikan apa yang terjadi disekitarnya. Karena terganggu samadhinya, Bu Song melompat bangun dan lari ke depan. Kiranya suhunya sudah berdiri di depan tenda dan berhadapan dengan Kong Lo Sengjin, Pouw-kai-ong, Luw Kiat dan Hek-giam-lo si manusia berkedok tengkorak seperti iblis!
"Hemm, Kong Lo Sengjin! Kau merasa penasaran melihat aku masih hidup dan datang lagi hendak melihat aku mati? Baik, kau majulah dan mari kita selesaikan urusan kita agar lekas beres!"
Kim-mo Taisu sudah siap dengan sikap tenang sekali, bahkan pedang di punggung dan kipas di pinggang belum ia ambil.
Sikap yang penuh ketenangan dan suara yang sama sekali tidak mengandung nada permusuhan itu agaknya membuat empat orang itu terpukul hati nuraninya.
"Kwee Seng! Kau selalu membawa maumu sendiri, tidak mau menurut kehendakku. Karena itu engkau harus mati, kalau tidak tentu kau hanya akan merintangi usaha kami!" kata Kong Lo Sengjin.
"Kau harus menebus kematian Suhu!" bentak Lauw Kiat sambil menggerakkan tongkatnya.
"Ha-ha, Kim-mo Taisu. Ingatkah akan penghinaan-penghinaanmu belasan tahun yang lalu? Sekarang harus kau tebus!" kata Pouw-kai-ong.
"Coba ceritakan bagaimana keadaan perang ketika kau tiba disini."
Ternyata ketika Bu Song tiba di medan perang yang terjadi di sekitar Pegunungan Tai-hang-san, pasukan-pasukan Sung berhasil menguasai keadaan dan memberi hajaran kepada pasukan-pasukan Khitan yang jumlahnya jauh kalah banyak. Girang hati Bu Song melihat keadaan ini dan di sepanjang jalan, sambil bertanya-tanya kepada para perajurit tentang suhunya, Kim-mo Taisu, ia membuka jalan darah dan merobohkan setiap musuh yang hendak menghalangi jalannya.
Akhirnya ia tiba di perkemahan besar itu dan pada saat itu, sedang terjadi penyerbuan hebat di perkemahan. Keadaan kacau balau dan perang terjadi dengan hebatnya. Keadaan para panglima terancam karena pihak musuh muncul seorang yang luar biasa sekali. Orang itu pakaiannya serba hitam, mukanya tertutup kedok tengkorak mengerikan, senjatanya sebuah sabit dan sepak-terjangnya pun menyeramkan. Gerakannya cepat dan tenaganya mujijat sehingga setiap orang perajurit yang berani menentangnya tentu roboh dengan tubuh terpotong menjadi dua!
Akan tetapi, para perajurit pengawal itu adalah perajurit-perajurit pilihan yang tidak takut mati. Untuk menyelamatkan para komandannya dari ancaman manusia iblis ini, puluhan orang perajurit mengurung iblis itu. Biarpun banyak sekali perajurit yang roboh malang melintang dan tewas di tangan manusia iblis ini, namun Sang Manusia Iblis tidak mampu menerobos ke dalam tenda besar untuk membunuh empat orang panglima.
Pada saat itulah Bu Song tiba di tempat itu. Melihat keadaan ini, ia menjadi marah dan sekali melompat, ia telah melompati pagar manusia yang mengeroyok manusia iblis, tiba di depan iblis itu lalu menerjang dengan suling emasnya yang ia tahu adalah senjata yang ampuh sekali.
Si Manusia Iblis itu tadi mengaku berjuluk Hek-giam-lo (Maut Hitam), kini berseru kaget karena hampir saja lehernya kena hantaman suling yang mengeluarkan sinar kuning. Ia cepat mengayun sabitnya yang tajam, ke arah pinggang Bu Song, akan tetapi dengan mudah Bu Song menangkis dengan sulingnya. Terdengar suara nyaring dan bunga api berpijar menyilaukan mata ketika kedua senjata itu bertemu. Akan tetapi Hek-giam-lo memekik kesakitan, hampir saja sabitnya terlepas dari pegangan.
Melihat betapa orang muda di depannya ini luar biasa kepandaiannya, Hek-giam-lo merasa khawatir, apalagi para perajurit pengawal yang nekat dan gagah berani itu masih mengepung. Ia mengeluarkan pekik aneh dan tubuhnya mencelat jauh, sabitnya diputar sehingga para pengawal terpaksa mundur. Kesempatan itu dipergunakan oleh Hek-giam-lo untuk melarikan diri! Setelah Hek-giam-lo lari, penyerbuan itu dengan mudah dan cepat dapat dibasmi habis. Selebihnya melarikan diri ke empat penjuru mencari selamat memasuki hutan-hutan di lereng gunung.
"Demikianlah, Suhu. Karena musuh telah dapat diusir mundur, para ciangkun memimpin barisan melakukan pengejaran ke utara dan teecu disuruh menyusul Suhu bersama sepasukan pengawal tadi," Bu Song mengakhiri ceritanya.
Kim-mo Taisu mengangguk-angguk, senang hatinya. Kemudian ia lalu mengerutkan keningnya lalu bertanya,
"Kau bilang tadi bahwa sastrawan tua Ciu Bun dan kakek sakti Bu Tek Lojin bersikap aneh sekali setelah mendengar perpaduan suara antara sajak dalam kitab dan suara suling? Coba jelaskan lagi, karena hal itu amat menarik."
Bu Song mengulang ceritanya tentang sikap Ciu Bun yang aneh setelah mendengar sajak terakhir dan iringan suara suling, kemudian betapa Bu Tek Lojin bersikap lebih aneh lagi. Dengan penuh perhatian Kim-mo Taisu mendengarkan, kemudian tiba-tiba ia berkata,
"Bagaimana bunyi sajak terakhir itu ?"
Bu Song lalu membaca sajak dengan suara bernada tinggi rendah, jelas dan berirama. Gurunya mendengarkan dan sekali saja mendengar, sebagai seorang sastrawan, Kim-mo Taisu sudah hafal. Ia menarik napas panjang dan berkata,
"Sajak yang baik dan mengandung kebenaran mutlak, namun terlalu tinggi untuk otak dan terlalu dalam untuk diselami pengertian. Hanya dapat diterima oleh rasa dan getaran. Akan kunyanyikan, coba kau iringi dengan tiupan suling, Bu Song muridku!"
Tiba-tiba Kim-mo Taisu yang tadinya menanggung nyeri di punggungnya tampak bergembira dan wajahnya berseri. Diam-diam Bu Song merasa khawatir. Dua orang tokoh golongan sastera dan silat bersikap aneh sekali mendengar perpaduan itu. Jangan-jangan suhunya juga akan bersikap aneh seperti mereka! Maka ia menjadi ragu-ragu. Siapa tahu perpaduan suara itu mengandung sesuatu yang mujijat dan jahat!
"Jangan kau khawatir, Bu Song. Ciu Bun kegirangan seperti gila karena ia memang mencari dan mengharapkan sesuatu sehingga ketika mendapatkannya ia menjadi girang luar biasa. Bu Tek Lojin terlalu banyak melakukan hal-hal yang membuat ia merasa menyesal, mungkin karena sesalnya ia bersikap sedih seperti orang gila pula. Aku tidak mengharapkan sesuatu, juga tidak menyesalkan sesuatu, maka tidak akan apa-apa kecuali mendapatkan penjernihan batin. Mulailah!"
Setelah berkata demikian, sambil duduk bersila dengan tulang punggung lurus, Kim-mo Taisu bernyanyi seperti Bu Song tadi, suaranya merdu dan nyaring.
"ADA muncul dari TIADA,
betapa mungkin mencari sumber TIADA?
Mengapa cari ujung sebuah mangkok?
Mengapa cari titik awal akhir sebuah bola?
Akhirnya semua itu kosong hampa,
sesungguhnya tidak ada apa-apa!"
Sampai tiga kali Kim-mo Taisu mengulang nyanyian ini, diiringi suara suling Bu Song yang merayu-rayu. Kemudian ia diam dan keadaan menjadi sunyi, sunyi hening dan gaib. Kim-mo Taisu memejamkan matanya. Dua butir air mata menempel di atas pipi. Napasnya tenang dan wajahnya tersenyum, seperti orang yang merasa puas dan lega. Tadinya Bu Song kaget melihat dua butir air mata, akan tetapi hatinya lega melihat wajah yang tenang tenteram itu.
"Bu Song, dengarlah baik-baik," katanya, suaranya lirih sehingga Bu Song mendekat dan duduk bersila di atas lantai, di bawah gurunya. "Ada muncul dari tiada, akan tetapi tiada itu sendiri adalah suatu keadaan, karenanya, tiada juga muncul dari ada. Maka jangan salah duga, muridku, dan jangan salah laku. Mencari sesuatu dalam arti kata mengejar-ngejar, berarti mencari kekosongan. Segala sesuatu tercipta atau terjadi karena dua kekuatan Im dan Yang di alam semesta ini, yang saling tolak, saling tarik, saling isi-mengisi. Segala sesuatu yang ada dan yang tidak ada dalam pengertian manusia, terjadi oleh Im Yang ini, kemudian segala sesuatu di alam semesta ini saling berkait, saling mempengaruhi sehingga tidak mungkin lagi dipisah-pisahkan.”
“Tidak ada yang paling penting dan tidak ada yang paling tidak penting, tidak ada yang paling tinggi ataupun paling rendah. Semua itu tali-temali dan kait-mengkait, seperti hukum Ngo-heng (Lima Anasir), Kayu, Api, Tanah, Logam, Air, saling mempengaruhi, saling membasmi juga saling menghidupkan, karenanya berputar dan terus berputar merupakan bibir mangkok. Tidak ada ujungnya dan tidak ada pangkalnya, tiada awal tiada akhir, sekali saja terganggu akan menjadi rusak sebentar dan mengakibatkan kekacauan, menjatuhkan korban, baru dapat pulih kembali, kait-mengait, berputar-putar.”
“Semua sudah sewajarnya dan sudah semestinya begitu, jadi tidak perlu dianehkan atau diherankan lagi. Semua itu kosong, lahirmu, hidupmu, sepak terjangmu, susahmu, senangmu, matimu. Semua itu kosong dan hampa belaka karena memang sudah semestinya begitu, sudah wajar, sehingga pengorbanan perasaan dan pikiran itu sia-sia dan kosong belaka. Karena sesungguhnya yang disusah-senangi, ditawa-tangisi manusia, itu bukan apa-apa. Kosong hampa dan sesungguhnya tidak ada apa-apa! Mengertikah engkau, Bu Song?"
Dengan terus terang Bu Song menjawab,
"Terlalu dalam untuk teecu, Suhu. Teecu kurang mengerti."
Kim-mo Taisu tersenyum dan membuka matanya. Sepasang matanya memancarkan sinar aneh dan tajam sekali, bening dan penuh pengertian.
"Tidak aneh, Bu Song. Memang kau masih terlalu muda untuk mudah menangkap semua itu, sungguhpun engkau sudah banyak dijadikan permainan perasaan dan jasmanimu sendiri. Nah, contohnya begini. Seorang ibu kematian anaknya yang terkasih. Apakah yang aneh dalam peristiwa ini? Tidak aneh. Anak itu terlahir, tentu saja bisa mati karena sakit atau karena sebab lain. Jadi tidak aneh, dan sewajarnyalah kalau seseorang yang dilahirkan itu akan mati, cepat atau lambat. Kuulangi lagi. Seorang ibu kematian anaknya yang terkasih. Peristiwa wajar, bukan? Kejadian itu wajar, semestinya, tidak ada sifat suka maupun duka. Sang ibu berduka, menangis dan tersiksa hatinya, merana dan merasa sengsara. Inilah yang tidak wajar!"
Bu Song kaget, terheran, jelas membayang di wajahnya.
"Mengapa kukatakan tidak wajar? Memang, karena semua ibu bersikap demikian, bagi umum hal ini adalah wajar. Namun bagi hukum alam tidaklah wajar karena tidak ada kaitannya sama sekali antara dua peristiwa itu. Disusah-senangi, atau ditawa-tangisi, peristiwa kematian itu tidaklah berubah karena tidak ada pertaliannya! Sang ibu berduka sampai jatuh sakit paru-parunya. Nah, ini wajar, karena duka itu ada hubungannya dengan paru-paru, keduanya termasuk kekuasaan Im. Karena hukum kait-mengait, tali-temali inilah maka timbul bermacam peristiwa di dunia ini, semua wajar dan semestinya.”
“Yang tidak semestinya, yang tidak wajar, mendatangkan kekacauan dan karenanya menimbulkan hal-hal lain sehingga meluas sampai menimbulkan perang, menjadikan wabah penyakit, menimbulkan bencana alam dan lain-lain karena perputarannya tidak selaras. Maka, kalau semua manusia dapat menempatkan diri masing-masing selaras dengan kehendak alam, kalau manusia dapat menyesuaikan diri dengan segala apa yang dihadapinya, menyesuaikan diri dengan segala apa yang diperbuatnya, dengan kehendak alam, maka kekuatan Im dan Yang akan berimbang, perputaran Ngo-heng akan sempurna, dunia akan tenteram dan aman."
Sampai lama keadaan menjadi hening. Akhirnya Bu Song berkata,
"Maafkan teecu, Suhu. Teecu yang masih bodoh hanya dapat menangkap secara samar-samar saja. Namun, menurut pendapat teecu, justeru menyesuaikan diri dengan kehendak alam itulah yang hanya mudah dibayangkan sukar dilaksanakan. Manusia sudah terlanjur menganggap wajar dan benar akan sesuatu yang sudah dilakukan dan dibenarkan banyak orang, sudah menjadi kebiasaan umum!”
“Daun telinga wanita menurut kehendak alam tidak ada lubangnya, akan tetapi oleh manusia dilubangi untuk tempat perhiasan telinga. Ini sudah wajar dan benar menurut pendapat umum sehingga kalau ada wanita yang daun telinganya tidak dilubangi, dia ditertawai dan dianggap menyeleweng dari kebenaran umum. Pula, manusia terikat oleh wajib, terikat oleh hal-hal yang menyangkut kemanusiaan. Betapa dapat melepaskan diri daripada kemanusiaan, Suhu? Manusia dikaruniai akal budi untuk dipergunakan. Maaf kalau kata-kata teecu keliru."
"Tidak, kau tidak keliru. Memang semua ucapanku tadi hanya dapat diterima oleh getaran perasaan. Memang manusia mempunyai wajib, yaitu wajib ikhtiar. Dan kau memang betul bahwa sukar bagi kita untuk melepaskan diri daripada kemanusiaan. Kalau tidak, tentu kita akan dicap sebagai seorang gila karena menyeleweng daripada kebiasaan umum. Kurasa cukuplah Bu Song, kelak kau akan mengerti sendiri. Kalau kau sudah hafal akan isi kitab itu, kau pelajari dan selami baik-baik. Nah, tinggalkan aku, aku hendak mengaso dan memulihkan tenagaku."
Bu Song keluar dari tenda suhunya. Di luar sunyi karena barisan sudah meninggalkan tempat itu. Hanya belasan orang pengawal tadi masih berjaga disitu, di depan satu-satunya tenda yang sengaja ditinggalkan untuk Kim-mo Taisu. Bu Song lalu menyuruh belasan orang pengawal itu menyusul barisan mereka, melapor kepada Phang-ciangkun bahwa Kim-mo Taisu selamat dan kini sedang beristirahat di situ, Enam belas orang pengawal itu memberi hormat lalu meninggalkan lereng untuk menyusul induk pasukan dan bergabung dengan teman-temannya. Kemudian Bu Song mengaso pula, dibagian belakang tenda.
Lewat tengah hari, Bu Song mendengar suara ribut-ribut di depan tenda. Baru saja ia tadi hening dalam samadhinya sehingga ia tidak memperhatikan apa yang terjadi disekitarnya. Karena terganggu samadhinya, Bu Song melompat bangun dan lari ke depan. Kiranya suhunya sudah berdiri di depan tenda dan berhadapan dengan Kong Lo Sengjin, Pouw-kai-ong, Luw Kiat dan Hek-giam-lo si manusia berkedok tengkorak seperti iblis!
"Hemm, Kong Lo Sengjin! Kau merasa penasaran melihat aku masih hidup dan datang lagi hendak melihat aku mati? Baik, kau majulah dan mari kita selesaikan urusan kita agar lekas beres!"
Kim-mo Taisu sudah siap dengan sikap tenang sekali, bahkan pedang di punggung dan kipas di pinggang belum ia ambil.
Sikap yang penuh ketenangan dan suara yang sama sekali tidak mengandung nada permusuhan itu agaknya membuat empat orang itu terpukul hati nuraninya.
"Kwee Seng! Kau selalu membawa maumu sendiri, tidak mau menurut kehendakku. Karena itu engkau harus mati, kalau tidak tentu kau hanya akan merintangi usaha kami!" kata Kong Lo Sengjin.
"Kau harus menebus kematian Suhu!" bentak Lauw Kiat sambil menggerakkan tongkatnya.
"Ha-ha, Kim-mo Taisu. Ingatkah akan penghinaan-penghinaanmu belasan tahun yang lalu? Sekarang harus kau tebus!" kata Pouw-kai-ong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar