FB

FB


Ads

Senin, 29 April 2019

Suling Emas Jilid 137

Bu Song tak dapat diam di atas bangku. Ia menoleh kesana kemari mengagumi dan membaca sajak-sajak pasangan yang menghias dinding, juga kadang-kadang menengok keluar untuk menikmati keindahan taman bunga yang mengelilingi istana itu.

Jauh di samping, agak ke belakang, melalui sebuah pintu berbentuk bulan, ia dapat melihat kolam ikan dengan air mancur tinggi. Air itu memecah di atas dan karena matahari pagi sudah mulai bersinar, tampaklah air itu menjadi beraneka warna seperti pelangi. Bukan main!

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh langkah seorang dari luar dan ternyata dia adalah seorang pemuda yang berpakaian indah dan berwajah tampan, berusia dua puluh tahun lebih, pakaiannya seperti sastrawan pula, akan tetapi begitu bertemu pandang, Bu Song di dalam hatinya mendapat kesan tak menyenangkan. Pada pandang mata itu, dan bentuk hidung itu, membayangkan sesuatu yang tidak baik. Ia tidak tahu siapa adanya pemuda berpakaian mewah ini, maka ia duduk saja dengan tenang.

Tidak demikian dengan Ciu Tang. Melihat pemuda ini, segera ia bangkit berdiri menyambut maju dan begitu pemuda itu memasuki ruangan, ia segera menjura dengan dalam sehingga tubunya terlipat dua, mulutnya berkata penuh hormat.

"Suma-kongcu, selamat pagi....! Harap kongcu selalu dalam sehat gembira!"

Pemuda itu berhenti dan membalas penghormatan yang berlebihan itu dengan anggukan kepalanya.

"Ah, bukankah kau Paman Ciu Tang yang membuka pegadaian di dekat losmen Liok-an? Ada apa pagi-pagi kesini, dan siapakah Saudara ini?"

Biarpun kata-katanya ramah, namun mengandung ketinggian hati. Ciu Tang menengok dan berkedip kepada Bu Song, memberi isyarat supaya pemuda itu bangkit berdiri lalu memperkenalkan,

"Begini, Kongcu. Keponakan hamba ini, Liu Bu Song, mengikuti ujian dan agaknya menarik perhatian Suma-ongya maka kini dipanggil menghadap."

Terpaksa Bu Song mengangkat kedua tangan dan memberi hormat selayaknya menurut kesopanan. Pemuda itupun hanya mengangguk, akan tetapi matanya memandang Bu Song penuh perhatian. Ia melihat pemuda sederhana itu tubuhnya tinggi besar dan membayangkan tenaga kuat, namun sikapnya sederhana dan sewajarnya, sama sekali tidak memperlihatkan sikap congkak seperti biasa seorang terpelajar, juga tidak membayangkan sikap menjilat seperti orang-orang macam Ciu Tang. Diam-diam putera pangeran ini tertarik dan senang hatinya. Ia benci melihat pemuda-pemuda yang tinggi hati, akan tetapi lebih benci lagi melihat mereka yang suka menjilat.

Pemuda ini adalah putera Pangeran Suma Kong. Namanya Suma Boan dan dia bukanlah seorang pemuda yang tidak terkenal. Mungkin lebih terkenal daripada ayahnya, karena pemuda ini selain suka bergaul dengan rakyat, juga ia terkenal seorang pemuda yang pandai ilmu silat. Kesukaannya memang mempelajari ilmu silat dan entah berapa banyaknya guru silat yang pernah mengajarnya dan juga pernah ia robohkan. Setiap ia mendengar ada seorang guru silat baru, ia tentu mendatanginya dan mengajaknya pibu. Kalau ia kalah, dia memberi hadiah banyak dan minta diajar ilmu yang telah mengalahkannya, akan tetapi kalau guru silat itu kalah, jangan harap guru silat itu dapat membuka perguruannya.

Wataknya peramah dan pandai bergaul, akan tetapi sayang sekali, pemuda bangsawan ini pun seorang mata keranjang yang suka mengganggu wanita cantik mengandalkan kedudukan dan kepandaiannya. Akhir-akhir ini kepandaiannya melonjak cepat sekali. ia menemukan seorang guru yang benar-benar hebat, yaitu Pouw-kai-ong yang sudah kita kenal!

Raja Pengemis she Pouw itu menjadi guru Suma Boan sehingga pemuda bangsawan ini memiliki ilmu silat tinggi dan ia bahkan di dunia kang-ouw mendapat julukan Lui-kong-sian (Dewa Geledek), sebuah julukan yang diberikan orang untuk mengagungkannya dengan maksud menjilat!

"Saudara Liu, apakah kau selain pandai bun juga pernah mempelajari silat?" dengan sikap seperti seorang kenalan lama Suma Boan bertanya, matanya mengincar tajam.

Bu Song menggeleng kepalanya.
"Tidak pernah, Kongcu. Seorang terpelajar yang tahu bahwa penggunaan kekerasan adalah tidak baik, untuk apa belajar silat? Saya tidak pernah mempelajarinya."

Suma Boan tersenyum mengejek dan pandangannya kini merendahkan.
"Memang jarang ada Bun-bu-coan-jai (pandai silat dan sastera) sekarang ini!" Ia berjalan keluar lalu berhenti dekat sebuah arca singa barong. "Kalian lihat, apakah kepandaian seperti ini tidak ada gunanya?"






Tangannya menangkap leher arca itu dan sekali ia berseru, singa-singaan itu terlontar ke atas, lebih tiga meter tingginya, kemudian ia sambut lagi kini terletak di atas telapak tangannya! Lengan dan tubuhnya tergetar tanda bahwa ia mengerahkan tenaganya, kemudian sekali ia menggerakkan tangan, arca itu terlempar ke depan dan roboh terguling di atas tanah.

"Hebat... sungguh luar biasa kekuatan Suma-kongcu...!"

Ciu Tang bersorak, bukan hanya terdorong sikapnya suka merendah dan menjilat, akan tetapi betul-betul ia kagum. Singa-singaan dari batu sebesar itu tentulah amat berat.

"Bagaimana, Saudara Liu?" Suma Boan bertanya, tidak pedulikan pujian Ciu Tang.

"Tenaga Suma-kongcu benar-benar luar biasa. Saya kagum sekali."

Agaknya putera bagsawan itu cukup merasa puas mendengar ini. Bu Song memang seorang pemuda yang pandai membawa diri. Tanpa menjilat pun ia sanggup untuk menyesuaikan diri dan menyenangkan hati orang lain.

Suma Boan lalu berteriak memanggil beberapa orang penjaga yang menjaga di gerbang pintu luar. Empat orang penjaga berlarian datang, siap menangkap atau memukul siapa saja atas perintah putera majikan mereka. Akan tetapi kali ini tidak ada pekerjaan pukul-memukul bagi mereka.

"Kalian angkat singa-singaan ini dan kembalikan di tempatnya semula!"

Kata Suma Boan, kemudian sambil menepuk-nepuk telapak tangan menghilangkan debu ia melangkah lebar memasuki taman di samping istana dan lenyap ke dalam pintu berbentuk bulan.

Empat orang penjaga itu saling pandang.
"Bagaimana bisa pindah ke sini?" Seorang diantara mereka mengomel.

Ciu Tang tertawa dan memberi keterangan.
"Baru saja Suma-kongcu mempermainkannya dan melontarkan ke atas seperti sebuah singa kertas saja."

Empat orang itu menggoyang-goyang kepala dan seorang di antara mereka mengomel perlahan,

"Ah, kenapa tidak dikembalikan sekalian ke tempat semula?"

Biarpun mengomel, mereka lalu menghampiri singa-singaan batu itu dan berempat mereka mengerahkan tenaga. Singa barong dari batu hanya bergoyang-goyang saja, akan tetapi tidak dapat terangkat oleh mereka!

Ciu Tang meleletkan lidahnya saking kagum.
"Empat orang tak mampu mengangkatnya, tapi Suma-kongcu dapat memainkannya dengan sebelah tangan. Benar-benar seperti dewa!"

"Apa anehnya? Beliau memang Lui-kong-sian, tentu saja kami berempat tidak boleh dibandingkan dengan sebelah lengannya! Hayo kita mencari beberapa orang kawan lagi untuk membantu!" Empat orang itu lalu berlarian keluar.

"Hebat...!" Ciu Tang lalu memasuki kembali ruangan tamu.

Akan tetapi Bu Song sejenak memandang singa-singaan batu. Baginya sukar untuk dipercaya bahwa sebuah benda yang tidak kuat diangkat empat orang, dapat dimainkan dengan sebuah tangan saja. Memang ia sudah terlalu sering menyaksikan kesaktian-kesaktian tinggi seperti gurunya dan juga orang-orang seperti Kong Lo Sengjin.

Dibandingkan dengan kesaktian yang diperlihatkan gurunya, permainan Suma-kongcu itu hanyalah permainan kanak-kanak. Akan tetapi ia tidak percaya kalau kongcu itu benar-benar sedemikian kuatnya. Dengan hati ingin tahu ia lalu menghampiri singa-singaan batu itu, mengulurkan tangan kanan menangkap leher singa-singaan batu lalu menggerakkan tangan sambil mengerahkan tenaga. Singa barong batu itu tergeser dan terlempar sejauh dua meter!

Bu Song tersenyum, lalu ia mengikuti Ciu Toan masuk ke dalam ruangan tamu. Ternyata empat orang penjaga tadi hanya main-main, mungkin untuk menyenangkan hati Suma-kongcu, pikirnya. Kalau para penjaga itu mau, jangankan empat orang, satu orang tentu sanggup mengembalikan singa-singaan itu di tempat asalnya.

Bu Song sama sekali tidak tahu bahwa di dalam dirinya terdapat tenaga yang luar biasa pula, tenaga yang terhimpun oleh latihan-latihan samadhi dan pernapasan. Akan tetapi ia tidak tahu akan hal ini dan tidak pandai mempergunakan tenaga sakti yang terhimpun ini. Hanya kadang-kadang secara kebetulan saja, seperti tadi tenaga sakti itu memperlihatkan diri tanpa ia sengaja. Ketika ia tadi mengerahkan tenaga, secara kebetulan saja jalan darahnya terbuka sehingga tenaga sakti dapat menerobos dalam lengannya, maka mudah saja baginya untuk melemparkan singa-singaan itu.

Andaikata tidak secara kebetulan tenaga sakti itu dapat menerobos ke dalam lengannya, tentu ia tidak akan mampu menggerakkan singa-singaan batu yang beratnya lebih dari limar ratus kati itu!

Pada saat itu, seorang pelayan muncul dan mereka dipanggil menghadap ke ruangan samping dimana Pangeran Suma Kong akan menerima mereka. Mereka mengikuti si pelayan dengan hati berdebar. Masih terdengar oleh Bu Song teriakan-teriakan kaget di luar,

"Eh, kenapa singa-singaan ini sudah pindah lagi lebih jauh? Tadi tidak disini!"

Ia tersenyum menganggap para penjaga yang kini datang delapan orang itu seperti badut-badut yang melawak untuk menyenangkan hati majikan, atau seperti anjing yang merunduk-runduk dan menggoyang-goyang ekor di depan majikan.

Menghadapi seorang pembesar yang berpakaian serba indah dan bermuka keren, Bu Song bersikap hormat. Di antara pelajaran-pelajaran dalam kitab, orang harus menghormat pembesar dan ini merupakan kewajiban seorang bijaksana.

Pembesar mewakili pemerintah, maka harus dihormati selayaknya. Maka ia pun ikut berlutut ketika melihat Ciu Tang menjatuhkan diri berlutut ketika pembesar itu muncul diikuti oleh dua orang pengawal.

Agaknya Pangeran Suma Kong juga senang hatinya melihat Bu Song, maka ia lalu mengumumkan bahwa Bu Song diterima bekerja membantunya, sebagai seorang yang mengurus semua surat-surat, membuatkan surat-surat pengumuman, mencatatkan harta yang masuk dan keluar, juga membantu pangeran itu mengurus perpustakaan negara yang menjadi salah satu tugas Pangeran Suma Kong.

Bu Song demikian menarik hati pangeran itu sehingga ia malah diperintahkan tinggal di dalam istana, mendapatkan sebuah kamar di sebelah belakang, yaitu di bagian kamar-kamar pelayan dan pegawai. Bu Song menerima dengan ucapan terima kasih, kemudian ia diperbolehkan mengantar pulang Ciu Tang yang menjadi girang bukan main.

Demikianlah, mulai saat itu Bu Song menjadi pegawai Pangeran Suma Kong. Ia bekerja dengan giat dan rajin sehingga Pangeran Suma Kong merasa suka kepadanya. Setelah pemuda ini membantunya, segala pembukuan dan catatan beres, bahkan ia mulai mendapat pujian dari rekan-rekannya tentang kerapian surat-surat yang terkirim dari Pangeran Suma.

Selain rajin, juga Bu Song pandai membawa diri, ke atas tidak menjilat, ke bawah tidak menekan. Semua pelayan suka belaka kepadanya, bahkan Suma-kongcu yang terkenal galak itupun suka kepada Bu Song dan seringkali di waktu malam kalau Bu Song menganggur, Suma Boan suka mengajaknya mengobrol di taman, bermain catur atau membuat syair. Dalam dua hal ini, Suma Boan boleh berguru kepada Bu Song, akan tetapi Bu Song selalu bersikap merendah, dalam bermain catur sengaja membuat permainan menjadi seru dan banyak ia mengalah. Hal ini ia lakukan bukan sekali-kali untuk menjilat, melainkan untuk mencegah putera majikan itu menjadi tak senang hati.

Agaknya masa depan Bu Song sudah dapat dipastikan baik dan sesuai dengan cita-cita gurunya kalau saja tidak terjadi beberapa hal yang tak terduga-duga. Setelah hampir dua tahun Bu Song bekerja di situ, dengan hati kecut ia mendapat kenyataan betapa pangeran itu seorang yang amat korup. Mengumpulkan harta kekayaan untuk diri sendiri dengan cara yang amat tercela. Tidak hanya dengan cara menerima sogokan dalam ujian, namun ia masih menggelapkan uang yang seharusnya masuk ke istana raja. Belum lagi sogokan-sogokan dari para pembesar rendahan jika menghendaki sesuatu yang memerlukan kewibawaan dan kekuasaan Pangeran Suma. Ini semua masih ditambah pajak-pajak paksa dipungut dari petani-petani di luar kota raja, yaitu mereka yang mengerjakan sawah pangeran itu yang luasnya sukar diukur!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar