FB

FB


Ads

Selasa, 07 Mei 2019

Suling Emas Jilid 156

Kiranya Gan-lopek hanya melayani mereka dengan sepasang mouw-pitnya. Pedangnya masih tergantung di pinggang, sama sekali tidak ia pergunakan. Akan tetapi sepasang mouw-pitnya hebat. Ketika tubuhnya berkelebatan dengan pinggul megal-megol seperti orang menari agogo, kedua tangannya bergerak cepat, terdengar teriakan-teriakan marah.

Sebentar saja enam orang tinggi besar sudah tidak bisa berkelahi lagi karena mereka menggunakan kedua tangan mereka yang menjadi gelap karena dicoret-coret oleh sepasang mouw-pit sehingga muka mereka itu coreng-moreng dengan warna hitam dan putih sedangkan mata mereka penuh tinta! Kemudian mereka roboh seorang demi seorang tertotok gagang mouw-pit.

Sayang Gan-lopek orangnya suka bergurau. Kalau saja ia cepat-cepat merobohkan dua belas orang itu tanpa bergurau seperti itu, agaknya ia masih akan sempat membantu Kim-mo Taisu yang terdesak hebat. Ketika Gan-lopek sedang enak-enaknya membabati roboh dua belas orang tinggi besar itu seperti orang membabat rumput saja, tiba-tiba ia merasa angin menyambar hebat dan dahsyat dari belakangnya, didahului suara Kim-mo Taisu,

"Gan-lopek, awas!"

Gan-lopek terkejut, cepat menggerakkan kedua tangan ke belakang, menangkis dengan sepasang mouw-pitnya. Akan tetapi terdengar suara keras, sepasang mouw-pitnya patah dan pundak kanannya kena hantam ujung cambuk di tangan Ban-pi Lo-cia yang telah menyerang Gan-lopek ketika melihat Gan-lopek merobohkan dua belas orang tukang jala.

"Aduuhh...!"

Gan-lopek roboh terguling dan terus ia menggulingkan tubuhnya untuk menghindari serangan susulan. Sambil bergulingan Gan-lopek muntahkan darah segar, tanda bahwa hantaman pada pundaknya tadi telah mengakibatkan luka berat di sebelah dalam tubuhnya. Akan tetapi cambuk hitam itu bagaikan tangan maut terus mengejarnya untuk memberi pukulan maut terakhir.

Melihat keadaan ini, Kim-mo Taisu berseru keras, pedangnya bergerak menjadi sinar panjang ke depan, membuat para pengeroyoknya kaget dan mundur. Kesempatan ini ia pergunakan untuk menggerakkan tubuhnya, meloncat dan melayang ke arah Ban-pi Lo-cia sambil mengirim tusukan dengan pedang ke arah punggung kakek raksasa itu.

Ban-pi Lo-cia tengah mendesak Gan-lopek yang bergulingan. Mendengar angin serangan dari belakang, raksasa Khitan itu cepat membalikkan tubuh sambil mengayun Lui-kong-pian, yaitu cambuk hitamnya yang ampuh itu.

Kim-mo Taisu sudah menduga akah hal ini, cepat menggerakkan kipasnya ketika kakinya sudah turun di atas tanah sambil mengerahkan sin-kang, mencipta tenaga melekat. Begitu bertemu kipas, cambuk Lui-kong-pian itu tak dapat terlepas dari kipas dan pada saat itu pedang Kim-mo Taisu datang menusuk dada.

Ban-pi Lo-cia cepat mengerahkan tenaga Hek-see-ciang di tangan kirinya, menghantam ke arah lambung Kim-mo Taisu tanpa mempedulikan tusukan pedang. Dalam keadaan berbahaya itu, kakek raksasa ini agaknya ingin mengadu nyawa, mengajak mati bersama. Namun Kim-mo Taisu tidak sudi menerima ajakan ini, pedangnya yang menusuk otomatis bergerak membabat ke bawah.

"Crakkk!""

Buntunglah lengan kiri Ban-pi Lo-cia sebatas bawah siku. Darah menyemprot akan tetapi sedikitpun tidak terdengar keluhan Ban-pi Lo-cia, bahkan kakek itu tertawa bergelak dan cambuknya yang kini sudah terlepas, menyambar pula.

Kim-mo Taisu melihat sambaran cambuk ditambah serangan dari belakang tentu dari seorang di antara para pengeroyok, cepat merebahkan diri ke bawah, bergulingan dan melihat kesempatan baik, ia meloncat ke atas dan mengerjakan pedangnya yang tak dapat dielakkan lagi oleh Ban-pi Lo-cia yang sudah terhuyung-huyung. Pedang menancap di perutnya yang gendut.

Kim-mo Taisu menyontek pedang ke atas lalu meloncat sambil mencabut pedang. Ban-pi Lo-cia makin keras tertawa bergelak, akan tetapi kini ia tertawa sambil memandang ususnya yang keluar dari lubang besar di perut, dipegangnya usus itu dengan kedua tangannya. Akan tetapi ia terhuyung lalu roboh berkelojotan.

Hasil menewaskan seorang musuh besar ini bukan didapat dengan mudah begitu saja oleh Kim-mo Taisu. Tanpa pencurahan tenaga dan perhatian yang menyeluruh dalam serangan ini, tidak mungkin ia akan mampu merobohkan seorang sakti seperti Ban-pi Lo-cia. Dan karena pencurahan perhatian yang menyeluruh inilah, maka Kim-mo Taisu menebus dengan pengorbanan dirinya.






Ketika Kim-mo Taisu bergulingan ke bawah tadi, dari belakang telah menyambar serangan hebat yang datang dari pukulan tongkat Pouw-kai-ong. Dengan gerakan berguling ia berhasil menghindarkan ancaman tongkat Pouw-kai-ong, bahkan berhasil menusuk dan menewaskan Ban-pi Lo-cia. Namun selagi ia menusuk dan menyontekkan pedangnya ke atas lalu dicabut dan siap meloncat mundur, tiba-tiba datang pukulan yang hebat dari arah kiri sedangkan dari arah kanannya menyambar tongkat Pouw-kai-ong, dari belakang juga ia ditusuk oleh tongkat di tangan Lauw Kiat, murid Ban-pi Lo-cia yang marah sekali melihat suhunya tewas.

Pada saat itu, Kim-mo Taisu baru saja meloncat, kedudukan kedua kakinya masih belum menginjak tanah dengan kuat. Terpaksa ia menggerakkan tubuh miring sehingga ia dapat menangkis tongkat Lauw Kiat dengan pedang dan menyampok tongkat Pouw-kai-ong dengan kipas.

Maksudnya hendak melanjutkan tangkisan pedangnya itu terus ke kanan membabat pukulan yang anginnya dahsyat dan membuntungkan lengan Kong Lo Sengjin. Namun terlambat. Kiranya Kong Lo Sengjin tidak memukul ke arah yang tadi, melainkan mengirim pukulan jarak jauh ke arah punggung.

Kim-mo Taisu yang sedang menangkis dua tongkat itu tak sempat lagi mengelak. Punggungnya terkena pukulan jarak jauh dan ia terguling! Sebagai seorang ahli silat yang tinggi ilmunya, pukulan jarak jauh itu hanya mampu membuat ia terguling saja. Cepat ia terus menggelinding sambil menggerakkan pedang dan kipasnya menjaga diri. Akan tetapi ketika ia meloncat berdiri, tubuhnya terhuyung-huyung dan ia merasa punggungnya sakit dan kaku!

Inilah hebatnya Kong Lo Sengjin dan ini pula yang menyebabkan ia dahulu dijuluki Sin-jiu (Kepalan Sakti). Kakek ini memiliki ilmu pukulan tangan kosong yang ampuh. Orang-orang yang kepandaiannya rendah, sekali terkena sambaran angin pukulannya akan roboh dan tewas seketika. Kim-mo Taisu memang kuat dan bukanlah seorang lawan berilmu rendah.

Akan tetapi tadi ia sedang menangkis dan ternyata kakek lumpuh itu telah mengirim pukulan tepat pada saat ia menangkis dan dengan tepat pula memilih bagian yang pada saat itu "kosong". Tadi Kim-mo Taisu menangkis dengan pengerahan tenaga sin-kang karena maklum bahwa kedua tongkat itu digerakkan oleh dua lawan yang lihai. Oleh karena inilah maka tentu saja tenaga sin-kangnya dipergunakan dan disalurkan ke dalam kedua lengan sehingga bagian punggungnya yang amat kuat itu menjadi kosong dan lemah.

Kim-mo Taisu terkejut, maklum bahwa ia telah menderita luka berat. Ia memuntahkan darah hidup, akan tetapi segera dapat mengatur pernapasan dan serangan berikutnya dari ketiga orang itu dapat ia hadapi lagi dengan gerakan yang cukup kuat dan cepat. Memang hebat kekuatan Kim-mo Taisu, kuat dan ulet berani dan pantang mundur.

"Taisu, mari lari...!"

Dengan suara lemah Gan-lopek yang sudah terluka pun itu mengajak. Gan-lopek terluka hebat oleh pukulan ujung cambuk Ban-pi Lo-cia, dan tak mungkin kuat lagi menghadapi lawan-lawan yang tangguh itu, maka ia mengajak Kim-mo Taisu melarikan diri. Ia melompat pergi dari tempat itu. Akan tetapi Kim-mo Taisu tidak mau melarikan diri. Ia melawan terus dengan nekat sungguhpun punggungnya terasa makin sakit.

Gan-lopek berlari pergi sambil menarik napas panjang. Tentu saja ia tidak bisa nekat seperti Kim-mo Taisu. Dia adalah orang luar yang tidak tahu-menahu tentang urusan mereka. Kalau tadi ia turun tangan membantu Kim-mo Taisu adalah karena ia melihat dua belas orang Khitan itu hendak menggunakan jala yang ia kenal dan tahu amat berbahaya itu.

Pula ia memang merasa simpati dan suka kepada Kim-mo Taisu yang namanya terkenal harum. Ia sudah turun tangan menolong Kim-mo Taisu dengan jalan merobohkan dua belas orang tukang jala. Dan ia pun baru saja tertolong oleh Kim-mo Taisu dari ancaman maut di tangan Ban-pi Lo-cia. Sudah impas. Akan tetapi dia sudah terluka dan tak mungkin nekat memberikan nyawanya tanpa sebab. Kim-mo Taisu boleh nekat, mungkin mempunyai alasan yang kuat untuk tidak melarikan diri.

Memang wawasan Gan-lopek itu benar. Andaikata Kim-mo Taisu tidak berhadapan dengan Kong Lo Sengjin, agaknya ia pun akan melarikan diri. Lawan juga menggunakan kecurangan dengan mengeroyok, maka melarikan diri bukanlah hal yang memalukan. Akan tetapi sekarang ia berhadapan dengan Kong Lo Sengjin. Semua perhitungan harus diselesaikan saat itu juga.

Pertandingan antara Kim-mo Taisu dikeroyok tiga orang lawannya masih berjalan seru. Biarpun Kim-mo Taisu telah terluka berat, akan tetapi pihak pengeroyok juga telah kehilangan Ban-pi Lo-cia. Kini Kim-mo Taisu hanya dapat membatasi diri dengan bertahan karena kalau ia terlalu banyak menghamburkan tenaga untuk menyerang, tentu keadaannya akan makin payah dan berbahaya.

Pada saat lawan menyerang saja ia mengandalkan kegesitannya mengelak sambil balas menyerang dan dengan cara ini ia dapat menghemat tenaganya. Ia sudah bertekad bahwa biarpun akhirnya ia kalah dan tewas, ia harus dapat merobohkan Kong Lo Sengjin lebih dahulu!

Pada saat yang amat berbahaya bagi Kim-mo Taisu itu, tiba-tiba muncullah Bu Song dan sepasukan tentara. Melihat suhunya dikeroyok dan keadaannya payah, Bu Song mengeluarkan suara melengking tinggi dan mendahului pasukan itu meloncat ke depan. Munculnya Bu Song mengagetkan tiga orang yang mengeroyok. Kim-mo Taisu seorang diri saja sudah cukup berat dan sukar dirobohkan, apalagi datang bala bantuan belasan orang banyaknya!

Mereka terdiri dari orang-orang yang licik dan curang, maka begitu melihat pihak mereka terancam, tanpa dikomando lagi mereka lalu melompat pergi dan Luw Kiat yang pergi lebih dulu menyambar jenazah gurunya.

Bu Song cepat menghampiri suhunya yang berdiri terhuyung-huyung. "Suhu...!" tegurnya penuh khawatir.

Kim-mo Taisu menggeleng kepala.
"Tidak apa-apa. Dari mana kau? Mengapa kesini?"

"Teecu baru saja datang. Dari kota raja mendengar akan keberangkatan Suhu bersama barisan. Teecu menyusul dan hendak membantu. Di lereng gunung barisan kita telah berhasil memukul mundur musuh dan kini sedang mengadakan pengejaran. Phang-ciangkun yang melihat Suhu belum juga kembali, menyuruh teecu menyusul kesini dengan pasukan pengawal. Apakah Suhu terluka?"

Biarpun mukanya pucat dan punggungnya nyeri, Kim-mo Taisu masih sanggup melakukan perjalanan cepat bersama muridnya, mendahului pasukan turun dari puncak. Akan tetapi begitu tiba di perkemahan, pendekar ini kembali muntahkan darah segar dan roboh pingsan. Bu Song menyambar tubuh suhunya, memondongnya ke dalam perkemahan dan membaringkannya, lalu merawatnya.

Setelah siuman Kim-mo Taisu berkata,
"Kong Lo Sengjin hebat sekali pukulannya. Akan tetapi tidak cukup hebat untuk merenggut nyawaku. Bu Song, kau cepat ceritakan pengalamanmu. Berhasilkah?" Setelah bertanya demikian, Kim-mo Taisu lalu duduk bersila dan mengatur napas.

Bu Song yang maklum bahwa suhunya perlu mengaso dan memulihkan kesehatannya, segera menuturkan pengalamannya di Pek-coa-to dan perjumpaannya dengan Bu Tek Lojin. Perjalanannya berhasil baik dan merupakan berita menyenangkan, maka ia berani bercerita kepada suhunya.

Benar saja, biarpun matanya dipejamkan, wajah Kim-mo Taisu berseri-seri mendengar penuturan muridnya. Ia masih mengatur napasnya, panjang-panjang, menarik napas sehingga dadanya mekar dan perutnya mengempis, ditahannya lama-lama baru dikeluarkan seenaknya. Begitu terus menerus. Kemudian ia membuka kedua matanya, memandang muridnya.

"Keluarkan suling itu " katanya lirih.

Dengan hati bangga dan girang dapat menyenangkan hati suhunya, Bu Song mengeluarkan suling emas dari balik jubahnya, menyerahkan suling itu kepada suhunya. Akan tetapi Kim-mo Taisu tidak memegang suling itu, hanya memandang dan berkata,

"Memang betul ini suling emas, hadiah Bu Kek Siansu kepada sastrawan Ciu Bun. Apakah sudah kau pelajari cara meniupnya untuk mengiringi sajak dalam kitab?"

"Sudah, Suhu."

"Coba kau mainkan suling itu dalam gerakan Pat-sian Kiam-hoat."

Bu Song melangkah mundur, lalu menggerakkan suling melakukan jurus-jurus Pat-sian Kiam-hoat. Baru tiga jurus suhunya sudah berkata,

"Cukup! Kau sungguh bernasib baik sekali, muridku. Sekarang aku tidak khawatir lagi. Dengan bantuan Bu Tek Lojin, kau sudah melampaui gurumu...."

"Ah, mana bisa begitu, Suhu? Murid yang bodoh..."






Tidak ada komentar:

Posting Komentar