Suara crang-cring-crang-cring itu masih terdengar terus, makin lama makin jelas, Eng Eng yang mendengar ini membelalakkan matanya dan memegang lengan ayahnya makin erat.
"Ayah, kau dengarkah itu? suara yang-khim di tengah hutan! Siapa gerangan..."
"Sssstt, diamlah, Eng Eng. Agaknya kita mendapat anugerah dan kehormatan berjumpa dengan seorang suci. Mari kita menyongsong beliau."
Dengan perasaan heran dan takut-takut Eng Eng mengikuti ayahnya menuju ke arah suara yang-khim, tanpa melepaskan lengan ayahnya yang ia ganduli. Tak lama kemudian tibalah mereka di tempat terbuka di hutan itu dan tampaklah seorang kakek duduk di atas batu, duduk bersila dan memangku sebuah yang-khim yang ditabuhnya dengan cara memetik senar-senar itu dengan jari-jari tangan.
Kakek itu duduk membelakangi mereka dan ketika mendengar kakek itu kini mulai bernyanyi sambil asyik memetik yang-khim, Kim-mo Taisu tidak berani menegur, bahkan lalu berdiri tegak bersedekap dan mendengarkan dengan teliti. Eng Eng juga ikut pula mendengarkan. Suara yang-khim itu sungguh merdu dan sedap didengar, kini mengiringi suara kakek yang bernyanyi perlahan, suaranya lembut seperti orang membaca doa.
"Bahagialah kita sesungguhnya, tidak membenci mereka yang membenci kita!
Bahagialah kita sesungguhnya,
bebas daripada penyakit ini di antara mereka yang sakit!
Bahagialah kita sesungguhnya,
bebas daripada tamak di antara mereka yang tamak!
Bahagialah kita sesungguhnya,
biarpun kita tidak memiliki apa-apa!
Kemenangan mengakibatkan kebencian,
karena yang dikalahkan takkan senang.
Bahagialah dia sesungguhnya,
yang telah dapat membuang kemenangan dan kekalahan!"
Kim-mo Taisu yang mendengarkan nyanyian ini gemetar tubuhnya. Eng Eng kurang mengerti akan isi nyanyian, maka ia sebentar-sebentar memandang ayahnya, sebentar-sebentar menoleh ke arah kakek yang hanya tampak punggungnya saja itu. Kakek tua yang rambutnya sudah putih semua itu bernyanyi lagi, lagu dan iramanya berbeda daripada tadi, akan tetapi suaranya masih tetap halus merdu seperti orang berdoa.
"Penyelesaian kebencian besar
yang masih meninggalkan sisa dendam
bagaimanakah dapat dianggap memuaskan?
Itulah sebabnya seorang bijaksana
memegang teguh perjanjian
tapi tidak menagih orang yang berhutang.
Maka seorang budiman memilih persetujuan,
seorang sesat menuntut dengan paksaan.
Jalan langit tidak memandang bulu
namun orang baik selalu dibantu!"
Kim-mo Taisu mengenal kata-kata yang dinyanyikan itu. Yang pertama adalah pelajaran dalam kitab Agama Buddha, adapun yang terakhir adalah pelajaran dalam kitab Agama To. Yang membuat perasaan Kim-mo Taisu terguncang adalah isi pelajaran itu yang seakan-akan menamparnya karena cocok sekali dengan keadaan dirinya sehingga ia merasa tersindir. Cepat ia melangkah maju, menjura dan berani mengeluarkan suara setelah suara yang-khim terhenti.
"Terima kasih atas nasihat-nasihat Siansu, dan selanjutnya saya mohon petunjuk!"
Hening sejenak, tubuh yang duduk di atas batu itu tidak bergerak. Kemudian batu yang diduduki itu terputar, tubuh yang duduk di atasnya ikut pula terputar dan kakek itu telah berhadapan muka dengan Kim-mo Taisu.
Melihat ini Eng Eng menjadi heran sekali, heran dan kagum. Ia adalah seorang gadis yang semenjak kecil menerima gemblengan ilmu silat tinggi, tahu pula akan tenaga-tenaga mujijat dalam tubuh manusia, sudah melatih diri dengan sin-kang, lwee-kang, khi-kang, dan gin-kang. Akan tetapi melihat kakek yang bersila di atas batu besar itu tanpa bergerak dapat memutar batu yang didudukinya, benar-benar ia merasa seperti berhadapan dengan ilmu sihir!
Sejenak kakek tua renta yang wajahnya membayangkan ketenangan luar biasa dan sinar matanya yang lembut itu seakan-akan telah waspada akan segala hal di sekelilingnya itu memandang Kim-mo Taisu, kemudian melirik ke arah Eng Eng dan alis matanya yang putih bergerak-gerak. Kemudian terdengar ia menarik napas panjang dan berkata perlahan,
"Segala sesuatupun terjadilah sesuai dengan kehendak-Mu! Namun kewajiban manusia untuk berusaha...."
Setelah berkata demikian, matanya bersinar wajahnya berseri ketika ia menatap muka Kim-mo Taisu dan dengan tenang tapi ramah menegur,
"Kwee-sicu (Orang Gagah she Kwee), puluhan tahun tak bertemu, kiranya Sicu telah dimatangkan oleh pengalaman hidup. Aku mendengar pula bahwa Sicu telah menggunakan nama Kim-mo Taisu. Bagus sekali, dengan demikian berarti Sicu menempatkan diri sebagai orang yang telah sadar daripada segala ikatan karma."
Kim-mo Taisu menggeleng-geleng kepalanya dengan muka sedih, lalu berkata,
"Siansu, dalam pertemuan kita pertama dahulu, Siansu telah memberi petunjuk dan saya telah berhutang budi kepada Siansu. Sekarang pun, Siansu telah menunjukkan jalan yang terang, akan tetapi terpaksa sekali saya harus mengecewakan hati Siansu dengan memilih jalan gelap."
Muka yang tua akan tetapi masih tampak bercahaya dan segar berseri di balik keriput dan jenggot putih itu tersenyum lebar.
"Yang tidak mengharapkan takkan kecewa, Sicu. Aku tidak mengharapkan apa-apa maka tidak mengenal rasa kecewa. Aku tidak merasa melepas budi maka tidak pernah menghutangkan. Jalan terang atau gelap hanyalah tergantung anggapan si pemandang dan si pelaku. Sicu masih menganggapnya gelap, apakah gerangan yang mendorong Sicu?"
Kim-mo Taisu menjawab,
"Bu Kek Siansu yang mulia, sungguh saya malu untuk mengaku. Akan tetapi sesungguhnya saya merasa sebagai seorang manusia yang selalu diperhamba nafsu, hidup yang lalu hanya semata untuk diperhamba nafsu dan mementingkan diri pribadi. Oleh karena itulah, Siansu, sisa hidup saya akan saya isi dengn pelaksanaan kewajiban-kewajiban sebagai seorang yang telah mempelajari ilmu. Banyak orang pandai telah mengkhianati negara, membantu pemberontak-pemberontak sehingga raja-raja jatuh bangun silih berganti. Orang-orang pandai itulah yang mengacaukan negara, dosa mereka telah bertumpuk-tumpuk dan perlu dibasmi. Sudah menjadi kewajiban saya untuk menghadapi mereka, karena bukankah tugas seorang gagah untuk membela negara?"
Bu Kek Siansu mengangguk-angguk dan tertawa.
"Wi-bin-wi-kok, hiap-ci-tai-cia (Bekerja untuk rakyat dan negara, itulah paling mulia)! Memang kebenaran ini bagi seorang gagah tak dapat disangkal pula, Sicu. Akan tetapi rakyat yang mana? Negara yang mana? Semenjak Kerajaan Tang roboh, diganti Kerajaan Liang Muda, Tang Muda, Cin Muda, dan sekarang Han Muda, apakah rakyatnya berganti? Raja-raja yang memegang tahta kerajaan semenjak jatuhnya Kerajaan Tang, apakah juga berganti bangsa? Kemudian muncul Kerajaan-kerajaan Hou-han, Wu-yue, Nan-cao, Shu, Nan-han, Min dan lain-lain, apakah rajanya dan rakyatnya juga bangsa lain? Siapakah yang benar diantara orang-orang gagah? Mereka yang membela Tang lama, ataukah yang membela Hou-han, Wu-yue dan lain-lain? Semua itu juga berdasarkan bekerja untuk rakyat dan raja. Kebetulan Sicu hendak membela Kerajaan Tang lama, karena Sicu merasa sebagai warga Dinasti Tang, dan karena Sicu ada hubungan keluarga dengan Kerajaan Tang!"
Kim-mo Taisu terkejut. Seperti dibuka matanya, dan ia menjadi bingung. Perang dan permusuhan tiada hentinya, kerajaan-kerajaan mucul, mereka semua berperang dengan dalih membela kebenaran. Siapakah yang sesungguhnya benar?
"Siansu, mohon petunjuk...!"
Kim-mo Taisu menjatuhkan diri berlutut dan Eng Eng ikut pula berlutut. Gadis ini bingung dan sama sekali tidak mengerti jelas apa yang dibicarakan ayahnya dan kakek tua itu, hanya merasa tak senang karena agaknya Si Kakek ini hendak mencela ayahnya yang hendak membela Kerajaan Tang yang sudah roboh.
Bu Kek Siansu tersenyum. Sekali lagi ia menatap tajam ke arah wajah Eng Eng dan Kim-mo Taisu, kemudian ia menghela napas panjang.
"Kewajiban manusia untuk berusaha namun Tuhan berkuasa menentukan. Kewajiban manusia untuk memenuhi tugas tanpa melibatkan diri pribadi dalam tugas yang dilaksanakannya, ini berarti memenuhi perintah Tuhan dengan setulus hati. Sekali melibatkan diri dalam tugas, berarti bekerja untuk nafsu dirinya dan pekerjaan itu menjadi kotor ternoda nafsu-nafsu mementingkan diri pribadi. Manusia hidup di dunia sudah mempunyai tugas kewajiban masing-masing. Penuhilah kewajibanmu dengan tulus ikhlas, lakukanlah apa yang menjadi kewajibanmu masing-masing dan segala apa akan berjalan beres lancar dan baik. Jangan sekali-kali meninggalkan tugasnya sendiri lalu hendak melakukan tugas orang lain, hal ini tentu akan menimbulkan kekacauan dan kerusakan. Tugas guru ialah mengajar, tugas murid belajar, tugas tentara berperang membela negara, tugas orang tua mendidik, tugas anak berbakti, tugas pemimpin ialah memimpin. Masing-masing mempunyai tempat sendiri dan kalau masing-masing memenuhi tugasnya dengan baik dan sempurna tanpa ditunggangi nafsu mementingkan diri pribadi, alangkah akan baiknya keadaan dunia ini. Akan tetapi sekali orang meninggalkan tugas sendiri mencampuri tugas orang lain, rusaklah!"
Kim-mo Taisu mengangguk-angguk.
"Mohon petunjuk apa yang harus saya lakukan, Siansu."
"Sicu bukan tentara, jangan mencampuri urusan tentara! Kalau Sicu ingin melakukan tugas tentara, masuklah dulu menjadi tentara. Setelah masuk sekalipun, bukan tugas Sicu untuk bertindak menurut kehendak sendiri karena tugas seorang tentara mentaati perintah pimpinan! Kalau Sicu merasa menjadi pendekar silat, tugas Sicu sudah jelas, menegakkan kebenaran dan keadilan, membela si lemah tertindas menentang si kuat yang jahat. Kalau Sicu merasa diri sebagai seorang pendeta, tugas Sicu sudah jelas pula, memberi penerangan kepada yang gelap, memberi tuntunan bagi mereka yang sesat. Karena itu, kalau boleh aku memberi nasihat, marilah Sicu ikut dengan saya, memperdalam ilmu kebatinan agar dalam menjalankan tugas kelak, Sicu takkan sesat jalan. Pengertian tentang ini amat penting karena banyak orang yang menyeleweng daripada tugas hidupnya tanpa ia sadari!"
Kim-mo Taisu mengerutkan kening dan menggeleng kepala.
"Maaf, Siansu. Betapapun juga, saya harus melaksanakan kehendak hati saya lebih dulu. Orang-orang seperti Ban-pi Lo-cia dan kawan-kawannya terlalu jahat untuk dibiarkan saja merajalela. Setelah saya melaksanakan tugas ini, barulah saya akan menghadap Siansu."
Bu Kek Siansu menggeleng-geleng kepala, menarik napas panjang.
"Sicu banyak menderita, isteri dan semua keluarga isteri terbunuh, kebencian berakar di hati, berdaun dendam, berbunga sakit hati dan berbuah saling bunuh! Sekali lagi, Sicu, bawalah puterimu pergi dari tempat ini dan mari ikut dengan aku ke tempat terang..."
"Sekali lagi maaf, Siansu. Biarlah kelak saya akan mencari dan menghadap Siansu...."
Bu Kek Siansu berdiri, memanggul yang-khim, dan tertawa sambil menengadahkan muka ke atas.
"Seorang manusia kecil macam aku ini, apa artinya dibanding dengan kekuasaan Tuhan? Segala kehendak-Mu pasti terjadi, tiada kekuasaan di dunia maupun akhirat yang mampu merubahnya...."
Kakek itu lalu bernyanyi dan turun dari batu karang, berjalan perlahan meninggalkan tempat itu. suara nyanyiannya terdengar makin perlahan dan akhirnya lenyap. Setelah suara kakek itu tak terdengar lagi, barulah Kim-mo Taisu bangkit berdiri sambil menarik tangan puterinya. Ia menarik napas panjang dan wajahnya membayangkan penyesalan dan kekecewaan hebat.
"Sayang sekali bahwa aku tidak dapat menaati nasihatnya dan pergi ikut dengannya, Eng Eng...."
"Siapakah dia, Ayah?"
"Dia seorang yang bahagia, Anakku, seorang yang sudah dapat membebaskan diri dari segala-galanya, dia disebut orang Bu Kek Siansu, manusia setengah dewa."
"Akan tetapi dia begitu peramah dan halus sikapnya, mengapa Kakek cebol dan Kong-kong yang sakti lari ketakutan?"
Kim-mo Taisu tersenyum.
"Bicara tentang kesaktian, Bu Kek Siansu sukar dicari keduanya, dan sukar diukur sampai dimana tingkatnya. Akan tetapi yang membuat ia disegani semua tokoh bukan hanya kesaktiannya, terutama sekali karena sikapnya. Ia tidak pernah melawan, tidak pernah mendendam, tidak pernah membenci, dan selalu mengulurkan tangan kepada siapapun juga, tidak peduli orang baik maupun jahat. Inilah yang membuat Bu Kek Siansu menjadi manusia sakti yang ditakuti. Orang-orang yang merasa telah berbuat sewenang-wenang mengandalkan kepandaiannya, segan dan malu berjumpa dengannya."
"Ayah, tadi Bu Kek Siansu menganjurkan Ayah supaya mengundurkan diri dan tidak melibatkan diri dengan urusan perang. Bukankah begitu? Kalau Ayah menganggap dia seorang yang amat mulia dan sakti patut diturut nasihatnya, mengapa Ayah masih melanjutkan niat Ayah mencari dan membasmi musuh?"
Kim-mo Taisu menarik napas panjang sebelum menjawab, lalu memegang lengan puterinya, diajak kembali ke pondok sambil berkata,
"Engkau tentu tahu akan semua penderitaan ibumu. Sesungguhnyalah, tadinya tidak sedikit pun hatiku tertarik akan persoalan perang, akan tetapi mengingat betapa ibumu menderita, mengingat pula akan harapan ibumu, maka aku harus membalaskan semua penderitaan itu kepada mereka yang menjadi sebabnya. Hanya dengan jalan ini sajalah aku dapat membalas budi ibumu, Eng Eng, seperti telah kukatakan tadi sebelum datang gangguan, aku akan pergi mencarikan tempat untuk Bu Song. Kau baik-baiklah disini bersama Bu Song. Paling lama dua tiga bulan aku tentu datang kembali."
Maka berangkatlah pendekar ini meninggalkan puncak Min-san. Niatnya hendak lebih dulu mengunjungi Shan-si dimana kini telah berdiri Kerajaan Hou-han. Selain hendak menyelidiki tentang kerajaan baru ini dan tentang kemungkinan masa depan yang baik bagi calon mantunya, juga ia hendak menemui Tok-siauw-kwi yang oleh Kong Lo Sengjin di sebut-sebut sebagai seorang diantara musuh-musuh mereka! Dari Hou-han ia akan mengunjungi kerajaan-kerajaan lain, mencarikan tempat untuk calon mantunya menempuh ujian dan mendapatkan kedudukan.
Sementara itu, Eng Eng yang ditinggal ayahnya dan kini sudah tahu bahwa dia ditunangkan dengan Bu Song, menanti pulangnya pemuda itu dengan hati berdebar-debar. Ia merasa malu, bingung dan takut bertemu muka dengan pemuda itu, pemuda yang biasanya menjadi kawan bermain sejak kecil, yang ia anggap seperti saudara atau kakak sendiri.
Kalau ia teringat betapa beberapa hari yang lalu Bu Song pernah menciumnya dan membuatnya tersipu-sipu sejenak biarpun bukan hal aneh kalau Bu Song menciumnya, seperti sering dilakukannya sejak mereka masih kanak-kanak. Dan Bu Song agaknya telah tahu akan perjodohan mereka ketika menciumnya kemarin dulu! Teringat akan ini, gemetar tubuh Eng Eng dan membuatnya gelisah ketika menanti pulangnya Bu Song. Entah sudah berapa kali ia meneliti bayangannya di cermin, akan tetapi selalu ia masih khawatir kalau-kalau ada sesuatu yang tidak beres pada rambut atau pakaiannya.
"Ayah, kau dengarkah itu? suara yang-khim di tengah hutan! Siapa gerangan..."
"Sssstt, diamlah, Eng Eng. Agaknya kita mendapat anugerah dan kehormatan berjumpa dengan seorang suci. Mari kita menyongsong beliau."
Dengan perasaan heran dan takut-takut Eng Eng mengikuti ayahnya menuju ke arah suara yang-khim, tanpa melepaskan lengan ayahnya yang ia ganduli. Tak lama kemudian tibalah mereka di tempat terbuka di hutan itu dan tampaklah seorang kakek duduk di atas batu, duduk bersila dan memangku sebuah yang-khim yang ditabuhnya dengan cara memetik senar-senar itu dengan jari-jari tangan.
Kakek itu duduk membelakangi mereka dan ketika mendengar kakek itu kini mulai bernyanyi sambil asyik memetik yang-khim, Kim-mo Taisu tidak berani menegur, bahkan lalu berdiri tegak bersedekap dan mendengarkan dengan teliti. Eng Eng juga ikut pula mendengarkan. Suara yang-khim itu sungguh merdu dan sedap didengar, kini mengiringi suara kakek yang bernyanyi perlahan, suaranya lembut seperti orang membaca doa.
"Bahagialah kita sesungguhnya, tidak membenci mereka yang membenci kita!
Bahagialah kita sesungguhnya,
bebas daripada penyakit ini di antara mereka yang sakit!
Bahagialah kita sesungguhnya,
bebas daripada tamak di antara mereka yang tamak!
Bahagialah kita sesungguhnya,
biarpun kita tidak memiliki apa-apa!
Kemenangan mengakibatkan kebencian,
karena yang dikalahkan takkan senang.
Bahagialah dia sesungguhnya,
yang telah dapat membuang kemenangan dan kekalahan!"
Kim-mo Taisu yang mendengarkan nyanyian ini gemetar tubuhnya. Eng Eng kurang mengerti akan isi nyanyian, maka ia sebentar-sebentar memandang ayahnya, sebentar-sebentar menoleh ke arah kakek yang hanya tampak punggungnya saja itu. Kakek tua yang rambutnya sudah putih semua itu bernyanyi lagi, lagu dan iramanya berbeda daripada tadi, akan tetapi suaranya masih tetap halus merdu seperti orang berdoa.
"Penyelesaian kebencian besar
yang masih meninggalkan sisa dendam
bagaimanakah dapat dianggap memuaskan?
Itulah sebabnya seorang bijaksana
memegang teguh perjanjian
tapi tidak menagih orang yang berhutang.
Maka seorang budiman memilih persetujuan,
seorang sesat menuntut dengan paksaan.
Jalan langit tidak memandang bulu
namun orang baik selalu dibantu!"
Kim-mo Taisu mengenal kata-kata yang dinyanyikan itu. Yang pertama adalah pelajaran dalam kitab Agama Buddha, adapun yang terakhir adalah pelajaran dalam kitab Agama To. Yang membuat perasaan Kim-mo Taisu terguncang adalah isi pelajaran itu yang seakan-akan menamparnya karena cocok sekali dengan keadaan dirinya sehingga ia merasa tersindir. Cepat ia melangkah maju, menjura dan berani mengeluarkan suara setelah suara yang-khim terhenti.
"Terima kasih atas nasihat-nasihat Siansu, dan selanjutnya saya mohon petunjuk!"
Hening sejenak, tubuh yang duduk di atas batu itu tidak bergerak. Kemudian batu yang diduduki itu terputar, tubuh yang duduk di atasnya ikut pula terputar dan kakek itu telah berhadapan muka dengan Kim-mo Taisu.
Melihat ini Eng Eng menjadi heran sekali, heran dan kagum. Ia adalah seorang gadis yang semenjak kecil menerima gemblengan ilmu silat tinggi, tahu pula akan tenaga-tenaga mujijat dalam tubuh manusia, sudah melatih diri dengan sin-kang, lwee-kang, khi-kang, dan gin-kang. Akan tetapi melihat kakek yang bersila di atas batu besar itu tanpa bergerak dapat memutar batu yang didudukinya, benar-benar ia merasa seperti berhadapan dengan ilmu sihir!
Sejenak kakek tua renta yang wajahnya membayangkan ketenangan luar biasa dan sinar matanya yang lembut itu seakan-akan telah waspada akan segala hal di sekelilingnya itu memandang Kim-mo Taisu, kemudian melirik ke arah Eng Eng dan alis matanya yang putih bergerak-gerak. Kemudian terdengar ia menarik napas panjang dan berkata perlahan,
"Segala sesuatupun terjadilah sesuai dengan kehendak-Mu! Namun kewajiban manusia untuk berusaha...."
Setelah berkata demikian, matanya bersinar wajahnya berseri ketika ia menatap muka Kim-mo Taisu dan dengan tenang tapi ramah menegur,
"Kwee-sicu (Orang Gagah she Kwee), puluhan tahun tak bertemu, kiranya Sicu telah dimatangkan oleh pengalaman hidup. Aku mendengar pula bahwa Sicu telah menggunakan nama Kim-mo Taisu. Bagus sekali, dengan demikian berarti Sicu menempatkan diri sebagai orang yang telah sadar daripada segala ikatan karma."
Kim-mo Taisu menggeleng-geleng kepalanya dengan muka sedih, lalu berkata,
"Siansu, dalam pertemuan kita pertama dahulu, Siansu telah memberi petunjuk dan saya telah berhutang budi kepada Siansu. Sekarang pun, Siansu telah menunjukkan jalan yang terang, akan tetapi terpaksa sekali saya harus mengecewakan hati Siansu dengan memilih jalan gelap."
Muka yang tua akan tetapi masih tampak bercahaya dan segar berseri di balik keriput dan jenggot putih itu tersenyum lebar.
"Yang tidak mengharapkan takkan kecewa, Sicu. Aku tidak mengharapkan apa-apa maka tidak mengenal rasa kecewa. Aku tidak merasa melepas budi maka tidak pernah menghutangkan. Jalan terang atau gelap hanyalah tergantung anggapan si pemandang dan si pelaku. Sicu masih menganggapnya gelap, apakah gerangan yang mendorong Sicu?"
Kim-mo Taisu menjawab,
"Bu Kek Siansu yang mulia, sungguh saya malu untuk mengaku. Akan tetapi sesungguhnya saya merasa sebagai seorang manusia yang selalu diperhamba nafsu, hidup yang lalu hanya semata untuk diperhamba nafsu dan mementingkan diri pribadi. Oleh karena itulah, Siansu, sisa hidup saya akan saya isi dengn pelaksanaan kewajiban-kewajiban sebagai seorang yang telah mempelajari ilmu. Banyak orang pandai telah mengkhianati negara, membantu pemberontak-pemberontak sehingga raja-raja jatuh bangun silih berganti. Orang-orang pandai itulah yang mengacaukan negara, dosa mereka telah bertumpuk-tumpuk dan perlu dibasmi. Sudah menjadi kewajiban saya untuk menghadapi mereka, karena bukankah tugas seorang gagah untuk membela negara?"
Bu Kek Siansu mengangguk-angguk dan tertawa.
"Wi-bin-wi-kok, hiap-ci-tai-cia (Bekerja untuk rakyat dan negara, itulah paling mulia)! Memang kebenaran ini bagi seorang gagah tak dapat disangkal pula, Sicu. Akan tetapi rakyat yang mana? Negara yang mana? Semenjak Kerajaan Tang roboh, diganti Kerajaan Liang Muda, Tang Muda, Cin Muda, dan sekarang Han Muda, apakah rakyatnya berganti? Raja-raja yang memegang tahta kerajaan semenjak jatuhnya Kerajaan Tang, apakah juga berganti bangsa? Kemudian muncul Kerajaan-kerajaan Hou-han, Wu-yue, Nan-cao, Shu, Nan-han, Min dan lain-lain, apakah rajanya dan rakyatnya juga bangsa lain? Siapakah yang benar diantara orang-orang gagah? Mereka yang membela Tang lama, ataukah yang membela Hou-han, Wu-yue dan lain-lain? Semua itu juga berdasarkan bekerja untuk rakyat dan raja. Kebetulan Sicu hendak membela Kerajaan Tang lama, karena Sicu merasa sebagai warga Dinasti Tang, dan karena Sicu ada hubungan keluarga dengan Kerajaan Tang!"
Kim-mo Taisu terkejut. Seperti dibuka matanya, dan ia menjadi bingung. Perang dan permusuhan tiada hentinya, kerajaan-kerajaan mucul, mereka semua berperang dengan dalih membela kebenaran. Siapakah yang sesungguhnya benar?
"Siansu, mohon petunjuk...!"
Kim-mo Taisu menjatuhkan diri berlutut dan Eng Eng ikut pula berlutut. Gadis ini bingung dan sama sekali tidak mengerti jelas apa yang dibicarakan ayahnya dan kakek tua itu, hanya merasa tak senang karena agaknya Si Kakek ini hendak mencela ayahnya yang hendak membela Kerajaan Tang yang sudah roboh.
Bu Kek Siansu tersenyum. Sekali lagi ia menatap tajam ke arah wajah Eng Eng dan Kim-mo Taisu, kemudian ia menghela napas panjang.
"Kewajiban manusia untuk berusaha namun Tuhan berkuasa menentukan. Kewajiban manusia untuk memenuhi tugas tanpa melibatkan diri pribadi dalam tugas yang dilaksanakannya, ini berarti memenuhi perintah Tuhan dengan setulus hati. Sekali melibatkan diri dalam tugas, berarti bekerja untuk nafsu dirinya dan pekerjaan itu menjadi kotor ternoda nafsu-nafsu mementingkan diri pribadi. Manusia hidup di dunia sudah mempunyai tugas kewajiban masing-masing. Penuhilah kewajibanmu dengan tulus ikhlas, lakukanlah apa yang menjadi kewajibanmu masing-masing dan segala apa akan berjalan beres lancar dan baik. Jangan sekali-kali meninggalkan tugasnya sendiri lalu hendak melakukan tugas orang lain, hal ini tentu akan menimbulkan kekacauan dan kerusakan. Tugas guru ialah mengajar, tugas murid belajar, tugas tentara berperang membela negara, tugas orang tua mendidik, tugas anak berbakti, tugas pemimpin ialah memimpin. Masing-masing mempunyai tempat sendiri dan kalau masing-masing memenuhi tugasnya dengan baik dan sempurna tanpa ditunggangi nafsu mementingkan diri pribadi, alangkah akan baiknya keadaan dunia ini. Akan tetapi sekali orang meninggalkan tugas sendiri mencampuri tugas orang lain, rusaklah!"
Kim-mo Taisu mengangguk-angguk.
"Mohon petunjuk apa yang harus saya lakukan, Siansu."
"Sicu bukan tentara, jangan mencampuri urusan tentara! Kalau Sicu ingin melakukan tugas tentara, masuklah dulu menjadi tentara. Setelah masuk sekalipun, bukan tugas Sicu untuk bertindak menurut kehendak sendiri karena tugas seorang tentara mentaati perintah pimpinan! Kalau Sicu merasa menjadi pendekar silat, tugas Sicu sudah jelas, menegakkan kebenaran dan keadilan, membela si lemah tertindas menentang si kuat yang jahat. Kalau Sicu merasa diri sebagai seorang pendeta, tugas Sicu sudah jelas pula, memberi penerangan kepada yang gelap, memberi tuntunan bagi mereka yang sesat. Karena itu, kalau boleh aku memberi nasihat, marilah Sicu ikut dengan saya, memperdalam ilmu kebatinan agar dalam menjalankan tugas kelak, Sicu takkan sesat jalan. Pengertian tentang ini amat penting karena banyak orang yang menyeleweng daripada tugas hidupnya tanpa ia sadari!"
Kim-mo Taisu mengerutkan kening dan menggeleng kepala.
"Maaf, Siansu. Betapapun juga, saya harus melaksanakan kehendak hati saya lebih dulu. Orang-orang seperti Ban-pi Lo-cia dan kawan-kawannya terlalu jahat untuk dibiarkan saja merajalela. Setelah saya melaksanakan tugas ini, barulah saya akan menghadap Siansu."
Bu Kek Siansu menggeleng-geleng kepala, menarik napas panjang.
"Sicu banyak menderita, isteri dan semua keluarga isteri terbunuh, kebencian berakar di hati, berdaun dendam, berbunga sakit hati dan berbuah saling bunuh! Sekali lagi, Sicu, bawalah puterimu pergi dari tempat ini dan mari ikut dengan aku ke tempat terang..."
"Sekali lagi maaf, Siansu. Biarlah kelak saya akan mencari dan menghadap Siansu...."
Bu Kek Siansu berdiri, memanggul yang-khim, dan tertawa sambil menengadahkan muka ke atas.
"Seorang manusia kecil macam aku ini, apa artinya dibanding dengan kekuasaan Tuhan? Segala kehendak-Mu pasti terjadi, tiada kekuasaan di dunia maupun akhirat yang mampu merubahnya...."
Kakek itu lalu bernyanyi dan turun dari batu karang, berjalan perlahan meninggalkan tempat itu. suara nyanyiannya terdengar makin perlahan dan akhirnya lenyap. Setelah suara kakek itu tak terdengar lagi, barulah Kim-mo Taisu bangkit berdiri sambil menarik tangan puterinya. Ia menarik napas panjang dan wajahnya membayangkan penyesalan dan kekecewaan hebat.
"Sayang sekali bahwa aku tidak dapat menaati nasihatnya dan pergi ikut dengannya, Eng Eng...."
"Siapakah dia, Ayah?"
"Dia seorang yang bahagia, Anakku, seorang yang sudah dapat membebaskan diri dari segala-galanya, dia disebut orang Bu Kek Siansu, manusia setengah dewa."
"Akan tetapi dia begitu peramah dan halus sikapnya, mengapa Kakek cebol dan Kong-kong yang sakti lari ketakutan?"
Kim-mo Taisu tersenyum.
"Bicara tentang kesaktian, Bu Kek Siansu sukar dicari keduanya, dan sukar diukur sampai dimana tingkatnya. Akan tetapi yang membuat ia disegani semua tokoh bukan hanya kesaktiannya, terutama sekali karena sikapnya. Ia tidak pernah melawan, tidak pernah mendendam, tidak pernah membenci, dan selalu mengulurkan tangan kepada siapapun juga, tidak peduli orang baik maupun jahat. Inilah yang membuat Bu Kek Siansu menjadi manusia sakti yang ditakuti. Orang-orang yang merasa telah berbuat sewenang-wenang mengandalkan kepandaiannya, segan dan malu berjumpa dengannya."
"Ayah, tadi Bu Kek Siansu menganjurkan Ayah supaya mengundurkan diri dan tidak melibatkan diri dengan urusan perang. Bukankah begitu? Kalau Ayah menganggap dia seorang yang amat mulia dan sakti patut diturut nasihatnya, mengapa Ayah masih melanjutkan niat Ayah mencari dan membasmi musuh?"
Kim-mo Taisu menarik napas panjang sebelum menjawab, lalu memegang lengan puterinya, diajak kembali ke pondok sambil berkata,
"Engkau tentu tahu akan semua penderitaan ibumu. Sesungguhnyalah, tadinya tidak sedikit pun hatiku tertarik akan persoalan perang, akan tetapi mengingat betapa ibumu menderita, mengingat pula akan harapan ibumu, maka aku harus membalaskan semua penderitaan itu kepada mereka yang menjadi sebabnya. Hanya dengan jalan ini sajalah aku dapat membalas budi ibumu, Eng Eng, seperti telah kukatakan tadi sebelum datang gangguan, aku akan pergi mencarikan tempat untuk Bu Song. Kau baik-baiklah disini bersama Bu Song. Paling lama dua tiga bulan aku tentu datang kembali."
Maka berangkatlah pendekar ini meninggalkan puncak Min-san. Niatnya hendak lebih dulu mengunjungi Shan-si dimana kini telah berdiri Kerajaan Hou-han. Selain hendak menyelidiki tentang kerajaan baru ini dan tentang kemungkinan masa depan yang baik bagi calon mantunya, juga ia hendak menemui Tok-siauw-kwi yang oleh Kong Lo Sengjin di sebut-sebut sebagai seorang diantara musuh-musuh mereka! Dari Hou-han ia akan mengunjungi kerajaan-kerajaan lain, mencarikan tempat untuk calon mantunya menempuh ujian dan mendapatkan kedudukan.
Sementara itu, Eng Eng yang ditinggal ayahnya dan kini sudah tahu bahwa dia ditunangkan dengan Bu Song, menanti pulangnya pemuda itu dengan hati berdebar-debar. Ia merasa malu, bingung dan takut bertemu muka dengan pemuda itu, pemuda yang biasanya menjadi kawan bermain sejak kecil, yang ia anggap seperti saudara atau kakak sendiri.
Kalau ia teringat betapa beberapa hari yang lalu Bu Song pernah menciumnya dan membuatnya tersipu-sipu sejenak biarpun bukan hal aneh kalau Bu Song menciumnya, seperti sering dilakukannya sejak mereka masih kanak-kanak. Dan Bu Song agaknya telah tahu akan perjodohan mereka ketika menciumnya kemarin dulu! Teringat akan ini, gemetar tubuh Eng Eng dan membuatnya gelisah ketika menanti pulangnya Bu Song. Entah sudah berapa kali ia meneliti bayangannya di cermin, akan tetapi selalu ia masih khawatir kalau-kalau ada sesuatu yang tidak beres pada rambut atau pakaiannya.
**** 119 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar