FB

FB


Ads

Senin, 29 April 2019

Suling Emas Jilid 139

Cinta antara pria dan wanita memang memiliki dua sifat yang bertentangan seperti juga segala benda di dunia ini. Namun manusia tetap lebih kuat, asal pandai membawa diri, pandai dan kuat menguasai nafsu liar ganas seperti kuda hutan. Bahagialah orang muda yang pandai menguasainya, sebaliknya kasihanlah mereka yang menjadi permainannya.

Asal ingat saja bahwa CINTA KASIH dan NAFSU BIRAHI adalah dua sifat yang jauh berbeda akan tetapi bermuka kembar! Bermuka sama sehingga sukar bagi orang muda untuk memperbedakannya. Karena keliru mengenal inilah yang suka membawa malapetaka. Nafsu birahi disangka cinta, maka terseretlah ia ke jurang kehancuran.

Demikianlah pula dengan Bu Song dan Suma Ceng. Keduanya mabok oleh gelora cinta sehingga semua pengertian tentang perbedaan tempat mereka, pengertian tentang tidak adanya kemungkinan bagi mereka untuk berjodoh, hancur lebur dan terlupa sama sekali. Hanya tujuh hari mereka dapat bertahan. Malam ke delapan, lewat tengah malam, Bu Song tak dapat menahan dirinya dan ia sudah berada di dalam pondok kecil di ujung taman, meniup sulingnya.

Seakan-akan suara suling itu dapat menembusi kamarnya yang amat rapat, Suma Ceng yang juga tidak dapat menahan dirinya lagi sudah menyelinap keluar dan berlari-lari memasuki taman, terus menuju ke ujung taman, ke pondok dari mana kini terdengar jelas alunan suara suling.

Terengah-engah, bukan karena lari tadi melainkan karena debar jantung yang menggelora, Suma Ceng tiba di depan pondok. Suara suling terhenti karena Bu Song sudah mendengar kedatangannya. Pemuda itu berlari keluar, mereka berhadapan dan seperti tak kuat menghadapi daya tarik besi sembrani yang memancar dari keduanya, mereka saling tubruk dan saling rangkul!

"Aku tahu kau akan datang..."

"Aku pun tahu kau menanti disini..."

Hanya itu ucapan mereka sebagai pengganti pernyatan bahwa masing-masing tahu hati masing-masing, tahu bahwa mereka saling mencinta. Sambil bergandeng tangan mereka memasuki pondok merah, duduk di atas bangku dimana tadi Bu Song termenung dan menyuling.

Bu Song merasa seakan-akan Eng Eng hidup kembali. Ia takut akan kehilangan lagi, seperti seorang kanak-kanak pernah kehilangan benda mainan tersayang kini takut kalau yang telah ketemu akan hilang lagi, didekapnya erat-erat.

Suma Ceng sebaliknya juga masih sadar bahwa sekali waktu ia akan kehilangan pemuda yang telah merampas hatinya ini, pemuda yang sudah merenggut kasih sayangnya. Kesadaran inilah yang membuat gadis itu nekat, menyerahkan diri dengan tulus ikhlas kepada pemuda yang takkan mungkin menjadi miliknya ini.

Keduanya mabok lupa, dan tanpa mereka sadari mereka menyerahkan diri kepada nafsu berahi. Nafsu birahi seperti pusingan air yang amat kuat. Sekali orang terseret, akan dibawa berpusing dan tenggelam, makin lama makin dalam dan takkan timbul kembali, sebelum... mati!

Hanya bulan dan kadang-kadang malam gelap sunyi yang mengetahui. Hanya pondok merah di ujung taman menjadi saksi bisu akan pertemuan-pertemuan dua orang muda yang mabok nafsu dibuai gelora cinta kasih. Nafsu saudara loba, dituruti makin menjadi, diberi sedikit ingin banyak, diikuti sehasta ingin sedepa. Pertemuan dan hubungan dilanjutkan. Mesra.

Akhirnya tiba saatnya yang membuktikan bahwa segala sesuatu di dunia ini tidaklah kekal adanya. Bahwa kesenangan di dunia ini tiada lain hanyalah keindahan-keindahan yang dibentuk sekelompok awan di angkasa raya. Sewaktu-waktu akan buyar kehilangan bentuk oleh tiupan angin. Bahkan banyak kalanya buyar dan berubah menjadi awan menghitam yang buruk menakutkan!

Malam itulah terjadinya. Malam yang takkan terlupa oleh Bu Song maupun oleh Suma Ceng. Malam yang gelap tiada bulan tiada bintang, atau lebih tepat, malam yang terselimut awan. Malam yang dingin. Namun di dalam pondok merah itu yang ada hanyalah terang dalam dua hati yang berpadu kasih, yang ada hanyalah panas dalam dua tubuh yang dicekam nafsu birahi!

Sesosok bayangan berkelebat di depa pondok. Gerakannya cepat dan gesit sekali. bayangan itu mendekam di ujung pondok, menanti. Seperti biasa, Bu Song menggandeng tangan kekasihnya dan berdua mereka bergandengan tangan menuju ke pintu bulan. Sampai di situlah Bu Song megantar kekasihnya. Kemudian sejenak saling rangkul, saling cium sebagai salam perpisahan malam itu.






Tiba-tiba bayangan yang sejak tadi mengikuti mereka, meloncat dan memukul muka Bu Song. Bu Song terhuyung dan roboh. Suma Ceng menjerit tertahan, Suma Boan sudah berdiri di depan mereka dengan mata melotot!

"Lekas kembali ke kamarmu!" bentak Suma Boan kepada adiknya yang berlari sambil terisak menangis.

Bu Song merangkak bangun, akan tetapi ia roboh kembali ketika kaki Suma Boan menendang dadanya. Kemudian putera pangeran itu mencengkeram rambutnya dan menyeretnya ke belakang istana, seperti seorang jagal menyeret seekor domba dibawa ke penjagalan.

"Bedebah! Anjing tak kenal budi!" Suma Boan memaki bekas sahabatnya.

Bu Song diam saja. Pikirannya mengakui kesalahannya, akan tetapi hatinya memberontak. Hatinya tidak mau mengakui salah. Ia dan Ceng Ceng saling mencinta. Apa salahnya? Di belakang istana, Suma Boan memanggil seorang pengawal. Ia mendorong tubuh Bu Song sampai terkapar di atas tanah.

"Ikat dia pada pohon itu!" perintahnya.

Pelayan itu menyeringai. Ia mengenal Bu Song dan ia tidak tahu mengapa majikannya marah-marah kepada pegawai muda ini. Akan tetapi Bu Song bukanlah sahabat para pengawal. Pengawal-pengawal adalah orang-orang yang mengutamakan kekerasan dan kekuatan. Seorang pemuda lemah tukang pegang pena dan kertas tentu saja bukan golongan mereka dan mereka menganggapnya rendah.

Dengan kasar ia menarik lengan Bu Song, menelikungnya ke belakang lalu medorong pemuda itu ke arah pohon. Kemudian mengikat kedua tangan Bu Song ke belakang pohon itu dengan sehelai tambang yang besar dan kuat. Hampir patah rasanya tulang lengan Bu Song. Ia merasa betapa sambungan tulang pundaknya sakit-sakit dan hampir terlepas. Namun sedikit pun tidak pernah terdengar keluhan dari mulutnya. Dia seorang pemuda yang tahan derita, daya tahannya luar biasa berkat gemblengan yang tak diketahuinya sendiri dari suhunya, Kim-mo Taisu.

"Hayo, sekarang kau mau bicara apa? Keparat kurang ajar!" Suma Boan melangkah maju dan "plak-plak-plak!" kedua pipi Bu Song ditampar sekerasnya sampai kepala Bu Song bergoyang-goyang ke kanan kiri.

"Suma-kongcu, bicara apa lagi? Aku dan dia saling mencinta, kalau itu kau anggap bersalah, bunuhlah, aku tidak takut mati."

"Setan...!"

Suma Boan marah sekali, tangan kanannya memukul dada dan tangan kiri menghantam ke arah perut.

Bu Song maklum akan hebatnya pukulan yang melayang datang. Ia tidak takut mati, akan tetapi ngeri juga membayangkan rasa nyeri dipukul maka otomatis hawa sakti di tubuhnya berkumpul ke arah dada dan perut.

"Dukk! Duukk!"

Dua pukulan hebat itu tentu akan menghabiskan nyawa orang. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya hati Suma Boan ketika pukulannya bertemu dengan kulit yang keras sehingga pukulan-pukulan itu membalik. Namun Bu Song menjadi sesak napasnya dan terengah-engah.

"Jaga dia disini sampai pagi, kalau banyak cakap boleh pukul mukanya tapi jangan dibunuh!"

Akhirnya Suma Boan meludahi muka Bu Song dan pergi dari tempat itu. Pengawal itu tertawa ha-ha-hi-hi lalu duduk bersandar batu karang hiasan di belakang istana.

Kiranya Suma Boan melaporkan kepada ayahnya tentang peristiwa semalam. Tentu saja Pangeran Suma Kong menjadi kaget bukan main dan marah sekali.

"Keparat, anak setan tidak mengenal budi orang! Bunuh saja dia! Siksa biar tahu rasa!" Kemudian pangeran ini melangkah lebar menuju ke kamar anaknya, Suma Ceng.

Waktu itu matahari telah bersinar terang. Suma Boan menuju ke belakang istana dan makin gemas hatinya melihat Bu Song terikat di pohon itu. Alangkah tenang wajah pemuda itu, pikirnya. Sedikitpun tidak memperlihatkan ketakutan. Si Pengawal cepat bangkit berdiri ketika melihat majikannya muncul.

"A Piauw, urusan dengan bedebah ini adalah urusan antara dia dan aku. Hanya engkau yang menjadi saksi. Tak perlu kau bicarakan dengan orang lain. Kalau ada yang tanya, bilang saja bahwa kau tidak tahu. Mengerti?"

"Baik, Kongcu."

Bu Song mengangkat mukanya memandang Suma Boan, lalu berkata,
"Suma-kongcu, kau benar, urusan ini adalah urusan antara engkau dan aku. Seperti kukatakan malam tadi, kalau kau menganggap aku telah melakukan sesuatu yang salah dan kau akan menghukumku, lakukanlah. Aku bersedia kau bunuh, akan tetapi jangan kau persalahkan dia."

"Tutup mulut!" bentak Suma Boan yang mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari saku bajunya. "A Piauw, kau ambil secawan arak!"

Pengawal itu tadinya bingung. Untuk menghukum seorang lawan, mengapa harus mengambil secawan arak? Akan tetapi ia tidak berani membantah, berlari cepat meninggalkan tempat itu dan kembali lagi membawa sebuah cawan yang terisi arak setengah lebih.

Suma Boan membuka bungkusannya, menuangkan sedikit bubuk hitam ke dalam cawan. Arak yang tadinya berwarna merah itu lalu berubah menjadi hitam dan mengeluarkan uap! Tahulah Si Pengawal bahwa arak itu diberi racun. Ia menyeringai heran. Untuk membunuh lawan, mengapa tidak sekali pukul atau bacok saja dengan senjata? Mengapa harus menggunakan arak beracun?

"Bu Song, alangkah inginku menggunakan tanganku sendiri untuk memukulimu sampai pecah kepala dan dadamu, atau menggunakan sebatang golok mencincang hancur tubuhmu. Akan tetapi mengingat bahwa engkau pernah melayani aku, pernah menjadi seorang yang kuanggap orangku dan sahabatku, biarlah kau menebus dosamu dengan minum racun. Akan tetapi jangan kira bahwa kau akan cepat terbebas dari racun ini. Tidak! Racun ini akan menggerogoti ususmu sedikit demi sedikit, dan kau akan mati dalam keadaan menderita, biar kau mendapat kesempatan untuk menyesali dosa-dosamu! A Piauw, minumkan arak itu padanya!"

A Piauw yang ingin menyenangkan hati majikannya, mengejek,
"Heh-heh, orang muda. Silakan minum anggur pengantin..."

"A Piauw tutup mulutmu! Apa kau minta kupecahkan kepalamu!"

A Piauw kaget sekali, tidak mengerti mengapa majikannya begitu marah. Adapun Bu Song tersenyum pahit mendengar ejekan itu, ejekan yang amat tepat. Ia tidak minum anggur pengantin bersama Suma Ceng, melainkan minum arak beracun untuk menemui maut! Ia menengadah dan membuka mulutnya. Akan tetapi A Piauw yang mendongkol oleh bentakan majikannya, menjambak rambut Bu Song dengan tangan kiri, menarik kepala itu ke belakang, lalu dengan tangan kanan ia menuangkan arak beracun itu ke dalam mulut Bu Song.

Bu Song merasa kerongkongannya seperti dibakar dan kepalanya pening karena bau arak itu menyengat hidung. Akan tetapi tanpa takut ia menelan arak itu ke dalam perutnya. Kemudian dengan menundukkan mukanya ia menanti datangnya rasa nyeri yang akan mengerogoti ususnya seperti yang dikatakan Suma Boan tadi. Aneh, sama sekali tidak ada rasa nyeri itu sungguhpun di dalam perutnya mulai bergerak-gerak seperti banyak hawa disitu dan terdengar suara tiada hentinya seperti air mendidih.

Suma Boan yang merasa amat benci mengingat perbuatan Bu Song dengan adiknya, menanti pemuda itu menderita nyeri yang luar biasa. Akan tetapi ia heran. Bu Song sama sekali tidak mengeluh, sama sekali tidak menahan nyeri yang hebat, bahkan kelihatan tenang-tenang saja. Pangkal lengannya yang di telikung ke belakang dan semalam terasa nyeri seakan-akan terlepas sambungannya, kini malah sudah membaal dan tidak terasa apa-apa lagi.

Suma Boan menanti sampai lama, sampai matahari naik tinggi dan Bu Song kelihatan lemah oleh lelah, lapar dan haus. Namun sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa racun itu bekerja dan mengamuk di dalam perut Bu Song. Suma Boan merasa penasaran dan menyuruh pembantunya menelanjangi tubuh atas Bu Song agar pemuda itu tersiksa oleh terik panas matahari. Memang niatnya ini berhasil dan Bu Song menggeliat-geliat disengat sinar matahari. Namun pemuda itu tetap saja membungkam, tak pernah mengeluh, tak pernah minta ampun dan tidak pernah minta minum.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar