Menurut perhitungan Suma Boan, orang yang minum racun tadi, tentu umurnya takkan lewat setengah hari. Namun sampai matahari condong ke barat. Bu Song masih segar bugar biarpun amat menderita. Hal ini membuat Suma Boan menjadi penasaran dan marah sekali. Ia mengeluarkan sebatang cambuk dan mulailah ia mencambuki tubuh atas yang tak berbaju itu. Dada, leher, dan muka Bu Song sampai penuh jalur-jalur merah dan biru dan darah mulai bercucuran keluar. Namun tetap saja Suma Boan sendiri yang kehabisan tenaga saking lelahnya. Ia telah mencambuki sampai seratus kali dan kini Bu Song tampak menggantung pada pohon itu, agaknya pingsan.
"Kau jaga dia malam ini. Hendak kulihat apakah besok pagi dia masih dapat bertahan hidup. Kalau malam nanti dia mampus, tetap jaga dia. Besok pagi bawa pergi mayatnya," kata Suma Boan kepada pembantunya.
Setelah melepaskan pandang untuk terakhir kalinya dengan senyum mengejek, Suma Boan lalu memasuki istana ayahnya. Kebetulan sekali seorang pengawal mencarinya karena ayahnya memanggil. Setelah ayah dan anak ini bertemu, mereka berunding.
"Aku sudah matangkan perjodohan adikmu dengan Perwira Muda Kiang. Sekarang baiknya perjodohan itu dipercepat. Besok kau pergilah kepada keluarga Kiang dan menyampaikan surat desakanku agar pernikahan dapat dilangsungkan dalam bulan ini atau selambatnya bulan depan. Aahhh, sungguh menggelisahkan hati benar anak perempuan itu! Kalau tidak ingat bahwa hanya dia seorang anakku perempuan, lebih baik melihat dia mati di depanku!"
"Ayah, sudah ada jalan terbaik mengapa berpikir demikian? Moi-moi masih terlalu muda dan harus diakui bahwa Bu Song memang tampan dan sikapnya menarik hati. Yang berdosa besar adalah Bu Song. Tentu dia yang memikat Moi-moi sehingga terjerumus...."
"Bagaimana dia? Bagaimana keparat jahanam itu? sudah kau bikin mampus?"
Suma Boan mengangguk.
"Malam nanti tentu dia mati. Aku membiarkan dia mati dalam keadaan menderita untuk menebus dosanya!"
Malam itu gelap gulita. Apalagi di bagian belakang istana, karena malam itu semua pelayan atau pengawal dilarang memasuki kebun itu. Keluarga Suma tentu saja ingin menyimpan peristiwa itu, tidak ingin membiarkan orang luar tahu akan hubungan yang terjadi antara puteri Suma dengan seorang pegawai rendahan!
A Piauw si pengawal itu makan dan minum arak di bawah pohon. Ia dikirim oleh seorang pengawal lain atas perintah Suma Boan. Sambil minum arak A Piauw memandang ke arah tubuh yang masih lemas tergantung pada batang pohon. Diam-diam ia merasa amat kagum pada pemuda lemah itu. Seorang pemuda sastrawan yang tentu saja bertubuh lemah, akan tetapi sedikit pun tidak mengeluarkan rintihan atau keluhan, padahal ia telah diberi minum racun yang merusak usus dan dicambuki sampai seratus kali oleh Suma-kongcu yang terkenal mempunyai tangan yang kuat sekali! A Piauw menggeleng-geleng kepala. Kalau tidak melihat dengan mata kepala sendiri, tentu ia tidak akan sudi percaya. Mana ada seorang pemuda lemah dapat menahan segala derita tanpa mengeluh satu kalipun?
Angin malam bertiup dan daun-daun pohon bergoyang. A Piauw menarik leher bajunya ke atas. Entah mengapa, ia merasa bergidik. Sudah matikah pemuda itu? Berpikir demikian, ia bangkit berdiri dan menghampiri tubuh Bu Song. Muka itu masih tunduk, akan tetapi ketika ia mendekat, Bu Song mengangkat muka. Sepasang matanya masih bersinar tajam.
A Piauw mundur lagi dan makin serem. Pemuda ini bukan orang sembarangan, pikirnya. Bagaimana kalau sampai besok pagi belum mati? Ah, terserah Kongcu saja pikirnya. Tugasnya hanya menjaga dan apa sukarnya menjaga seorang yang sudah setengah mati dan terikat pada pohon?
Kembali angin membuat daun-daun pohon bergoyang. Akan tetapi pohon dimana Bu Song terikat, terlampau keras goyangnya. Keadaan amat gelap dan lampu gantung yang berada di atas kepala A Piauw, tergantung pada batu karang. A Piauw menjadi curiga dan mendekati Bu Song. Akan tetapi matanya terbelalak ketika melihat Bu Song sudah terlepas dari ikatan, dan seorang kakek merangkul pundaknya.
"Heee...! Apa... siapa..."
Hanya sekian saja A Piauw mampu mengeluarkan kata-kata karena tubuhya seolah-olah menjadi lumpuh seketika dan ia roboh seperti kain basah jatuh dari sampiran. Ia tak mampu bergerak maupun mengeluarkan suara, hanya matanya melotot menyaksikan betapa kakek itu berkelebat pergi sambil mengempit tubuh Bu Song.
Penolong Bu Song itu bukan lain adalah Kim-mo Taisu. Kakek ini bermaksud mencari dan mengunjungi muridnya. Siang tadi ia mendengar dari Ciu Tiang akan nasib baik Bu Song yang di terima menjadi pegawai Pangeran Suma Kong. Diam-diam Kim-mo Taisu menjadi tidak senang hatinya. Ia sudah mendengar siapa adanya Pangeran Suma Kong, seorang bangsawan tinggi tukang korup. Ia khawatir kalau-kalau Bu Song akan menjadi rusak setelah menjadi kaki tangan pembesar koruptor itu. Maka sengaja malam itu ia pergi menyelidiki dan memasuki kompleks istana Pangeran Suma Kong melalui tembok belakang. Dan kebetulan sekali ia melihat betapa muridnya terikat pada pohon dengan tubuh bekas siksaan, maka ia cepat menolongnya dan membawanya pergi keluar dari tembok kebun istana.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Ciu Tang ketika Kim-mo Taisu datang lagi membawa tubuh Bu Song yang lemah dan masih pingsan. Cepat ia membantu dan setelah tubuh pemuda itu dibaringkan, Kim-mo Taisu segera memeriksanya. Lega hati kakek ini ketika mendapat kenyataan bahwa muridnya tidak menderita luka hebat, hanya luka di kulit saja.
Akan tetapi melihat keadaannya, hatinya menjadi panas. Siksaan itu keterlaluan sekali dan kalau saja muridnya tidak memiliki hawa sakti dalam tubuh dan memiliki daya tahan yang luar biasa, tentu Bu Song sudah mati. Kakek ini sama sekali tidak tahu bahwa Bu Song malah telah diberi racun, minum racun hebat yang untung sekali tidak membunuhnya karena tubuh Bu Song sudah kebal setelah pemuda ini menghabiskan obat sarang burung rajawali hitam.
Setelah diberi minum obat penguat, dalam waktu satu jam saja Bu Song sudah siuman. Ia membuka matanya dan memang tadi ketika tertolong, ia dalam keadaan sadar. Cepat ia turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depan Kim-mo Taisu yang menjaganya di situ. Kakek ini memberi isyarat kepada Ciu Tang untuk keluar dari kamar, kemudian ia menutup daun pintu dan menyuruh muridnya duduk kembali di pembaringan.
"Ceritakan apa yang terjadi padamu," kata guru ini dengan pandang mata tajam.
Bu Song menjadi rikuh sekali, merasa malu dan tidak enak hati. Gurunya ini juga bekas calon mertuanya. Bagaimana hatinya akan merasa enak kalau bercerita bahwa dia mengadakan hubungan dengan puteri Pangeran Suma, ketahuan dan dihajar seperti itu? Bukankah gurunya akan menganggapnya seorang laki-laki hina dan rendah, bahkan mungkin dianggapnya dia seorang pemuda hidung belang atau mata keranjang? Akan tetapi, untuk berbohong terhadap suhunya ia tidak mau, maka sambil menundukkan mukanya ia berkata.
"Suhu, murid selayaknya menerima kematian. Agaknya Suhu telah membuang tenaga sia-sia dengan menolong murid yang murtad dan berdosa. Teecu (murid) akan menceritakan segalanya secara terus terang dan andaikata Suhu menjadi marah dan lalu menghukum atau membunuh teecu, teecu akan menerima dengan hati rela."
Kemudian ia menceritakan semua pengalamannya, semenjak ia turun gunung pergi ke kota raja, tentang pertemuannya dengan Kakek Kong Lo Sengjin, tentang ujian dan kemudian tentang peristiwa antara dia dan Suma Ceng.
"Suhu, teecu telah berdosa. Teecu telah kehilangan kekuatan batin, tidak kuasa menghindarkan diri daripada perbudakan nafsu seperti yang diajarkan Suhu. Teecu tidak berdaya, bertemu dengan Suma Ceng membuat teecu ingat kepada Eng Eng dan segala sesuatu tidak dapat teecu hindarkan lagi. Teecu menerima salah dan terserah kepada hukuman Suhu." Bu Song menutup ceritanya sambil menundukkan muka.
Kim-mo Taisu mendengarkan semua penuturan muridnya dengan termenung. Terbayanglah segala pengalamannya dengan wanita. Dia pun banyak mengalami malapetaka dan penderitaan karena cinta. Dalam cinta kasih, ia selalu mengalami kegagalan dan kesialan! Mengapa hal yang buruk itu agaknya menurun kepada muridnya?
Akan tetapi, ada hal yang membuat ia penasaran dan marah sekali ketika mendengar cerita muridnya. Yaitu tentang Kong Lo Sengjin tentang percakapan antara Kong Lo Sengjin dan tokoh-tokoh Hui-to-pang. Kiranya yang menyuruh bunuh isterinya adalah Kong Lo Sengjin, paman isterinya sendiri! Kiranya pamannya yang terlalu besar nafsunya akan kedudukan dan kemuliaan dunia itu telah sengaja membangkitkan amarah dalam hatinya dengan jalan menyuruh bunuh isterinya dan melakukan fitnah bahwa yang menyuruh bunuh adalah musuh-musuhnya!
"Bu Song, setelah engkau mengalami banyak penghinaan dari orang-orang yang memiliki kepandaian silat, apakah engkau masih menganggap bahwa ilmu silat adalah rendah dan tidak patut dipelajari oleh orang budiman?"
Bu Song diam saja, tidak dapat menjawab. Memang banyak sudah kenyataan menimpa dirinya hanya karena ia seorang lemah.
"Andaikata engkau dahulu belajar ilmu silat dariku, apa kau kira Suma Boan berani menyiksamu? Bahkan mungkin Suma Ceng dapat menjadi jodohmu karena tidak ada orang berani melarangmu! Ilmu adalah ilmu, baik itu ilmu silat (bu) ataukah ilmu surat (bun). Ilmu tetap ilmu, titik. Tidak bisa dibilang baik maupun buruk. Semua benda di dunia ini tidak punya sifat baik atau pun buruk. Yang ada hanya wajar, sudah semestinya begitu, tidak baik tidak buruk. Baik buruknya tergantung kepada si manusia yang memanfaatkannya. Karena sesungguhnya, istilah baik dan buruk adalah ciptaan manusia sendiri. Baik buruknya tergantung dari manusia, kalau dipergunakan untuk kebaikan maka itulah ilmu yang baik. Kalau dipergunakan untuk kejahatan, maka buruklah ilmu itu! Seperti halnya semua anggota tubuh, misalnya mulut. Mulut tetap mulut, tidak baik tidak buruk. Kalau dipergunakannya hanya untuk menjadi jalan masuknya makan minum yang enak-enak dan menjadi jalan keluarnya maki-makian, ucapan kurang ajar, fitnah dan tipu, maka buruklah mulut itu! Akan tetapi kalau dipergunakan menjadi jalan masuk minum yang sehat dan jalan keluar omongan yang baik-baik bagi manusia lain, maka baiklah mulut itu!"
Kim-mo Taisu bicara penuh semangat dan Bu Song mendengarkan sambil menundukkan mukanya, namun dengan penuh perhatian.
"Kau dahulu menganggap silat itu ilmu kasar untuk berkelahi dan membunuh orang atau melukainya, maka kau membencinya. Apakah ilmunya yang berkelahi, melukai atau membunuh orang? Bukan! Melainkan orangnya! Biarpun tak pandai silat, apakah tak dapat berkelahi atau membunuh orang? Sebaliknya kalau dipergunakan baik, maka ilmu silat amat berguna. Misalnya, untuk menjaga diri daripada hinaan orang-orang yang merasa dapat berbuat semaunya karena kekuatannya, untuk menolong orang-orang yang mengalami penindasan dari orang-orang jahat, dan masih banyak sekali hal-hal baik yang hanya dapat dilakukan dengan sempurna oleh orang-orang yang pandai ilmu silat.“
"Kau jaga dia malam ini. Hendak kulihat apakah besok pagi dia masih dapat bertahan hidup. Kalau malam nanti dia mampus, tetap jaga dia. Besok pagi bawa pergi mayatnya," kata Suma Boan kepada pembantunya.
Setelah melepaskan pandang untuk terakhir kalinya dengan senyum mengejek, Suma Boan lalu memasuki istana ayahnya. Kebetulan sekali seorang pengawal mencarinya karena ayahnya memanggil. Setelah ayah dan anak ini bertemu, mereka berunding.
"Aku sudah matangkan perjodohan adikmu dengan Perwira Muda Kiang. Sekarang baiknya perjodohan itu dipercepat. Besok kau pergilah kepada keluarga Kiang dan menyampaikan surat desakanku agar pernikahan dapat dilangsungkan dalam bulan ini atau selambatnya bulan depan. Aahhh, sungguh menggelisahkan hati benar anak perempuan itu! Kalau tidak ingat bahwa hanya dia seorang anakku perempuan, lebih baik melihat dia mati di depanku!"
"Ayah, sudah ada jalan terbaik mengapa berpikir demikian? Moi-moi masih terlalu muda dan harus diakui bahwa Bu Song memang tampan dan sikapnya menarik hati. Yang berdosa besar adalah Bu Song. Tentu dia yang memikat Moi-moi sehingga terjerumus...."
"Bagaimana dia? Bagaimana keparat jahanam itu? sudah kau bikin mampus?"
Suma Boan mengangguk.
"Malam nanti tentu dia mati. Aku membiarkan dia mati dalam keadaan menderita untuk menebus dosanya!"
Malam itu gelap gulita. Apalagi di bagian belakang istana, karena malam itu semua pelayan atau pengawal dilarang memasuki kebun itu. Keluarga Suma tentu saja ingin menyimpan peristiwa itu, tidak ingin membiarkan orang luar tahu akan hubungan yang terjadi antara puteri Suma dengan seorang pegawai rendahan!
A Piauw si pengawal itu makan dan minum arak di bawah pohon. Ia dikirim oleh seorang pengawal lain atas perintah Suma Boan. Sambil minum arak A Piauw memandang ke arah tubuh yang masih lemas tergantung pada batang pohon. Diam-diam ia merasa amat kagum pada pemuda lemah itu. Seorang pemuda sastrawan yang tentu saja bertubuh lemah, akan tetapi sedikit pun tidak mengeluarkan rintihan atau keluhan, padahal ia telah diberi minum racun yang merusak usus dan dicambuki sampai seratus kali oleh Suma-kongcu yang terkenal mempunyai tangan yang kuat sekali! A Piauw menggeleng-geleng kepala. Kalau tidak melihat dengan mata kepala sendiri, tentu ia tidak akan sudi percaya. Mana ada seorang pemuda lemah dapat menahan segala derita tanpa mengeluh satu kalipun?
Angin malam bertiup dan daun-daun pohon bergoyang. A Piauw menarik leher bajunya ke atas. Entah mengapa, ia merasa bergidik. Sudah matikah pemuda itu? Berpikir demikian, ia bangkit berdiri dan menghampiri tubuh Bu Song. Muka itu masih tunduk, akan tetapi ketika ia mendekat, Bu Song mengangkat muka. Sepasang matanya masih bersinar tajam.
A Piauw mundur lagi dan makin serem. Pemuda ini bukan orang sembarangan, pikirnya. Bagaimana kalau sampai besok pagi belum mati? Ah, terserah Kongcu saja pikirnya. Tugasnya hanya menjaga dan apa sukarnya menjaga seorang yang sudah setengah mati dan terikat pada pohon?
Kembali angin membuat daun-daun pohon bergoyang. Akan tetapi pohon dimana Bu Song terikat, terlampau keras goyangnya. Keadaan amat gelap dan lampu gantung yang berada di atas kepala A Piauw, tergantung pada batu karang. A Piauw menjadi curiga dan mendekati Bu Song. Akan tetapi matanya terbelalak ketika melihat Bu Song sudah terlepas dari ikatan, dan seorang kakek merangkul pundaknya.
"Heee...! Apa... siapa..."
Hanya sekian saja A Piauw mampu mengeluarkan kata-kata karena tubuhya seolah-olah menjadi lumpuh seketika dan ia roboh seperti kain basah jatuh dari sampiran. Ia tak mampu bergerak maupun mengeluarkan suara, hanya matanya melotot menyaksikan betapa kakek itu berkelebat pergi sambil mengempit tubuh Bu Song.
Penolong Bu Song itu bukan lain adalah Kim-mo Taisu. Kakek ini bermaksud mencari dan mengunjungi muridnya. Siang tadi ia mendengar dari Ciu Tiang akan nasib baik Bu Song yang di terima menjadi pegawai Pangeran Suma Kong. Diam-diam Kim-mo Taisu menjadi tidak senang hatinya. Ia sudah mendengar siapa adanya Pangeran Suma Kong, seorang bangsawan tinggi tukang korup. Ia khawatir kalau-kalau Bu Song akan menjadi rusak setelah menjadi kaki tangan pembesar koruptor itu. Maka sengaja malam itu ia pergi menyelidiki dan memasuki kompleks istana Pangeran Suma Kong melalui tembok belakang. Dan kebetulan sekali ia melihat betapa muridnya terikat pada pohon dengan tubuh bekas siksaan, maka ia cepat menolongnya dan membawanya pergi keluar dari tembok kebun istana.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Ciu Tang ketika Kim-mo Taisu datang lagi membawa tubuh Bu Song yang lemah dan masih pingsan. Cepat ia membantu dan setelah tubuh pemuda itu dibaringkan, Kim-mo Taisu segera memeriksanya. Lega hati kakek ini ketika mendapat kenyataan bahwa muridnya tidak menderita luka hebat, hanya luka di kulit saja.
Akan tetapi melihat keadaannya, hatinya menjadi panas. Siksaan itu keterlaluan sekali dan kalau saja muridnya tidak memiliki hawa sakti dalam tubuh dan memiliki daya tahan yang luar biasa, tentu Bu Song sudah mati. Kakek ini sama sekali tidak tahu bahwa Bu Song malah telah diberi racun, minum racun hebat yang untung sekali tidak membunuhnya karena tubuh Bu Song sudah kebal setelah pemuda ini menghabiskan obat sarang burung rajawali hitam.
Setelah diberi minum obat penguat, dalam waktu satu jam saja Bu Song sudah siuman. Ia membuka matanya dan memang tadi ketika tertolong, ia dalam keadaan sadar. Cepat ia turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depan Kim-mo Taisu yang menjaganya di situ. Kakek ini memberi isyarat kepada Ciu Tang untuk keluar dari kamar, kemudian ia menutup daun pintu dan menyuruh muridnya duduk kembali di pembaringan.
"Ceritakan apa yang terjadi padamu," kata guru ini dengan pandang mata tajam.
Bu Song menjadi rikuh sekali, merasa malu dan tidak enak hati. Gurunya ini juga bekas calon mertuanya. Bagaimana hatinya akan merasa enak kalau bercerita bahwa dia mengadakan hubungan dengan puteri Pangeran Suma, ketahuan dan dihajar seperti itu? Bukankah gurunya akan menganggapnya seorang laki-laki hina dan rendah, bahkan mungkin dianggapnya dia seorang pemuda hidung belang atau mata keranjang? Akan tetapi, untuk berbohong terhadap suhunya ia tidak mau, maka sambil menundukkan mukanya ia berkata.
"Suhu, murid selayaknya menerima kematian. Agaknya Suhu telah membuang tenaga sia-sia dengan menolong murid yang murtad dan berdosa. Teecu (murid) akan menceritakan segalanya secara terus terang dan andaikata Suhu menjadi marah dan lalu menghukum atau membunuh teecu, teecu akan menerima dengan hati rela."
Kemudian ia menceritakan semua pengalamannya, semenjak ia turun gunung pergi ke kota raja, tentang pertemuannya dengan Kakek Kong Lo Sengjin, tentang ujian dan kemudian tentang peristiwa antara dia dan Suma Ceng.
"Suhu, teecu telah berdosa. Teecu telah kehilangan kekuatan batin, tidak kuasa menghindarkan diri daripada perbudakan nafsu seperti yang diajarkan Suhu. Teecu tidak berdaya, bertemu dengan Suma Ceng membuat teecu ingat kepada Eng Eng dan segala sesuatu tidak dapat teecu hindarkan lagi. Teecu menerima salah dan terserah kepada hukuman Suhu." Bu Song menutup ceritanya sambil menundukkan muka.
Kim-mo Taisu mendengarkan semua penuturan muridnya dengan termenung. Terbayanglah segala pengalamannya dengan wanita. Dia pun banyak mengalami malapetaka dan penderitaan karena cinta. Dalam cinta kasih, ia selalu mengalami kegagalan dan kesialan! Mengapa hal yang buruk itu agaknya menurun kepada muridnya?
Akan tetapi, ada hal yang membuat ia penasaran dan marah sekali ketika mendengar cerita muridnya. Yaitu tentang Kong Lo Sengjin tentang percakapan antara Kong Lo Sengjin dan tokoh-tokoh Hui-to-pang. Kiranya yang menyuruh bunuh isterinya adalah Kong Lo Sengjin, paman isterinya sendiri! Kiranya pamannya yang terlalu besar nafsunya akan kedudukan dan kemuliaan dunia itu telah sengaja membangkitkan amarah dalam hatinya dengan jalan menyuruh bunuh isterinya dan melakukan fitnah bahwa yang menyuruh bunuh adalah musuh-musuhnya!
"Bu Song, setelah engkau mengalami banyak penghinaan dari orang-orang yang memiliki kepandaian silat, apakah engkau masih menganggap bahwa ilmu silat adalah rendah dan tidak patut dipelajari oleh orang budiman?"
Bu Song diam saja, tidak dapat menjawab. Memang banyak sudah kenyataan menimpa dirinya hanya karena ia seorang lemah.
"Andaikata engkau dahulu belajar ilmu silat dariku, apa kau kira Suma Boan berani menyiksamu? Bahkan mungkin Suma Ceng dapat menjadi jodohmu karena tidak ada orang berani melarangmu! Ilmu adalah ilmu, baik itu ilmu silat (bu) ataukah ilmu surat (bun). Ilmu tetap ilmu, titik. Tidak bisa dibilang baik maupun buruk. Semua benda di dunia ini tidak punya sifat baik atau pun buruk. Yang ada hanya wajar, sudah semestinya begitu, tidak baik tidak buruk. Baik buruknya tergantung kepada si manusia yang memanfaatkannya. Karena sesungguhnya, istilah baik dan buruk adalah ciptaan manusia sendiri. Baik buruknya tergantung dari manusia, kalau dipergunakan untuk kebaikan maka itulah ilmu yang baik. Kalau dipergunakan untuk kejahatan, maka buruklah ilmu itu! Seperti halnya semua anggota tubuh, misalnya mulut. Mulut tetap mulut, tidak baik tidak buruk. Kalau dipergunakannya hanya untuk menjadi jalan masuknya makan minum yang enak-enak dan menjadi jalan keluarnya maki-makian, ucapan kurang ajar, fitnah dan tipu, maka buruklah mulut itu! Akan tetapi kalau dipergunakan menjadi jalan masuk minum yang sehat dan jalan keluar omongan yang baik-baik bagi manusia lain, maka baiklah mulut itu!"
Kim-mo Taisu bicara penuh semangat dan Bu Song mendengarkan sambil menundukkan mukanya, namun dengan penuh perhatian.
"Kau dahulu menganggap silat itu ilmu kasar untuk berkelahi dan membunuh orang atau melukainya, maka kau membencinya. Apakah ilmunya yang berkelahi, melukai atau membunuh orang? Bukan! Melainkan orangnya! Biarpun tak pandai silat, apakah tak dapat berkelahi atau membunuh orang? Sebaliknya kalau dipergunakan baik, maka ilmu silat amat berguna. Misalnya, untuk menjaga diri daripada hinaan orang-orang yang merasa dapat berbuat semaunya karena kekuatannya, untuk menolong orang-orang yang mengalami penindasan dari orang-orang jahat, dan masih banyak sekali hal-hal baik yang hanya dapat dilakukan dengan sempurna oleh orang-orang yang pandai ilmu silat.“
Tidak ada komentar:
Posting Komentar