Malam itu terang bulan. Bulan purnama terapung di langit biru yang bersih dari awan. Indah sekali sinar menyinari jagad, dan lebih indah lagi di taman bunga di istana Pangeran Suma Kong. Suasana seperti ini amat romantis dan tentu akan mendatangkan rasa gembira dalam hati semua orang, terutama orang muda.
Akan tetapi tidak demikian dengan Bu Song. Semenjak tadi ia duduk termenung di dalam taman bunga yang sunyi. Di sudut taman itu, di bagian yang sunyi dan jauh. Terdapat sebuah pondok yang disebut Pondok Merah karena dicat merah. Sebuah pondok kecil di bawah lambaian daun-daun pohon berbunga. Ia termenung dengan hati duka. Ia mulai merasa bosan dengan kehidupan di istana Pangeran Suma. Apalagi kalau ia ingat akan semua keadaan di situ, akan sifat dari majikan yang amat korup.
Tak dapat disangkal bahwa ia amat disayang oleh majikannya, disayang sebagai seorang pegawai yang cakap, disuka oleh para pelayan sebagai seorang teman kerja yang rendah hati dan peramah.
Akan tetapi keadaan itu sungguh berlawanan dengan hatinya. Biarpun bukan dia yang makan semua uang tidak halal itu, akan tetapi ia merasa seakan-akan membantu orang berbuat jahat. Andaikata Pangeran Suma seorang perampok atau maling, maka dialah menjadi anak buah atau kaki tangannya! Alangkah rendahnya! Dan semua itu ia lakukan hanya untuk makan enak dan pakaian bagus? Atau untuk hari depan yang gemilang?
Dalam duka Bu Song teringat kepada Eng Eng. Tak terasa lagi dua butir air mata menitik turun dari sepasang matanya yang terasa panas. Kalau Eng Eng tidak mati, tentu ia pulang kepada Eng Eng. Lebih baik hidup sebagai petani di gunung di samping Eng Eng tersayang. Dan kenangannya berlarut-larut sehingga ia lupa keadaan. Diambilnya sebuah suling yang belum lama ini dibuatnya, suling bambu yang jarang ia tiup. Karena malam itu sudah larut dan suasana di istana pangeran sudah amat sunyi, ia mulai meniup sulingnya.
Getaran suara suling keluar dari getaran hatinya. Teringat ia akan Eng Eng, maka otomatis ia lalu meniup suling itu mainkan lagu kesukaan Eng Eng. Lagu yang iramanya merayu-rayu kalbu. Lagu tentang keluh-kesah dan tangis setangkai kembang yang kekeringan, mengeluh dan meratap menanti datangnya hujan yang tak kunjung tiba, menanti tetesnya air embun yang akan memberi air kehidupan padanya.
Berkali-kali lagu ini ia mainkan dan suasana malam indah itu berubah mengharukan. Suara jengkerik di bawah rumput dan katak di empang seketika berhenti, seakan-akan mereka ini pun terpesona oleh suara suling yang merayu-rayu. Bulan purnama seakan-akan bergoyang-goyang di angkasa, seakan-akan ikut merana dan rindu kekasih, mencari dan mulai bergerak mengejar kekasihnya yang tak kunjug tiba, kadang-kadang menangis menyembunyikan muka di balik segumpal awan hitam.
Sambil bersuling itu Bu Song menatap bulan yang bergerak di antara awan, dan menjelang berakhirnya lagu, ia mendengar suara berkeresek di depan, maka ia mengalihkan pandang ke depan. Suara sulingnya perlahan-lahan melambat dan akhirnya terhenti, matanya bengong memandang ke depan, serasa mimpi. Mimpikah dia? Ataukah benar-benar Eng Eng yang datang itu, turun melalui sinar bulan purnama, berpakaian seperti seorang dewi kahyangan?
Wanita yang kini melangkah demikian ringan, demikian lembut seakan-akan tidak menginjak tanah, seakan-akan melayang dibawa sinar bulan mendekatinya, memiliki wajah lembut seperti Eng Eng. Matanya yang lebar bersinar lembut, hidungnya yang kecil mancung di atas mulut yang kecil mungil, muka yang manis dengan dagu meruncing. Itulah wajah Eng Eng!
Akan tetapi pakaian itu! begitu indah, begitu mewah. Hanya seorang dewi kahyangan saja berpakaian seperti itu. atau seorang puteri istana. Lihat rambutnya! Alangkah indahnya sanggul rambut itu. dihias dengan hiasan rambut emas permata yang berkilauan terkena sinar bulan. Puteri istana!
Berdebar jantung Bu Song dan teringat akan ini cepat-cepat ia bangkit berdiri. Tak salah lagi. Tentu dia itu puteri majikannya. Sudah hampir dua tahun dia bekerja disitu, dan sudah terlalu sering ia mendengar dari para pelayan bahwa Pangeran Suma Kong mempunyai dua orang anak. Yang pertama adalah Suma Boan yang selama ini bersikap cukup baik kepadanya, bahkan seperti menjadi sahabatnya sungguhpun di dalam hati ia tidak suka kepada pemuda bangsawan itu karena ia cukup mendengar tentang sepak-terjangnya yang memuakkan, yaitu mengganggu anak bini orang!
Adapun anak ke dua Pangeran Suma adalah seorang gadis yang menurut para pelayan cantik seperti bidadari, terpelajar dan halus budi pekertinya, dihormati dan dikasihi semua pelayan, seorang gadis yang sopan santun dan karenanya tak pernah melanggar peraturan dan belum pernah pula selama itu berjumpa dengan dia. Seorang gadis yang katanya bernama Suma Ceng. Agaknya tidak salah lagi. Inilah gadis itu! raut wajahnya memang mirip Eng Eng, akan tetapi Eng Eng sudah mati, tak mungkin hidup kembali.
Dengan langkah lemah gemulai, sikap tenang sekali dan mata selalu tertuju kepada Bu Song, gadis itu kini menaiki tangga pondok dan menghampiri Bu Song yang sudah duduk kembali dengan tubuh lemas dan dada berdebar.
"Kau... yang bernama Liu Bu Song, pegawai ayah yang baru...?"
Suara itu! Merdu dan bening seperti suara Eng Eng pula! Bu Song menjadi panik dan ia memaksa kedua kakinya yang lemas untuk berdiri lagi, menghadapi gadis itu lalu menjura dengan hormat. Akan tetapi mulutnya tak mampu mengeluarkan kata-kata, hanya matanya yang menatap tajam.
Dua pasang mata bertemu pandang, saling mengikat dan saling menjenguk isi hati masing-masing. Lama sekali mereka hanya berdiri berhadapan dan bengong saling pandang, disaksikan dan ditertawai oleh bulan purnama yang geli melihat kecanggungan kedua orang muda itu. Sinar bulan purnama memang penuh racun asmara dan begitu pandang mata kedua orang muda ini bersilang, bertautlah kedua hati mereka yang membuat keduanya berdebar jantungnya, gemetar tubuhnya dan menggigil kakinya.
"Maaf... maafkan saya, Siocia (Nona)... memang betul saya Liu Bu Song seorang pegawai rendah biasa saja..."
Bagaikan baru sadar dari mimpi gadis itu tersenyum. Gigi putih tersinar bulan berkilat menyambar jantung Bu Song membuat pemuda ini sedetik memejamkan matanya, tak kuat menyaksikan segala keindahan ini.
Gadis itu memang benar Suma Ceng. Seperti juga Bu Song, sudah lama ia mendengar tentang diri Bu Song yang selalu dipuji-puji oleh para pelayan. Dipuji ketampanannya, dipuji keramahan dan kelembutannya, dipuji kepandaiannya. Dan tadi, mendengar tiupan suling, membuat ia seperti mimpi turun dan keluar dari kamarnya, memasuki taman dan memaksa kedua kakinya melangkah ke arah suara suling. Hikmat sang bulan dan sang malam indah membuat ia seperti mabok.
"Benar sekali cerita mereka...."
"Apa maksud Siocia...?"
Akan tetapi Suma Ceng menoleh ke arah bulan sehingga mukanya tersinar penuh, dan gadis ini berbisik seperti kepada bulan,
"Benar sekali... sopan, halus, rendah hati..."
"Maaf, Siocia. Bolehkah saya mengetahui..."
"Aku adalah Suma Ceng atau... Ayah, Ibu dan Kakakku menyebutku Ceng Ceng begitu saja. Liu Bu Song Twako, hebat benar kepandaianmu menyuling. Seperti lagu dari sorga..."
Akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa yang berdiri di depannya adalah puteri majikannya, Bu Song sudah menjura dengan dalam dan berkata,
"Kiranya Suma-siocia. Maafkan kalau saya berlaku kurang hormat dan berani mengganggu Siocia dengan suara sulingku yang buruk..."
"Ah, jangan terlalu merendah. Selama hidupku belum pernah aku mendengar suara suling seperti tadi. Twako, maukah kau memainkan lagu tadi lagi untukku...?"
"Siocia..., mana saya berani...? Siocia, tidak pantas bagi saya berada di sini... saya... saya..."
"Tidak mengapa. Siapa yang akan menyalahkanmu? Aku yang datang karena tertarik oleh suara sulingmu. Liu-twako, lagu apakah yang kau mainkan tadi?"
"Lagu.... Setangkai Kembang Kekeringan..."
"Ahhhh...! Pantas begitu mengharukan. Twako, mengapa kau berduka dan menyanyikan lagi seperti itu? Tadi aku sampai meruntuhkan air mata mendengarnya..."
"Siocia..."
Mereka kembali berpandangan dan keduanya tak dapat mengeluarkan kata-kata dan kembali dalam pandang mata itu mereka seakan-akan sudah mengenal masing-masing. Seakan-akan dalam pandang mata itu mereka sudah mengikrarkan janji, saling bertukar hati, bertukar kasih.
Suma Ceng menundukkan muka lebih dulu. Mukanya menjadi merah sekali, giginya yang kecil-kecil menggigit bibir bawah, ujung matanya yang tajam meruncing itu melempar kerling ke arah Bu Song, lalu naik sedu-sedan setengah tawa dari kerongkongannya dan gadis itu membalikkan tubuh, terus berlari kecil meninggalkan pondok, berlari-lari cepat sekali kini dan sebentar saja lenyap di balik pintu bulan.
Bu Song bengong. Peristiwa tadi seperti mimpi. Ia menjambak-jambak rambutnya dan diam-diam menyumpahi hatinya. Mengapa hatinya begitu tertarik? Mengapa hatinya begitu penuh cinta birahi? Gadis itu adalah puteri majikannya! Dan dia hanyalah seorang juru tulis, seorang pegawai biasa! Dan gadis itu selain cantik jelita, puteri bangsawan yang kaya raya, pandai, dan juga melihat caranya berlari cepat itu tentulah seorang gadis yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi!
Seperti seekor kumbang merindukan bulan! Dengan langkah lemas Bu Song lalu menyeret kedua kakinya, kembali ke kamarnya yang berada jauh dari pondok kecil taman bunga itu. Semalam suntuk ia tidak dapat tidur, gelisah dan resah, rindu dan risau sehingga pada keesokan harinya ia bekerja dengan muka pucat dan baru pada hari itu ia merasa betapa pekerjaannya berat dan tidak lancar.
Semenjak terjadi pertemuan di malam itu, dua orang muda itu merasa tersiksa hidupnya. Bu Song mengerahkan kekuatan batinnya dan menonjolkan akal sehatnya, memaksa hati mengakui bahwa tak mungkin dia mencinta seorang gadis seperti Suma Ceng.
Persamaan wajah gadis itu dengan Eng Eng sama sekali bukanlah alasan untuk ia membuta. Kenyataan memisahkan mereka jauh, sejauh bumi dan langit. Suma Ceng adalah puteri seorang pembesar tinggi yang tinggal dalam istana, berkedudukan tinggi dan seorang bangsawan terhormat, masih keluarga raja! Dan dia? Dahulu memang ayahnya jenderal. Akan tetapi sekarang? Dia hanya seorang yang hidup sebatang kara, seorang pelajar yang tidak lulus, seorang yang menerima budi Pangeran Suma Kong seperti seorang pengemis kelaparan menerima sumbangan seorang kaya.
Seorang pegawai rendahan, seorang pegawai biasa. Tidak mungkin terjadi! Andaikata gadis bangsawan itu tertarik oleh suara sulingnya, tak mungkin sudi merendahkan diri bergaul dengan seorang pegawai rendah seperti dia. Belum lagi kalau ketahuan Sang Pangeran, tentu dia akan dihukum berat.
Juga Suma Ceng semalam itu dan malam-malam berikutnya tak dapat tidur nyenyak. Wajah pemuda bersuling itu terbayang terus, suaranya yang halus dan sopan itu mengiang terus di telinganya, sepasang mata lebar tajam yang terhias alis berbentuk golok itu seakan-akan terus membayanginya.
Namun gadis ini pun mengerti bahwa tak mungkin ia dapat membiarkan dirinya bergaul dengan seorang pegawai ayahnya! Tak mungkin berjodoh dengan seorang pekerja biasa. Ayahnya tentu akan marah sekali, juga kakaknya. Kadang-kadang Suma Ceng menangis kalau teringat akan hal ini, kalau teringat betapa kelak ia tentu akan dijodohkan dengan seorang laki-laki bangsawan yang belum tentu dicintanya, bahkan yang mungkin dibencinya.
Namun, cinta adalah perasaan yang aneh, yang amat besar pengaruh dan kekuasaannya. Cinta kasih mengalahkan segala macam perasaan lain, bahkan mengalahkan akal budi dan kesadaran, membuat orang seakan menjadi buta dan nekat, siap untuk menyerbu lautan api.
Cinta merupakan api yang menyala indah, menari-nari dan meliuk-liuk menimbulkan warna yang cerah dan indah, membelai-belai dan melambai-lambaikan tangan kepada orang-orang yang sudah terkena hikmatnya sehingga mereka itu melangkahkan kaki makin mendekati tanpa menyadari bahwa bahaya mengancam mereka. Baru akan terbuka mata mereka, baru akan sadar pesona mereka, setelah terlambat dan hanya penyesalan yang tinggal, penyesalan dan luka hangus terbakar.
Akan tetapi, seperti juga api, cinta dapat mendatangkan kesenangan dan kebahagiaan hidup, mendatangkan kehangatan dan mendorong semangat, menimbulkan keindahan dan kenikmatan hidup. Asal orang pandai menggunakannya. Asal orang dapat menguasainya. Cinta itu indah. Cinta itu nikmat. Cinta itu anugerah. Bagi mereka yang dapat menguasainya. Akan tetapi cinta itu pangkal malapetaka. Cinta itu pangkal sengsara dan pangkal derita. Bagi mereka yang mabok dan lemah, yang menjadi permainan cinta.
Akan tetapi tidak demikian dengan Bu Song. Semenjak tadi ia duduk termenung di dalam taman bunga yang sunyi. Di sudut taman itu, di bagian yang sunyi dan jauh. Terdapat sebuah pondok yang disebut Pondok Merah karena dicat merah. Sebuah pondok kecil di bawah lambaian daun-daun pohon berbunga. Ia termenung dengan hati duka. Ia mulai merasa bosan dengan kehidupan di istana Pangeran Suma. Apalagi kalau ia ingat akan semua keadaan di situ, akan sifat dari majikan yang amat korup.
Tak dapat disangkal bahwa ia amat disayang oleh majikannya, disayang sebagai seorang pegawai yang cakap, disuka oleh para pelayan sebagai seorang teman kerja yang rendah hati dan peramah.
Akan tetapi keadaan itu sungguh berlawanan dengan hatinya. Biarpun bukan dia yang makan semua uang tidak halal itu, akan tetapi ia merasa seakan-akan membantu orang berbuat jahat. Andaikata Pangeran Suma seorang perampok atau maling, maka dialah menjadi anak buah atau kaki tangannya! Alangkah rendahnya! Dan semua itu ia lakukan hanya untuk makan enak dan pakaian bagus? Atau untuk hari depan yang gemilang?
Dalam duka Bu Song teringat kepada Eng Eng. Tak terasa lagi dua butir air mata menitik turun dari sepasang matanya yang terasa panas. Kalau Eng Eng tidak mati, tentu ia pulang kepada Eng Eng. Lebih baik hidup sebagai petani di gunung di samping Eng Eng tersayang. Dan kenangannya berlarut-larut sehingga ia lupa keadaan. Diambilnya sebuah suling yang belum lama ini dibuatnya, suling bambu yang jarang ia tiup. Karena malam itu sudah larut dan suasana di istana pangeran sudah amat sunyi, ia mulai meniup sulingnya.
Getaran suara suling keluar dari getaran hatinya. Teringat ia akan Eng Eng, maka otomatis ia lalu meniup suling itu mainkan lagu kesukaan Eng Eng. Lagu yang iramanya merayu-rayu kalbu. Lagu tentang keluh-kesah dan tangis setangkai kembang yang kekeringan, mengeluh dan meratap menanti datangnya hujan yang tak kunjung tiba, menanti tetesnya air embun yang akan memberi air kehidupan padanya.
Berkali-kali lagu ini ia mainkan dan suasana malam indah itu berubah mengharukan. Suara jengkerik di bawah rumput dan katak di empang seketika berhenti, seakan-akan mereka ini pun terpesona oleh suara suling yang merayu-rayu. Bulan purnama seakan-akan bergoyang-goyang di angkasa, seakan-akan ikut merana dan rindu kekasih, mencari dan mulai bergerak mengejar kekasihnya yang tak kunjug tiba, kadang-kadang menangis menyembunyikan muka di balik segumpal awan hitam.
Sambil bersuling itu Bu Song menatap bulan yang bergerak di antara awan, dan menjelang berakhirnya lagu, ia mendengar suara berkeresek di depan, maka ia mengalihkan pandang ke depan. Suara sulingnya perlahan-lahan melambat dan akhirnya terhenti, matanya bengong memandang ke depan, serasa mimpi. Mimpikah dia? Ataukah benar-benar Eng Eng yang datang itu, turun melalui sinar bulan purnama, berpakaian seperti seorang dewi kahyangan?
Wanita yang kini melangkah demikian ringan, demikian lembut seakan-akan tidak menginjak tanah, seakan-akan melayang dibawa sinar bulan mendekatinya, memiliki wajah lembut seperti Eng Eng. Matanya yang lebar bersinar lembut, hidungnya yang kecil mancung di atas mulut yang kecil mungil, muka yang manis dengan dagu meruncing. Itulah wajah Eng Eng!
Akan tetapi pakaian itu! begitu indah, begitu mewah. Hanya seorang dewi kahyangan saja berpakaian seperti itu. atau seorang puteri istana. Lihat rambutnya! Alangkah indahnya sanggul rambut itu. dihias dengan hiasan rambut emas permata yang berkilauan terkena sinar bulan. Puteri istana!
Berdebar jantung Bu Song dan teringat akan ini cepat-cepat ia bangkit berdiri. Tak salah lagi. Tentu dia itu puteri majikannya. Sudah hampir dua tahun dia bekerja disitu, dan sudah terlalu sering ia mendengar dari para pelayan bahwa Pangeran Suma Kong mempunyai dua orang anak. Yang pertama adalah Suma Boan yang selama ini bersikap cukup baik kepadanya, bahkan seperti menjadi sahabatnya sungguhpun di dalam hati ia tidak suka kepada pemuda bangsawan itu karena ia cukup mendengar tentang sepak-terjangnya yang memuakkan, yaitu mengganggu anak bini orang!
Adapun anak ke dua Pangeran Suma adalah seorang gadis yang menurut para pelayan cantik seperti bidadari, terpelajar dan halus budi pekertinya, dihormati dan dikasihi semua pelayan, seorang gadis yang sopan santun dan karenanya tak pernah melanggar peraturan dan belum pernah pula selama itu berjumpa dengan dia. Seorang gadis yang katanya bernama Suma Ceng. Agaknya tidak salah lagi. Inilah gadis itu! raut wajahnya memang mirip Eng Eng, akan tetapi Eng Eng sudah mati, tak mungkin hidup kembali.
Dengan langkah lemah gemulai, sikap tenang sekali dan mata selalu tertuju kepada Bu Song, gadis itu kini menaiki tangga pondok dan menghampiri Bu Song yang sudah duduk kembali dengan tubuh lemas dan dada berdebar.
"Kau... yang bernama Liu Bu Song, pegawai ayah yang baru...?"
Suara itu! Merdu dan bening seperti suara Eng Eng pula! Bu Song menjadi panik dan ia memaksa kedua kakinya yang lemas untuk berdiri lagi, menghadapi gadis itu lalu menjura dengan hormat. Akan tetapi mulutnya tak mampu mengeluarkan kata-kata, hanya matanya yang menatap tajam.
Dua pasang mata bertemu pandang, saling mengikat dan saling menjenguk isi hati masing-masing. Lama sekali mereka hanya berdiri berhadapan dan bengong saling pandang, disaksikan dan ditertawai oleh bulan purnama yang geli melihat kecanggungan kedua orang muda itu. Sinar bulan purnama memang penuh racun asmara dan begitu pandang mata kedua orang muda ini bersilang, bertautlah kedua hati mereka yang membuat keduanya berdebar jantungnya, gemetar tubuhnya dan menggigil kakinya.
"Maaf... maafkan saya, Siocia (Nona)... memang betul saya Liu Bu Song seorang pegawai rendah biasa saja..."
Bagaikan baru sadar dari mimpi gadis itu tersenyum. Gigi putih tersinar bulan berkilat menyambar jantung Bu Song membuat pemuda ini sedetik memejamkan matanya, tak kuat menyaksikan segala keindahan ini.
Gadis itu memang benar Suma Ceng. Seperti juga Bu Song, sudah lama ia mendengar tentang diri Bu Song yang selalu dipuji-puji oleh para pelayan. Dipuji ketampanannya, dipuji keramahan dan kelembutannya, dipuji kepandaiannya. Dan tadi, mendengar tiupan suling, membuat ia seperti mimpi turun dan keluar dari kamarnya, memasuki taman dan memaksa kedua kakinya melangkah ke arah suara suling. Hikmat sang bulan dan sang malam indah membuat ia seperti mabok.
"Benar sekali cerita mereka...."
"Apa maksud Siocia...?"
Akan tetapi Suma Ceng menoleh ke arah bulan sehingga mukanya tersinar penuh, dan gadis ini berbisik seperti kepada bulan,
"Benar sekali... sopan, halus, rendah hati..."
"Maaf, Siocia. Bolehkah saya mengetahui..."
"Aku adalah Suma Ceng atau... Ayah, Ibu dan Kakakku menyebutku Ceng Ceng begitu saja. Liu Bu Song Twako, hebat benar kepandaianmu menyuling. Seperti lagu dari sorga..."
Akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa yang berdiri di depannya adalah puteri majikannya, Bu Song sudah menjura dengan dalam dan berkata,
"Kiranya Suma-siocia. Maafkan kalau saya berlaku kurang hormat dan berani mengganggu Siocia dengan suara sulingku yang buruk..."
"Ah, jangan terlalu merendah. Selama hidupku belum pernah aku mendengar suara suling seperti tadi. Twako, maukah kau memainkan lagu tadi lagi untukku...?"
"Siocia..., mana saya berani...? Siocia, tidak pantas bagi saya berada di sini... saya... saya..."
"Tidak mengapa. Siapa yang akan menyalahkanmu? Aku yang datang karena tertarik oleh suara sulingmu. Liu-twako, lagu apakah yang kau mainkan tadi?"
"Lagu.... Setangkai Kembang Kekeringan..."
"Ahhhh...! Pantas begitu mengharukan. Twako, mengapa kau berduka dan menyanyikan lagi seperti itu? Tadi aku sampai meruntuhkan air mata mendengarnya..."
"Siocia..."
Mereka kembali berpandangan dan keduanya tak dapat mengeluarkan kata-kata dan kembali dalam pandang mata itu mereka seakan-akan sudah mengenal masing-masing. Seakan-akan dalam pandang mata itu mereka sudah mengikrarkan janji, saling bertukar hati, bertukar kasih.
Suma Ceng menundukkan muka lebih dulu. Mukanya menjadi merah sekali, giginya yang kecil-kecil menggigit bibir bawah, ujung matanya yang tajam meruncing itu melempar kerling ke arah Bu Song, lalu naik sedu-sedan setengah tawa dari kerongkongannya dan gadis itu membalikkan tubuh, terus berlari kecil meninggalkan pondok, berlari-lari cepat sekali kini dan sebentar saja lenyap di balik pintu bulan.
Bu Song bengong. Peristiwa tadi seperti mimpi. Ia menjambak-jambak rambutnya dan diam-diam menyumpahi hatinya. Mengapa hatinya begitu tertarik? Mengapa hatinya begitu penuh cinta birahi? Gadis itu adalah puteri majikannya! Dan dia hanyalah seorang juru tulis, seorang pegawai biasa! Dan gadis itu selain cantik jelita, puteri bangsawan yang kaya raya, pandai, dan juga melihat caranya berlari cepat itu tentulah seorang gadis yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi!
Seperti seekor kumbang merindukan bulan! Dengan langkah lemas Bu Song lalu menyeret kedua kakinya, kembali ke kamarnya yang berada jauh dari pondok kecil taman bunga itu. Semalam suntuk ia tidak dapat tidur, gelisah dan resah, rindu dan risau sehingga pada keesokan harinya ia bekerja dengan muka pucat dan baru pada hari itu ia merasa betapa pekerjaannya berat dan tidak lancar.
Semenjak terjadi pertemuan di malam itu, dua orang muda itu merasa tersiksa hidupnya. Bu Song mengerahkan kekuatan batinnya dan menonjolkan akal sehatnya, memaksa hati mengakui bahwa tak mungkin dia mencinta seorang gadis seperti Suma Ceng.
Persamaan wajah gadis itu dengan Eng Eng sama sekali bukanlah alasan untuk ia membuta. Kenyataan memisahkan mereka jauh, sejauh bumi dan langit. Suma Ceng adalah puteri seorang pembesar tinggi yang tinggal dalam istana, berkedudukan tinggi dan seorang bangsawan terhormat, masih keluarga raja! Dan dia? Dahulu memang ayahnya jenderal. Akan tetapi sekarang? Dia hanya seorang yang hidup sebatang kara, seorang pelajar yang tidak lulus, seorang yang menerima budi Pangeran Suma Kong seperti seorang pengemis kelaparan menerima sumbangan seorang kaya.
Seorang pegawai rendahan, seorang pegawai biasa. Tidak mungkin terjadi! Andaikata gadis bangsawan itu tertarik oleh suara sulingnya, tak mungkin sudi merendahkan diri bergaul dengan seorang pegawai rendah seperti dia. Belum lagi kalau ketahuan Sang Pangeran, tentu dia akan dihukum berat.
Juga Suma Ceng semalam itu dan malam-malam berikutnya tak dapat tidur nyenyak. Wajah pemuda bersuling itu terbayang terus, suaranya yang halus dan sopan itu mengiang terus di telinganya, sepasang mata lebar tajam yang terhias alis berbentuk golok itu seakan-akan terus membayanginya.
Namun gadis ini pun mengerti bahwa tak mungkin ia dapat membiarkan dirinya bergaul dengan seorang pegawai ayahnya! Tak mungkin berjodoh dengan seorang pekerja biasa. Ayahnya tentu akan marah sekali, juga kakaknya. Kadang-kadang Suma Ceng menangis kalau teringat akan hal ini, kalau teringat betapa kelak ia tentu akan dijodohkan dengan seorang laki-laki bangsawan yang belum tentu dicintanya, bahkan yang mungkin dibencinya.
Namun, cinta adalah perasaan yang aneh, yang amat besar pengaruh dan kekuasaannya. Cinta kasih mengalahkan segala macam perasaan lain, bahkan mengalahkan akal budi dan kesadaran, membuat orang seakan menjadi buta dan nekat, siap untuk menyerbu lautan api.
Cinta merupakan api yang menyala indah, menari-nari dan meliuk-liuk menimbulkan warna yang cerah dan indah, membelai-belai dan melambai-lambaikan tangan kepada orang-orang yang sudah terkena hikmatnya sehingga mereka itu melangkahkan kaki makin mendekati tanpa menyadari bahwa bahaya mengancam mereka. Baru akan terbuka mata mereka, baru akan sadar pesona mereka, setelah terlambat dan hanya penyesalan yang tinggal, penyesalan dan luka hangus terbakar.
Akan tetapi, seperti juga api, cinta dapat mendatangkan kesenangan dan kebahagiaan hidup, mendatangkan kehangatan dan mendorong semangat, menimbulkan keindahan dan kenikmatan hidup. Asal orang pandai menggunakannya. Asal orang dapat menguasainya. Cinta itu indah. Cinta itu nikmat. Cinta itu anugerah. Bagi mereka yang dapat menguasainya. Akan tetapi cinta itu pangkal malapetaka. Cinta itu pangkal sengsara dan pangkal derita. Bagi mereka yang mabok dan lemah, yang menjadi permainan cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar