"Jangan kau mendendam kepada siapa juga dan untuk dapat melakukan hal ini, kau harus mematikan rasa benci terhadap siapapun juga. Hati-hatilah terhadap wanita, Bu Song. Sesungguhnya, hidup gurumu selama ini jatuh bangun hanya karena wanita, karena kelemahan hatiku terhadap wanita. Jangan mudah menjatuhkan cinta, karena bagi penghidupanku selama ini, cinta itulah yang merupakan pangkal segala derita. Leburkan rasa cintamu menjadi kasih sayang yang merata terhadap semua manusia, dan hidupmu akan penuh bahagia."
Kembali Kim-mo Taisu berhenti dan napasnya terengah-engah. Ia menekan dadanya dan wajahnya menjadi pucat sekali.
Bu Song cepat bangun dan memeluk suhunya.
"Mari kita masuk ke dalam kemah dan beristirahat, Suhu."
Kim-mo Taisu tidak membantah diajak masuk dan dibaringkan di dalam, akan tetapi ia masih sempat memberi pesan teakhir,
"Sewaktu-waktu.. pada hari pertama musim semi... datangilah puncak Thai-san. Siapa tahu kau berjodoh dengan... Bu Kek Siansu.." kata-katanya terhenti karena Kim-mo Taisu lalu muntahkan darah segar.
Bu Song terkejut dan cepat menolong. Dengan cepat tanpa ragu-ragu ia menotok beberapa jalan darah di leher dan dada suhunya seperti yang pernah ia pelajari dari suhunya, kemudian ia mengulur tangan, meletakkan telapak tangannya di dada suhunya sambil mengerahkan tenaga.
Akan tetapi tak lama kemudian Kim-mo Taisu membuka mata dan tangannya bergerak perlahan menolak tangan muridnya, bahkan memberi tanda dengan tangan agar muridnya keluar dari tenda. Ia bangkit duduk dengan susah payah. Bu song dengan hati terharu membantu gurunya bersila, kemudian melihat gurunya duduk diam meramkan mata, ia tidak berani mengganggu dan hendak keluar memenuhi permintaan gurunya dengan isyarat tangan tadi.
Pada saat itu tampak sinar menyambar-nyambar dari luar tenda. Kiranya benda-benda itu adalah hui-to (pisau terbang) yang dilontarkan dengan kuat, bagaikan anak-anak panah meluncur ke seluruh bagian tubuhnya yang berbahaya. Bu Song terkejut, namun tidak gugup. Dengan cepat dan tenang, kedua tangnnya bergerak dan berhasil menyampok runtuh pisau-pisau terbang itu, bahkan kedua kakinya berhasil menendang pergi empat buah hui-to!
"Pengecut keji!"
Ia membentak dan ternyata yang muncul adalah Hek-giam-lo bersama sepuluh orang yang semua memegang sebatang pisau seperti yang menyambar tadi. Teringatlah Bu Song ketika ia masih kecil, melihat dua orang anggota Hui-to-pang yang membunuhi lawan dengan hui-to, kemudian dua orang itu terbunuh oleh Kong Lo Sengjin. Agaknya sepuluh orang yang kini ikut dengan Hek-giam-lo ini adalah anggauta-anggauta Hu-to-pang.
"Hek-giam-lo, kau kembali mau apa? Dan sobat-sobat ini apakah orang-orang Hui-to-pang?"
"Wah, bocah ini mengenal kita!"
Seorang diantara pemegang pisau itu berseru dan tiba-tiba pisau di tangannya menyambar ke arah leher Bu Song. Bu Song sengaja memperlihatkan kepandaiannya untuk mengecilkan nyali lawan. Ia tidak mengelak, melainkan membuka mulut dan "menangkap" pisau itu dari samping dengan giginya! Kemudian sekali meniup, pisau itu meluncur cepat dan menancap pada batang pohon sampai ke gagangnya!
"Jangan mencari perkara, harap kalian pergi!" kata Bu Song, teringat akan pesan suhunya.
"Si Tua Bangka sedang terluka, serbu!"
Teriakan ini keluar dari balik kedok tengkorak dan menyerbulah sepuluh orang itu, juga Hek-giam-lo mengurung Bu Song!
Hek-giam-lo sudah mempunyai senjata baru, yaitu sabit bergagang panjang yang mengerikan. Agaknya tokoh ini memang mempunyai banyak senjata macam ini sehingga begitu senjatanya rusak, ia sudah memiliki gantinya.
Bu Song mencabut sulingnya dan cepat ia melompat ke depan menyambut serbuan mereka. Dengan pengerahan tenaga sakti, ia menangkis sabit Hek-giam-lo mengeluarkan seruan aneh seperti orang menangis ketika sabitnya dihantam membalik.
Akan tetapi Bu Song tidak dapat balas menyerang karena ia harus menghadapi para anggauta Hui-to-pang yang ternyata merupakan orang-orang lihai pula. Permainan golok mereka luar biasa, juga amat teratur merupakan barisan golok yang saling berantai, saling Bantu dan saling susul amat rapi!
Dalam kemarahannya menyaksikan kecurangan Hek-giam-lo dan orang-orang ini yang hendak mendesak gurunya yang terluka parah, Bu Song mengeluarkah semua kepandaiannya dan dengan lengking tinggi yang keluar dari lubang sulingnya, senjata istimewa ini berhasil menotok roboh seorang pengeroyok dan orang ke dua yang agaknya menjadi gentar oleh lengking suling, kena dihantam oleh tangan kiri Bu Song sehingga roboh bergulingan dan tidak mampu bangkit kembali!
"Hek-giam-lo manusia curang! Diantara Suhuku dan engkau tidak ada permusuhan, mengapa kau mendesaknya?"
Bu Song masih mampu melontarkan pertanyaan ini sambil memutar sulingnya dan berloncatan ke kanan kiri.
Akan tetapi Hek-giam-lo hanya mengeluarkan suara mendengus seperti seekor lembu, bahkan menerjang makin galak.
Bu Song teringat betapa isteri gurunya juga tewas oleh seorang tokoh Hui-to-pang yang disuruh Kong Lo Sengjin, maka kemarahannya menjadi-jadi. Ia hanya tidak mengerti mengapa Hek-giam-lo memusuhi gurunya. Bukankah Hek-giam-lo tadinya muncul dalam barisan Khitan? Mengapa pula Hek-giam-lo kini mengajak orang-orang Hui-to-pang untuk mengeroyok gurunya yang sudah terluka parah?
Tentu saja Bu Song sama sekali tidak tahu bahwa Hek-giam-lo ini bukan lain adalah Bayisan! Hek-giam-lo selalu mengenakan kedok tengkorak untuk menyembunyikan mukanya yang rusak dan mengerikan, bahkan menakutkan.
Seperti telah kita ketahui dalam bagian depan cerita ini, Bayisan yang menjadi Panglima Muda Khitan, adalah murid Ban-pi Lo-cia, murid terkasih yang telah mewarisi ilmu kepandaian kakek raksasa itu. Karena tergila-gila kepada Puteri Tayami, ia hendak memaksa puteri itu menjelang pembunuhan Raja Kulukan, ayah Puteri Tayami. Tentu saja yang melakukan pembunuhan gelap itu bukan lain adalah Bayisan sendiri yang bersekongkol dengan Pangeran Kubakan putera selir raja yang kemudian menggantikan kedudukan ayahnya yang ia suruh bunuh sendiri.
Akan tetapi, tanpa disengaja, untuk melindungi kehormatannya yang hendak diperkosa oleh Bayisan, Puteri Tayami telah menaburkan racun pada muka Bayisan yang tadinya tampan sehingga muka Bayisan terbakar dan berubah menjadi seperti muka setan yang menakutkan.
Semenjak malam itu, Bayisan melarikan diri dan tidak berani mucul lagi di muka umum. Khitan kehilangan Bayisan yang melarikah diri ke hutan-hutan. Namun diam-diam Bayisan memperdalam ilmunya dengan hati penuh dendam. Beberapa tahun kemudian, Khitan menjadi gempar dengan munculnya seorang tokoh berkedok yang menamakan diri Hek-giam-lo.
Akan tetapi karena ilmu kepandaian Si Kedok Tengkorak ini amat tinggi, ditambah pula agaknya Raja Kubakan bersahabat baik dengan Hek-giam-lo serta mempercayainya sebagai pengawal, maka tidak ada orang yang berani mencari tahu akan keadaan atau riwayatnya. Sesungguhnya, Hek-giam-lo ini pulalah yang telah diam-diam menewaskan Tayami dan suaminya, Salinga, di dalam perang. Menewaskan dengan cara curang dari belakang selagi suami dan isteri yang patriotik ini maju perang membela bangsanya!
Oleh karena Hek-giam-lo adalah murid Ban-pi Lo-cia, tentu saja ia mendendam karena Kim-mo Taisu yang telah menewaskan gurunya. Namun hal ini tidak ada seorangpun yang tahu, juga orang-orang yang terkenal di Khitan tidak ada yang tahu, tidak ada yang menduga bahwa Hek-giam-lo yang mengerikan itu sebetulnya adalah Bayisan, bekas Panglima Khitan yang dulunya tampan itu. Tentu saja hanya Raja Kubakan yang tahu dan menerima sahabatnya itu, juga sutenya (adik seperguruannya), Lauw Kiat yang kini buntung kedua kakinya oleh Kim-mo Taisu.
Tewasnya gurunya dan buntungnya kedua kaki Lauw Kiat membuat Hek-giam-lo marah sekali dan belum merasa puas kalau belum dapat membunuh Kim-mo Taisu! Inilah sebabnya mengapa ia memusuhi Kim-mo Taisu dan Bu Song yang tidak tahu duduk persoalannya, tentu saja merasa heran dan marah. Juga orang muda ini tidak tahu mengapa Hui-to-pang memusuhi Kim-mo Taisu, bahkan yang membunuh isteri gurunya, yang disuruh oleh Kong Lo Sengjin, adalah orang Hui-to-pang. Hal ini juga ada sebab-sebabnya.
Ketika Kim-mo Taisu masih merantau sebagai seorang pendekar jembel gila, di kota besar Cin-an di Propinsi Shan-tung, Kim-mo Taisu pernah bentrok dengan ketua Hui-to-pang. Persoalannya adalah karena Ketua Hui-to-pang menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya merampas dengan paksa seorang gadis yang dicintai puteranya.
Puteranya jatuh cinta kepada seorang gadis anak pedagang kulit di kota itu. Maka diajukannya pinangan. Akan tetapi ayah si gadis menolak pinangan itu dengan alasan bahwa puterinya sejak kecil telah dipertunangkan dengan keluarga lain. Sesungguhnya ayah si gadis menolak karena tidak suka bermantukan putera Ketua Hui-to-pang yang terkenal sebagai perkumpulan tukang-tukang pukul.
Kalau saja Ketua Hui-to-pang tidak mendengar akan dasar penolakan yang sesungguhnya, agaknya ia pun tidak akan memaksa setelah mendengar gadis itu sudah dipertunangkan dengan orang lain. Akan tetapi begitu mendengar alasan penolakan yang sesungguhnya, ia menjadi marah sekali. Toko Si Penjual Kulit diobrak-abrik, Si Penjual Kulit dan isterinya mati terbunuh dan anak perempuannya diculik!
Kebetulan pada hari itu Kim-mo Taisu lewat di kota itu. Mendengar peristiwa ini bangkitlah jiwa pendekarnya dan malam hari ia mendatangi gedung Ketua Hui-to-pang. Kemarahannya memuncak ketika mendengar betapa gadis itu menggantung diri sampai mati setelah menjadi korban keganasan putera Ketua Hui-to-pang.
Pertempuran terjadi dan Ketua Hui-to-pang yang tadinya memandang rendah kepada jembel gila itu dan yang marah karena Kim-mo Taisu dianggap terlalu lancang dan usil mengurusi urusan "sepele" orang lain, ternyata kalah dan terluka!
Ketika para anggauta Hui-to-pang hendak mengeroyok, Kim-mo Taisu berhasil menangkap putera Ketua Hui-to-pang dan dijadikan perisai sehingga ia berhasil keluar. Saking marahnya, ketika hendak meninggalkan tempat itu dan membebaskan putera Ketua Hui-to-pang, Kim-mo Taisu membuntungi ujung hidung dan kedua telinga pemuda hidung belang itu!
Inilah sebab-sebab permusuhan dan dendam Hui-to-pang kepada Kim-mo Taisu, dan tokoh yang berhasil dihasut Kong Lo Sengjin dan membunuh isteri Kim-mo Taisu adalah adik kandung Hui-to-pangcu (Ketua) sendiri.
Demikianlah tidak mengherankan apabila kini mereka bersekongkol dengan Hek-giam-lo untuk mengeroyok Kim-mo Taisu. Apalagi ketika mendengar dari Kong Lo Sengjin bahwa dua orang tokoh mereka yang berusaha menawan sastrawan Ciu Gwan Liong dalam usaha mereka merampas dan mencari kitab dan suling pemberian Bu Kek Siansu itu terbunuh oleh Kim-mo Taisu!
Dendam mereka makin mendalam. Memang kakek tua renta yang lumpuh, Kong Lo Sengjin, bekas raja muda itu amat licin, penuh tipu muslihat dan curang. Pandai ia melempar batu sembunyi tangan, melemparkan kesalahan ke pundak orang untuk mengadu domba!
Biarpun dua orang anggauta pimpinan Hui-to-pang sudah roboh oleh totokan suling dan pukulan tangan kiri Bu Song, namun jumlah mereka masih delapan orang dan karena kini mereka bergerak hati-hati dan tidak berani memandang rendah lawan muda ini, keadaan mereka menjadi lebih kuat daripada tadi. Apalagi Hek-giam-lo juga mendesak dengan terjangan-terjangan dahsyat. Pertandingan di luar tenda itu benar-benar seru dan mati-matian.
Namun Bu Song seperti seekor burung garuda yang mengamuk Setelah mendapat gemblengan Bu Tek Lojin, gerakannya luar biasa sekali. Apalagi senjatanya merupakan senjata yang ampuh dan aneh, terbuat daripada logam yang tampaknya seperti emas, akan tetapi sesungguhnya merupakan logam campuran yang ajaib, yang menjadi lebih ampuh lagi karena benda ini tadinya milik Bu Kek Siansu, seorang pertapa yang sudah dijuliki dewa oleh tokoh-tokoh besar persilatan.
Sepak terjangnya hebat menggetarkan para pengeroyoknya dan beberapa kali orang-orang Hui-to-pang itu kehilangan golok mereka yang terbang atau runtuh begitu terbentur suling yang mengandung tenaga sin-kang mujijat!
Tiba-tiba orang-orang Hui-to-pang ini meloncat mundur dan begitu tangan mereka bergerak, golok terbang melayang dan meluncur cepat menghujani tubuh Bu Song! Bu Song kaget dan marah sekali, Ia memutar sulingnya dan menerjang maju, dengan tidak terduga-duga ia menggunakan kedua kakinya melakukan tendangan berantai dan robohlah dua orang Hui-to-pang setelah tubuh mereka mencelat sampai lima meter lebih!
Namun pada saat itu, selagi Bu Song masih memutar sulingnya melindungi tubuh dari hujan hui-to dari empat penjuru, tiba-tiba terdengar angin keras dan berkelebatlah belasan batang hui-to yang mengeluarkan sinar menyilaukan mata! Inilah Cap-sha-hui-to (Tiga belas Golok Terbang) yang dilontarkan oleh Hek-giam-lo!
Kembali Kim-mo Taisu berhenti dan napasnya terengah-engah. Ia menekan dadanya dan wajahnya menjadi pucat sekali.
Bu Song cepat bangun dan memeluk suhunya.
"Mari kita masuk ke dalam kemah dan beristirahat, Suhu."
Kim-mo Taisu tidak membantah diajak masuk dan dibaringkan di dalam, akan tetapi ia masih sempat memberi pesan teakhir,
"Sewaktu-waktu.. pada hari pertama musim semi... datangilah puncak Thai-san. Siapa tahu kau berjodoh dengan... Bu Kek Siansu.." kata-katanya terhenti karena Kim-mo Taisu lalu muntahkan darah segar.
Bu Song terkejut dan cepat menolong. Dengan cepat tanpa ragu-ragu ia menotok beberapa jalan darah di leher dan dada suhunya seperti yang pernah ia pelajari dari suhunya, kemudian ia mengulur tangan, meletakkan telapak tangannya di dada suhunya sambil mengerahkan tenaga.
Akan tetapi tak lama kemudian Kim-mo Taisu membuka mata dan tangannya bergerak perlahan menolak tangan muridnya, bahkan memberi tanda dengan tangan agar muridnya keluar dari tenda. Ia bangkit duduk dengan susah payah. Bu song dengan hati terharu membantu gurunya bersila, kemudian melihat gurunya duduk diam meramkan mata, ia tidak berani mengganggu dan hendak keluar memenuhi permintaan gurunya dengan isyarat tangan tadi.
Pada saat itu tampak sinar menyambar-nyambar dari luar tenda. Kiranya benda-benda itu adalah hui-to (pisau terbang) yang dilontarkan dengan kuat, bagaikan anak-anak panah meluncur ke seluruh bagian tubuhnya yang berbahaya. Bu Song terkejut, namun tidak gugup. Dengan cepat dan tenang, kedua tangnnya bergerak dan berhasil menyampok runtuh pisau-pisau terbang itu, bahkan kedua kakinya berhasil menendang pergi empat buah hui-to!
"Pengecut keji!"
Ia membentak dan ternyata yang muncul adalah Hek-giam-lo bersama sepuluh orang yang semua memegang sebatang pisau seperti yang menyambar tadi. Teringatlah Bu Song ketika ia masih kecil, melihat dua orang anggota Hui-to-pang yang membunuhi lawan dengan hui-to, kemudian dua orang itu terbunuh oleh Kong Lo Sengjin. Agaknya sepuluh orang yang kini ikut dengan Hek-giam-lo ini adalah anggauta-anggauta Hu-to-pang.
"Hek-giam-lo, kau kembali mau apa? Dan sobat-sobat ini apakah orang-orang Hui-to-pang?"
"Wah, bocah ini mengenal kita!"
Seorang diantara pemegang pisau itu berseru dan tiba-tiba pisau di tangannya menyambar ke arah leher Bu Song. Bu Song sengaja memperlihatkan kepandaiannya untuk mengecilkan nyali lawan. Ia tidak mengelak, melainkan membuka mulut dan "menangkap" pisau itu dari samping dengan giginya! Kemudian sekali meniup, pisau itu meluncur cepat dan menancap pada batang pohon sampai ke gagangnya!
"Jangan mencari perkara, harap kalian pergi!" kata Bu Song, teringat akan pesan suhunya.
"Si Tua Bangka sedang terluka, serbu!"
Teriakan ini keluar dari balik kedok tengkorak dan menyerbulah sepuluh orang itu, juga Hek-giam-lo mengurung Bu Song!
Hek-giam-lo sudah mempunyai senjata baru, yaitu sabit bergagang panjang yang mengerikan. Agaknya tokoh ini memang mempunyai banyak senjata macam ini sehingga begitu senjatanya rusak, ia sudah memiliki gantinya.
Bu Song mencabut sulingnya dan cepat ia melompat ke depan menyambut serbuan mereka. Dengan pengerahan tenaga sakti, ia menangkis sabit Hek-giam-lo mengeluarkan seruan aneh seperti orang menangis ketika sabitnya dihantam membalik.
Akan tetapi Bu Song tidak dapat balas menyerang karena ia harus menghadapi para anggauta Hui-to-pang yang ternyata merupakan orang-orang lihai pula. Permainan golok mereka luar biasa, juga amat teratur merupakan barisan golok yang saling berantai, saling Bantu dan saling susul amat rapi!
Dalam kemarahannya menyaksikan kecurangan Hek-giam-lo dan orang-orang ini yang hendak mendesak gurunya yang terluka parah, Bu Song mengeluarkah semua kepandaiannya dan dengan lengking tinggi yang keluar dari lubang sulingnya, senjata istimewa ini berhasil menotok roboh seorang pengeroyok dan orang ke dua yang agaknya menjadi gentar oleh lengking suling, kena dihantam oleh tangan kiri Bu Song sehingga roboh bergulingan dan tidak mampu bangkit kembali!
"Hek-giam-lo manusia curang! Diantara Suhuku dan engkau tidak ada permusuhan, mengapa kau mendesaknya?"
Bu Song masih mampu melontarkan pertanyaan ini sambil memutar sulingnya dan berloncatan ke kanan kiri.
Akan tetapi Hek-giam-lo hanya mengeluarkan suara mendengus seperti seekor lembu, bahkan menerjang makin galak.
Bu Song teringat betapa isteri gurunya juga tewas oleh seorang tokoh Hui-to-pang yang disuruh Kong Lo Sengjin, maka kemarahannya menjadi-jadi. Ia hanya tidak mengerti mengapa Hek-giam-lo memusuhi gurunya. Bukankah Hek-giam-lo tadinya muncul dalam barisan Khitan? Mengapa pula Hek-giam-lo kini mengajak orang-orang Hui-to-pang untuk mengeroyok gurunya yang sudah terluka parah?
Tentu saja Bu Song sama sekali tidak tahu bahwa Hek-giam-lo ini bukan lain adalah Bayisan! Hek-giam-lo selalu mengenakan kedok tengkorak untuk menyembunyikan mukanya yang rusak dan mengerikan, bahkan menakutkan.
Seperti telah kita ketahui dalam bagian depan cerita ini, Bayisan yang menjadi Panglima Muda Khitan, adalah murid Ban-pi Lo-cia, murid terkasih yang telah mewarisi ilmu kepandaian kakek raksasa itu. Karena tergila-gila kepada Puteri Tayami, ia hendak memaksa puteri itu menjelang pembunuhan Raja Kulukan, ayah Puteri Tayami. Tentu saja yang melakukan pembunuhan gelap itu bukan lain adalah Bayisan sendiri yang bersekongkol dengan Pangeran Kubakan putera selir raja yang kemudian menggantikan kedudukan ayahnya yang ia suruh bunuh sendiri.
Akan tetapi, tanpa disengaja, untuk melindungi kehormatannya yang hendak diperkosa oleh Bayisan, Puteri Tayami telah menaburkan racun pada muka Bayisan yang tadinya tampan sehingga muka Bayisan terbakar dan berubah menjadi seperti muka setan yang menakutkan.
Semenjak malam itu, Bayisan melarikan diri dan tidak berani mucul lagi di muka umum. Khitan kehilangan Bayisan yang melarikah diri ke hutan-hutan. Namun diam-diam Bayisan memperdalam ilmunya dengan hati penuh dendam. Beberapa tahun kemudian, Khitan menjadi gempar dengan munculnya seorang tokoh berkedok yang menamakan diri Hek-giam-lo.
Akan tetapi karena ilmu kepandaian Si Kedok Tengkorak ini amat tinggi, ditambah pula agaknya Raja Kubakan bersahabat baik dengan Hek-giam-lo serta mempercayainya sebagai pengawal, maka tidak ada orang yang berani mencari tahu akan keadaan atau riwayatnya. Sesungguhnya, Hek-giam-lo ini pulalah yang telah diam-diam menewaskan Tayami dan suaminya, Salinga, di dalam perang. Menewaskan dengan cara curang dari belakang selagi suami dan isteri yang patriotik ini maju perang membela bangsanya!
Oleh karena Hek-giam-lo adalah murid Ban-pi Lo-cia, tentu saja ia mendendam karena Kim-mo Taisu yang telah menewaskan gurunya. Namun hal ini tidak ada seorangpun yang tahu, juga orang-orang yang terkenal di Khitan tidak ada yang tahu, tidak ada yang menduga bahwa Hek-giam-lo yang mengerikan itu sebetulnya adalah Bayisan, bekas Panglima Khitan yang dulunya tampan itu. Tentu saja hanya Raja Kubakan yang tahu dan menerima sahabatnya itu, juga sutenya (adik seperguruannya), Lauw Kiat yang kini buntung kedua kakinya oleh Kim-mo Taisu.
Tewasnya gurunya dan buntungnya kedua kaki Lauw Kiat membuat Hek-giam-lo marah sekali dan belum merasa puas kalau belum dapat membunuh Kim-mo Taisu! Inilah sebabnya mengapa ia memusuhi Kim-mo Taisu dan Bu Song yang tidak tahu duduk persoalannya, tentu saja merasa heran dan marah. Juga orang muda ini tidak tahu mengapa Hui-to-pang memusuhi Kim-mo Taisu, bahkan yang membunuh isteri gurunya, yang disuruh oleh Kong Lo Sengjin, adalah orang Hui-to-pang. Hal ini juga ada sebab-sebabnya.
Ketika Kim-mo Taisu masih merantau sebagai seorang pendekar jembel gila, di kota besar Cin-an di Propinsi Shan-tung, Kim-mo Taisu pernah bentrok dengan ketua Hui-to-pang. Persoalannya adalah karena Ketua Hui-to-pang menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya merampas dengan paksa seorang gadis yang dicintai puteranya.
Puteranya jatuh cinta kepada seorang gadis anak pedagang kulit di kota itu. Maka diajukannya pinangan. Akan tetapi ayah si gadis menolak pinangan itu dengan alasan bahwa puterinya sejak kecil telah dipertunangkan dengan keluarga lain. Sesungguhnya ayah si gadis menolak karena tidak suka bermantukan putera Ketua Hui-to-pang yang terkenal sebagai perkumpulan tukang-tukang pukul.
Kalau saja Ketua Hui-to-pang tidak mendengar akan dasar penolakan yang sesungguhnya, agaknya ia pun tidak akan memaksa setelah mendengar gadis itu sudah dipertunangkan dengan orang lain. Akan tetapi begitu mendengar alasan penolakan yang sesungguhnya, ia menjadi marah sekali. Toko Si Penjual Kulit diobrak-abrik, Si Penjual Kulit dan isterinya mati terbunuh dan anak perempuannya diculik!
Kebetulan pada hari itu Kim-mo Taisu lewat di kota itu. Mendengar peristiwa ini bangkitlah jiwa pendekarnya dan malam hari ia mendatangi gedung Ketua Hui-to-pang. Kemarahannya memuncak ketika mendengar betapa gadis itu menggantung diri sampai mati setelah menjadi korban keganasan putera Ketua Hui-to-pang.
Pertempuran terjadi dan Ketua Hui-to-pang yang tadinya memandang rendah kepada jembel gila itu dan yang marah karena Kim-mo Taisu dianggap terlalu lancang dan usil mengurusi urusan "sepele" orang lain, ternyata kalah dan terluka!
Ketika para anggauta Hui-to-pang hendak mengeroyok, Kim-mo Taisu berhasil menangkap putera Ketua Hui-to-pang dan dijadikan perisai sehingga ia berhasil keluar. Saking marahnya, ketika hendak meninggalkan tempat itu dan membebaskan putera Ketua Hui-to-pang, Kim-mo Taisu membuntungi ujung hidung dan kedua telinga pemuda hidung belang itu!
Inilah sebab-sebab permusuhan dan dendam Hui-to-pang kepada Kim-mo Taisu, dan tokoh yang berhasil dihasut Kong Lo Sengjin dan membunuh isteri Kim-mo Taisu adalah adik kandung Hui-to-pangcu (Ketua) sendiri.
Demikianlah tidak mengherankan apabila kini mereka bersekongkol dengan Hek-giam-lo untuk mengeroyok Kim-mo Taisu. Apalagi ketika mendengar dari Kong Lo Sengjin bahwa dua orang tokoh mereka yang berusaha menawan sastrawan Ciu Gwan Liong dalam usaha mereka merampas dan mencari kitab dan suling pemberian Bu Kek Siansu itu terbunuh oleh Kim-mo Taisu!
Dendam mereka makin mendalam. Memang kakek tua renta yang lumpuh, Kong Lo Sengjin, bekas raja muda itu amat licin, penuh tipu muslihat dan curang. Pandai ia melempar batu sembunyi tangan, melemparkan kesalahan ke pundak orang untuk mengadu domba!
Biarpun dua orang anggauta pimpinan Hui-to-pang sudah roboh oleh totokan suling dan pukulan tangan kiri Bu Song, namun jumlah mereka masih delapan orang dan karena kini mereka bergerak hati-hati dan tidak berani memandang rendah lawan muda ini, keadaan mereka menjadi lebih kuat daripada tadi. Apalagi Hek-giam-lo juga mendesak dengan terjangan-terjangan dahsyat. Pertandingan di luar tenda itu benar-benar seru dan mati-matian.
Namun Bu Song seperti seekor burung garuda yang mengamuk Setelah mendapat gemblengan Bu Tek Lojin, gerakannya luar biasa sekali. Apalagi senjatanya merupakan senjata yang ampuh dan aneh, terbuat daripada logam yang tampaknya seperti emas, akan tetapi sesungguhnya merupakan logam campuran yang ajaib, yang menjadi lebih ampuh lagi karena benda ini tadinya milik Bu Kek Siansu, seorang pertapa yang sudah dijuliki dewa oleh tokoh-tokoh besar persilatan.
Sepak terjangnya hebat menggetarkan para pengeroyoknya dan beberapa kali orang-orang Hui-to-pang itu kehilangan golok mereka yang terbang atau runtuh begitu terbentur suling yang mengandung tenaga sin-kang mujijat!
Tiba-tiba orang-orang Hui-to-pang ini meloncat mundur dan begitu tangan mereka bergerak, golok terbang melayang dan meluncur cepat menghujani tubuh Bu Song! Bu Song kaget dan marah sekali, Ia memutar sulingnya dan menerjang maju, dengan tidak terduga-duga ia menggunakan kedua kakinya melakukan tendangan berantai dan robohlah dua orang Hui-to-pang setelah tubuh mereka mencelat sampai lima meter lebih!
Namun pada saat itu, selagi Bu Song masih memutar sulingnya melindungi tubuh dari hujan hui-to dari empat penjuru, tiba-tiba terdengar angin keras dan berkelebatlah belasan batang hui-to yang mengeluarkan sinar menyilaukan mata! Inilah Cap-sha-hui-to (Tiga belas Golok Terbang) yang dilontarkan oleh Hek-giam-lo!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar