FB

FB


Ads

Minggu, 05 Mei 2019

Suling Emas Jilid 155

Tiba-tiba dari belakang pohon-pohon di sekitar lapangan itu muncul empat orang yang bergerak cepat menghampirinya. Paling depan ia mengenal Kong Lo Sengjin yang "berjalan" di atas kedua tongkatnya. Akan tetapi alangkah kaget, heran dan juga girangnya ketika melihat bahwa orang ke dua adalah Ban-pi Lo-cia! Tanpa ia cari-cari kini musuh-musuh besarnya telah berkumpul sehingga mudah baginya untuk segera menyelesaikan perhitungan lama!

Dasar seorang yang berwatak pendekar, Kim-mo Taisu hanya teringat akan keuntungan perjumpaan ini, sama sekali tidak ingat bahwa Kong Lo Sengjin dan Ban-pi Lo-cia menjadi satu merupakan lawan yang bukan main beratnya, belum lagi ditambah dua orang yang berada di belakang mereka.

Adapun dua orang itu juga bukan orang sembarangan, karena yang satu adalah Pouw-kai-ong, Si Raja Pengemis yang jahat dan licik, memiliki kepandaian yang aneh sekali, sedangkan orang ke dua adalah Lauw Kiat, murid Ban-pi Lo-cia yang tentu saja tinggi ilmunya dan semenjak dahulu mengeroyoknya tentu kini telah bertambah ilmunya.

Akan tetapi Kim-mo Taisu sama sekali tidak merasa gentar. Memang harus ia akui bahwa bersatunya Kong Lo Sengjin dengan Ban-pi Lo-cia, merupakan hal yang tidak ia sangka-sangka dan memang kedua orang itu ditambah Pouw-kai-ong dan Lauw Kiat merupakan lawan yang berat sekali, jauh lebih berat ketika ia dikeroyok oleh Ban-pi Lo-cia, Pouw-kai-ong, dan Ma Thai Kun dahulu.

Namun selama belasan tahun ini pun ilmunya sendiri sudah mendapat kemajuan pesat. Dahulu ia terhitung masih muda, dan kini ia sudah dapat mematangkan ilmu kepandaiannya, sedangkan dua orang lawannya yang paling pandai, Ban-pi Lo-cia dan Kong Lo Sengjin, sudah terlalu tua sekarang dan karenanya tentu berkurang tenaganya.

"Hemm, siapa duga Sin-jiu Couw Pa Ong yang dahulu terkenal sebagai seorang patriot sejati, seorang pembela tanah air dan negara sampai mengorbankan kedua kakinya, kini menyeberang kepada musuh dan tidak malu dalam usia tua merubah diri menjadi seorang penghianat yang serendah-rendahnya karena bersekutu dengan orang Khitan!"

Kim-mo Taisu menegur karena memang hatinya merasa tertusuk dan marah bukan main menyaksikan paman mendiang isterinya itu bersekutu dengan Ban-pi Lo-cia.

"Berlaku curang, menggunakan orang Hui-to-pang membunuh keponakannya sendiri dan melemparkan fitnah kepada orang lain adalah biasa, akan tetapi menghianati negara adalah kejahatan yang rendah, yang akan mendatangkan noda yang tak terhapuskan selama tujuh keturunan !"

Marahlah Kong Lo Sengjin mendengar ini. Marah luar biasa sehingga mukanya menjadi pucat, alisnya berdiri dan rambutnya yang sudah awut-awutan itu seketika seperti menjadi kaku. Ia melangkah lebar dengan tongkatnya mendekati Kim-mo Taisu dan memaki dengan bentakan keras.

"Tutup mulutmu! Kwee Seng, kau anak kecil tahu apa tentang perjuangan? Ketika kau belum terlahir aku sudah berjuang membela negara. Sekarang kau berani memberi kuliah tentang perjuangan kepadaku? Keparat !"

Kim-mo Taisu tersenyum mengejek
"Justeru karena kau sudah terlalu tua maka engkau menjadi pikun. Sudah layak kalau orang dinilai dari perbuatannya paling akhir. Seribu perbuatan baik akan terhapus oleh sebuah perbuatan buruk. Seribu perbuatan buruk dapat saja dicuci oleh sebuah perbuatan baik terakhir. Kong Lo Sengjin, kau sudah tua, mendekati saat kematian, mengapa tidak menyiapkan bekal yang baik malah menumpuk dosa dan kecemaran? Mengapa tidak mencari jalan terang malah tersesat dalam kegelapan? Mengapa seorang patriot berubah menjadi penghianat ?"

"Setan neraka !" Kong Lo Sengjin semakin marah. "Aku sudah mengorbankan seluruh keluargaku untuk negara, bahkan mengorbankan kedua kakiku! Aku memang menyuruh bunuh isterimu untuk membangkitkan semangatmu agar kau mengikuti jejakku! Kau yang baru berkorban isteri saja sudah ribut dan hendak membalasku. Jangan kira aku takut. Kini kau menuduhku yang bukan-bukan. Kau anak kecil tahu apa? Semenjak Kerajaan Tang runtuh, selama setengah abad rakyat kita ditindas oleh raja-raja lalim.”

“Mula-mula mereka baik, akan tetapi akhirnya sama saja. Keadaan begini harus diakhiri dan bangsa Khitan yang jaya sajalah yang akan dapat membantu merubah keadaan. Dengan bantuan bangsa Khitan, aku akan mendirikan kembali Kerajaan Tang yang megah! Kau, Kim-mo Taisu, kalau kau mau membantu kami, aku dan sahabat-sahabatku ini akan melupakan segala urusan diantara kita yang sudah lewat, dan mari kita bangun kembali Kerajaan Tang dengan bantuan sahabat-sahabat Khitan. Kelak kau akan menjadi raja muda, karena kau masih terhitung mantu keponakanku!"

Kim-mo Taisu memandang dengan mata terbelalak, kemudian bertanya, suaranya perlahan dan lirih,

"Dan kau...kau menjadi kaisarnya?"






"Siapa lagi? Akulah raja muda Kerajaan Tang yang terakhir!" jawab Kong Lo Sengjin sambil membusungkan dada.

Celaka, pikir Kim-mo Taisu. Kakek ini sudah menjadi gila! Menjadi Kaisar Kerajaan Tang yang dibangun dengan bantuan bangsa Khitan? Sama saja dengan memasukkan barisan srigala ke dalam rumah. Apakah kalau seandainya bangsa Khitan berhasil, mereka mau menyerahkan kekuasaan kepada Kong Lo Sengjin? Kepada seorang kakek lumpuh? Membayangkan betapa kerajaan dikuasai oleh seorang kaisar lumpuh, Kim-mo Taisu menjadi geli hatinya dan tak tertahankan lagi ia tertawa tergelak.

"Ha-ha-ha! Kong Lo Sengjin, kiranya engkau sudah menjadi gila! Tak usah kau melamunkan yang bukan-bukan karena sekarang juga kau harus menebus kematian isteriku dengan nyawamu! Adapun teman-temanmu ini, terutama sekali Ban-pi Lo-cia, juga takkan lepas dari tanganku karena dia harus menebus kematian adik isteriku. Kong Lo Sengjin, tahukah engkau bahwa adik kembar Gin Lin yang bernama Khu Kim Lin tewas karena kekejian dan kebiadaban manusia Khitan ini?"

"Tutup mulut ! Urusan pribadi tidak penting, yang penting urusan negara!"

Kong Lo Sengjin sudah menjadi marah sekali dan menerjang Kim-mo Taisu dengan kedua tongkatnya yang bergerak-gerak bergantian secara dahsyat. Tentu saja kakek yang berubah wataknya ini tidak peduli betapa keponakannya mati karena Ban-pi Lo-cia, karena dia sendiripun tega menyuruh membunuh keponakannnya, isteri Kim-mo Taisu, hanya untuk kepentingan cita-citanya.

Kim-mo Taisu yang kini sudah siap untuk bertanding, cepat mengelak dengan lompatan tinggi ke kanan. Ketika kakinya kembali menyentuh bumi, tangan kanannya sudah memegang sebatang pedang, tangan kirinya memegang sebuah kipas.

Memang semenjak ia mengambil keputusan untuk mencari musuh-musuh besarnya yang terdiri dari orang-orang sakti, dan mengingat akan pengalamannya ketika ia dikeroyok tanpa memegang senjata. Kim-mo Taisu sudah mempersiapkan diri dengan sepasang senjatanya yang lengkap yaitu pedang dan kipas.

Begitu lawannya mendesak maju, sekaligus Kim-mo Taisu menggerakkan pedang dan kipas, pedangnya mainkan Pat-sian Kiam-hoat dan kipasnya mainkan Lo-hai San-hoat yang merupakan pasangan luar biasa dan hebat. Betapapun saktinya Kong Lo Sengjin menghadapi serbuan sepasang senjata aneh yang mengeluarkan angin pukulan dahsyat ini, kakek itu terhuyung ke belakang. Akan tetapi pada saat itu, Ban-pi Lo-cia sudah menerjang maju dengan cambuk hitamnya sambil tertawa,

"Ha-ha-ha, Kim-mo Taisu, sekali ini kau takkan dapat lolos dari cambukku!"

Betapa kaget hati kakek Khitan raksasa ini ketika ujung cambuknya menyambar dan dekat dengan tubuh lawan, ujung cambuk itu terpental kembali seakan-akan ada tenaga luar biasa yang menolaknya. Kiranya kebutan kipas di tangan kiri Kim-mo Taisu telah berhasil mendorong kembali ujung cambuk itu.

Dari gerakan ini saja dapat dibayangkan betapa hebat tenaga sin-kang Kim-mo Taisu dan diam-diam Ban-pi Lo-cia merasa khawatir. Ia maklum bahwa selama belasan tahun ini, Kim-mo Taisu telah mendapat kemajuan pesat sekali dan dalam hal tenaga dalam saja ia sudah tidak dapat menandingi lawannya! Biarpun begitu, kakek raksasa ini tidak takut, apalagi pada saat itu, Pouw-kai-ong dan Lauw Kiat sudah menyerbu maju untuk membantu.

Yang hebat dan tak tersangka-sangka oleh Kim-mo Taisu adalah Pouw-kai-ong. Begitu Raja Pengemis ini bergerak menggunakan sebatang tongkat pengemis, terdengar angin menderu dan serangannya berbahaya sekali. Kiranya Raja Pengemis yang sebaya dengannya itu, juga telah memperoleh kemajuan hebat.

Hanya Lauw Kiat murid Ban-pi Lo-cia sajalah yang merupakan lawan paling lemah diantara empat orang ini. Namun pengeroyokan mereka cukup berbahaya dan membuat Kim-mo Taisu harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya.

Pertandingan berlangsung dengan amat hebatnya. Betapapun dia dikurung dan tidak diberi kesempatan oleh empat orang pengeroyoknya, namun Kim-mo Taisu kadang-kadang menggunakan kesempatan untuk mengerling ke bawah puncak, untuk melihat kalau-kalau ia dibutuhkan oleh panglima bala tentara Sung.

Di bawah puncak juga terjadi perang hebat antara pasukan-pasukan Khitan melawan bala tentara Sung. Terjadilah penyembelihan manusia besar-besaran oleh kedua fihak. Penyembelihan dan pembuhuhan kejam tanpa sebab-sebab pribadi, hanya untuk memenuhi kehendak beberapa gelintir manusia yang ingin melihat cita-citanya terlaksana!

Bunuh-membunuh, yang kalah roboh dan harus mati, yang menang tertawa dan hidup. Seolah-olah yang menang lupa bahwasannya mereka pun hanya menang untuk sementara saja, menang untuk waktu yang tidak lama, karena maut tentu akan datang menjemput nyawa mereka untuk menyusul nyawa mereka yang kalah!

Pedang dan golok yang memang haus darah, menusuk membacok mencincang hancur tubuh lawan yang kalah, senang hati menyiksa yang kalah. Seolah-olah mereka ini lupa bahwasanya sebelum maut kelak mencabut nyawa mereka, akan tiba masanya mereka mengalami suka dan derita sebelum mati, mungkin jauh lebih mengerikan dan lebih sengsara daripada penderitaan mereka yang dicincang dalam perang. Lupa bahwa siksaan dalam bentuk penyakit sebelum mati kadang kala amat mengerikan dan sengsara.

Dalam mengejar hasrat dan nafsu, manusia lupa bahwa tidak ada yang menang atau kalah dalam kehidupan manusia. Yang menang mutlak dan abadi hanya Tuhan. Karena itu, bahagialah mereka yang mengabdikan diri sebagai hamba Tuhan, sebagai perajurit Tuhan yang bersenjatakan kasih, yang hanya mengharapkan damai dan tenteram di dunia, tidak ada perang, tidak ada bunuh membunuh, tidak ada benci, tidak ada dendam. Yang ada hanya kasih sayang sesama hidup, bergembira melihat orang lain bersenang, prihatin dan mengulurkan tangan menolong melihat orang lain bersusah.

Kalau hidup antar manusia sudah seperti itu, hidup antar negara tentu menjadi demikian pula. Tidak ada bentrok politik, tiada perang agama, tiada perbedaan diantara bangsa, penuh kasih, penuh toleransi. Amboi, alangkah nikmat hidup di dunia dalam keadaan seperti itu.

Kim-mo Taisu benar-benar seorang pendekar sakti. Empat orang lawannya adalah orang-orang luar biasa, ahli-ahli silat yang sudah mencapai tingkat tinggi. Bahkan yang dua orang, yaitu Kong Lo Sengjin dan Ban-pi Lo-cia adalah dua orang sakti yang merupakan tokoh-tokoh besar di dunia persilatan. Namun, sampai sejam lebih mereka bertempur, belum juga empat orang itu dapat merobohkan Kim-mo Taisu.

Betapapun juga, harus diakui bahwa keadaan Kim-mo Taisu amat berbahaya. Selain empat orang itu lihai juga mereka, terutama Ban-pi Lo-cia dan Kong-lo Sengjin, bertanding penuh semangat dan kebulatan tekad. Agaknya dua orang kakek itu maklum bahwa kali ini harus ada keputusan terakhir, mempertaruhkan nyawa untuk menang atau kalah. Hidup atau mati! Karena kenekatan inilah maka Kim-mo Taisu mulai terdesak. Ia belum mampu melukai seorang diantara empat orang pengeroyoknya yang dapat bekerja sama amat baik dan rapi, saling melindungi dan saling menjaga.

Agaknya Lauw Kiat mulai hilang sabar. Ia bersuit keras dan dari dalam hutan di puncak gunung muncullah dua belas orang Khitan yang bertubuh tinggi besar. Mereka datang membawa sebuah jala ikan. Aneh sekali mengapa sebuah jala ikan dibawa oleh dua belas orang.

Sebetulnya jala itu bukan sembarang jala, melainkan sebuah alat untuk menangkap orang sakti. Jala ini terbuat daripada bahan yang kuat sekali, tidak putus oleh sabetan senjata tajam, dan di sebelah dalamnya terdapat banyak kaitan-kaitan berbentuk pancing sehingga sekali seorang tertutup jala, betapapun saktinya, akan sukar baginya untuk lolos karena makin keras ia bergerak memberontak akan makin banyak pula kaitan-kaitan kecil berbentuk pancing manancap di tubuhnya!

"Bantu kami tangkap dia!" seru Lauw Kiat dalam bahasa Khitan.

Akan tetapi selagi dua belas orang itu mempersiapkan jala dan mengatur kedudukan mereka yang dipersulit oleh adanya pertandingan yang sedemikian cepat gerakannya, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan. Begitu tiba disitu, bayangan itu tertawa-tawa dan menyerang dua belas orang tinggi besar itu secara kalang-kabut. Dari sudut matanya Kim-mo Taisu melihat bahwa yang datang menyerang dua belas orang penebar jala itu bukan lain adalah Gan-lopek si pelukis tadi!

Benar saja dugaan Kim-mo Taisu ketika bertemu dengan kakek pelukis ini tadi. Tidak hanya pandai melukis dan melawak, Gan-lopek ini ternyata lihai pula ilmu silatnya. Setidaknya terlalu lihai untuk dua belas orang tinggi besar yang hanya pandai bermain dengan jala itu. Mereka itu adalah orang-orang Khitan yang biasa menjala ikan, biasa pula mereka menangkap anjing laut dengan jala. Tentang ilmu silat, mereka hanya tahu sedikit-sedikit, walaupun bertenaga besar.

Karena penyerbuan Gan-lopek ini tak tersangka-sangka, dua belas orang itu tidak sempat mempergunakan jala mereka, maka mereka mencabut golok besar dan menerjang kakek yang tertawa-tawa itu.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar