FB

FB


Ads

Jumat, 03 Mei 2019

Suling Emas Jilid 147

Hening sejenak, kemudian Ciu Bun berkata,
"Nah, kau ambil kitab itu, kau baca sajaknya dan aku akan meniup suling itu disesuaikan dengan isi sajak. Kau tahu, setiap huruf itu mengandung bunyi tertentu sesuai dengan maknanya, dan suara suling ini harus ditiup sesuai dengan bunyi huruf sehingga merupakan lagu tertentu sesuai dengan bunyi sajak. Kami yaitu aku dan adikku yang telah meninggal adalah sastrawan-sastrawan yang mengutamakan keindahan seni, maka pemberian anugerah dari Bu Kek Siansu berupa dua buah benda berharga ini bagi kami semata-mata hanyalah mengandung keindahan yang luar biasa. Keindahan seni sastera diselaraskan dengan seni suara.”

“Menurut Bu Kek Siansu, kalau bunyi sajak dan suara suling ini sudah dapat diselaraskan seperti mestinya, maka akan mendatangkan hikmat luar biasa, menenangkan batin menjernihkan pikiran dan menghalau segala macam pikiran jahat, menindih nafsu dan membawa orang ke tingkat batin yang lebih tinggi. Akan tetapi, selain itu, aku yakin bahwa dua benda ini pun mengandung sesuatu yang amat hebat bagi dunia persilatan, karena buktinya tokoh-tokoh kang-ouw dari segala penjuru mencari-cari dan mengejar-ngejar kami. Nah, kau bacakan sajak yang mana saja, biar kutimpali dengan suling ini!"

Bu Song mendengar penjelasan itu merasa betapa sulitnya mempelajari ilmu menyesuaikan bunyi huruf dan bunyi suling, namun ia menaruh perhatian besar dan segera ia membaca lambat-lambat sederet sajak. Kakek Ciu Bun sudah meniup sulingnya dan terdengarlah bunyi suling mengalun aneh, akan tetapi lebih aneh lagi bagi Bu Song, suara suling itu demikian enak dan cocok dengan suaranya yang membaca huruf-huruf secara lambat.

Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan suara aneh lucu.
"Ngieeehhh... ngieeehhh!"

Seketika Ciu Bun menghentikan tiupan sulingnya. Karena ini, Bu Song juga menghentikan bacaannya dan menoleh ke arah suara. Kiranya di depan gua tadi kini tampak sekor kuda yang ditunggangi oleh dua orang. Dua orang laki-laki aneh sekali karena mereka itu menunggang kuda dengan menghadap ke belakang dan laki-laki yang dibelakang memegang ekor kuda sambil mengeluarkan suara "ngieeeeh-ngieeeeh" tadi.

Dua orang laki-laki ini benar-benar luar biasa sekali. Yang seorang bertubuh tinggi kurus seperti rangka terbungkus kulit berkepala gundul dan bertelanjang baju, hanya memakai celana sebatas lutut dan bertelanjang kaki. Orang ke dua yang memegangi ekor kuda tidak kalah anehnya. Tubuhnya gemuk sekali, punggungnya berpunuk mulutnya besar dan dan kepalanya juga gundul bertelanjang baju dan bercelana seperti pertama.

"Kiu-ji dan Ciu-ji (Anak Kiu dan Anak Ciu)! Berani kalian mengganggu aku selagi meniup suling? Awas, kuadukan nanti kepada Ong-ya!"

Muka kedua orang gundul itu menjadi ketakutan, Si Gendut lalu menggerak-gerakkan seekor kuda agar kudanya berlari cepat.

"Tidak... tidak... tidak...!" Mereka berkata ketakutan.

Benar-benar pemandangan yang luar biasa sekali. Tak dapat Bu Song menahan keinginan hatinya.

"Paman, siapakah mereka tadi?"

"Mereka itu dua orang pelayan dan juga murid Couw Pa Ong. Gigitan-gigitan beracun dari binatang-binatang berbisa membuat mereka tidak waras otaknya. Akan tetapi mereka itu hebat kepandaiannya, mewarisi ilmunya Couw Pa Ong. Memang tua bangka itu aneh sekali, menurunkan ilmunya kepada dua orang gila macam itu."

"Jadi Kong Lo Sengjin tinggal di pulau ini?" Bu Song bertanya kaget karena hal ini sama sekali tidak pernah disangkanya.

Ciu Bun mengangguk.
"Tentu saja tinggal disini! dengarlah. Couw Pa Ong adalah sahabat baikku semenjak dahulu. Kami berdua orang-orang yang setia kepada Kerajaan Tang. Dia banyak belajar ilmu kesusateraan dari aku yang dulu menjabat kedudukan guru sastera di kota raja! Atas ajakannyalah aku tiggal disini untuk menyembunyikan diri dari orang-orang jahat yang hendak merampas suling ini. Mula-mula Couw Pa Ong memang tetap menjadi sahabat baikku. Akan tetapi agaknya kegilaan kedua orang murid atau pelayannya itu menular kepadanya. Sikapnya mulai berubah dan dia mulai membujuk-bujukku untuk menurunkan rahasia suling dan kitab pemberian Bu Kek Siansu kepadanya!”

“Akan tetapi setelah kutahu bahwa pikiran dan wataknya telah berubah, aku selalu mengatakan bahwa suling ini tidak ada artinya baginya, hanya untuk ditiup melagu menghibur diri. Ia penasaran lalu memasukkan aku ke dalam gua itu, dijaga oleh binatang-binatang liar. Tentu saja aku tidak berani keluar dan yang berani memasuki gua hanyalah dua orang bocah edan tadi yang mengantar makanan setiap hari kepadaku. Kau tahu bahwa Couw Pa Ong tentu hendak mencari dan menangkap adikku untuk memaksa kami kakak beradik membuka rahasia kitab dan suling. Untung sekali adikku bertemu dengan engkau. Nah, tahukah kau sekarang? Hayo kita berlatih lagi. Kau sudah dapat menangkap contohku tadi?"






"Sudah, Paman. Memang mendatangkan perasaan yang hebat, tapi aku masih bingung karena hal ini memang amat sukar dimengerti."

"Memang. Sekarang biarlah kau belajar meniup suling..."

"Paman, saya sudah biasa bersuling dan mendapat petunjuk Suhu..."

"Bagus! Ah, agaknya memang sudah jodoh. Nah, lekas kau meniup suling ini dan usahakan agar suara sulingmu dapat sesuai dengan bunyi dan sifat huruf yang kubaca!"

Mereka bertukar benda. Kakek itu menyerahkan suling emas dan menerima kitab dari tangan Bu Song. Sastrawan Ciu Bun membacakan sajak terakhir dari kitab itu dan Bu Song segera meniup sulingnya. Hebat tiupan suling anak muda ini. Memang ia berbakat sekali sehingga tiupannya mengandung getaran perasaannya. Pula, karena Bu Song sendiri sudah hafal akan isi kitab, ia segera dapat menyesuaikan bunyi sulingnya, mengarah bunyi huruf dan ketika meniup suling, seluruh perhatiannya dicurahkan kepada makna dari huruf yang ditiupnya. Terdengar perpaduan suara sajak dan suling yang luar biasa, mengalun-alun dan merayu-rayu.

"ADA muncul dari TIADA.
Betapa mungkin mencari sumber TIADA?
Mengapa cari ujung sebuah mangkok?
Mengapa cari titik awal akhir sebuah bola?
Akhirnya semua itu kosong hampa, sesungguhnya tidak ada apa-apa!"

Demikianlah bunyi sajak terakhir itu dan sampai tiga kali Ciu Bun membaca sajak itu, terus diikuti oleh tiupan suling Bu Song. Setelah habis, terdengar Ciu Bun berseru,

"Ya Tuhan....!!"

Bu Song memegang suling itu dan memandang Kakek Ciu Bun. Ia terkejut melihat wajah kakek itu makin pucat, seperti kehijauan, akan tetapi mata kakek itu bersinar-sinar, mulutnya tersenyum sehingga biarpun wajah itu amat pucat, namun seperti berseri-seri. Kedua kakinya ditekuk dan bersila, kedua tangan memegang kitab, lalu bibirnya bergerak.

"Dapat sudah sekarang... ya Tuhan, dapat sudah..." Bu Song tidak mengerti, lalu bertanya hormat, "Paman, apakah yang Paman maksudkan?"

"Bu Song, kau sudah hafal akan isi kitab?" Tiba-tiba kakek itu bertanya, suaranya biasa kembali.

"Sudah, Paman."

"Kalau begitu tinggalkan kitab ini padaku dan kau bawalah suling itu pergi dari sini. cepat! Kau sudah tahu akan rahasia isi kitab dan suara suling. Bahagialah kau, Bu Song."

Bu Song mendekati.
"Akan tetapi, kalau Paman disini tertawan, marilah Paman ikut pergi dengan saya. Untuk apa tinggal di pulau berbahaya ini?"

"Tertawan? Berbahaya? Ahh, tidak sama sekali. Sudahlah, kau pergi cepat jangan sampai dia datang mendapatkan kau disini."

"Tapi, Paman..."

"Keraguan hati akan merintangi kemajuanmu, orang muda. Pergilah!"

Kakek itu berkata dengan suara tegas sehingga Bu Song tidak berani membantah lagi. Ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek yang bersila di atas batu, menghaturkan terima kasih lalu bangkit berdiri dan berjalan pergi dari situ, menuju ke tempat ia mendarat tadi. Di belakangnya ia mendengar suara kakek itu membaca sajak terakhir dan ketika tiba di dua kalimat terakhir, suara itu seperti berteriak girang.

"Akhirnya semua itu kosong hampa, sesungguhnya tidak ada apa-apa!"

Ketika Bu Song tiba di tepi pulau, di atas batu karang, ia melihat layar perahu nelayan itu dari jauh. Bu Song menaruh kedua tangan di pinggir mulutnya lalu berseru sambil mengerahkan khikang di dadanya,

"Kak nelayan...! Kemarilah...!!"

Layar itu makin besar dan kini tampaklah perahu kecil itu bersama Si Nelayan yang berwajah ketakutan. Setelah perahu itu dekat, dalam jarak lima meter Bu Song lalu meloncat ke atas perahu.

Akan tetapi Si Nelayan memandang ke arah pulau dengan muka pucat dan tubuh menggigil, sehingga kedua tangannya tidak dapat lagi mengemudi perahu. Bu Song terheran dan cepat menoleh. Untung ia sudah berada di atas perahu karena ternyata di tepi pulau itu berdiri dua orang manusia aneh yang tadi menunggang kuda dan mereka itu membawa sebuah batu karang besar yang kini mereka lemparkan ke arah perahu!

Dua batu karang itu besarnya seperut kerbau dan dilempar dengan kekuatan dahsyat ke arah perahu!

"Cepat jalankan perahu ke tengah!"

Bu Song masih sempat berteriak dan ia melompat ke buntut perahu, memasang kuda-kuda dan ketika dua batu karang itu datang menyambar, ia menggunakan kedua tangannya mendorong sambil mengerahkan sin-kangnya.

"Byurrr...!"

Dua batu karang itu dapat terdorong menyeleweng dan jatuh ke air, akan tetapi saking hebatnya tenaga lemparan itu, kedua kaki Bu Song melesak ke bawah karena papan atas perahu yang diinjaknya jebol!

Selain itu, dua batu karang yang terbanting ke air itu menimbulkan gelombang hebat sehingga perahunya miring dan hampir saja terbalik. Baiknya nelayan itu tahu akan bahaya dan sudah cepat-cepat mengatur keseimbangan perahunya, mengemudi layar dan cepat sekali angin besar mendorong perahu menjauhi pulau! Dua manusia aneh itu meloncat-loncat di tepi pulau dan sebentar saja lenyap.

"Kongcu.... Mereka itu tadi.... Siluman.... Atau ibliskah.....?"

Bu Song tersenyum. Biarkan para nelayan ini ketakutan agar tidak berani mendekati pulau Pek-coa-to, karena kalau mendekati pulau itu memang besar kemungkinan mereka akan tewas, mengingat betapa selain di pulau itu terdapat banyak binatang buas dan berbisa. Juga di situ tinggal Kong Lo Sengjin dan dua orang pelayannya yang gila dan kejam.

"Agaknya mereka itu iblis pulau. Aka tetapi untung kita dapat melarikan diri!" jawab Bu Song.

Jawaban ini membuat nelayan itu makin ketakutan dan ia mengerahkan seluruh kecakapannya untuk berlayar secepat mungkin menyeberang ke daratan yang aman. Bu Song menyimpan sulingnya diselipkan di ikat pinggang dan tertutup baju. Ia maklum bahwa suling itu tentu akan menimbulkan perkara kalau sampai terlihat orang jahat. Orang-orang kang-ouw mencarinya tentu mengharapkan hikmatnya, sedangkan orang-orang jahat tentu juga menginginkannya karena harganya. Suling ini terbuat dari emas yang tentu saja mahal harganya.

Setelah tiba di darat, Bu Song menambah hadiah sepotong perak kepada nelayan itu yang menjadi girang sekali karena hari itu ia benar-benar mendapatkan rejeki besar. Kemudian Bu Song meninggalkan pantai dan melakukan perjalanan cepat ke utara. Ia harus mencari suhunya dan menceritakan semua pengalamannya di Pulau Pek-coa-to.

Makin ke utara, makin ramailah ia mendengar orang bicara tentang perubahan besar di kerajaan. Ia mendengar bahwa seorang panglima besar yang gagah perkasa telah mengambil alih kekuasaan dan medirikan kerajaan baru, yaitu Kerajaan Sung!

Juga mendengar bahwa kaisar baru ini amat murah hati, tidak akan menghukum siapapun juga asal tidak mengadakan perlawanan. Karena berita inilah maka di kota-kota kecil tidak timbul keributan, dan para pembesar melakukan tugasnya seperti biasa sambil menanti perkembangan lebih lanjut.

Pada waktu itu, Bu Song berusia dua puluh tiga tahun. Maklum bahwa suhunya tentu memperhatikan perubahan di kota raja, ia mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja mencari suhunya.

**** 147 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar