Tiba-tiba teringatlah Lu Sian bahwa kedatangan Kwee Seng malam hari itu adalah untuk mengacau istana. Padahal semua orang tahu bahwa Tok-siauw-kwi berada di dalam istana itu! jadi kedatangan Kwee Seng adalah untuk memusuhinya! Seketika ia merenggutkan diri meloncat ke belakang, lalu bertanya dengan suara ketus.
"Kwee-twako! Dengan maksud apakah kau menyerbu istana Hou-han?"
Sikap dan pandang mata Kim-mo Taisu dingin ketika menjawab,
"Dengan maksud mencarimu, Tok-siauw-kwi."
"Kwee-twako! Kau sudah tahu bahwa Tok-siauw-kwi adalah aku. Apakah kau juga seperti mereka, memusuhi aku dan menyebutku Tok-siauw-kwi? lupakah engkau bahwa aku ini Liu Lu Sian?"
Sejenak jantung Kim-mo Taisu terguncang keras. Memang inilah Lu Sian, satu-satunya wanita yang pernah merampas cinta kasihnya secara mendalam! Akan tetapi ia mengeraskan hati dan dengan suara dingin ia menjawab,
"Tidak ada Lu Sian lagi di dunia ini, dia sudah mati...."
"Kwee Seng...!!"
"Juga Kwee Seng sudah mati, yang ada sekarang Tok-siauw-kwi dan Kim-mo Taisu."
Watak Lu Sian memang keras. Biarpun ia sudah bukan orang muda lagi, namun kekerasan wataknya tak pernah hilang. Kini pandang matanya tajam, alisnya berdiri. Dibandingkan dengan Kwee Seng, ia dahulu bukan apa-apanya dan sama sekali bukan tandingannya, akan tetapi sekarang ia tidak takut. Bahkan ada keinginan hatinya untuk menguji kepandaiannya yang telah maju dengan hebat selama dua puluh tahun lebih ini.
"Hemmm, begitukah? Jadi selama ini engkau mendendam kepadaku karena peristiwa dua puluh tahun yang lalu itu? Dan sekarang engkau mencariku untuk membikin beres perhitungan lama?"
"Sudah kukatakan, tidak ada lagi urusan dahulu. Yang ada hanya urusan antara Tok-siauw-kwi dan Kim-mo Taisu."
"Bagus!" kata Lu Sian dengan suara mendongkol. "Aku Tok-siauw-kwi, selamanya baru sekarang ini bertemu dengan Kim-mo Taisu. Apakah kehendakmu mencariku?"
"Tok-siauw-kwi, apakah engkau bersekutu dengan musuh-musuh keluarga Kerajaan Tang lama?"
"Siapakah mereka?"
"Di antaranya ada orang-orang Khitan, juga Ma Thai Kun, Pouw Kee Lui, dan terutama sekali Ban-pi Lo-cia."
"Cih! Mengapa aku harus bersekutu dengan orang-orang macam itu? Kim-mo Taisu, tuduhanmu ini sama sekali tidak masuk akal!"
"Tok-siauw-kwi, mengapa engkau memusuhi Kong Lo Sengjin?"
Lu Sian mengerutkan kening dan memandang tajam, kemudian tersenyum lebar dan diam-diam Kim-mo Taisu terheran-heran melihat deretan gigi putih di balik bibir merah itu. Benar-benar tidak ada perubahan sedikitpun juga pada diri Lu Sian, pikirnya.
"Hik! Kakek lumpuh menjemukan itu? Heh, Kim-mo Taisu, aku tidak tahu hubungan apa adanya antara engkau dengan kakek lumpuh itu, dan aku tidak tahu pula mengapa engkau memeriksaku seperti seorang hakim memeriksa pesakitan. Akan tetapi dengarlah baik-baik. Secara pribadi aku tidak mempunyai permusuhan dengan Kong Lo Sengjin si kakek lumpuh. Akan tetapi karena aku tinggal di istana Hou-han dan dia datang menyerbu istana, tentu saja aku menghadapinya! Kalau kakek lumpuh itu tidak kuat menghadapi aku lalu minta bantuanmu, benar-benar lucu dan tak tahu malu!"
"Tok-siauw-kwi, mengapa engkau mengirim seorang pembunuh ke Min-san untuk membunuh keponakan perempuan Kong Lo Sengjin?" Kim-mo Taisu bertanya memancing.
Lu Sian bangkit kemarahannya. Ia membanting-banting kakinya ke tanah, dan diam-diam Kim-mo Taisu merasa terharu. Benar-benar tidak ada perubahan pada diri Lu Sian. Kebiasaan membanting kaki kalau marah-marah pun masih sama dengan dulu!
"Kim-mo Taisu! Apakah engkau ini seorang gila? Kalau aku memang menghendaki nyawa seseorang, perlu apa aku menyuruh orang lain? Kalau aku ingin membunuh keponakan Kong Lo Sengjin, biarpun ada seratus orang keponakannya itu, apa kau kira aku tidak bisa melakukannya sendiri? Entah macam apa siluman betina itu sehingga engkau sampai bersusah payah mencari pembunuhnya dan menuduh aku pula."
"Siluman betina itu adalah isteriku..."
"Ohhh...?!?"
Mata Lu Sian terbelalak kaget dan sejenak ia hanya memandang wajah Kim-mo Taisu yang suram muram itu. rasa terharu mengusap perasaan Lu Sian, kemudian rasa gembira timbul, dan tak tertahankan lagi ia tertawa.
Mula-mula tertawa lirih, terkekeh-kekeh sampai menutupkan punggung tangan kanan di depan mulut sambil menundukkan muka, kemudian kakinya bergerak maju dan di lain saat ia telah merangkul pinggang Kim-mo Taisu dan menyembunyikan muka di dadanya seperti tadi lagi. Hanya kalau tadi ia menangis terisak-isak, kini ia tertawa terkekeh-kekeh, tubuhnya berguncang-guncang menahan ketawa.
Kim-mo Taisu berdiri tegak, mengerutkan keningnya. Ia amat mengkhawatirkan ini. Menghadapi lawan yang bagaimana berat dan lihai pun ia tidak gentar. Akan tetapi menghadapi Lu Sian, melihat wajah yang masih cantik jelita, pandang mata yang bersinar-sinar, mulut yang amat manis, mencium bau harum yang aneh dan khas dari tubuh wanita ini, benar-benar merupakan hal yang amat berat baginya.
Ia bukan seorang yang mudah tergila-gila kepada wanita, akan tetapi tak disangkalnya pula bahwa hatinya lemah apabila berhadapan dengan Lu Sian, wanita yang pernah merampas cinta kasihnya. Akan tetapi, ia teringat akan isterinya, maka ia mengeraskan hati dan meramkan mata.
"... ah, nasib kita sama... hi-hik, tidak bahagia dalam pernikahan..."
Suara Lu Sian ini membuat Kim-mo Taisu membuka matanya. Pada saat itu Lu Sian yang masih tertawa-tawa kecil mengangkat muka dan ternyata dari kedua mata wanita itu bercucuran air mata. Lu Sian yang terdengar ketawa terkekeh-kekeh itu mengucurkan air mata seperti orang menangis!
Mereka saling pandang, muka mereka berdekatan. Sedetik timbul hasrat dalam hati Kim-mo Taisu untuk mendekap wajah yang pernah ia rindukan ini, untuk mencium kering air mata yang membasahi sepasang pipi itu.
Akan tetapi kembali kematian isterinya terbayang di depan mata. Air mata di kedua pipi Lu Sian seakan-akan berubah menjadi merah terkena sinar bulan, semerah darah isterinya yang bercucuran. Dengan kasar ia lalu merenggut kedua pundak Lu Sian, didorongnya menjauhi dirinya.
Seketika terhenti tawa atau tangis Lu Sian. Sinar matanya tajam dan dingin kembali. Lalu ia bertanya, sikapnya menantang.
"Kim-mo Taisu, andaikata benar aku yang menyuruh bunuh isterimu, habis kau mau apa?"
Dengan suara sama dinginnya Kim-mo Taisu menjawab,
"Kau pun akan kubunuh!"
Lu Sian mencelat mundur lalu tertawa. Kim-mo Taisu bergidik. Benar-benar seperti setan kalau Lu Sian sudah tertawa seperti itu.
"Hi-hi-hi-hik! Kim-mo Taisu! Apakah engkau masih menganggap aku seperti Lu Sian dua puluh tahun yang lalu, yang merengek-rengek minta kau ajari ilmu silat?"
Kim-mo Taisu menggeleng kepala.
"Tidak. Aku tahu bahwa engkau sekarang telah menjadi seorang yang berilmu tinggi. Sudah banyak aku mendengar tentang Tok-siauw-kwi yang menggegerkan dunia persilatan. Akan tetapi aku tidak takut."
"Aku pun tidak takut!"
Lu Sian membentak, sambil mencabut pedangnya, pedang Toa-hong-kiam dan sekali tubunya berkelebat ia telah mengirim serangan kilat ke arah leher Kim-mo Taisu.
Cepat dan kuat sekali serangan ini, tak boleh dipandang ringan. Kim-mo Taisu cepat melompat ke kanan untuk menghindari serangan kilat ini, sambil berkata,
"Kalau kau yang menyuruh orang membunuh isteriku, baru aku akan memusuhimu, Tok-siauw-kwi."
"Tidak peduli! Membunuh atau tidak, engkau harus menahan seranganku, jangan kira aku takut!"
Lu Sian membentak, kemarahannya sudah memuncak dan kembali pedangnya berkelebat. Demikian hebatnya gerakannya sehingga tubuhnya lenyap terbungkus gulungan sinar pedangnya. Terdengar bunyi angin menderu dan gulungan pedang itu merupakan segumpal awan yang melayang-layang.
Kim-mo Taisu tidak berani memandang rendah. Cepat ia pun mengeluarkan kipasnya, lalu bergerak mengimbangi serangan Lu Sian. Ketika ia memperhatikan gerakan-gerakan Lu Sian, diam-diam ia terkejut dan kagum sekali. Hebat memang kemajuan wanita ini, sedemikian hebatnya sehingga hampir menyusul dan melampauinya! Yang jelas, dalam hal gin-kang, Lu Sian sudah tidak kalah olehnya, dan gerakan pedangnya luar biasa sekali.
Ia sudah mendengar akan sepak terjang Tok-siauw-kwi yang menggemparkan partai-partai besar karena perbuatannya mencuri kitab-kitab pusaka. Kini menyaksikan gerakannya, ia maklum bahwa tidak percuma Lu Sian mencuri kitab-kitab itu, tentu telah dipelajarinya dan digabungkannya dengan amat baik.
Karena itu, Kim-mo Taisu lalu mengerahkan tenaga dan mainkan Cap-jit-seng-kiam digabung dengan Lo-hai-san-hoat untuk menghadapi serangan pedang Lu Sian yang dahsyat itu. gerakannya tenang dan kokoh kuat, tidak saja ia dapat membendung datangnya serangan yang dahsyat seperti air bah itu, namun juga ia masih mendapat kesempatan untuk balas menyerang tidak kalah dahsyatnya.
Lu Sian menjadi penasaran dan mengeluh di dalam hati. Banyak sudah ia menghadapi lawan tangguh, akan tetapi baru sekarang ia mendapat kenyataan bahwa Kim-mo Taisu benar-benar hebat sekali. Kwee Seng yang dahulu itu ternyata masih tetap kuat, bahkan lebih lihai lagi. Pedangnya yang sukar menemui tanding itu kini seakan-akan menghadapi tembok baja yang sukar ditembus. Bahkan ujung gagang kipas itu masih sempat membagi-bagi totokan yang amat berbahaya.
Berjam-jam mereka bertanding dengan hebat. Kadang-kadang mereka bergerak cepat sehingga bayangan mereka menjadi satu, sinar senjata mereka saling belit. Kadang-kadang gerakan mereka lambat dan dalam jurus-jurus ini mereka bertanding mengandalkan tenaga dalam yang juga seimbang. Matahari pagi sudah muncul mengusir kabut pagi, dan mereka masih terus bertanding seru. Keduanya sudah lelah. Keringat mulai membasahi muka dan leher. Namun belum juga ada yang mengalah.
Tiba-tiba Lu Sian mengeluarkan suara melengking tinggi, suaranya penuh getaran dan pada detik berikutnya, rambutnya yang hitam panjang itu telah terlepas dari sanggulnya dan tahu-tahu telah menyambar ke arah Kim-mo Taisu bagaikan sehelai jaring yang aneh!
Kim-mo Taisu terkejut bukan main. Lengking tadi saja sudah mengandung tenaga yang luar biasa. Itulah Ilmu Sakti Coan-im-I-hun-to (Suara Sakti Merampas Semangat), biarpun belum sempurna benar namun sudah amat kuat dan suara itu saja sudah cukup merobohkan seorang lawan yang kurang kuat sin-kangnya! Apalagi serangan rambut itu. hanya seorang yang sin-kangnya sudah luar biasa hebatnya saja mampu mempergunakannya sekuat ini.
Tadi ia melihat wanita cantik berambut panjang riap-riapan di istana juga mempergunakan rambut melawannya, akan tetapi dibandingkan dengan penggunaan rambut oleh Lu Sian ini benar-benar amat jauh bedanya. Karena ia tidak menyangka-nyangka bahwa Lu Sian akan menyerangnya secara ini, Kim-mo Taisu menjadi agak bingung.
Namun ia cepat mengerahkan tenaganya dan membuka kipas serta mengebut ke arah jaring hitam itu. Buyarlah sebagian rambut yang menyerang, namun masih ada segumpal rambut yang berhasil melibat pergelangan tangan kanan yang memegang kipas dan pada saat Kim-mo Taisu mengerahkan tenaga untuk melepaskan diri, ujung pedang Toa-hong-kiam sudah menyambar ke arah tenggorokan!
Hebat bukan main serangkaian serangan Lu Sian ini, tidak saja cepat seperti kilat, dan sama sekali tidak terduga-duga, juga mengandung tenaga dalam yang dahsyat. Diam-diam Kim-mo Taisu terkejut dan maklum bahwa nyawanya dalam bahaya maut. Namun sebagai seorang pendekar gagah, ia tidak gentar dan cepat tangan kirinya mencengkeram ke arah pedang lebih baik mempertaruhkan lengannya daripada membiarkan tenggorokannya tertusuk. Akan tetapi pedang itu sudah lebih cepat gerakannya dan..."reettt" pedang itu menyambar ke kiri dan bukan tenggorokannya yang terobek, melainkan leher bajunya! Kim-mo Taisu melompat ke belakang karena pada saat itu gumpalan rambut yang membelit lengannya juga sudah terlepas dan terdengar Lu Sian tertawa lirih.
"Hi-hi-hik! Kim-mo Taisu apakah kau masih mau membunuhku?"
"Kwee-twako! Dengan maksud apakah kau menyerbu istana Hou-han?"
Sikap dan pandang mata Kim-mo Taisu dingin ketika menjawab,
"Dengan maksud mencarimu, Tok-siauw-kwi."
"Kwee-twako! Kau sudah tahu bahwa Tok-siauw-kwi adalah aku. Apakah kau juga seperti mereka, memusuhi aku dan menyebutku Tok-siauw-kwi? lupakah engkau bahwa aku ini Liu Lu Sian?"
Sejenak jantung Kim-mo Taisu terguncang keras. Memang inilah Lu Sian, satu-satunya wanita yang pernah merampas cinta kasihnya secara mendalam! Akan tetapi ia mengeraskan hati dan dengan suara dingin ia menjawab,
"Tidak ada Lu Sian lagi di dunia ini, dia sudah mati...."
"Kwee Seng...!!"
"Juga Kwee Seng sudah mati, yang ada sekarang Tok-siauw-kwi dan Kim-mo Taisu."
Watak Lu Sian memang keras. Biarpun ia sudah bukan orang muda lagi, namun kekerasan wataknya tak pernah hilang. Kini pandang matanya tajam, alisnya berdiri. Dibandingkan dengan Kwee Seng, ia dahulu bukan apa-apanya dan sama sekali bukan tandingannya, akan tetapi sekarang ia tidak takut. Bahkan ada keinginan hatinya untuk menguji kepandaiannya yang telah maju dengan hebat selama dua puluh tahun lebih ini.
"Hemmm, begitukah? Jadi selama ini engkau mendendam kepadaku karena peristiwa dua puluh tahun yang lalu itu? Dan sekarang engkau mencariku untuk membikin beres perhitungan lama?"
"Sudah kukatakan, tidak ada lagi urusan dahulu. Yang ada hanya urusan antara Tok-siauw-kwi dan Kim-mo Taisu."
"Bagus!" kata Lu Sian dengan suara mendongkol. "Aku Tok-siauw-kwi, selamanya baru sekarang ini bertemu dengan Kim-mo Taisu. Apakah kehendakmu mencariku?"
"Tok-siauw-kwi, apakah engkau bersekutu dengan musuh-musuh keluarga Kerajaan Tang lama?"
"Siapakah mereka?"
"Di antaranya ada orang-orang Khitan, juga Ma Thai Kun, Pouw Kee Lui, dan terutama sekali Ban-pi Lo-cia."
"Cih! Mengapa aku harus bersekutu dengan orang-orang macam itu? Kim-mo Taisu, tuduhanmu ini sama sekali tidak masuk akal!"
"Tok-siauw-kwi, mengapa engkau memusuhi Kong Lo Sengjin?"
Lu Sian mengerutkan kening dan memandang tajam, kemudian tersenyum lebar dan diam-diam Kim-mo Taisu terheran-heran melihat deretan gigi putih di balik bibir merah itu. Benar-benar tidak ada perubahan sedikitpun juga pada diri Lu Sian, pikirnya.
"Hik! Kakek lumpuh menjemukan itu? Heh, Kim-mo Taisu, aku tidak tahu hubungan apa adanya antara engkau dengan kakek lumpuh itu, dan aku tidak tahu pula mengapa engkau memeriksaku seperti seorang hakim memeriksa pesakitan. Akan tetapi dengarlah baik-baik. Secara pribadi aku tidak mempunyai permusuhan dengan Kong Lo Sengjin si kakek lumpuh. Akan tetapi karena aku tinggal di istana Hou-han dan dia datang menyerbu istana, tentu saja aku menghadapinya! Kalau kakek lumpuh itu tidak kuat menghadapi aku lalu minta bantuanmu, benar-benar lucu dan tak tahu malu!"
"Tok-siauw-kwi, mengapa engkau mengirim seorang pembunuh ke Min-san untuk membunuh keponakan perempuan Kong Lo Sengjin?" Kim-mo Taisu bertanya memancing.
Lu Sian bangkit kemarahannya. Ia membanting-banting kakinya ke tanah, dan diam-diam Kim-mo Taisu merasa terharu. Benar-benar tidak ada perubahan pada diri Lu Sian. Kebiasaan membanting kaki kalau marah-marah pun masih sama dengan dulu!
"Kim-mo Taisu! Apakah engkau ini seorang gila? Kalau aku memang menghendaki nyawa seseorang, perlu apa aku menyuruh orang lain? Kalau aku ingin membunuh keponakan Kong Lo Sengjin, biarpun ada seratus orang keponakannya itu, apa kau kira aku tidak bisa melakukannya sendiri? Entah macam apa siluman betina itu sehingga engkau sampai bersusah payah mencari pembunuhnya dan menuduh aku pula."
"Siluman betina itu adalah isteriku..."
"Ohhh...?!?"
Mata Lu Sian terbelalak kaget dan sejenak ia hanya memandang wajah Kim-mo Taisu yang suram muram itu. rasa terharu mengusap perasaan Lu Sian, kemudian rasa gembira timbul, dan tak tertahankan lagi ia tertawa.
Mula-mula tertawa lirih, terkekeh-kekeh sampai menutupkan punggung tangan kanan di depan mulut sambil menundukkan muka, kemudian kakinya bergerak maju dan di lain saat ia telah merangkul pinggang Kim-mo Taisu dan menyembunyikan muka di dadanya seperti tadi lagi. Hanya kalau tadi ia menangis terisak-isak, kini ia tertawa terkekeh-kekeh, tubuhnya berguncang-guncang menahan ketawa.
Kim-mo Taisu berdiri tegak, mengerutkan keningnya. Ia amat mengkhawatirkan ini. Menghadapi lawan yang bagaimana berat dan lihai pun ia tidak gentar. Akan tetapi menghadapi Lu Sian, melihat wajah yang masih cantik jelita, pandang mata yang bersinar-sinar, mulut yang amat manis, mencium bau harum yang aneh dan khas dari tubuh wanita ini, benar-benar merupakan hal yang amat berat baginya.
Ia bukan seorang yang mudah tergila-gila kepada wanita, akan tetapi tak disangkalnya pula bahwa hatinya lemah apabila berhadapan dengan Lu Sian, wanita yang pernah merampas cinta kasihnya. Akan tetapi, ia teringat akan isterinya, maka ia mengeraskan hati dan meramkan mata.
"... ah, nasib kita sama... hi-hik, tidak bahagia dalam pernikahan..."
Suara Lu Sian ini membuat Kim-mo Taisu membuka matanya. Pada saat itu Lu Sian yang masih tertawa-tawa kecil mengangkat muka dan ternyata dari kedua mata wanita itu bercucuran air mata. Lu Sian yang terdengar ketawa terkekeh-kekeh itu mengucurkan air mata seperti orang menangis!
Mereka saling pandang, muka mereka berdekatan. Sedetik timbul hasrat dalam hati Kim-mo Taisu untuk mendekap wajah yang pernah ia rindukan ini, untuk mencium kering air mata yang membasahi sepasang pipi itu.
Akan tetapi kembali kematian isterinya terbayang di depan mata. Air mata di kedua pipi Lu Sian seakan-akan berubah menjadi merah terkena sinar bulan, semerah darah isterinya yang bercucuran. Dengan kasar ia lalu merenggut kedua pundak Lu Sian, didorongnya menjauhi dirinya.
Seketika terhenti tawa atau tangis Lu Sian. Sinar matanya tajam dan dingin kembali. Lalu ia bertanya, sikapnya menantang.
"Kim-mo Taisu, andaikata benar aku yang menyuruh bunuh isterimu, habis kau mau apa?"
Dengan suara sama dinginnya Kim-mo Taisu menjawab,
"Kau pun akan kubunuh!"
Lu Sian mencelat mundur lalu tertawa. Kim-mo Taisu bergidik. Benar-benar seperti setan kalau Lu Sian sudah tertawa seperti itu.
"Hi-hi-hi-hik! Kim-mo Taisu! Apakah engkau masih menganggap aku seperti Lu Sian dua puluh tahun yang lalu, yang merengek-rengek minta kau ajari ilmu silat?"
Kim-mo Taisu menggeleng kepala.
"Tidak. Aku tahu bahwa engkau sekarang telah menjadi seorang yang berilmu tinggi. Sudah banyak aku mendengar tentang Tok-siauw-kwi yang menggegerkan dunia persilatan. Akan tetapi aku tidak takut."
"Aku pun tidak takut!"
Lu Sian membentak, sambil mencabut pedangnya, pedang Toa-hong-kiam dan sekali tubunya berkelebat ia telah mengirim serangan kilat ke arah leher Kim-mo Taisu.
Cepat dan kuat sekali serangan ini, tak boleh dipandang ringan. Kim-mo Taisu cepat melompat ke kanan untuk menghindari serangan kilat ini, sambil berkata,
"Kalau kau yang menyuruh orang membunuh isteriku, baru aku akan memusuhimu, Tok-siauw-kwi."
"Tidak peduli! Membunuh atau tidak, engkau harus menahan seranganku, jangan kira aku takut!"
Lu Sian membentak, kemarahannya sudah memuncak dan kembali pedangnya berkelebat. Demikian hebatnya gerakannya sehingga tubuhnya lenyap terbungkus gulungan sinar pedangnya. Terdengar bunyi angin menderu dan gulungan pedang itu merupakan segumpal awan yang melayang-layang.
Kim-mo Taisu tidak berani memandang rendah. Cepat ia pun mengeluarkan kipasnya, lalu bergerak mengimbangi serangan Lu Sian. Ketika ia memperhatikan gerakan-gerakan Lu Sian, diam-diam ia terkejut dan kagum sekali. Hebat memang kemajuan wanita ini, sedemikian hebatnya sehingga hampir menyusul dan melampauinya! Yang jelas, dalam hal gin-kang, Lu Sian sudah tidak kalah olehnya, dan gerakan pedangnya luar biasa sekali.
Ia sudah mendengar akan sepak terjang Tok-siauw-kwi yang menggemparkan partai-partai besar karena perbuatannya mencuri kitab-kitab pusaka. Kini menyaksikan gerakannya, ia maklum bahwa tidak percuma Lu Sian mencuri kitab-kitab itu, tentu telah dipelajarinya dan digabungkannya dengan amat baik.
Karena itu, Kim-mo Taisu lalu mengerahkan tenaga dan mainkan Cap-jit-seng-kiam digabung dengan Lo-hai-san-hoat untuk menghadapi serangan pedang Lu Sian yang dahsyat itu. gerakannya tenang dan kokoh kuat, tidak saja ia dapat membendung datangnya serangan yang dahsyat seperti air bah itu, namun juga ia masih mendapat kesempatan untuk balas menyerang tidak kalah dahsyatnya.
Lu Sian menjadi penasaran dan mengeluh di dalam hati. Banyak sudah ia menghadapi lawan tangguh, akan tetapi baru sekarang ia mendapat kenyataan bahwa Kim-mo Taisu benar-benar hebat sekali. Kwee Seng yang dahulu itu ternyata masih tetap kuat, bahkan lebih lihai lagi. Pedangnya yang sukar menemui tanding itu kini seakan-akan menghadapi tembok baja yang sukar ditembus. Bahkan ujung gagang kipas itu masih sempat membagi-bagi totokan yang amat berbahaya.
Berjam-jam mereka bertanding dengan hebat. Kadang-kadang mereka bergerak cepat sehingga bayangan mereka menjadi satu, sinar senjata mereka saling belit. Kadang-kadang gerakan mereka lambat dan dalam jurus-jurus ini mereka bertanding mengandalkan tenaga dalam yang juga seimbang. Matahari pagi sudah muncul mengusir kabut pagi, dan mereka masih terus bertanding seru. Keduanya sudah lelah. Keringat mulai membasahi muka dan leher. Namun belum juga ada yang mengalah.
Tiba-tiba Lu Sian mengeluarkan suara melengking tinggi, suaranya penuh getaran dan pada detik berikutnya, rambutnya yang hitam panjang itu telah terlepas dari sanggulnya dan tahu-tahu telah menyambar ke arah Kim-mo Taisu bagaikan sehelai jaring yang aneh!
Kim-mo Taisu terkejut bukan main. Lengking tadi saja sudah mengandung tenaga yang luar biasa. Itulah Ilmu Sakti Coan-im-I-hun-to (Suara Sakti Merampas Semangat), biarpun belum sempurna benar namun sudah amat kuat dan suara itu saja sudah cukup merobohkan seorang lawan yang kurang kuat sin-kangnya! Apalagi serangan rambut itu. hanya seorang yang sin-kangnya sudah luar biasa hebatnya saja mampu mempergunakannya sekuat ini.
Tadi ia melihat wanita cantik berambut panjang riap-riapan di istana juga mempergunakan rambut melawannya, akan tetapi dibandingkan dengan penggunaan rambut oleh Lu Sian ini benar-benar amat jauh bedanya. Karena ia tidak menyangka-nyangka bahwa Lu Sian akan menyerangnya secara ini, Kim-mo Taisu menjadi agak bingung.
Namun ia cepat mengerahkan tenaganya dan membuka kipas serta mengebut ke arah jaring hitam itu. Buyarlah sebagian rambut yang menyerang, namun masih ada segumpal rambut yang berhasil melibat pergelangan tangan kanan yang memegang kipas dan pada saat Kim-mo Taisu mengerahkan tenaga untuk melepaskan diri, ujung pedang Toa-hong-kiam sudah menyambar ke arah tenggorokan!
Hebat bukan main serangkaian serangan Lu Sian ini, tidak saja cepat seperti kilat, dan sama sekali tidak terduga-duga, juga mengandung tenaga dalam yang dahsyat. Diam-diam Kim-mo Taisu terkejut dan maklum bahwa nyawanya dalam bahaya maut. Namun sebagai seorang pendekar gagah, ia tidak gentar dan cepat tangan kirinya mencengkeram ke arah pedang lebih baik mempertaruhkan lengannya daripada membiarkan tenggorokannya tertusuk. Akan tetapi pedang itu sudah lebih cepat gerakannya dan..."reettt" pedang itu menyambar ke kiri dan bukan tenggorokannya yang terobek, melainkan leher bajunya! Kim-mo Taisu melompat ke belakang karena pada saat itu gumpalan rambut yang membelit lengannya juga sudah terlepas dan terdengar Lu Sian tertawa lirih.
"Hi-hi-hik! Kim-mo Taisu apakah kau masih mau membunuhku?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar