FB

FB


Ads

Kamis, 02 Mei 2019

Suling Emas Jilid 145

Seorang pemuda yang tampan gagah, bertubuh tinggi besar dan berpakaian sederhana, berjalan dengan langkah tegap menuruni lereng bukit terakhir di lembah Sungai Mutiara. Dari puncak bukit tadi sudah tampaklah Laut Selatan, dimana air Sungai Mutiara mengakhiri perjalanannya dan tampak pula samar-samar pulau-pulau kecil tidak jauh dari pantai.

Pemuda ini bukan lain adalah Bu Song. Dia bukanlah Bu Song beberapa bulan yang lalu! Biarpun orangnya masih sama, akan tetapi keadaannya sudah jauh berbeda, seperti bumi dengan langit. Perubahan yang nampak pada wajahnya hanyalah bahwa kini timbul guratan-guratan pada wajahnya yang tampan, di kanan kiri kedua matanya, di dahi dan dekat mulut, juga di dagunya.

Guratan yang timbul dari penderitaan batin. Guratan-guratan pada muka yang membuat ia tampak dewasa dan matang, akan tetapi juga membuat mukanya tampak murung dan tertutup awan, membuat wajahnya seperti topeng yang tidak lagi mencerminkan isi hatinya. Pandang matanya jauh, dilindungi kelopak mata dan bulu mata yang seringkali bergetar dan setengah terpejam.

Bu Song masih muda akan tetapi pengalaman-pengalaman pahit membuat ia berpemandangan seperti orang tua. Perubahan lebih lagi terjadi dalam tubuhnya. Ia kini bukanlah Bu Song beberapa bulan yang lalu, yang lemah dan tidak tahu bagaimana caranya menjaga diri daripada serangan orang lain. Dia sekarang adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dalam beberapa bulan saja ia sudah mewarisi semua ilmu kepandaian suhunya, ilmu yang ia latih siang malam tanpa bosan. Dia kini sudah menjadi seorang pendekar.

Ketika Bu Song menceritakan semua pengalamannya kepada suhunya, ada dua hal yang dianggap penting oleh Kim-mo Taisu. Pertama tentang kekejian Kong Lo Sengjin yang menyuruh anggota Hui-to-pang membunuh isteri Kim-mo Taisu. Kedua adalah tentang kitab kuno pemberian sastrawan Ciu Gwan Liong dan cerita kakek sastrawan itu akan suling emas yang berada di tangan sastrawan Ciu Bun dan yang menurut kakek itu berada di Pulau Pek-coa-to di Lam-hai. Melihat kitab itu, Kim-mo Taisu menarik napas panjang dan berkata kepada muridnya yang telah ia gembleng selama beberapa bulan dengan hasil baik sekali.

"Bu Song, kitab ini biarpun hanya terisi sajak-sajak kuno, akan tetapi sesungguhnya merupakan pelajaran ilmu yang luar biasa. Kuncinya berada pada suling emas itulah. Hal inipun sudah kuketahui dan juga diketahui oleh semua orang kang-ouw. Memang aneh sekali mengapa Bu Kek Siansu menghadiahkan benda-benda seperti itu kepada dua orang sastrawan lemah. Memang suling dan kitab itu adalah pegangan para sastrawan, akan tetapi di balik sajak dan suara suling, terdapat daya yang hebat sekali dan yang dapat dipergunakan orang jahat untuk memperhebat kepandaiannya. Kau telah berjodoh dengan kitab ini dan sudah dipilih oleh mendiang sastrawan Ciu Gwan Liong, maka sudah menjadi kewajibanmu untuk mencari suling emas itu ke Pulau Pek-coa-to di Lam Hai."

Pesan Kim-mo Taisu inilah yang menjadi sebab mengapa pada pagi hari itu Bu Song telah menuruni bukit di lembah Sungai Mutiara. Pulau Pek-coa-to adalah sebuah di antara pulau-pulau kecil di muara Sungai Mutiara itu, di Lam-hai (Laut Selatan).

Dengan kepandaiannya, Bu Song dapat melakukan perjalanan cepat sekali dan menjelang tengah hari ia telah tiba di pantai muara Sungai Mutiara. Suhunya telah memberi tahu bahwa Pulau Pek-coa-to adalah pulau yang ke tiga dari timur, yang tampak dari situ sebagai pulau yang paling kecil, akan tetapi agak panjang dan bentuknya berliku seperti tubuh ular.

Juga dibandingkan dengan pulau lain, pulau ini tampak putih warnanya, atau lebih muda warnanya, maka inilah agaknya pulau ini disebut Pek-coa-to (Pulau Ular Putih). Demikian pikir Bu Song. Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa bukan hanya karena bentuknya seperti ular putih maka pulau itu disebut Pulau Ular Putih, melainkan karena di atas pulau itu memang terdapat semacam ular berkulit putih yang tidak terdapat di tempat lain, ular yang amat berbisa!

Selagi Bu Song bingung karena tidak tahu bagaimana ia harus menyeberang ke pulau itu, tiba-tiba hatinya girang melihat seorang nelayan mendorong-dorong perahu kecilnya di atas pantai berpasir. Agaknya nelayan ini hendak berlayar mencari ikan. Bu Song segera berlari menghampiri lalu berkata,

"Twako, apakah kau hendak berlayar?"

Nelayan itu kaget. Daerah ini amat sepi, biasanya tidak pernah ada orang maka heranlah ia melihat seorang pemuda yang bersikap halus seperti orang kota dan suaranya agak asing, dengan lidah orang utara.

"Betul. Seperti biasa saya hendak mencari ikan," jawab nelayan itu sambil memasang tali layar dan bersiap-siap.

"Kebetulan sekali, Twako. Kau tolonglah aku menyeberang ke pulau itu. Berapa biayanya pulang pergi?"






Nelayan itu tidak segera menjawab, melainkan memandang ke arah pulau yang ditunjuk Bu Song. Berkali-kali ia menoleh dari Bu Song ke pulau itu, memandangnya bergantian lalu bertanya,

"Kongcu, pulau yang mana...?"

"Itu yang ke tiga dari kiri, Pulau Pek-coa-to..."

"Wah...!"

Tiba-tiba wajah nelayan itu menjadi pucat dan ia memandang Bu Song dengan mata terbelalak.

Bu Song merasa tidak enak hatinya.
"Twako, kenapa?"

Dengan suara tergagap nelayan yang berusia hampir empat puluh tahun itu bertanya,
"Kongcu... mau apakah... pergi ke... pulau itu...?"

Sungguh aneh, muka yang menghitam karena sering dipanggang terik matahari itu kelihatan ketakutan ketika memandang Bu Song.

"Ah, aku hanya ingin pesiar, Twako."

Orang itu menarik napas panjang, agaknya lega hatinya mendengar bahwa pemuda kota ini bukan sengaja hendak ke pulau itu, dan agaknya tidak mengenal keadaan maka ingin pesiar ke tempat itu.

"Kongcu salah pilih! Kalau ingin pesiar, banyak tempat yang indah, mengapa memilih pulau... maut... itu?"

"Pulau maut? Apa maksudmu, Twako?"

"Ah, Kongcu tentu saja tidak tahu. Pulau Pek-coa-to itu adalah pulau angker sekali. Karena keangkeran pulau itulah maka tempat ini sekarang menjadi sepi. Para nelayan merasa takut mencari ikan di muara ini, karena adanya pulau itulah. Jangankan mendarat, mendekati pulau itu saja sudah cukup untuk kehilangan nyawa!"

"Mengapa begitu?"

"Entahlah. Pulau itu penuh binatang-binatang yang luar biasa, berbisa dan buas. Selain itu, agaknya juga... iblis dan siluman menjadi penghuninya. Sudahlah, Kongcu, membicarakannya saja merupakan pantangan disini. Saya seorang pelayan yang terpaksa mencari ikan disini, karena satu-satunya sumber nafkah saya adalah pekerjaan ini. Akan tetapi saya selalu menjauhkan diri dari pulau itu. Kongcu benar-benar salah pilih kalau hendak bersenang-senang dan berpesiar di daerah ini."

"Tidak salah pilih, Twako. Aku benar-benar ingin pergi ke pulau itu. jangan kau kuatir, aku dapat menjaga diri dengan baik. Dan ini untuk biaya kalau kau suka mengantarku ke sana."

Bu Song sengaja mengeluarkan lima potong perak yang ia dapat dari suhunya sebagai bekal di perjalanan. Ia mempunyai sekantung uang perak dan beberapa potong uang emas.

Melihat lima potong perak ini, Si Nelayan memandang terbelalak. Bukan sedikit perak itu! mencari ikan sebulan belum tentu akan menghasilkan sebanyak itu. Akan tetapi ia memandang Bu Song dan berkata lagi,

"Bukan saya tidak mau menyeberangkan kesana, Kongcu. Akan tetapi aku takut."

"Tidak usah takut, aku menjamin keselamatanmu."

"Kongcu kelihatan kuat akan tetapi... banyak temanku nelayan yang lebih besar dan kuat daripada Kongcu tewas secara aneh di dekat pulau itu..."

"Kau tidak usah ikut mendarat. Cukup asal kau antar aku ke pulau itu dan kau boleh berlayar mencari ikan. Nanti menjelang senja, kau jemput aku. Bagaimana?"

Si Nelayan ragu-ragu. Bu Song maklum bahwa perlu ia memperlihatkan kepandaiannya agar nelayan ini hilang rasa takutnya. Ia menghampiri sebuah batu karang besar dan berkata,

"Twako, apakah penghuni pulau itu kepalanya lebih kuat daripada batu karang ini?"

Ia menggerakkan tangan kanannya menampar. Terdengar suara keras dan debu mengebul. Ujung batu karang itu pecah berantakan!

Si Nelayan melongo dan mengangguk-angguk.
"Ah, kiranya Kongcu adalah seorang demikian kuat. Baiklah, akan tetapi seperti yang Kongcu katakan tadi, saya hanya mengantar dan menjemput, tidak ikut mendarat disana."

"Jangan kuatir, asal perahumu sudah dekat dengan daratan pulau itu, tidak perlu terlalu dekat dan kau boleh tinggalkan aku untuk dijemput senja nanti."

Nelayan itu menyeret perahunya dan tak lama kemudian, setelah dapat melalui ombak yang memecah di pantai, lajulah perahu itu membawa Bu Song dan Si Nelayan berlayar ke tengah laut. Berdebar jantung Bu Song. Ia sama sekali tidak tahu akan keadaan pulau itu.

Mendiang Ciu Gwan Liong hanya menceritakan bahwa kakak sastrawan itu yang bernama Ciu Bun bersembunyi di pulau kosong yang bernama Pek-coa-to ini. Kenapa sekarang Si Nelayan menceritakan hal yang aneh-enah dan seram! Kalau memang pulau itu sedemikian hebat dan berbahaya, apakah Ciu Bun sastrawan tua itu dapat hidup disana? Bu Song tidak menjadi gentar, malah keanehan perkara ini makin menarik hatinya untuk segera mendarat di pulau itu, membuktikan omongan Si Nelayan dan pesan mendiang Ciu Gwan Liong.

Dengan perahu layar yang mendapat angin penuh dan amat laju, sebentar saja mereka sudah tiba di dekat pulau itu. kiranya yang membuat pulau itu tampak putih dari jauh adalah bukit-bukit atau batu-batu karang besar yang mengandung kapur. Pulau itu tampak sunyi dan kosong, sama sekali tidak kelihatan ada bahaya mengancam. Akan tetapi jelas tampak tubuh Si Nelayan menggigil ketakutan. Maka Bu Song lalu meloncat ke darat.

"Kau pergilah mencari ikan, Twako. Nanti sore jemput aku di tempat ini!"

Si Nelayan hanya mengangguk-angguk dan cepat-cepat memutar perahunya untuk menjauhi tempat yang ditakuti ini.

Bu Song tersenyum ketika membalikkan tubuhnya memandang ke tengah pulau Nelayan itu agaknya menjadi korban kepercayaan tahyul maka ketakutan seperti itu. Pulau ini agaknya sunyi dan tenteram, sama sekali tidak ada bahaya mengancam kecuali keadaannya yang liar dan agaknya tak pernah didatangi manusia.

Ia melompat ke atas batu karang dan mendaki tempat yang paling tinggi untuk mengadakan pemeriksaan dari atas tentang keadaan pulau itu. Setelah tiba di puncaknya, ia memandang ke bawah. Kiranya di tengah pulau itu tanahnya cukup subur, banyak pohon-pohon yang merupakan hutan.

Akan tetapi sekeliling pulau itu adalah pantai batu karang sehingga dari jauh yang tampak hanyalah karang putih. Beberapa menit lamanya Bu Song mengintai dari atas, akan tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa di pulau itu ada orangnya. Kemana ia harus mencari Ciu Bun? Benarkah kakek sastrawan itu berada disitu? Pulau ini hanya kecil saja. Ia tentu dapat menjelajahi sampai habis dan kembali ke tempat ia mendarat sebelum senja.

Bu Song turun dari batu karang itu dan berloncatan dari batu ke batu menuju ke tengah pulau. Tiba-tiba terdengar angin menyambar dan sinar putih menyambar lehernya. Cepat Bu Song miringkan tubuh mengelak. Sinar itu lewat dan ketika ia menengok ke belakang, sinar itu telah lenyap sehingga ia tidak tahu senjata rahasia apakah yang menyambarnya tadi.

Jantungnya berdebar. Kiranya benar ada orangnya dan agaknya orang itu berwatak keji karena buktinya tanpa tahu-tahu sudah menyerang dengan senjata rahasia! Ia memandang ke kanan dari mana senjata rahasia tadi menyambar. Akan tetapi di sebelah kananya hanya tampak batu karang dan tidak ada tanda-tanda manusia disitu.

Ia kaget sekali. Tadi ia diserang lagi dan kini bahkan serangan itu datang dari tiga jurusan, depan, kanan dan kiri. Juga menggunakan senjata rahasia seperti tadi, putih kecil yang menyerang leher, perut dan kaki. Untung ia dapat bergerak cepat dan loncatannya tadi menggagalkan serangan. Celaka, pikirnya. Agaknya sedikitnya ada tiga orang manusia yang memusuhinya.

"Cu-wi sekalian harap jangan turun tangan! Saya datang dengan maksud baik, bukan untuk bermusuhan dengan siapapun juga."






Tidak ada komentar:

Posting Komentar