Pada saat itu, dari sebelah kanan menyambar lagi benda putih. Bu Song penasaran dan ingin memperlihatkan kepandaiannya. Dengan dua jari tangan ia menyambar benda putih itu dan berhasil menjepitnya.
Akan tetapi hampir saja ia berteriak saking kagetnya. Benda yang disangkanya senjata rahasia itu kiranya adalah seekor ular putih yang kini terjepit di antara dua jarinya akan tetapi ular itu telah menggigit telapak tangannya!
Bu Song gemas dan sekali remas kepala ular itu hancur. Telapak tangannya mengeluarkan darah sedikit, Bu Song tidak kuatir. Tubuhnya sudah kebal terhadap racun. Akan tetapi ia tidak mau mengambil resiko, maka dengan pengerahan hawa sakti ke arah tangannya, ia berhasil mendorong keluar darahnya melalui luka. Darahnya berubah putih yang keluar dari luka, tanda keracunan!
Akan tetapi hanya sedikit dan setelah yang mengucur keluar adalah darah merah bersih, ia menghentikan usahanya. Luka tidak berarti, dan ia diam-diam merasa geli. Kiranya ia tadi bicara terhadap ular-ular putih kecil yang menyerang orang sambil "terbang" atau lebih tepat, meluncur dan melayang.
Benar-benar amat berbahaya ular-ular itu. Kalau bukan dia yang digigit, bisa mendatangkan maut. Mulai mengertilah kini Bu Song mengapa Si Nelayan itu takut setengah mati terhadap pulau ini. Dan ia pun menduga bahwa tentu masih ada bahaya-bahaya lainnya di pulau ini. Dengan hati-hati ia berjalan terus ke depan. Serangan ular-ular putih ia hindarkan dengan mengelak atau kadang-kadang mengebutnya dengan ujung baju lengan.
Tiba-tiba jantungnya berdebar keras dan ia menghentikan langkahnya. Ia menahan napas dan mendengarkan penuh perhatian. Tidak salah lagi! Itulah tiupan suling! Suara suling yang luar biasa sekali. Dia sendiri seorang ahli meniup suling, akan tetapi tiupan suling yang terdengar itu benar-benar mengagumkan. Dan suara itu datang dari depan sebelah kiri, dari pinggir hutan dimana terdapat bukit-bukit dengan batu-batu hitam.
Girang sekali hati Bu Song. Kiranya mendiang Ciu Gwan Liong tidak menipunya. Ia tidak ragu bahwa yang meniup suling itu tentulah sastrawan Ciu Bun yang dicarinya! Cepat ia berlari menuju ke bukit dekat hutan itu. kini ia tiba di daerah penuh pasir. Dan tiba-tiba ia roboh terguling karena pasir yang diinjaknya itu bergerak memutar!
Begitu jatuh, pasir yang menerima tubuhnya itu mengisap dan berputaran. Bu Song kaget bukan main. Cepat ia mengerahkan tenaganya dan memukulkan kedua telapak tangan ke atas pasir, menggunakan daya dorongan ini untuk mengangkat tubuh ke atas dan sambil berjungkir balik ia meloncat jauh ke depan.
Mukanya pucat melihat pasir itu masih bergerak-gerak seperti air! Bukan main! Kalau ia tadi tidak cepat membebaskan diri, tentu tubuhnya akan terisap terus ke bawah dan sekali tubuhnya terisap, sukarlah melepaskan diri lagi. Benar-benar tempat yang amat berbahaya.
Kini ia melangkah dengan hati-hati sekali. Kiranya daerah berpasir ini banyak sekali berpusing seperti itu. Akan tetapi karena ia sudah hati-hati, begitu kakinya menginjak pasir bergerak, ia segera meloncat dan dengan demikian terhindarlah ia dari bahaya itu dan akhirnya ia tiba di dekat bukit dari mana suara suling kini terdengar jelas.
Suara suling itu keluar dari sebuah gua. Dengan hati girang Bu Song terus berjalan menghampiri. Gua itu merupakan terowongan yang dalam dan gelap. Merasa bahwa ia berada di tempat orang, Bu Song tidak berani masuk dan hanya berdiri di depan gua, menanti sampai suara suling itu habis dilagukan. Akhirnya suara suling berhenti dan Bu Song segera berseru.
"Apakah Paman Ciu Bun berada di dalam?" Hening, tiada jawaban sampai lama.
"Saya datang membawa pesan mendiang Paman Ciu Gwan Liong!"
Segera terdengar jawaban dari dalam, suaranya penuh ejekan,
"Sin-jiu Couw Pa Ong, apa artinya semua lelucon ini? Kalau kau mau coba memaksaku, mau menyiksaku atau membunuhku, kau masuk saja. Perlu apa menyebut-nyebut nama Gwan Liong?"
Bu Song terkejut. Mengapa orang di dalam itu menyebut-nyebut nama Sin-jiu Couw Pa Ong?
"Paman Ciu Bun, saya bukan Sin-jiu Couw pa Ong. Nama saya Liu Bu Song!" teriaknya.
Ia sengaja menggunakan she ibunya, karena ia masih merasa tak senang kepada ayahnya yang dianggap telah menceraikan ibunya dan menikah lagi.
"Orang muda, apakah kau bukan kaki tangan Couw Pa Ong?"
Agaknya orang di dalam gua yang gelap itu dapat melihatnya yang berada di luar gua, buktinya dapat mengetahui bahwa dia adalah seorang pemuda.
"Sama sekali bukan, Paman."
"Kau membawa pesan apa dari Ciu Gwan Liong?"
"Sebelum Paman Ciu Gwan Liong meninggal, dia menyerahkan sebuah kitab kepada saya dan menyuruh saya mencari Paman Ciu Bun di pulau ini."
"Aaahhh...!" Orang itu mengeluarkan seruan kaget, diam sampai lama lalu berkata, "Orang muda, coba kau bacakan sajak ke tiga dari dalam kitab itu!"
Bu Song sudah sering membaca kitab pemberian Ciu Gwan Liong, maka tanpa membaca pun ia sudah hafal. Maka ia lalu membacakan kalimat dalam sajak ke tiga.
"Matahari bersinar miring di tengah hari.
Sesuatu mati begitu lahir.
Selatan tiada batas dan ada ujungnya.
Aku pergi ke selatan hari ini dan tiba di sana kemarin!
Cintalah semua benda dengan sama.
Alam adalah satu."
Kitab kecil kuno itu memang mengandung sajak-sajak yang amat aneh dan sukar dimengerti. Sajak ke tiga yang dibacakan oleh Bu Song itu adalah sajak dari seorang menteri Kerajaan Wei bernama Hui Su (370-319 BC), seorang tokoh Mohism, yaitu pengikut ajaran-ajaran Mo Cu. Keistimewaan Mohism adalah kata-kata yang saling bertentangan atau saling berlawanan.
Begitu mendengar Bu Song membacakan sajak itu, orang di sebelah dalam gua berseru girang,
"Tepat...! Orang muda, engkau dapat sampai disini tentu memiliki kepandaian, siapakah Gurumu?"
"Suhu bernama Kim-mo Taisu."
"Wah, pantas... pantas saja adikku mempercayaimu. Kau masuklah dan suling ini tentu akan kuberikan kepadamu. Akan tetapi engkau harus bisa menghalau perintang yang menyeramkan itu lebih dulu. Ingin kulihat apakah kepercayaan Gwan Liong kepadamu tidak sia-sia! Masuklah, orang muda, akan tetapi awas terhadap binatang-binatang itu. mereka amat buas!"
Bu Song melangkah masuk. Karena orang di dalam gua sudah memberi peringatan, ia bersikap hati-hati sekali, melangkah perlahan-lahan dan mata serta telinganya siap. Tiba-tiba ia mendengar desis keras dan hidungnya mencium bau yang amis. Baiknya cahaya matahari masih cukup terang memasuki gua itu sehingga ia dapat melihat bayangan hitam merayap datang di depannya dan ternyata yang merayap itu adalah seekor binatang seperti buaya yang luar biasa!
Kulitnya tebal, matanya besar bersinar hijau, lidahnya panjang bercabang seperti lidah ular dan dari mulutnya yang mendesis-desis itu keluar uap putih yang berbau amis. Suara mendesis makin hebat dan ternyata bukan seekor saja binatang itu, melainkan ada empat ekor! Mereka datang dari depan, kanan dan kiri dengan sikap mengancam.
Bu Song berdiri memasang kuda-kuda dan begitu melihat binatang yang paling dekat dengannya menyergap dengan kedua kaki depan terangkat dan mulut terbuka lebar, Bu Song segera mengerahkan tenaga ke tangan kanan dan ia memukul dengan jari terbuka.
"Desss!!"
Binatang seperti buaya itu terlempar, mengeluarkan suara keras akan tetapi lalu merayap pergi, gerakannya lemah dan limbung.
Lega hati Bu Song. Kiranya binatang-binatang ini lebih menakutkan daripada membahayakan. Ia tidak menanti sampai binatang-binatang itu menyerbunya, melainkan mendahului menerjang maju dan dengan gerakan cepat sekali kedua tangannya membagi-bagi pukulan yang diarahkan kepada tiga ekor binatang yang lain. Terdengar suara keras dan binatang-binatang itu menjerit-jerit lalu lari kacau-balau, bersembunyi di balik batu karang yang gelap di kanan kiri gua.
"Bagus! Kau tidak kecewa menjadi murid Kim-mo Taisu dan kepercayaan adikku Gwan Liong. Tunggulah, orang muda. Setelah empat ekor binatang buruk itu pergi aku dapat keluar sendiri!"
Suara orang itu terdengar girang dan tak lama kemudian muncullah sesosok bayangan hitam dari dalam gelap. Ketika tiba di tempat yang diterangi sinar matahari dari luar, Bu Song melihat seorang laki-laki tua tinggi kurus bermuka pucat.
Tubuh dan mukanya menyatakan bahwa kakek ini tidak sehat, atau bahkan sakit, akan tetapi ketika ia berjalan keluar, langkahnya dan sikapnya membayangkan keangkuhan seorang terpelajar tinggi. Di tangan kanannya terdapat sebatang suling yang berkilauan ketika terkena sinar matahari, sebatang suling berwarna kuning. Tidak salah lagi, itulah suling emas, pikir Bu Song dengan hati penuh ketegangan.
Kakek itu pun memandang Bu Song penuh perhatian. Agaknya ia puas melihat Bu Song.
"Mari kita keluar. Kau harus cepat-cepat mempelajari cara meniup suling ini dan menyesuaikan bunyinya dengan sajak-sajak di dalam kitab. Hayo cepat, jangan sampai ia keburu datang!" Tergesa-gesa kakek ini mengajak Bu Song keluar dari dalam gua.
"Apakah Paman maksudkan Kong Lo Sengjin?"
Kakek itu berhenti di depan gua dan memandang. Matanya yang tajam penuh selidik dan membayangkan kecurigaan.
"Kau mengenal dia?"
"Tentu saja saya mengenal Kong Lo Sengjin, Paman. Isteri Suhu adalah keponakan Kong Lo Seng Jin, akan tetapi anehnya, kakek yang sakti tapi kejam itu menyuruh bunuh keponakannya sendiri untuk menipu Suhu."
Kakek yang bukan lain adalah sastrawan Ciu Bun yang selama bertahun-tahun dicari-cari oleh tokoh-tokoh kang-ouw itu tercengang.
"Apa... ? Kim-mo Taisu menjadi mantu keponakan Couw Pa Ong? Sungguh aneh! Dan tua bangka itu menyuruh bunuh keponakannya sendiri? Orang muda, eh... siapa namamu tadi? Bu Song? Bu Song, kau ceritakan semua kepadaku!"
Mereka pergi ke belakang tumpukan karang tak jauh dari gua. Disitu Kakek Ciu Bun duduk dan Bu Song segera menceritakan keadaan suhunya dan Kong Lo Sengjin menipu Kim-mo Taisu bahwa pembunuhnya adalah musuh-musuh Kong Lo Sengjin. Kemudian betapa secara tidak sengaja ia mendengar percakapan antara Kong Lo Sengjin dan tokoh-tokoh Hui-to-pang maka ia tahu akan rahasia itu. Kemudian ia bercerita juga sedikit tentang keadaan dirinya, bahwa selain murid Kim-mo Taisu, dia pun bekas calon mantunya dan betapa calon isterinya puteri Kim-mo Taisu tewas di dalam jurang.
Mendengar penuturan itu, Ciu Bun bengong lalu memaki gemas,
"Tua bangka itu benar-benar telah menyeleweng jauh daripada kebenaran! Untung bukan dia yang mendapatkan kitab di tangan Gwan Liong. Kau tadi bilang Gwan Liong sudah meninggal, bagaimana kau tahu?"
"Bukan hanya tahu, Paman. Bahkan saya yang mengubur jenazahnya."
Kembali Bu Song bercerita tentang nasib Ciu Gwan Liong yang buruk dan betapa kakek sastrawan itu agaknya membunuh diri agar jangan sampai terjatuh ke tangan Kong Lo Sengjin.
Ciu Bun membanting-banting kaki kanannya.
"Couw Pa Ong, kau benar-benar patut dimaki dan dikutuk!"
Akan tetapi hampir saja ia berteriak saking kagetnya. Benda yang disangkanya senjata rahasia itu kiranya adalah seekor ular putih yang kini terjepit di antara dua jarinya akan tetapi ular itu telah menggigit telapak tangannya!
Bu Song gemas dan sekali remas kepala ular itu hancur. Telapak tangannya mengeluarkan darah sedikit, Bu Song tidak kuatir. Tubuhnya sudah kebal terhadap racun. Akan tetapi ia tidak mau mengambil resiko, maka dengan pengerahan hawa sakti ke arah tangannya, ia berhasil mendorong keluar darahnya melalui luka. Darahnya berubah putih yang keluar dari luka, tanda keracunan!
Akan tetapi hanya sedikit dan setelah yang mengucur keluar adalah darah merah bersih, ia menghentikan usahanya. Luka tidak berarti, dan ia diam-diam merasa geli. Kiranya ia tadi bicara terhadap ular-ular putih kecil yang menyerang orang sambil "terbang" atau lebih tepat, meluncur dan melayang.
Benar-benar amat berbahaya ular-ular itu. Kalau bukan dia yang digigit, bisa mendatangkan maut. Mulai mengertilah kini Bu Song mengapa Si Nelayan itu takut setengah mati terhadap pulau ini. Dan ia pun menduga bahwa tentu masih ada bahaya-bahaya lainnya di pulau ini. Dengan hati-hati ia berjalan terus ke depan. Serangan ular-ular putih ia hindarkan dengan mengelak atau kadang-kadang mengebutnya dengan ujung baju lengan.
Tiba-tiba jantungnya berdebar keras dan ia menghentikan langkahnya. Ia menahan napas dan mendengarkan penuh perhatian. Tidak salah lagi! Itulah tiupan suling! Suara suling yang luar biasa sekali. Dia sendiri seorang ahli meniup suling, akan tetapi tiupan suling yang terdengar itu benar-benar mengagumkan. Dan suara itu datang dari depan sebelah kiri, dari pinggir hutan dimana terdapat bukit-bukit dengan batu-batu hitam.
Girang sekali hati Bu Song. Kiranya mendiang Ciu Gwan Liong tidak menipunya. Ia tidak ragu bahwa yang meniup suling itu tentulah sastrawan Ciu Bun yang dicarinya! Cepat ia berlari menuju ke bukit dekat hutan itu. kini ia tiba di daerah penuh pasir. Dan tiba-tiba ia roboh terguling karena pasir yang diinjaknya itu bergerak memutar!
Begitu jatuh, pasir yang menerima tubuhnya itu mengisap dan berputaran. Bu Song kaget bukan main. Cepat ia mengerahkan tenaganya dan memukulkan kedua telapak tangan ke atas pasir, menggunakan daya dorongan ini untuk mengangkat tubuh ke atas dan sambil berjungkir balik ia meloncat jauh ke depan.
Mukanya pucat melihat pasir itu masih bergerak-gerak seperti air! Bukan main! Kalau ia tadi tidak cepat membebaskan diri, tentu tubuhnya akan terisap terus ke bawah dan sekali tubuhnya terisap, sukarlah melepaskan diri lagi. Benar-benar tempat yang amat berbahaya.
Kini ia melangkah dengan hati-hati sekali. Kiranya daerah berpasir ini banyak sekali berpusing seperti itu. Akan tetapi karena ia sudah hati-hati, begitu kakinya menginjak pasir bergerak, ia segera meloncat dan dengan demikian terhindarlah ia dari bahaya itu dan akhirnya ia tiba di dekat bukit dari mana suara suling kini terdengar jelas.
Suara suling itu keluar dari sebuah gua. Dengan hati girang Bu Song terus berjalan menghampiri. Gua itu merupakan terowongan yang dalam dan gelap. Merasa bahwa ia berada di tempat orang, Bu Song tidak berani masuk dan hanya berdiri di depan gua, menanti sampai suara suling itu habis dilagukan. Akhirnya suara suling berhenti dan Bu Song segera berseru.
"Apakah Paman Ciu Bun berada di dalam?" Hening, tiada jawaban sampai lama.
"Saya datang membawa pesan mendiang Paman Ciu Gwan Liong!"
Segera terdengar jawaban dari dalam, suaranya penuh ejekan,
"Sin-jiu Couw Pa Ong, apa artinya semua lelucon ini? Kalau kau mau coba memaksaku, mau menyiksaku atau membunuhku, kau masuk saja. Perlu apa menyebut-nyebut nama Gwan Liong?"
Bu Song terkejut. Mengapa orang di dalam itu menyebut-nyebut nama Sin-jiu Couw Pa Ong?
"Paman Ciu Bun, saya bukan Sin-jiu Couw pa Ong. Nama saya Liu Bu Song!" teriaknya.
Ia sengaja menggunakan she ibunya, karena ia masih merasa tak senang kepada ayahnya yang dianggap telah menceraikan ibunya dan menikah lagi.
"Orang muda, apakah kau bukan kaki tangan Couw Pa Ong?"
Agaknya orang di dalam gua yang gelap itu dapat melihatnya yang berada di luar gua, buktinya dapat mengetahui bahwa dia adalah seorang pemuda.
"Sama sekali bukan, Paman."
"Kau membawa pesan apa dari Ciu Gwan Liong?"
"Sebelum Paman Ciu Gwan Liong meninggal, dia menyerahkan sebuah kitab kepada saya dan menyuruh saya mencari Paman Ciu Bun di pulau ini."
"Aaahhh...!" Orang itu mengeluarkan seruan kaget, diam sampai lama lalu berkata, "Orang muda, coba kau bacakan sajak ke tiga dari dalam kitab itu!"
Bu Song sudah sering membaca kitab pemberian Ciu Gwan Liong, maka tanpa membaca pun ia sudah hafal. Maka ia lalu membacakan kalimat dalam sajak ke tiga.
"Matahari bersinar miring di tengah hari.
Sesuatu mati begitu lahir.
Selatan tiada batas dan ada ujungnya.
Aku pergi ke selatan hari ini dan tiba di sana kemarin!
Cintalah semua benda dengan sama.
Alam adalah satu."
Kitab kecil kuno itu memang mengandung sajak-sajak yang amat aneh dan sukar dimengerti. Sajak ke tiga yang dibacakan oleh Bu Song itu adalah sajak dari seorang menteri Kerajaan Wei bernama Hui Su (370-319 BC), seorang tokoh Mohism, yaitu pengikut ajaran-ajaran Mo Cu. Keistimewaan Mohism adalah kata-kata yang saling bertentangan atau saling berlawanan.
Begitu mendengar Bu Song membacakan sajak itu, orang di sebelah dalam gua berseru girang,
"Tepat...! Orang muda, engkau dapat sampai disini tentu memiliki kepandaian, siapakah Gurumu?"
"Suhu bernama Kim-mo Taisu."
"Wah, pantas... pantas saja adikku mempercayaimu. Kau masuklah dan suling ini tentu akan kuberikan kepadamu. Akan tetapi engkau harus bisa menghalau perintang yang menyeramkan itu lebih dulu. Ingin kulihat apakah kepercayaan Gwan Liong kepadamu tidak sia-sia! Masuklah, orang muda, akan tetapi awas terhadap binatang-binatang itu. mereka amat buas!"
Bu Song melangkah masuk. Karena orang di dalam gua sudah memberi peringatan, ia bersikap hati-hati sekali, melangkah perlahan-lahan dan mata serta telinganya siap. Tiba-tiba ia mendengar desis keras dan hidungnya mencium bau yang amis. Baiknya cahaya matahari masih cukup terang memasuki gua itu sehingga ia dapat melihat bayangan hitam merayap datang di depannya dan ternyata yang merayap itu adalah seekor binatang seperti buaya yang luar biasa!
Kulitnya tebal, matanya besar bersinar hijau, lidahnya panjang bercabang seperti lidah ular dan dari mulutnya yang mendesis-desis itu keluar uap putih yang berbau amis. Suara mendesis makin hebat dan ternyata bukan seekor saja binatang itu, melainkan ada empat ekor! Mereka datang dari depan, kanan dan kiri dengan sikap mengancam.
Bu Song berdiri memasang kuda-kuda dan begitu melihat binatang yang paling dekat dengannya menyergap dengan kedua kaki depan terangkat dan mulut terbuka lebar, Bu Song segera mengerahkan tenaga ke tangan kanan dan ia memukul dengan jari terbuka.
"Desss!!"
Binatang seperti buaya itu terlempar, mengeluarkan suara keras akan tetapi lalu merayap pergi, gerakannya lemah dan limbung.
Lega hati Bu Song. Kiranya binatang-binatang ini lebih menakutkan daripada membahayakan. Ia tidak menanti sampai binatang-binatang itu menyerbunya, melainkan mendahului menerjang maju dan dengan gerakan cepat sekali kedua tangannya membagi-bagi pukulan yang diarahkan kepada tiga ekor binatang yang lain. Terdengar suara keras dan binatang-binatang itu menjerit-jerit lalu lari kacau-balau, bersembunyi di balik batu karang yang gelap di kanan kiri gua.
"Bagus! Kau tidak kecewa menjadi murid Kim-mo Taisu dan kepercayaan adikku Gwan Liong. Tunggulah, orang muda. Setelah empat ekor binatang buruk itu pergi aku dapat keluar sendiri!"
Suara orang itu terdengar girang dan tak lama kemudian muncullah sesosok bayangan hitam dari dalam gelap. Ketika tiba di tempat yang diterangi sinar matahari dari luar, Bu Song melihat seorang laki-laki tua tinggi kurus bermuka pucat.
Tubuh dan mukanya menyatakan bahwa kakek ini tidak sehat, atau bahkan sakit, akan tetapi ketika ia berjalan keluar, langkahnya dan sikapnya membayangkan keangkuhan seorang terpelajar tinggi. Di tangan kanannya terdapat sebatang suling yang berkilauan ketika terkena sinar matahari, sebatang suling berwarna kuning. Tidak salah lagi, itulah suling emas, pikir Bu Song dengan hati penuh ketegangan.
Kakek itu pun memandang Bu Song penuh perhatian. Agaknya ia puas melihat Bu Song.
"Mari kita keluar. Kau harus cepat-cepat mempelajari cara meniup suling ini dan menyesuaikan bunyinya dengan sajak-sajak di dalam kitab. Hayo cepat, jangan sampai ia keburu datang!" Tergesa-gesa kakek ini mengajak Bu Song keluar dari dalam gua.
"Apakah Paman maksudkan Kong Lo Sengjin?"
Kakek itu berhenti di depan gua dan memandang. Matanya yang tajam penuh selidik dan membayangkan kecurigaan.
"Kau mengenal dia?"
"Tentu saja saya mengenal Kong Lo Sengjin, Paman. Isteri Suhu adalah keponakan Kong Lo Seng Jin, akan tetapi anehnya, kakek yang sakti tapi kejam itu menyuruh bunuh keponakannya sendiri untuk menipu Suhu."
Kakek yang bukan lain adalah sastrawan Ciu Bun yang selama bertahun-tahun dicari-cari oleh tokoh-tokoh kang-ouw itu tercengang.
"Apa... ? Kim-mo Taisu menjadi mantu keponakan Couw Pa Ong? Sungguh aneh! Dan tua bangka itu menyuruh bunuh keponakannya sendiri? Orang muda, eh... siapa namamu tadi? Bu Song? Bu Song, kau ceritakan semua kepadaku!"
Mereka pergi ke belakang tumpukan karang tak jauh dari gua. Disitu Kakek Ciu Bun duduk dan Bu Song segera menceritakan keadaan suhunya dan Kong Lo Sengjin menipu Kim-mo Taisu bahwa pembunuhnya adalah musuh-musuh Kong Lo Sengjin. Kemudian betapa secara tidak sengaja ia mendengar percakapan antara Kong Lo Sengjin dan tokoh-tokoh Hui-to-pang maka ia tahu akan rahasia itu. Kemudian ia bercerita juga sedikit tentang keadaan dirinya, bahwa selain murid Kim-mo Taisu, dia pun bekas calon mantunya dan betapa calon isterinya puteri Kim-mo Taisu tewas di dalam jurang.
Mendengar penuturan itu, Ciu Bun bengong lalu memaki gemas,
"Tua bangka itu benar-benar telah menyeleweng jauh daripada kebenaran! Untung bukan dia yang mendapatkan kitab di tangan Gwan Liong. Kau tadi bilang Gwan Liong sudah meninggal, bagaimana kau tahu?"
"Bukan hanya tahu, Paman. Bahkan saya yang mengubur jenazahnya."
Kembali Bu Song bercerita tentang nasib Ciu Gwan Liong yang buruk dan betapa kakek sastrawan itu agaknya membunuh diri agar jangan sampai terjatuh ke tangan Kong Lo Sengjin.
Ciu Bun membanting-banting kaki kanannya.
"Couw Pa Ong, kau benar-benar patut dimaki dan dikutuk!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar