FB

FB


Ads

Kamis, 18 April 2019

Suling Emas Jilid 120

Lu Sian duduk termenung di dalam kamarnya dalam istana Kerajaan Hou-han yang indah dan mewah. Keadaan mewah, kehidupan yang serba cukup, berenang dalam lautan kemewahan dan kedudukan tinggi mulia yang diperoleh semenjak ia tinggal di dalam istana ini, mulai membosankannya.

Kini hatinya risau. Ternyata pemuasan nafsu-nafsunya selama ini, memilih pangeran dan orang-orang muda sesuka hatinya, hanya merupakan kesenangan lahir yang sementara saja. Ia tetap merasa kurang puas, tetap belum dapat merasakan kebahagiaan hidup. Kesenangan tak pernah dapat puas, makin dikejar makin hauslah ia, dan akhirnya malah menimbulkan rasa muak dan jemu. Kebosanan menggerogoti hatinya setiap malam sunyi kalau ia sudah tidak ada hasrat pula memilih teman.

Memang tiada kesenangan di dunia ini yang akan dapat mendatangkan bahagia. Kesenangan lahir hanya akan dinikmati oleh tubuh dalam waktu singkat saja. Kesenangan lahir hanya indah apabila dikejar dan belum dapat diperoleh. Namun, sekali berada di tangan, kesenangan itu bukan kesenangan lagi, menimbulkan bosan.

Lu Sian duduk menghadapi meja, memandang lilin yang bernyala tenang karena terlindung dari gangguan angin. Ia merenung memikirkan keadaan dirinya. Dalam keadaan seperti itu, rindu yang hebat menggoda hatinya, rindu kepada puteranya!

Belasan tahun sudah ia meninggalkan puteranya. Kini usianya sudah empat puluh tahun lebih. Puteranya tentu telah menjadi seorang pemuda dewasa. Alangkah rindu hatinya untuk dapat berjumpa dengan puteranya, dengan Bu Song! Seringkali air matanya bertitik turun apabila ia mengenangkan puteranya dan peyesalan menusuk-nusuk hatinya.

Di dalam istana ia selalu dilayani amat baik oleh Coa Kim Bwee, sahabat dan muridnya yang setia. Banyak sudah ilmu ia turunkan kepada wanita selir raja itu dan sekarang Kim Bwee telah menjadi seorang wanita yang berilmu tinggi pula. Namun Kim Bwee selalu bersikap hormat dan manis kepadanya.

"Aku harus pergi dari sini,"

Keluhnya dalam hati. Ia sudah bosan! Ingin ia bebas lagi, terbang melayang tanpa tujuan. Alangkah nikmatnya hidup bebas.

Kasihan Liu Lu Sian. Ia dipermainkan nafsunya sendiri. ia tidak tahu bahwa kebebasan liar seperti itupun hanya indah dan nikmat dalam khayalan belaka. Kenyataannya tentu akan jauh berbeda dengan khayalan. Ia kini merasa rindu kepada puteranya, ingin ia mencari puteranya dan hidup di samping puteranya. Ia kini maklum bahwa usia tua akan menelannya, perlahan akan tetapi tentu ia akan diseret ke jurang kematian yang tak dapat dielakkan lagi. Biarpun ia dapat mempertahankan wajah dan tubuhnya sehingga tetap kelihatan muda, namun ia tahu bahwa ia tidak akan dapat mempertahankan usia mudanya.

"Bu Song...!" ia mengeluh lagi, teringat betapa kini namanya sudah menjadi buah bibir orang.

Betapa sebagian besar orang kang-ouw memumusuhinya. Dia tidak takut. Apalagi selama berada dalam istana ini, ia berada di tempat yang aman dan kuat. Sukar bagi musuh-musuhnya untuk mencapainya. Jangankan di dalam istana dimana ia mempunyai banyak teman dan pembela, bahkan andaikata ia berada di luar sekalipun ia tidak akan gentar menghadapi musuh-musuhnya.

Akan tetapi kalau ia teringat akan puteranya, mau tak mau ia menjadi menyesal sekali. Bagaimana perasaan puteranya kalau tahu bahwa ibunya adalah seorang wanita yang dianggap iblis betina? Seorang wanita gila laki-laki dan suka mencari musuh? Padahal ia dapat menduga bahwa Bu Song tentu terdidik sebagai seorang laki-laki yang baik oleh ayahnya, Kam Si Ek! Ia teringat akan bekas suaminya ini, seorang laki-laki gagah perkasa yang menjujung tinggi kebajikan dan kesetiaan. Seorang laki-laki yang anti seratus prosen akan perbuatan maksiat!

Tiba-tiba Lu Sian tersentak kaget dan sadar daripada lamunannya yang menggores perasaan. Suara gaduh jauh di luar menyatakan bahwa disana terjadi pertempuran. Agaknya perusuh-perusuh itu datang lagi. Ia menarik napas panjang. Sudah banyak ia membunuh orang-orang yang menyerang istana. Sesungguhnya sama sekali tidak ada permusuhan antara dia dan penyerbu-penyerbu itu, karena mereka itu menyerbu dengan dasar permusuhan pengikut kerajan-kerajaan.

Sudah banyak ia membunuh mata-mata dari Cin, kemudian Kerajaan Han Muda. Banyak pula pengikut-pengikut yang ia tahu adalah kaki tangan Kong Lo Sengjin, orang-orang yang menamakan dirinya pengikut setia Kerajaan Tang. Ia tidak senang melakukan pembunuhan ini, karena sesungguhnya ia hanya turun tangan untuk membela Kerajaan Hou-han. Padahal ia sama sekali tidak menempatkan dirinya sebagai pembela Kerajaan Hou-han. Akan tetapi ia tinggal di istana Hou-han, menerima kebaikan dari raja sendiri berikut keluarganya. Bagaimana ia dapat tinggal diam saja?






Suara di luar makin gaduh. Lu Sian tetap duduk tenang. Mudah-mudahan saja para pengawal akan dapat mengatasi perusuh-perusuh itu atau andaikata para pengawal itu kalah, disana masih ada Coa Kim Bwee yang ia tahu memiliki kepandaian tinggi. Ia mengharap agar malam ini ia tidak terganggu, tidak usah turun tangan menghadapi perusuh yang hendak mengacau istana Hou-han.

Sebetulnya, baginya sendiri, ia tidak peduli akan keselamatan Raja Hou-han sekeluarga. Akan tetapi, ia ingat akan kebaikan Coa Kim Bwee dan karenanya merasa tidak enak hati kalau tidak membantu. Maka biarpun suara gaduh itu jelas membayangkan betapa para pengawal agaknya kewalahan menghadapi perusuh yang datang, ia tidak ambil peduli dan tetap tenang-tenang saja di dalam kamarnya. Akan tetapi kini ia tidak dapat melanjutkan lamunannya seperti tadi lagi.

Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dari luar dan Coa Kim Bwee masuk terhuyung-huyung, rambutnya riap-riapan, mukanya pucat dan kakinya terpincang-pincang.

"Cici... tolonglah dia amat lihai...!" katanya terengah-engah.

Lu Sian mengerutkan keningnya. Dari cermin di sudut ia dapat melihat betapa Kim Bwee terluka kakinya, berdarah paha kirinya. Melihat rambut Kim Bwee yang awut-awutan itu, ia tahu bahwa selir raja ini telah mempergunakan ilmu mainkan rambut yang sudah lihai.

Akan tetapi kalau sampai kalah padahal terang bahwa selir ini dibantu para pengawal yang cukup kuat pula, hal ini membuktikan betapa lihainya lawan yang datang menyerbu. Ia menjadi marah. Bukan marah karena musuh menyerbu istana dan melukai Kim Bwee melainkan marah karena penyerbuan musuh itu mengganggunya dari lamunan.

Tanpa menjawab tubuhnya berkelebat keluar dari kamarnya setelah menyambar pedang dan menyelipkan pedang di punggung. Dengan ilmunya yang hebat, sebentar saja Lu Sian tiba di tempat pertempuran. Ia mengira bahwa yang datang tentulah musuh dalam jumlah banyak.

Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat bahwa di tempat pertempuran itu, para pengawal mengeroyok seorang lawan saja! Lawan itu seorang laki-laki bertubuh sedang, wajahnya tidak begitu jelas karena gerakannya sangat gesit dan keadaan disitu pun tidak terang, hanya remang-remang.

Akan tetapi melihat laki-laki itu menghadapi lawan hanya mempergunakan sebatang kipas yang kadang-kadang terbuka kadang-kadang tertutup, hati Lu Sian berdebar keras. Mungkinkah? Mungkinkah orang mati dapat hidup kembali? Mungkinkah orang terjungkal ke dalam jurang yang tak tampak dasarnya tidak mati? Mungkinkah Kwee Seng hidup kembali?

Senjata kipas sehebat itu hanya Kwee Seng seorang yang dapat memainkannya, dan bentuk tubuhnya pun ia dapat mengenal. Karena penasaran, ia melompat dekat. Beberapa orang pengawal yang melihat munculnya Lu Sian, menjadi girang dan cepat berseru,

"Minggir! Sian-toanio sudah tiba!"

Mendengar seruan ini, para pengawal yang jumlahnya dua puluh orang lebih dan ramai-ramai mengeroyok seorang laki-laki berpakaian putih itu, mundur dengan girang. Sudah terlalu banyak teman mereka terluka oleh pemegang kipas yang lihai ini dan mereka tadi pun mengeroyok dari jarak jauh saja karena gentar. Cepat mereka mengundurkan diri, memberi jalan kepada Lu Sian yang cepat melangkah maju.

Mereka berdiri berhadapan, tak bergerak seperti arca, saling pandang dengan sinar mata penuh perasaan bercampur aduk. Karena jarak antara mereka kini hanya empat meter dan kebetulan sinar obor dan lampu terarah ke muka mereka,

Lu Sian dapat mengenal laki-laki ini. Memang Kwee Seng! Sudah agak tampak tua, akan tetapi masih sama dengan dahulu! Malah lebih matang dan sinar matanya langsung menembus hati. Kwee Seng?

Terdapat dorongan di hati Lu Sian untuk lari menubruk dan memeluknya! Begitu berhadapan, terjadi keanehan di dalam hati Lu Sian. Seakan-akan seorang yang sudah lama merantau jauh dan merindukan kampung halaman kini bertemu dengan sahabat baik sekampung halaman. Seakan-akan ia menemukan sesuatu yang sudah lama hilang dari dalam hatinya. Terasa kegembiraan mendalam yang belum pernah ia rasai.

Di lain pihak, Kim-mo Taisu bengong terlongong karena terheran-heran. Benarkah wanita jelita yang berdiri dengan sikap penuh wibawa di depannya ini adalah Liu Lu Sian, gadis lincah jenaka dan yang pernah menawan hatinya kemudian menghancurkan hatinya itu?

Memang ia sudah mengharapkan bertemu dengan Lu Sian di dalam istana ini karena ia sudah mendengar dari Kong Lo Sengjin bahwa Tok-siauw-kwi adalah Lu Sian. Akan tetapi kalau benar wanita ini Lu Sian, mengapa masih begini muda dan sama sekali tidak berubah sejak hampir dua puluh tahun yang lalu? Kalau wanita ini Lu Sian, tentu sudah berusia empat puluh tahun, akan tetapi mengapa masih tampak seperti baru dua puluh tahun usianya?

Para pengawal merasa heran pula karena kedua orang sakti itu tidak lekas-lekas bertanding mengadu ilmu, melainkan hanya berdiri saling pandang tanpa bergerak. Ada diantara mereka mengira bahwa kedua orang ini tentu sedang mengadu ilmu melalui pandangan mata!

Tiba-tiba tubuh Lu Sian melesat cepat sekali menyambar ke arah Kim-mo Taisu, akan tetapi mereka tidak saling serang, dan bagaikan seekor burung terbang, tubuh Lu Sian mencelat lagi ke atas langsung melompat ke atas genteng istana dan di lain detik tubuh musuh aneh itupun melesat lenyap mengejar.

Karena cepatnya gerakan mereka berdua, para pengawal itu tidak tahu bahwa tadi Lu Sian membisikkan kata-kata kepada Kim-mo Taisu. Memang hal ini disengaja oleh Lu Sian. Dengan kepandaiannya, ia tadi berbisik ketika tubuhnya menyambar,

"Kwee-twako, kau ikutlah aku!"

Kedatangan Kwee Seng atau Kim-mo Taisu ke istana ini memang dengan niat menjumpai Tok-siauw-kwi yang menurut penuturan Kong Lo Sengjin adalah seorang di antara musuh-musuh isterinya, bahkan yang mengirim pembunuh itu ke Min-san. Maka kini mendengar bisikan Lu Sian, ia cepat mengejar. Memang lebih baik lagi kalau ia dapat bicara dengan wanita itu tanpa terganggu orang lain. Namun ia merasa kaget dan kagum juga melihat gerakan Lu Sian. Bukan main hebatnya ilmu meringankan tubuh itu! sama sekali tidak boleh dikatakan kalah atau di bawah tingkatnya. Tentu saja ia tidak tahu bahwa Lu Sian sekarang bukanlah Lu Sian dua puluh tahun lebih yang lalu! Lu Sian sekarang telah mewarisi ilmu gin-kang yang tiada keduanya dari Hui-kiam-eng Tan Hui.

Agaknya Lu Sian juga ingin memamerkan kepandaiannya, maka wanita ini menggunakan ilmu lari cepat sambil mengerahkan ilmunya. Larinya cepat sekali seperti terbang. Namun ia sama sekali tidak merasa heran melihat kenyataan bahwa Kim-mo Taisu dapat mengejar dan mengimbangi kecepatannya. Memang ia sudah tahu betul bahwa Kwee Seng memiliki kepandaian yang amat tinggi. Hanya ia tidak tahu bahwa untuk dapat mengimbangi kecepatannya, Kim-mo Taisu juga telah mempergunakan seluruh kepandaiannya!

Karena kecepatan yang luar biasa ini, sebentar mereka telah berada jauh di luar kota raja, di luar sebuah hutan yang sunyi dan jauh dari perkampungan. Kembali mereka berdiri saling berhadapan, di bawah sinar bulan yang muncul lewat tengah malam. Berdiri saling pandang tanpa bergerak maupun bicara sampai lama sekali.

"Kwee-twako...!"

Akhirnya Lu Sian mengeluarkan suara, setengah menjerit setengah mengeluh, lari menubruk dan merangkul leher Kim-mo Taisu lalu menangis terisak-isak di dadanya. Semua rindu dendamnya akan kebahagiaan, rindu terhadap puteranya, semua ia tumpahkan di dada laki-laki itu. Semua kekecewaan hidupnya selama ini, ia carikan hiburan di atas dada yang lapang itu. semua rasa kasih sayang yang bebas daripada nafsu, ia rasakan kini bergelora dalam hatinya terhadap laki-laki ini. Selama ini, ia menganggap semua laki-laki sebagai hiburan dan permainannya sehingga ia merasa muak dan bosan. Ia haus dan rindu akan kasih sayang tulus dan murni di samping perlindungan seorang pria.

Dan kini ia sadar bahwa andaikata dahulu ia menjadi isteri Kwee Seng, kiranya hidupnya tidak akan serusak sekarang ini. Dan kini ia telah bertemu Kwee Seng yang disangkanya telah mati. Belum terlambatkah dia? Masih terbukakah pintu kebahagiaan baginya, setelah terombang-ambing gelombang permainan nafsu selama ini? Sudah terlalu banyak dosa-dosanya, penyelewengannya. Kalau saja Kwee Seng tahu akan semua sepak terjangnya, tentu... tentu...!

Tiba-tiba ia sadar betapa hanya seketika tadi saja jari-jari tangan Kwee Seng membelai rambutnya, kini laki-laki itu sama sekali tidak membelai rambutnya, bahkan urat-urat tubuh itu menegang, kaku dan dingin.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar