“Suhu, teecu mohon perkenan Suhu untuk pergi melihat keramaian dan bertemu dengan tokoh-tokoh sakti!” Tiba-tiba Bun Beng berkata setelah termenung sejenak.
Kakek Siauw Lam terkejut, memandang muridnya dengan alis berkerut,
“Ah, apakah kau kira hal itu merupakan main-main? Kalau para tokoh itu sudah bertemu dan saling memperebutkan pusaka, keadaan amatlah berbahaya! Dan pula, tempat itu amat jauh dari sini, melalui perjalanan yang amat lama dan penuh dengan ancaman bahaya maut!”
“Suhu, tanpa menghadapi kesukaran dan menempuh bahaya, bagaimana teecu akan bisa memperoleh kemajuan? Pengalaman itu tentu amat berguna bagi teecu, selain menambah pengetahuan, juga memberi kesempatan kepada teecu untuk bertemu dengan orang-orang sakti! Suhu, harap Suhu sudi meluluskan permintaan teecu ini.”
Kakek itu sudah cukup mengenal watak muridnya yang dididiknya selama lima tahun itu. Muridnya ini, di samping bakat-bakat dan watak-watak lainnya, juga memiliki keberanian yang tidak lumrah dimiliki anak kecil, di samping kekerasan hati yang pantang mundur kalau sudah mempunyai niat. Maka, melarang akan percuma saja, bahkan memberi kesempatan kepada muridnya untuk melanggar larangannya. Dia mengerti bahwa kalau dilarang, murid yang keras hati ini akan menjadi penasaran dan ada kemungkinan akan minggat! Maka ia lalu menarik napas panjang sambil berkata,
“Hemmmm.... terserah kepadamu. Aku hanya ingin melihat apakah engkau benar-benar berani menempuh segala bahaya itu.”
“Suhu, terima kasih! Besok pagi-pagi teecu akan berangkat, mohon doa restu dari Suhu!”
Bun Beng menjadi gembira sekali dan cepat membuat persiapan untuk melakukan perjalanan jauh yang selamanya belum pernah ia tempuh itu. Gurunya diam-diam merasa kagum sekali dan tersenyum di dalam hati.
Waktu lima tahun memang merupakan waktu yang cukup lama dalam kehidupan manusia, dan waktu ini cukup untuk mengubah keadaan manusia dengan terjadinya hal-hal yang menimpa dirinya. Bukan hanya Siauw-lim-pai yang mengalami perubahan hebat sehingga perubahan besar menimpa diri Siauw Lam Hwe¬sio yang kini telah meninggalkan kependetaannya dan menjadi orang biasa karena kekecewaannya menyaksikan keributan yang terjadi di antara murid-murid Siauw-lim-pai sendiri.
Perubahan besar telah pula menimpa diri Suma Han selama waktu itu. Kekuasaan alam telah mempermainkan penghidupannya, dan agaknya memang semenjak kecil Suma Han ditakdirkan untuk mengalami banyak hal-hal pahit yang membuat dia dalam usia semuda itu sudah putih semua rambutnya dan yang membuat dia bosan akan keramaian dunia sehingga dia ingin mengasingkan diri dari pergaulan manusia. Untuk dapat mengikuti pengalaman-pengalamannya, sebaiknya kita mengikuti perjalanannya yang penuh pengalaman dahsyat.
Setelah berhasil merampas keponakannya, Giam Kwi Hong yang berusia hampir empat tahun, puteri dari mendiang encinya Suma Leng dan Panglima Giam Cu, Suma Han lalu melarikan diri ke timur.
Kwi Hong masih tidur nyenyak dalam pondongannya dan baru pada keesokan harinya anak itu terbangun. Melihat dirinya dalam pondongan seorang laki-¬laki yang tak dikenalinya, anak itu menangis dan Suma Han mulai bingung. Susah payah dia berusaha mendiamkan anak itu, namun sia-sia karena anak itu menjerit-jerit mencari ibunya!
“Diamlah, Nak. Diamlah, Kwi Hong anak baik.”
Berulang kali ia menghibur dengan suara halus dan penuh rasa kasihan teringat akan encinya yang telah meninggal dunia.
“Lihat, kucarikan buah¬-buah, kembang....!”
Sibuklah dia meloncat dan berlari ke sana-sini, memetik buah-buah dan kembang, ditumpuknya di depan anak yang ia dudukkan di atas rumput itu. Akan tetapi anak itu terus menangis.
“Ibuuu....! Aku mau turut Ibu.... hi-hi¬-hikk....!”
Kwi Hong menangis terus tanpa mempedulikan tumpukan kembang dan buah-buahan itu, menggosok-gosok kedua matanya dengan punggung tangan.
Suma Han yang tentu saja kurang pengalaman mengasuh anak kecil menjadi makin bingung. Tak pernah disangkanya bahwa tangis seorang anak kecil bisa membikin dia begitu bingung dan kehabisan akal! Sampai hampir satu jam lamanya ia membujuk-bujuk tanpa hasil.
“Aduh, Kwi Hong.... anak baik, dengarlah. Aku adalah Pamanmu sendiri, Kwi Hong. Aku adalah adik Ibumu, aku Paman Han....!”
Tangan yang menggosok-gosok mata itu berhenti dan kini mata yang bening lebar itu memandangnya, tangisnya terhenti sebentar. Betapa indah mata itu, Suma Han memandang kagum, seolah-olah air mata itu mencuci sepasang mata menjadi makin bening dan bersih!
“Paman Han Han....?”
Suma Han tersenyum lebar,
“Benar! Benar! Tentu Ibumu pernah menceritakan kepadamu. Aku Paman Han Han....!”
Ia tertawa lega, akan tetapi kembali ia tertegun bingung melihat Kwi Hong lagi-¬lagi menangis sedih.
“Ibuku....! Mana Ibuku....! Kalau Paman baik, antarkan aku kepada Ibu!”
Celaka! Bagaimana dia bisa mengantarkan anak ini kepada ibunya yang sudah mati? Dan tidak mungkin pula menerangkan kepada bocah sekecil ini bahwa ibunya telah mati. Melihat anak itu menangis terus, Suma Han makin bingung. Tiba-tiba ia melihat seekor kelinci bergerak di antara rumpun dan timbullah akalnya. Cepat ia meloncat dan sekali sambar ia sudah berhasil menangkap kelinci putih itu.
“Kwi Hong, diamlah. Lihat, Paman menangkap kelinci cantik untukmu!”
Suma Han memberikan binatang itu ke atas pangkuan Kwi Hong. Anak itu memandang, tangisnya terhenti, matanya berseri dan dia sudah lupa akan ibunya, memondong kelinci sambil tersenyum dan berkata.
“Kelinci cantik....!”
Kakek Siauw Lam terkejut, memandang muridnya dengan alis berkerut,
“Ah, apakah kau kira hal itu merupakan main-main? Kalau para tokoh itu sudah bertemu dan saling memperebutkan pusaka, keadaan amatlah berbahaya! Dan pula, tempat itu amat jauh dari sini, melalui perjalanan yang amat lama dan penuh dengan ancaman bahaya maut!”
“Suhu, tanpa menghadapi kesukaran dan menempuh bahaya, bagaimana teecu akan bisa memperoleh kemajuan? Pengalaman itu tentu amat berguna bagi teecu, selain menambah pengetahuan, juga memberi kesempatan kepada teecu untuk bertemu dengan orang-orang sakti! Suhu, harap Suhu sudi meluluskan permintaan teecu ini.”
Kakek itu sudah cukup mengenal watak muridnya yang dididiknya selama lima tahun itu. Muridnya ini, di samping bakat-bakat dan watak-watak lainnya, juga memiliki keberanian yang tidak lumrah dimiliki anak kecil, di samping kekerasan hati yang pantang mundur kalau sudah mempunyai niat. Maka, melarang akan percuma saja, bahkan memberi kesempatan kepada muridnya untuk melanggar larangannya. Dia mengerti bahwa kalau dilarang, murid yang keras hati ini akan menjadi penasaran dan ada kemungkinan akan minggat! Maka ia lalu menarik napas panjang sambil berkata,
“Hemmmm.... terserah kepadamu. Aku hanya ingin melihat apakah engkau benar-benar berani menempuh segala bahaya itu.”
“Suhu, terima kasih! Besok pagi-pagi teecu akan berangkat, mohon doa restu dari Suhu!”
Bun Beng menjadi gembira sekali dan cepat membuat persiapan untuk melakukan perjalanan jauh yang selamanya belum pernah ia tempuh itu. Gurunya diam-diam merasa kagum sekali dan tersenyum di dalam hati.
Waktu lima tahun memang merupakan waktu yang cukup lama dalam kehidupan manusia, dan waktu ini cukup untuk mengubah keadaan manusia dengan terjadinya hal-hal yang menimpa dirinya. Bukan hanya Siauw-lim-pai yang mengalami perubahan hebat sehingga perubahan besar menimpa diri Siauw Lam Hwe¬sio yang kini telah meninggalkan kependetaannya dan menjadi orang biasa karena kekecewaannya menyaksikan keributan yang terjadi di antara murid-murid Siauw-lim-pai sendiri.
Perubahan besar telah pula menimpa diri Suma Han selama waktu itu. Kekuasaan alam telah mempermainkan penghidupannya, dan agaknya memang semenjak kecil Suma Han ditakdirkan untuk mengalami banyak hal-hal pahit yang membuat dia dalam usia semuda itu sudah putih semua rambutnya dan yang membuat dia bosan akan keramaian dunia sehingga dia ingin mengasingkan diri dari pergaulan manusia. Untuk dapat mengikuti pengalaman-pengalamannya, sebaiknya kita mengikuti perjalanannya yang penuh pengalaman dahsyat.
Setelah berhasil merampas keponakannya, Giam Kwi Hong yang berusia hampir empat tahun, puteri dari mendiang encinya Suma Leng dan Panglima Giam Cu, Suma Han lalu melarikan diri ke timur.
Kwi Hong masih tidur nyenyak dalam pondongannya dan baru pada keesokan harinya anak itu terbangun. Melihat dirinya dalam pondongan seorang laki-¬laki yang tak dikenalinya, anak itu menangis dan Suma Han mulai bingung. Susah payah dia berusaha mendiamkan anak itu, namun sia-sia karena anak itu menjerit-jerit mencari ibunya!
“Diamlah, Nak. Diamlah, Kwi Hong anak baik.”
Berulang kali ia menghibur dengan suara halus dan penuh rasa kasihan teringat akan encinya yang telah meninggal dunia.
“Lihat, kucarikan buah¬-buah, kembang....!”
Sibuklah dia meloncat dan berlari ke sana-sini, memetik buah-buah dan kembang, ditumpuknya di depan anak yang ia dudukkan di atas rumput itu. Akan tetapi anak itu terus menangis.
“Ibuuu....! Aku mau turut Ibu.... hi-hi¬-hikk....!”
Kwi Hong menangis terus tanpa mempedulikan tumpukan kembang dan buah-buahan itu, menggosok-gosok kedua matanya dengan punggung tangan.
Suma Han yang tentu saja kurang pengalaman mengasuh anak kecil menjadi makin bingung. Tak pernah disangkanya bahwa tangis seorang anak kecil bisa membikin dia begitu bingung dan kehabisan akal! Sampai hampir satu jam lamanya ia membujuk-bujuk tanpa hasil.
“Aduh, Kwi Hong.... anak baik, dengarlah. Aku adalah Pamanmu sendiri, Kwi Hong. Aku adalah adik Ibumu, aku Paman Han....!”
Tangan yang menggosok-gosok mata itu berhenti dan kini mata yang bening lebar itu memandangnya, tangisnya terhenti sebentar. Betapa indah mata itu, Suma Han memandang kagum, seolah-olah air mata itu mencuci sepasang mata menjadi makin bening dan bersih!
“Paman Han Han....?”
Suma Han tersenyum lebar,
“Benar! Benar! Tentu Ibumu pernah menceritakan kepadamu. Aku Paman Han Han....!”
Ia tertawa lega, akan tetapi kembali ia tertegun bingung melihat Kwi Hong lagi-¬lagi menangis sedih.
“Ibuku....! Mana Ibuku....! Kalau Paman baik, antarkan aku kepada Ibu!”
Celaka! Bagaimana dia bisa mengantarkan anak ini kepada ibunya yang sudah mati? Dan tidak mungkin pula menerangkan kepada bocah sekecil ini bahwa ibunya telah mati. Melihat anak itu menangis terus, Suma Han makin bingung. Tiba-tiba ia melihat seekor kelinci bergerak di antara rumpun dan timbullah akalnya. Cepat ia meloncat dan sekali sambar ia sudah berhasil menangkap kelinci putih itu.
“Kwi Hong, diamlah. Lihat, Paman menangkap kelinci cantik untukmu!”
Suma Han memberikan binatang itu ke atas pangkuan Kwi Hong. Anak itu memandang, tangisnya terhenti, matanya berseri dan dia sudah lupa akan ibunya, memondong kelinci sambil tersenyum dan berkata.
“Kelinci cantik....!”
Baru sekarang Suma Han merasa betapa hatinya lega dan girang bukan main sehingga mau rasanya ia menari-nari dan menyanyi-nyanyi! Ia mencium pipi anak itu dan berkata,
“Kwi Hong, kalau engkau tidak menangis lagi, Pamanmu akan mencarikan binatang-binatang cantik untukmu. Sekarang makanlah buah ini. Nih, Paman kupaskan kulitnya, manis sekali, makanlah!”
Kwi Hong suka makan buah itu, apalagi setelah Suma Han mengajarnya memberi sedikit kepada kelinci yang dipondongnya. Demikianlah, dengan akal sedapatnya bisa juga dia mengasuh Kwi Hong sambil melanjutkan perjalanannya. Ia hendak mencari jalan menuju ke pantai laut di mana dahulu ia mendarat bersama Lulu ketika mereka berdua meninggalkan Pulau Es. Dia hendak kembali ke Pulau Es itu bersama Kwi Hong.
Setelah melakukan perjalanan berpekan-pekan lamanya dan seringkali dia terpaksa menggunakan kekuatan mujijatnya untuk menidurkan Kwi Hong kalau anak itu terlalu rewel, akal yang jarang sekali ia pergunakan kalau amat tidak terpaksa, pada suatu senja tibalah Suma Han dan keponakannya di tepi pantai yang terjal sekali.
Air laut kebiruan tampak dari atas seperti permadani biru terbentang luas, sedikit pun tidak tampak bergoyang atau berombak saking tingginya tempat itu. Dari tempat yang tinggi ini, Suma Han memandang ke kanan kiri dan mulailah ia mengenal daerah ini.
Jauh di bawah sana, di sebelah kiri, di sanalah dia bersama Lulu, tiba-tiba tubuh Suma Han menjadi lemas dan hatinya makin kosong. Semenjak ia berpisah dengan Nirahai kemudian merayakan pernikahan Lulu, tahulah dia bahwa semenjak dahulu, dia hanya mencinta Lulu seorang. Sampai kini pun hanyalah Lulu yang ia cinta, sepenuh jiwa raganya dan ia rela menderita asal adiknya itu hidup bahagia.
“Lulu, semoga engkau selalu hidup bahagia!” Ia berbisik lirih seperti orang berdoa.
“Paman Han Han, kau bilang apa?”
Kwi Hong dalam pondongannya bertanya sambil memandang wajah Suma Han. Dalam kenangan yang mengharukan tadi, Suma Han sampai lupa kepada anak yang dipondongnya. Kwi Hong pandai bicara dan karena suaranya masih tidak jelas dan sepotong-sepotong, terdengar lucu sekali.
“Ah, tidak, Paman tidak bilang apa¬-apa.” kata Suma Han sambil mengambung pipi keponakannya itu, pipi yang halus montok kemerahan sehat.
“Paman tangkapkan binatang lagi! Kelinci lagi.... kelinciku lari!”
“Di sini mana ada kelinci?”
“Uh-hu-huk, minta kelinci....!”
Kwi Hong yang selalu dituruti permitaannya oleh Suma Han, dalam waktu sebulan lebih saja kini sudah pandai manja. Anak ini mengerti agaknya bahwa kalau dia menangis, apa pun permintaannya akan dipenuhi maka sekarang pun ia mempergunakan “senjatanya” yang lihai ini!
“Di sini tidak ada kelinci. Ikan, ya? Ikan laut? Atau udang? Kepiting.... eh kepiting baik sekali, lucu sekali! Kutangkapkan kepiting, ya?”
“Tidak, tidak mau.... hi-hi-hik, mau kelinci!” Kwi Hong menendang-nendangkan kaki dan menggeleng-gelengkan kepala sambil mewek.
Suma Han menarik napas panjang.
“Baiklah, baiklah.... eh, rewel benar anak ini.”
Ia menurunkan Kwi Hong yang seketika sudah berhenti menangis ketika mendengar pamannya menyanggupi. Dia sudah terlalu biasa bahwa sekali pamannya sanggup pasti akan dipenuhinya.
“Lihat baik-baik, nih, aku menjadi kelinci!”
Suma Han menggunakan ilmunya yang mujijat, mempengaruhi keponakannya sendiri seketika Kwi Hong tertawa-tawa gembira melihat seekor kelinci putih besar di depannya. Ia lupa sama sekali kepada pamannya yang sudah lenyap. Sambil tertawa-tawa ia lalu mengelus-elus kepala kelinci itu dan menarik-narik telinganya yang besar dengan penuh kasih sayang. Suma Han menahan kegelian hatinya ketika kepalanya dielus-elus dan kedua telinganya dijewer-jewer tangan kecil itu!
“Paman....! Paman Han Han....!” Tiba-tiba Kwi Hong memandang ke atas dan telunjuknya menuding-nuding ke atas. “Tangkapkan burung itu! Lekas, Paman, tangkapkan burung....!”
Anak itu kini sudah lupa akan kelincinya dan bangkit berdiri, memandang ke atas dan menuding-nuding sambil berteriak-teriak. Suma Han menarik napas panjang dan menjadi tertarik, ikut pula memandang ke atas. Terkejut dan heranlah dia ketika melihat dua ekor burung yang besar-besar sekali sedang bertanding di angkasa dengan serunya!
“Heran sekali!” Serunya. “Burung garuda dan rajawali....!”
“Tangkapkan burung, Paman. Lekas, tangkapkan burung itu....!” Kwi Hong bersorak.
Akan tetapi sekali ini Suma Han tidak memperhatikan permintaan keponakannya karena ia tertarik sekali. Selama hidupnya dia baru mendengar ceritanya saja tentang burung-burung garuda dan rajawali yang demikian besarnya. Apalagi sekarang dua ekor burung itu sedang berkelahi dengan gerakan dahsyat sekali sambil mengeluarkan suara melengking yang amat nyaring. Pertandingan yang hebat dan dahsyat di angkasa!
Akan tetapi, serangan dahsyat dari burung garuda membuat bulu dada rajawali itu bodol dan Si Rajawali terbang menjauh sambil memekik nyaring. Garuda itu pun mengeluarkan lengking nyaring dan terbang berputaran, kemudian meluncur turun dan hinggap di atas sebatang pohon besar tak jauh dari situ.
“Paman, tangkapkan burung.... hi-hi-¬hik....!” Kwi Hong menangis ketika melihat dua ekor burung itu lenyap.
“Baiklah, jangan menangis. Kau duduk saja di sini, ya? Paman hendak mencoba untuk menangkap burung itu.”
Suma Han sekali ini bukan ingin menangkap burung semata-mata memenuhi permintaan keponakannya, melainkan karena dia sendiri pun amat tertarik oleh burung garuda perkasa itu. Akan dicobanya untuk menangkap burung raksasa itu! Cepat tubuhnya mencelat mendekati pohon dan dengan kepandaiannya yang hebat, pendekar ini meloncat naik ke atas pohon.
Burung garuda itu besar sekali! Tingginya tidak kalah oleh tingginya manusia, kakinya besar kuat dan paruhnya menyeramkan! Burung itu sedang membereskan bulunya yang agak kusut karena pertandingan tadi, maka dia tidak tahu bahwa ada seorang manusia mendekatinya.
Dengan sebuah gerakan kilat, Suma Han meloncat ke atas punggung garuda, menggunakan lengannya merangkul leher sambil berseru,
“Sin-eng (Garuda Sakti), kita bersahabat!”
Tentu saja burung itu kaget sekali dan tidak mengerti ucapan Suma Han. Dia berusaha memutar leher untuk menyerang, akan tetapi lengan yang memeluknya demikian kuat sehingga dia tidak mampu menggerakkan lehernya. Burung itu menjerit aneh dan tiba-tiba meloncat ke atas lalu terbang membawa Suma Han yang masih duduk di atas punggungnya! Melihat ini, Kwi Hong bersorak, bangkit berdiri dan melambai-lambaikan kedua tangannya.
“Bagus....! Bagus sekali....! Paman, aku ikut....! Aku ikut terbang naik burung....!”
Suma Han yang selamanya baru sekali ini mengalami naik burung raksasa, tidak merasa takut hanya khawatir kalau-¬kalau burung itu membawanya terbang jauh meninggalkan Kwi Hong.
“Sin-eng, turunlah, kita jemput anak itu....!”
Akan tetapi burung garuda itu dalam ketakutannya terbang meluncur terus membubung tinggi ke angkasa, seakan-akan hendak membawa terbang Suma Han ke bulan yang pada senja hari itu sudah mulai tampak!
Suma Han mulai cemas dan memandang ke bawah. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika ia melihat sesosok bayangan hitam meluncur turun dan menyambar ke arah Kwi Hong yang masih berteriak-teriak dan melambai-lambaikan kedua tangannya. Bayangan itu bukan lain adalah burung rajawali yang tadi bertanding dan dikalahkan oleh garuda putih yang ditungganginya.
“Celaka....!”
Suma Han berteriak melihat keponakannya dicengkeram oleh kaki rajawali dan mendengar bocah itu berteriak-teriak menangis ketakutan.
“Sin-eng, demi Tuhan, tolonglah Kwi Hong!” Suma Han mencengkeram leher garuda dan memaksa kepala garuda itu ke bawah. Sang garuda kesakitan dan bingung, akan tetapi karena kepalanya dipaksa menunduk, maka ia pun mulai meluncur turun. Suma Han menekan-nekan leher garuda ke arah rajawali dan berkata, “Sin-eng, kejar rajawali itu. Cepat....!”
Agaknya burung garuda itu biarpun tidak dapat mengerti ucapan Suma Han, dapat mengenal mahluk yang jauh lebih kuat darinya, maka kini ia selalu terbang menurut ke mana kepalanya dipaksa berpaling. Akhirnya ia dapat melihat musuh besarnya, Si Burung Rajawali yang terbang cepat ke arah lautan!
Tanpa dikomando lagi, burung garuda itu terbang mengejar dengan kecepatan luar biasa dan tak lama kemudian, tersusullah burung rajawali yang mencengkeram Kwi Hong.
Anak itu masih menjerit-jerit dan bukan main cemas rasa hati Suma Han melihat bahwa yang dicengkeram raja¬wali itu adalah punggung baju Kwi Hong. Kalau baju itu robek, atau kalau rajawali itu melepaskan cengkeramannya! Ia memandang ke bawah dan bergidik. Di bawah hanya tampak air melulu, air kebiruan dari laut yang amat luas, mengerikan dengan ombak besar membuih!
“Sin-eng, terbang ke bawahnya, serang dia dari bawah, selamatkan anak itu!”
Suma Han mendorong kepala garuda. Garuda itu menyerbu ke depan, menukik ke bawah tubuh rajawali. Dengan gerakan tangkas sekali Suma Han mengulur tangan kanannya dan tongkatnya memukul kaki yang mencengkeram.
Rajawali memekik kesakitan, kaki yang mencengkeram kena dipukul, cengkeramannya terlepas dan nyaris tubuh Kwi Hong terlepas dari sambaran tangan Suma Han. Baiknya garuda itu dengan gerakan tiba-tiba dan amat tangkasnya, mengulur kaki dan berhasil mencengkeram tubuh Kwi Hong!
“Sin-eng yang baik, terima kasih!”
Suma Han bersorak ketika ia mengambil keponakannya dari cengkeraman garuda dan melihat bahwa tubuh keponakannya sama sekali tidak luka, tanda bahwa garuda itu berniat baik dan mencengkeram untuk menolong!
Kwi Hong masih menangis ketika dipangku Suma Han di atas punggung garuda.
“Paman, burung itu nakal....!”
Suma Han menghela napas lega. Bocah ini benar amat mengagumkan. Biarpun mengalami hal yang begitu menakutkan, tidak pingsan dan tidak ketakutan. Ia memandang rajawali yang kini melarikan diri terbang jauh, sedangkan ketika ia mencari-cari dengan pandang matanya, tidak tampak lagi daratan. Di mana-mana air melulu dan cuaca mulai gelap, malam mulai tiba!
“Sin-eng yang baik, bawalah kami kembali ke daratan!”
Berkali-kali Suma Han membujuk, kini tidak lagi ia berani “mengemudi” leher burung itu karena dia sendiri tidak tahu mana arah daratan. Burung itu terbang terus, cepat sekali dan terpaksa Suma Han menyerahkan nasibnya pada burung itu, yakin bahwa betapapun juga, pasti burung itu akan mendarat. Anehnya, Kwi Hong tidak menangis lagi, bahkan tertawa-tawa dan menuding ke arah bulan sepotong yang kelihatan indah sekali sambil berkata,
“Bagus....! Bulan bagus....!”
Suma Han menjadi lega hatinya dan melepas jubah luarnya untuk diselimutkan tubuh keponakannya karena terbang di atas punggung garuda itu mereka bertumbuk dengan angin yang amat besar dan dingin.
Namun, dapat dibayangkan betapa cemas hatinya karena burung itu terbang terus seolah-olah tidak akan berhenti lagi! Ia khawatir kalau-kalau burung itu kehabisan tenaga dan jatuh ke bawah. Kini keadaan makin gelap. Sinar bulan sepotong tidak mampu menembus halimun yang terbentang di bawah kaki mereka. Dia tidak tahu lagi apakah di bawah mereka itu masih lautan atau daratan!
Semalam suntuk burung raksasa itu terbang dan bagi Suma Han, semalam itu seperti setahun lamanya! Kwi Hong tertidur pulas di atas pangkuannya, untung baginya karena kalau dalam keadaan seperti itu anak itu rewel menangis, dia benar-benar akan kebingungan tidak tahu harus berbuat apa!
Ketika matahari pagi mulai mengusir kegelapan, Suma Han mendapat kenyataan bahwa mereka terbang di atas sekumpulan pulau-pulau di lautan luas! Jantungnya berdebar tegang. Pulau-pulau ini! Bukankah kepulauan yang dekat dengan Pulau Es? Dan burung itu masih terus terbang ke arah utara. Hal ini dapat ia ketahui dengan melihat munculnya matahari di sebelah kanannya.
Setelah beberapa lamanya melewati sekumpulan pulau-pulau sehingga kepulauan itu lenyap jauh di belakang, burung itu menukik turun menuju ke sebuah pulau yang tampak keputihan. Hampir Suma Han bersorak. Itulah Pulau Es! Tak salah lagi. Kini mulai tampaklah bentuk bangunan di tengah pulau. Istana Pulau Es! Dan benar saja burung itu melayang turun menuju ke pulau.
Tiba-¬tiba burung garuda mengeluarkan pekik dahsyat, melengking panjang dan dari pulau itu terdengar pula lengking yang sama, akan tetapi lebih tinggi nadanya dan tampaklah seekor burung garuda lain, terbang ke atas menyambut kedatangan mereka!
Burung garuda yang terbang menyambut ini kelihatan bingung dan kaget ketika melihat betapa di punggung temannya duduk dua orang manusia, dia mengeluarkan bunyi nyaring berkali-kali dan dijawab oleh garuda yang diduduki Suma Han dengan pekik-pekik pendek seperti orang bertanya dan menjawab. Suma Han menjadi geli hatinya dan sedetik ia dapat menduga bahwa burung garuda yang menyambut itu tentulah garuda betina sedangkan yang dia tunggangi tentu yang jantan. Baik manusia maupun binatang sama saja, yang betina lebih “cerewet”!
Dua ekor burung itu melayang turun ke atas pulau, tepat di depan Istana Pulau Es. Suma Han meloncat turun sambil memondong Kwi Hong yang sudah terbangun. Begitu menginjak tanah yang dingin sekali, Kwi Hong menggigil kedinginan. Akan tetapi Suma Han begitu turun di atas pulau, tak dapat menahan lagi keharuannya dan pendekar yang sudah kosong hatinya itu kini menangis tersedu-sedu!
Usianya belum ada tiga puluh tahun, baru dua puluh delapan atau dua puluh sembilan, namun kini ia sudah kembali ke Pulau Es untuk selamanya, mungkin! Bukan hal ini yang menyebabkan runtuhnya air matanya, melainkan keharuan melihat tempat di mana ia hidup berdua dengan Lulu sampai bertahun-tahun, penuh kebahagiaan. Kini Lulu telah tiada di sampingnya lagi!
“Paman Han Han, kenapa menangis? Siapa yang nakal kepadamu?”
Tiba-tiba Kwi Hong menghampiri dan memeluk leher Suma Han yang duduk di atas tanah. Mendengar ini, Suma Han merangkul Kwi Hong, berusaha menghentikan tangisnya yang ia tahu amat perlu karena kalau ditahan-tahan dapat menyebabkan luka di dalam tubuhnya dan menimbulkan penyakit.
Terdengar suara lirih dan ketika Suma Han mengangkat muka, dia melihat betapa dua ekor burung garuda itu memandang kepadanya seperti orang turut berduka cita! Melihat ini, timbul semangat Suma Han dan dia memondong tubuh Kwi Hong sambil melompat bangun dan tersenyum!
“Kwi Hong, keponakanku, anakku, muridku! Kita sekarang tinggal di sini, di Pulau Es. Lihat, itulah Istana Pulau Es di mana dahulu aku tinggal. Istana kita! Kita hidup di sini bersama dua ekor burung yang sakti ini, sepasang Sin-eng yang setia!”
“Tapi Ibu....?”
“Kelak kau akan tahu tentang Ibumu. Mari kita carikan ikan untuk hadiah Sin-¬eng yang telah mengantar kita ke sini!”
Suma Han berloncatan ke pantai pulau sambil menggendong Kwi Hong. Dengan kepandaiannya, mudah saja Suma Han membunuh banyak ikan besar dengan tongkatnya dan dia melontarkan ikan-ikan itu kepada burung garuda yang mengikuti mereka ke pantai.
Dua ekor burung itu girang sekali dan melahap ikan-ikan itu sambil mengeluarkan bunyi nyaring. Bagi mereka, amatlah sukar mencari ikan-ikan di dalam air dan mereka harus mencari makanan di pulau-pulau lain, mengintai dan menyergap binatang dengan susah payah. Kini ada orang yang memberi makan demikian banyaknya, tentu saja mereka girang sekali.
Demikianlah, untuk kedua kalinya, Suma Han hidup di dalam Istana Pulau Es, kini bersama Kwi Hong yang digembleng sehingga akhirnya bocah itu dapat bertahan melawan hawa dingin di Pulau Es yang bagi orang biasa akan amat menyiksa, bahkan dapat membunuhnya. Sepasang burung garuda menjadi jinak dan ternyata mereka ini adalah sepasang burung yang amat cerdik dan mereka merupakan binatang tunggangan yang amat berguna bagi Suma Han.
Untuk mencari bahan makanan, Suma Han sering menunggang garuda jantan yang mengantarnya terbang ke pulau-pulau lain di mana tumbuh buah-buah dan bahan-bahan makanan, juga binatang-binatang hutan. Hanya beberapa bulan sekali saja Suma Han pergi mencari bahan makanan, sekali cari cukup untuk dua tiga bulan. Bahan-bahan makanan itu tidak akan mudah membusuk kalau ditaruh di Pulau Es yang dingin.
Kwi Hong ternyata juga merupakan seorang anak yang cerdik dan berbakat baik. Keberaniannya luar biasa sehingga dalam usianya lima tahun saja dia sudah berani menunggang garuda betina yang menjadi teman baiknya, diterbangkan tinggi di angkasa, di antara awan¬-awan putih!
Hanya satu hal yang menjadi ganjalan di hati Suma Han. Bagi dia sendiri, dia sudah puas hidup di pulau itu, dan dia tidak akan menyesal hidup menyendiri di situ sampai mati sekalipun. Akan tetapi Kwi Hong! Anak itu membutuhkan pergaulan dengan manusia lain! Kalau tidak, apa akan jadinya dengan Kwi Hong? Bagaimana dengan perkembangan jiwanya dan pembentukan wataknya? Dia bukan seorang ahli didik dan di tempat seperti itu, mana mungkin ada manusia lain yang dapat dijadikan teman pergaulan Kwi Hong?
Kurang lebih dua tahun kemudian setelah Suma Han tinggal di Pulau Es, pada suatu hari seperti biasa dalam dua tiga bulan sekali, ia menunggang Garuda Putih jantan untuk pergi mencari bahan makanan. Sekali ini, karena hendak melihat-lihat keadaan, dia mengajak garuda itu terbang ke arah utara, kemudian berkeliling ke timur, tidak seperti biasanya menuju ke sekelompok pulau yang subur di selatan.
Tiba-tiba pandang matanya melihat sebuah perahu layar besar yang berwarna hitam, hitam seluruhnya sampai layarnya pun semua berwarna hitam. Hatinya tertarik dan ia menyuruh garuda putih melayang turun mendekati perahu layar. Dari jauh di atas ia sudah melihat pemandangan yang memanaskan hatinya. Di atas perahu itu terdapat empat puluh orang laki-laki dan perempuan yang terbelenggu dan diikat pada tiang-tiang besi yang sengaja didirikan di perahu, dan mereka ini sedang disiksa, dicambuki, oleh lima orang laki-laki dan seorang wanita yang mukanya berwarna jambon sedangkan laki-laki itu semua mukanya berwarna ungu!
Di atas dek tampak beberapa orang pula bekerja, agaknya anak buah perahu, dan muka mereka ini berwarna hitam dan merah. Orang-orang Pulau Neraka! Suma Han tertarik sekali dan menyuruh garudanya makin mendekat. Semua orang yang berada di perahu kini dapat melihat garuda itu dan ributlah mereka melihat seorang manusia menunggang seekor burung garuda.
Akan tetapi Suma Han sudah melihat cukup jelas, sampai dia dapat mengenal bahwa di antara empat puluh orang laki-¬laki dan wanita yang ditawan itu sebagian besar adalah bekas saudara-saudara seperguruannya, yaitu anak murid In-kok-¬san (Lembah Mega) di Gunung Tai-hang¬-san!
Bahkan di antara enam belas orang wanita tawanan itu terdapat bekas sucinya, yaitu Phoa Ciok Lin yang kini telah menjadi seorang wanita cantik dan gagah berusia dua puluh tujuh tahun! Adapun para tawanan yang lain tentu bukan orang-orang sembarangan pula, dapat dilihat dari sikap mereka yang gagah dan sama sekali tidak kelihatan takut biarpun dirantai dan dicambuki!
Diam-diam Suma Han menjadi terkejut dan heran sekali. Dia tahu bahwa anak murid In-kok-san, bekas murid-murid mendiang Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee yang terkenal sekali sebagai datuk golongan hitam, memiliki kepandaian tinggi dan mereka adalah pejuang-pejuang yang kemudian membalik dan memusuhi guru mereka sendiri setelah mereka tahu bahwa pembunuh orang-orang tua mereka sebenarnya adalah guru mereka sendiri (baca cerita Pendekar Super Sak¬ti).
Bagaimana mereka yang begini banyak jumlahnya dapat tertawan oleh orang-orang Pulau Neraka itu? Biarpun ia tahu bahwa laki-laki bermuka ungu dan perempuan bermuka jambon itu lihai sekali, namun kiranya tidak akan mudah menawan sekian banyaknya orang-orang yang berilmu tinggi! Betapapun juga, dia harus menolong mereka!
Garuda putih menukik turun ke arah permukaan perahu dan kini mereka yang berada di bawah dapat melihat jelas laki-laki berambut riap-riapan putih dan berkaki buntung yang menunggang garuda itu.
“Dia.... Pendekar Siluman....!”
Seruan ini keluar dari mulut laki-laki muka ungu dan wanita muka jambon yang pernah bertemu dengan Suma Han ketika mereka memperebutkan putera Bhok Khim di dalam kuil tua. Juga para murid In-kok-san kini mengenal Suma Han, namun mereka itu hanya memandang dengan heran dan jantung berdebar.
Benar bahwa Suma Han pernah menjadi murid In-kok-san, bahkan pernah diambil murid Toat-beng Ciu¬-san-li bersama tiga orang murid In-kok-¬san lain termasuk Phoa Ciok Lin, akan tetapi telah terjadi bentrok antara Suma Han dengan Ma-bin Lo-mo dan dengan Toat-beng Ciu-sian-li. Bahkan kedua orang datuk In-kok-san itu tewas di tangan bekas murid ini, sedangkan kaki kiri Suma Han juga buntung oleh Toat¬-beng Ciu-sian-li (baca cerita Pendekar Super Sakti)!
Biarpun bekas saudara seperguruan, namun sekarang tidak mungkin menganggapnya saudara seperguruan lagi tidak ada hubungannya sama sekali dan mereka pun sudah mendengar bahwa laki-laki muda yang buntung ini memiliki ilmu kepandaian seperti setan!
“Kwi Hong, kalau engkau tidak menangis lagi, Pamanmu akan mencarikan binatang-binatang cantik untukmu. Sekarang makanlah buah ini. Nih, Paman kupaskan kulitnya, manis sekali, makanlah!”
Kwi Hong suka makan buah itu, apalagi setelah Suma Han mengajarnya memberi sedikit kepada kelinci yang dipondongnya. Demikianlah, dengan akal sedapatnya bisa juga dia mengasuh Kwi Hong sambil melanjutkan perjalanannya. Ia hendak mencari jalan menuju ke pantai laut di mana dahulu ia mendarat bersama Lulu ketika mereka berdua meninggalkan Pulau Es. Dia hendak kembali ke Pulau Es itu bersama Kwi Hong.
Setelah melakukan perjalanan berpekan-pekan lamanya dan seringkali dia terpaksa menggunakan kekuatan mujijatnya untuk menidurkan Kwi Hong kalau anak itu terlalu rewel, akal yang jarang sekali ia pergunakan kalau amat tidak terpaksa, pada suatu senja tibalah Suma Han dan keponakannya di tepi pantai yang terjal sekali.
Air laut kebiruan tampak dari atas seperti permadani biru terbentang luas, sedikit pun tidak tampak bergoyang atau berombak saking tingginya tempat itu. Dari tempat yang tinggi ini, Suma Han memandang ke kanan kiri dan mulailah ia mengenal daerah ini.
Jauh di bawah sana, di sebelah kiri, di sanalah dia bersama Lulu, tiba-tiba tubuh Suma Han menjadi lemas dan hatinya makin kosong. Semenjak ia berpisah dengan Nirahai kemudian merayakan pernikahan Lulu, tahulah dia bahwa semenjak dahulu, dia hanya mencinta Lulu seorang. Sampai kini pun hanyalah Lulu yang ia cinta, sepenuh jiwa raganya dan ia rela menderita asal adiknya itu hidup bahagia.
“Lulu, semoga engkau selalu hidup bahagia!” Ia berbisik lirih seperti orang berdoa.
“Paman Han Han, kau bilang apa?”
Kwi Hong dalam pondongannya bertanya sambil memandang wajah Suma Han. Dalam kenangan yang mengharukan tadi, Suma Han sampai lupa kepada anak yang dipondongnya. Kwi Hong pandai bicara dan karena suaranya masih tidak jelas dan sepotong-sepotong, terdengar lucu sekali.
“Ah, tidak, Paman tidak bilang apa¬-apa.” kata Suma Han sambil mengambung pipi keponakannya itu, pipi yang halus montok kemerahan sehat.
“Paman tangkapkan binatang lagi! Kelinci lagi.... kelinciku lari!”
“Di sini mana ada kelinci?”
“Uh-hu-huk, minta kelinci....!”
Kwi Hong yang selalu dituruti permitaannya oleh Suma Han, dalam waktu sebulan lebih saja kini sudah pandai manja. Anak ini mengerti agaknya bahwa kalau dia menangis, apa pun permintaannya akan dipenuhi maka sekarang pun ia mempergunakan “senjatanya” yang lihai ini!
“Di sini tidak ada kelinci. Ikan, ya? Ikan laut? Atau udang? Kepiting.... eh kepiting baik sekali, lucu sekali! Kutangkapkan kepiting, ya?”
“Tidak, tidak mau.... hi-hi-hik, mau kelinci!” Kwi Hong menendang-nendangkan kaki dan menggeleng-gelengkan kepala sambil mewek.
Suma Han menarik napas panjang.
“Baiklah, baiklah.... eh, rewel benar anak ini.”
Ia menurunkan Kwi Hong yang seketika sudah berhenti menangis ketika mendengar pamannya menyanggupi. Dia sudah terlalu biasa bahwa sekali pamannya sanggup pasti akan dipenuhinya.
“Lihat baik-baik, nih, aku menjadi kelinci!”
Suma Han menggunakan ilmunya yang mujijat, mempengaruhi keponakannya sendiri seketika Kwi Hong tertawa-tawa gembira melihat seekor kelinci putih besar di depannya. Ia lupa sama sekali kepada pamannya yang sudah lenyap. Sambil tertawa-tawa ia lalu mengelus-elus kepala kelinci itu dan menarik-narik telinganya yang besar dengan penuh kasih sayang. Suma Han menahan kegelian hatinya ketika kepalanya dielus-elus dan kedua telinganya dijewer-jewer tangan kecil itu!
“Paman....! Paman Han Han....!” Tiba-tiba Kwi Hong memandang ke atas dan telunjuknya menuding-nuding ke atas. “Tangkapkan burung itu! Lekas, Paman, tangkapkan burung....!”
Anak itu kini sudah lupa akan kelincinya dan bangkit berdiri, memandang ke atas dan menuding-nuding sambil berteriak-teriak. Suma Han menarik napas panjang dan menjadi tertarik, ikut pula memandang ke atas. Terkejut dan heranlah dia ketika melihat dua ekor burung yang besar-besar sekali sedang bertanding di angkasa dengan serunya!
“Heran sekali!” Serunya. “Burung garuda dan rajawali....!”
“Tangkapkan burung, Paman. Lekas, tangkapkan burung itu....!” Kwi Hong bersorak.
Akan tetapi sekali ini Suma Han tidak memperhatikan permintaan keponakannya karena ia tertarik sekali. Selama hidupnya dia baru mendengar ceritanya saja tentang burung-burung garuda dan rajawali yang demikian besarnya. Apalagi sekarang dua ekor burung itu sedang berkelahi dengan gerakan dahsyat sekali sambil mengeluarkan suara melengking yang amat nyaring. Pertandingan yang hebat dan dahsyat di angkasa!
Akan tetapi, serangan dahsyat dari burung garuda membuat bulu dada rajawali itu bodol dan Si Rajawali terbang menjauh sambil memekik nyaring. Garuda itu pun mengeluarkan lengking nyaring dan terbang berputaran, kemudian meluncur turun dan hinggap di atas sebatang pohon besar tak jauh dari situ.
“Paman, tangkapkan burung.... hi-hi-¬hik....!” Kwi Hong menangis ketika melihat dua ekor burung itu lenyap.
“Baiklah, jangan menangis. Kau duduk saja di sini, ya? Paman hendak mencoba untuk menangkap burung itu.”
Suma Han sekali ini bukan ingin menangkap burung semata-mata memenuhi permintaan keponakannya, melainkan karena dia sendiri pun amat tertarik oleh burung garuda perkasa itu. Akan dicobanya untuk menangkap burung raksasa itu! Cepat tubuhnya mencelat mendekati pohon dan dengan kepandaiannya yang hebat, pendekar ini meloncat naik ke atas pohon.
Burung garuda itu besar sekali! Tingginya tidak kalah oleh tingginya manusia, kakinya besar kuat dan paruhnya menyeramkan! Burung itu sedang membereskan bulunya yang agak kusut karena pertandingan tadi, maka dia tidak tahu bahwa ada seorang manusia mendekatinya.
Dengan sebuah gerakan kilat, Suma Han meloncat ke atas punggung garuda, menggunakan lengannya merangkul leher sambil berseru,
“Sin-eng (Garuda Sakti), kita bersahabat!”
Tentu saja burung itu kaget sekali dan tidak mengerti ucapan Suma Han. Dia berusaha memutar leher untuk menyerang, akan tetapi lengan yang memeluknya demikian kuat sehingga dia tidak mampu menggerakkan lehernya. Burung itu menjerit aneh dan tiba-tiba meloncat ke atas lalu terbang membawa Suma Han yang masih duduk di atas punggungnya! Melihat ini, Kwi Hong bersorak, bangkit berdiri dan melambai-lambaikan kedua tangannya.
“Bagus....! Bagus sekali....! Paman, aku ikut....! Aku ikut terbang naik burung....!”
Suma Han yang selamanya baru sekali ini mengalami naik burung raksasa, tidak merasa takut hanya khawatir kalau-¬kalau burung itu membawanya terbang jauh meninggalkan Kwi Hong.
“Sin-eng, turunlah, kita jemput anak itu....!”
Akan tetapi burung garuda itu dalam ketakutannya terbang meluncur terus membubung tinggi ke angkasa, seakan-akan hendak membawa terbang Suma Han ke bulan yang pada senja hari itu sudah mulai tampak!
Suma Han mulai cemas dan memandang ke bawah. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika ia melihat sesosok bayangan hitam meluncur turun dan menyambar ke arah Kwi Hong yang masih berteriak-teriak dan melambai-lambaikan kedua tangannya. Bayangan itu bukan lain adalah burung rajawali yang tadi bertanding dan dikalahkan oleh garuda putih yang ditungganginya.
“Celaka....!”
Suma Han berteriak melihat keponakannya dicengkeram oleh kaki rajawali dan mendengar bocah itu berteriak-teriak menangis ketakutan.
“Sin-eng, demi Tuhan, tolonglah Kwi Hong!” Suma Han mencengkeram leher garuda dan memaksa kepala garuda itu ke bawah. Sang garuda kesakitan dan bingung, akan tetapi karena kepalanya dipaksa menunduk, maka ia pun mulai meluncur turun. Suma Han menekan-nekan leher garuda ke arah rajawali dan berkata, “Sin-eng, kejar rajawali itu. Cepat....!”
Agaknya burung garuda itu biarpun tidak dapat mengerti ucapan Suma Han, dapat mengenal mahluk yang jauh lebih kuat darinya, maka kini ia selalu terbang menurut ke mana kepalanya dipaksa berpaling. Akhirnya ia dapat melihat musuh besarnya, Si Burung Rajawali yang terbang cepat ke arah lautan!
Tanpa dikomando lagi, burung garuda itu terbang mengejar dengan kecepatan luar biasa dan tak lama kemudian, tersusullah burung rajawali yang mencengkeram Kwi Hong.
Anak itu masih menjerit-jerit dan bukan main cemas rasa hati Suma Han melihat bahwa yang dicengkeram raja¬wali itu adalah punggung baju Kwi Hong. Kalau baju itu robek, atau kalau rajawali itu melepaskan cengkeramannya! Ia memandang ke bawah dan bergidik. Di bawah hanya tampak air melulu, air kebiruan dari laut yang amat luas, mengerikan dengan ombak besar membuih!
“Sin-eng, terbang ke bawahnya, serang dia dari bawah, selamatkan anak itu!”
Suma Han mendorong kepala garuda. Garuda itu menyerbu ke depan, menukik ke bawah tubuh rajawali. Dengan gerakan tangkas sekali Suma Han mengulur tangan kanannya dan tongkatnya memukul kaki yang mencengkeram.
Rajawali memekik kesakitan, kaki yang mencengkeram kena dipukul, cengkeramannya terlepas dan nyaris tubuh Kwi Hong terlepas dari sambaran tangan Suma Han. Baiknya garuda itu dengan gerakan tiba-tiba dan amat tangkasnya, mengulur kaki dan berhasil mencengkeram tubuh Kwi Hong!
“Sin-eng yang baik, terima kasih!”
Suma Han bersorak ketika ia mengambil keponakannya dari cengkeraman garuda dan melihat bahwa tubuh keponakannya sama sekali tidak luka, tanda bahwa garuda itu berniat baik dan mencengkeram untuk menolong!
Kwi Hong masih menangis ketika dipangku Suma Han di atas punggung garuda.
“Paman, burung itu nakal....!”
Suma Han menghela napas lega. Bocah ini benar amat mengagumkan. Biarpun mengalami hal yang begitu menakutkan, tidak pingsan dan tidak ketakutan. Ia memandang rajawali yang kini melarikan diri terbang jauh, sedangkan ketika ia mencari-cari dengan pandang matanya, tidak tampak lagi daratan. Di mana-mana air melulu dan cuaca mulai gelap, malam mulai tiba!
“Sin-eng yang baik, bawalah kami kembali ke daratan!”
Berkali-kali Suma Han membujuk, kini tidak lagi ia berani “mengemudi” leher burung itu karena dia sendiri tidak tahu mana arah daratan. Burung itu terbang terus, cepat sekali dan terpaksa Suma Han menyerahkan nasibnya pada burung itu, yakin bahwa betapapun juga, pasti burung itu akan mendarat. Anehnya, Kwi Hong tidak menangis lagi, bahkan tertawa-tawa dan menuding ke arah bulan sepotong yang kelihatan indah sekali sambil berkata,
“Bagus....! Bulan bagus....!”
Suma Han menjadi lega hatinya dan melepas jubah luarnya untuk diselimutkan tubuh keponakannya karena terbang di atas punggung garuda itu mereka bertumbuk dengan angin yang amat besar dan dingin.
Namun, dapat dibayangkan betapa cemas hatinya karena burung itu terbang terus seolah-olah tidak akan berhenti lagi! Ia khawatir kalau-kalau burung itu kehabisan tenaga dan jatuh ke bawah. Kini keadaan makin gelap. Sinar bulan sepotong tidak mampu menembus halimun yang terbentang di bawah kaki mereka. Dia tidak tahu lagi apakah di bawah mereka itu masih lautan atau daratan!
Semalam suntuk burung raksasa itu terbang dan bagi Suma Han, semalam itu seperti setahun lamanya! Kwi Hong tertidur pulas di atas pangkuannya, untung baginya karena kalau dalam keadaan seperti itu anak itu rewel menangis, dia benar-benar akan kebingungan tidak tahu harus berbuat apa!
Ketika matahari pagi mulai mengusir kegelapan, Suma Han mendapat kenyataan bahwa mereka terbang di atas sekumpulan pulau-pulau di lautan luas! Jantungnya berdebar tegang. Pulau-pulau ini! Bukankah kepulauan yang dekat dengan Pulau Es? Dan burung itu masih terus terbang ke arah utara. Hal ini dapat ia ketahui dengan melihat munculnya matahari di sebelah kanannya.
Setelah beberapa lamanya melewati sekumpulan pulau-pulau sehingga kepulauan itu lenyap jauh di belakang, burung itu menukik turun menuju ke sebuah pulau yang tampak keputihan. Hampir Suma Han bersorak. Itulah Pulau Es! Tak salah lagi. Kini mulai tampaklah bentuk bangunan di tengah pulau. Istana Pulau Es! Dan benar saja burung itu melayang turun menuju ke pulau.
Tiba-¬tiba burung garuda mengeluarkan pekik dahsyat, melengking panjang dan dari pulau itu terdengar pula lengking yang sama, akan tetapi lebih tinggi nadanya dan tampaklah seekor burung garuda lain, terbang ke atas menyambut kedatangan mereka!
Burung garuda yang terbang menyambut ini kelihatan bingung dan kaget ketika melihat betapa di punggung temannya duduk dua orang manusia, dia mengeluarkan bunyi nyaring berkali-kali dan dijawab oleh garuda yang diduduki Suma Han dengan pekik-pekik pendek seperti orang bertanya dan menjawab. Suma Han menjadi geli hatinya dan sedetik ia dapat menduga bahwa burung garuda yang menyambut itu tentulah garuda betina sedangkan yang dia tunggangi tentu yang jantan. Baik manusia maupun binatang sama saja, yang betina lebih “cerewet”!
Dua ekor burung itu melayang turun ke atas pulau, tepat di depan Istana Pulau Es. Suma Han meloncat turun sambil memondong Kwi Hong yang sudah terbangun. Begitu menginjak tanah yang dingin sekali, Kwi Hong menggigil kedinginan. Akan tetapi Suma Han begitu turun di atas pulau, tak dapat menahan lagi keharuannya dan pendekar yang sudah kosong hatinya itu kini menangis tersedu-sedu!
Usianya belum ada tiga puluh tahun, baru dua puluh delapan atau dua puluh sembilan, namun kini ia sudah kembali ke Pulau Es untuk selamanya, mungkin! Bukan hal ini yang menyebabkan runtuhnya air matanya, melainkan keharuan melihat tempat di mana ia hidup berdua dengan Lulu sampai bertahun-tahun, penuh kebahagiaan. Kini Lulu telah tiada di sampingnya lagi!
“Paman Han Han, kenapa menangis? Siapa yang nakal kepadamu?”
Tiba-tiba Kwi Hong menghampiri dan memeluk leher Suma Han yang duduk di atas tanah. Mendengar ini, Suma Han merangkul Kwi Hong, berusaha menghentikan tangisnya yang ia tahu amat perlu karena kalau ditahan-tahan dapat menyebabkan luka di dalam tubuhnya dan menimbulkan penyakit.
Terdengar suara lirih dan ketika Suma Han mengangkat muka, dia melihat betapa dua ekor burung garuda itu memandang kepadanya seperti orang turut berduka cita! Melihat ini, timbul semangat Suma Han dan dia memondong tubuh Kwi Hong sambil melompat bangun dan tersenyum!
“Kwi Hong, keponakanku, anakku, muridku! Kita sekarang tinggal di sini, di Pulau Es. Lihat, itulah Istana Pulau Es di mana dahulu aku tinggal. Istana kita! Kita hidup di sini bersama dua ekor burung yang sakti ini, sepasang Sin-eng yang setia!”
“Tapi Ibu....?”
“Kelak kau akan tahu tentang Ibumu. Mari kita carikan ikan untuk hadiah Sin-¬eng yang telah mengantar kita ke sini!”
Suma Han berloncatan ke pantai pulau sambil menggendong Kwi Hong. Dengan kepandaiannya, mudah saja Suma Han membunuh banyak ikan besar dengan tongkatnya dan dia melontarkan ikan-ikan itu kepada burung garuda yang mengikuti mereka ke pantai.
Dua ekor burung itu girang sekali dan melahap ikan-ikan itu sambil mengeluarkan bunyi nyaring. Bagi mereka, amatlah sukar mencari ikan-ikan di dalam air dan mereka harus mencari makanan di pulau-pulau lain, mengintai dan menyergap binatang dengan susah payah. Kini ada orang yang memberi makan demikian banyaknya, tentu saja mereka girang sekali.
Demikianlah, untuk kedua kalinya, Suma Han hidup di dalam Istana Pulau Es, kini bersama Kwi Hong yang digembleng sehingga akhirnya bocah itu dapat bertahan melawan hawa dingin di Pulau Es yang bagi orang biasa akan amat menyiksa, bahkan dapat membunuhnya. Sepasang burung garuda menjadi jinak dan ternyata mereka ini adalah sepasang burung yang amat cerdik dan mereka merupakan binatang tunggangan yang amat berguna bagi Suma Han.
Untuk mencari bahan makanan, Suma Han sering menunggang garuda jantan yang mengantarnya terbang ke pulau-pulau lain di mana tumbuh buah-buah dan bahan-bahan makanan, juga binatang-binatang hutan. Hanya beberapa bulan sekali saja Suma Han pergi mencari bahan makanan, sekali cari cukup untuk dua tiga bulan. Bahan-bahan makanan itu tidak akan mudah membusuk kalau ditaruh di Pulau Es yang dingin.
Kwi Hong ternyata juga merupakan seorang anak yang cerdik dan berbakat baik. Keberaniannya luar biasa sehingga dalam usianya lima tahun saja dia sudah berani menunggang garuda betina yang menjadi teman baiknya, diterbangkan tinggi di angkasa, di antara awan¬-awan putih!
Hanya satu hal yang menjadi ganjalan di hati Suma Han. Bagi dia sendiri, dia sudah puas hidup di pulau itu, dan dia tidak akan menyesal hidup menyendiri di situ sampai mati sekalipun. Akan tetapi Kwi Hong! Anak itu membutuhkan pergaulan dengan manusia lain! Kalau tidak, apa akan jadinya dengan Kwi Hong? Bagaimana dengan perkembangan jiwanya dan pembentukan wataknya? Dia bukan seorang ahli didik dan di tempat seperti itu, mana mungkin ada manusia lain yang dapat dijadikan teman pergaulan Kwi Hong?
Kurang lebih dua tahun kemudian setelah Suma Han tinggal di Pulau Es, pada suatu hari seperti biasa dalam dua tiga bulan sekali, ia menunggang Garuda Putih jantan untuk pergi mencari bahan makanan. Sekali ini, karena hendak melihat-lihat keadaan, dia mengajak garuda itu terbang ke arah utara, kemudian berkeliling ke timur, tidak seperti biasanya menuju ke sekelompok pulau yang subur di selatan.
Tiba-tiba pandang matanya melihat sebuah perahu layar besar yang berwarna hitam, hitam seluruhnya sampai layarnya pun semua berwarna hitam. Hatinya tertarik dan ia menyuruh garuda putih melayang turun mendekati perahu layar. Dari jauh di atas ia sudah melihat pemandangan yang memanaskan hatinya. Di atas perahu itu terdapat empat puluh orang laki-laki dan perempuan yang terbelenggu dan diikat pada tiang-tiang besi yang sengaja didirikan di perahu, dan mereka ini sedang disiksa, dicambuki, oleh lima orang laki-laki dan seorang wanita yang mukanya berwarna jambon sedangkan laki-laki itu semua mukanya berwarna ungu!
Di atas dek tampak beberapa orang pula bekerja, agaknya anak buah perahu, dan muka mereka ini berwarna hitam dan merah. Orang-orang Pulau Neraka! Suma Han tertarik sekali dan menyuruh garudanya makin mendekat. Semua orang yang berada di perahu kini dapat melihat garuda itu dan ributlah mereka melihat seorang manusia menunggang seekor burung garuda.
Akan tetapi Suma Han sudah melihat cukup jelas, sampai dia dapat mengenal bahwa di antara empat puluh orang laki-¬laki dan wanita yang ditawan itu sebagian besar adalah bekas saudara-saudara seperguruannya, yaitu anak murid In-kok-¬san (Lembah Mega) di Gunung Tai-hang¬-san!
Bahkan di antara enam belas orang wanita tawanan itu terdapat bekas sucinya, yaitu Phoa Ciok Lin yang kini telah menjadi seorang wanita cantik dan gagah berusia dua puluh tujuh tahun! Adapun para tawanan yang lain tentu bukan orang-orang sembarangan pula, dapat dilihat dari sikap mereka yang gagah dan sama sekali tidak kelihatan takut biarpun dirantai dan dicambuki!
Diam-diam Suma Han menjadi terkejut dan heran sekali. Dia tahu bahwa anak murid In-kok-san, bekas murid-murid mendiang Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee yang terkenal sekali sebagai datuk golongan hitam, memiliki kepandaian tinggi dan mereka adalah pejuang-pejuang yang kemudian membalik dan memusuhi guru mereka sendiri setelah mereka tahu bahwa pembunuh orang-orang tua mereka sebenarnya adalah guru mereka sendiri (baca cerita Pendekar Super Sak¬ti).
Bagaimana mereka yang begini banyak jumlahnya dapat tertawan oleh orang-orang Pulau Neraka itu? Biarpun ia tahu bahwa laki-laki bermuka ungu dan perempuan bermuka jambon itu lihai sekali, namun kiranya tidak akan mudah menawan sekian banyaknya orang-orang yang berilmu tinggi! Betapapun juga, dia harus menolong mereka!
Garuda putih menukik turun ke arah permukaan perahu dan kini mereka yang berada di bawah dapat melihat jelas laki-laki berambut riap-riapan putih dan berkaki buntung yang menunggang garuda itu.
“Dia.... Pendekar Siluman....!”
Seruan ini keluar dari mulut laki-laki muka ungu dan wanita muka jambon yang pernah bertemu dengan Suma Han ketika mereka memperebutkan putera Bhok Khim di dalam kuil tua. Juga para murid In-kok-san kini mengenal Suma Han, namun mereka itu hanya memandang dengan heran dan jantung berdebar.
Benar bahwa Suma Han pernah menjadi murid In-kok-san, bahkan pernah diambil murid Toat-beng Ciu¬-san-li bersama tiga orang murid In-kok-¬san lain termasuk Phoa Ciok Lin, akan tetapi telah terjadi bentrok antara Suma Han dengan Ma-bin Lo-mo dan dengan Toat-beng Ciu-sian-li. Bahkan kedua orang datuk In-kok-san itu tewas di tangan bekas murid ini, sedangkan kaki kiri Suma Han juga buntung oleh Toat¬-beng Ciu-sian-li (baca cerita Pendekar Super Sakti)!
Biarpun bekas saudara seperguruan, namun sekarang tidak mungkin menganggapnya saudara seperguruan lagi tidak ada hubungannya sama sekali dan mereka pun sudah mendengar bahwa laki-laki muda yang buntung ini memiliki ilmu kepandaian seperti setan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar