FB

FB


Ads

Rabu, 17 April 2019

Suling Emas Jilid 115

Bu Song kemudian bertanya,
"Kui Sam lopek, ada apakah ramai-ramai ini? Mengapa semua Paman berkumpul disini dan menyiapkan tombak dan obor seperti orang mau perang saja?"

"Kebetulan sekali Kongcu datang kesini. Tentu Kongcu sebagai murid Kim-mo Taisu akan dapat membantu kami mengusir atau membinasakan musuh ganas!" kata seorang diantara penduduk Hek-teng yang mewakili Kui Sam menjawab.

Muka Bu Song menjadi merah.
"Ah, maafkan, Paman. Biar pun aku benar murid Suhu, namun aku bukan belajar ilmu silat, melainkan belajar ilmu sastra. Oleh karena itu, mana aku mampu berkelahi dan membunuh orang?"

Tentu saja para penduduk dusun itu tidak ada yang mau percaya. Mereka anggap sudah wajar seorang pendekar murid orang sakti selalu merendahkan diri, rendah hati dan pura-pura lemah.

"Wah, Kongcu terlalu merendah!" Kui Sam tertawa bergelak. "Gurumu memiliki kepandaian seperti malaikat, tentu muridnya lihai sekali. Lagi pula kami bukan hendak membunuh orang, karena musuh kami bukan orang."

"Bukan orang? Lalu... apakah musuh kalian?"

"Burung. Burung raksasa yang dalam waktu sebulan ini sudah menghabiskan sepuluh ekor domba kami!"

"Oohhh... agaknya hek-tiauw (Rajawali Hitam) yang pernah disebut-sebut Suhu," kata Bu Song kagum.

Pernah ia bersama suhunya pada suatu senja melihat titik hitam tinggi di angkasa, makin lama titik itu makin besar dan akhirnya tampaklah seekor burung hitam melayang-layang amatlah gagahnya. Tadinya Bu Song menyangka bahwa burung itu seekor garuda, akan tetapi suhunya segera menerangkan,

"Bukan, burung itu adalah seekor hek-tiauw yang sukar dilihat. Agaknya ia datang ke sini untuk mencari-cari tempat yang aman untuk bersarang dan bertelur."

"Mungkin sekali," kata Kui Sam. "Besarnya bukan main, ganas dan kuat. Sebuah kakinya mampu mencengkeram seekor domba. Paling akhir ia mencengkeram dua ekor domba dan dibawanya terbang dengan mudah. Memang bulunya agak kehitaman, akan tetapi matanya merah seperti api menyala."

Bu Song makin tertarik.
"Lalu kalian ini hendak menyerbunya secara bagaimanakah? Dia pandai terbang, bagaimana kalian dapat mengejarnya?"

"Kami akan menyerbu sarangnya, Kongcu. Sudah kami ketahui dimana sarangnya, di puncak batu karang sebelah selatan. Agaknya dia bertelur disana. Kita akan obrak-abrik sarangnya, tentu dia akan lari ketakutan dan biar dia minggat mencari tempat lain! Hendak kami lihat apakah dia berani melawan api, ha-ha!"

Bu song tertarik sekali.
"Boleh aku ikut menonton?"

"Ha-ha, tentu saja boleh. Dengan adanya Kongcu, kami makin tidak takut terhadap burung raksasa itu," jawab mereka.

Berangkatlah rombongan itu sebanyak dua puluh lima orang. Kui Sam menjadi pemimpin rombongan berjalan di depan. Bu Song berjalan di sampingnya. Mereka bernyanyi-nyanyi dan bersenda-gurau seperti seregu pasukan hendak maju perang melawan musuh! Diam-diam Bu Song mengalami kegembiraan yang belum pernah ia rasakan selama ini. Orang-orang ini benar gagah, pikirnya.

Perjalanan mulai sukar, mendaki sebuah puncak yang penuh batu-batu seperti karang, runcing tajam dan kasar. Namun mereka adalah penduduk gunung yang sudah biasa melalui jalan seperti itu, maka perjalanan dapat dilanjutkan tanpa banyak kesukaran.

Hanya kini tidak ada yang bernyanyi lagi, tidak ada yang bersendau-gurau, karena keringat telah membasahi tubuh yang lelah dan hati mulai berdebar tegang. Makin dekat dengan sebuah batu karang berbentuk menara yang menjulang tinggi di puncak, makin berdebarlah hati mereka. Di ujung batu karang itulah si burung raksasa bersarang.






Akhirnya mereka tiba di bawah batu karang seperti menara itu, terengah-engah menyusuti keringat. Tiba-tiba terdengar bunyi bercicit-cicit nyaring di atas batu karang, lalu terdengar kelepak sayap dan... mereka menjadi gelisah ketika tampak seekor burung hitam raksasa terbang melayang ke luar dari atas batu karang. Inilah si Rajawali Hitam yang ganas itu. Bulunya kehitaman, matanya mencorong seperti api bernyala.

"Cepat nyalakan obor!" seru Kui Sam dan ramai-ramai mereka nyalakan obor.

Ada yang mulai melepas anak panah ke arah burung itu karena si Rajawali kadang-kadang menyambar ke bawah sambil memekik-mekik nyaring. Akan tetapi, anak panah itu disampok runtuh oleh sayapnya yang besar seakan-akan anak-anak panah itu hanyalah mainan kanak-kanak belaka.

Orang-orang itu berteriak-teriak dan mengacung-acungkan tombak serta obor. Benar saja, karena melihat api, burung itu tidak berani menyerang, hanya terbang mengitari mereka dari atas sambil memekik-mekik marah. Selama orang-orang itu berkumpul dan melindungi kepala dengan api, burung itu tidak berani apa-apa.

"Hayo kita ke atas, kita bakar sarangnya!" teriak Kui Sam.

Akan tetapi jalan pendakian ke atas batu karang itu amat sempit, hanya dua orang saja dapat secara bersamaan mendaki ke atas, itupun amat sukar. Kui Sam dan seorang lain lagi mendaki, akan tetapi baru kurang lebih tiga meter, burung rajawali itu menyambar dari atas.

"Awas...!!" teriak mereka yang tinggal di bawah.

Kui Sam dan temannya terkejut, cepat mengangkat obor di tangan kanan untuk melindungi kepala sedangkan tangan kiri memegang batu karang yang menonjol. Bahkan Kui Sam menggerakkan tombak untuk menusuk ketika bayangan hitam itu menyambar.

Akan tetapi kibasan sayap yang besar dan amat kuat itu sekaligus memadamkan dua buah obor, mematahkan tombak dan membuat kedua orang itu terlempar jatuh ke bawah! Baiknya teman-teman di bawah segera menerima tubuh mereka yang langsung roboh bergulingan bersama orang-orang yang tertimpa. Biar pun babak-belur, namun mereka selamat.

Kembali burung itu menyambar, akan tetapi sambil memekik marah ia terbang ke atas kembali setelah semua orang menyatukan obor dan mengacung-acungkan ke atas.

"Dia takut api dan tidak berani menyerang kita!" kata Kui Sam yang masih merasa mendongkol.

"Akan tetapi mana bisa kita mendaki bersama? Paling banyak hanya dua orang yang bisa mendaki bersama, dan hal itu berbahaya. Menghadapi dua obor saja ia tidak takut!" kata yang lain.

"Kita gunakan panah api! Kita ikatkan benda bernyala di ujung anak panah dan kita panahkan ke bagian atas. Agaknya sarang itu berada di puncak, dalam sebuah goa," kata Kui Sam.

"Lihat itu...!" tiba-tiba Bu Song berkata.

Pemuda ini sejak tadi menonton dan tidak ikut-ikut membawa obor. Ia merasa kagum bukan main menyaksikan gerakan dan sepak terjang burung rajawali hitam itu. Ketika melihat penuh perhatian ke arah puncak karang, ia tiba-tiba melihat tiga buah kepala burung muncul, tiga buah kepala burung yang lucu sekali karena tidak berbulu, matanya melotot.

Semua orang berdongak memandang.

"Itu anak-anaknya. Kita serang dengan anak panah...!" kata Kui Sam.

Usul ini lebih mudah dikatakan dari pada dilakukan, karena selain terlindung batu karang yang menonjol, juga semua anak panah disapu habis oleh rajawali hitam yang melindungi anak-anaknya. Bahkan terjadi ribut dan gempar ketika seorang di antara mereka tertusuk anak panah yang runtuh dari atas, tepat mengenai daun telinganya sehingga robek.

Tiba-tiba Bu Song meloncat dari tempat duduknya. Ia sejak tadi memperhatikan anak-anak burung itu dan melihat betapa seekor di antara mereka agaknya tertarik oleh ribut-ribut di bawah, entah tertarik entah ketakutan, akan tetapi anak burung yang seekor ini bergerak-gerak makin ke pinggir. Ia sudah khawatir sekali, maka begitu melihat anak burung itu tergelincir ke luar dan jatuh ke bawah, ia sudah melompat dan menerima burung kecil itu dengan kedua tangannya! Dari bawah burung itu kelihatan kecil, akan tetapi setelah ia terima dengan tangannya, ternyata sebesar bebek!

"Saudara-saudara, harap mundur. Tak baik ribut-ribut ini dilanjutkan!"

Bu Song berkata dengan suara keras. Entah suaranya yang berwibawa, entah karena mereka menganggap ia seorang pendekar murid Kim-mo Taisu, akan tetapi semua orang berhenti memanah dan mengundurkan diri, memandang kepada Bu Song yang memegang anak burung itu di tangannya.

"Sekarang aku mengerti," kata Bu Song. "Rajawali itu mencuri kambing untuk memelihara anak-anaknya. Kalau anak-anaknya sudah pandai terbang, tentu mereka akan pergi meninggalkan tempat ini, karena asal mereka bukan disini."

Anak burung itu bercicit di tangan Bu Song dan induk burung beterbangan di atas, memekik-mekik dan menyambar-nyambar ke arah Bu Song, akan tetapi tidak menyerang pemuda itu karena Bu Song mengangkat anak burung itu di atas kepalanya. Kemudian dengan tenang pemuda itu lalu mendaki batu karang berbentuk menara itu, perlahan-lahan dan hati-hati ia mendaki ke atas.

Burung rajawali hitam menyambar-nyambar lagi sambil memekik-mekik dan orang-orang di bawah sudah menahan napas melihat betapa burung besar itu menyambar ke arah Bu Song. Namun burung itu tidak menyerang. Agaknya melihat pemuda itu memegangi anaknya sambil mendaki dan tidak membawa api yang ditakuti, burung itu dapat mengerti niat orang menolong anaknya.


Setelah tiba di puncak, Bu Song melihat sebuah goa yang besar. Kiranya di dalam goa itulah sarang si Rajawali karena lubang itu penuh dengan rumput kering. Ia menaruh anak burung itu di dekat dua saudaranya, dua ekor burung kecil yang serupa dan yang memandang Bu Song dengan mata melotot-lotot lucu. Bu Song tertawa dan mengelus-elus kepala mereka.

Tiba-tiba matanya tertarik oleh setumpuk benda putih kekuningan di pinggir sarang, benda seperti agar-agar kering. Ia teringat akan cerita suhunya tentang khasiat liur burung yang sudah kering dalam sarang burung wallet, maka tanpa ragu-ragu ia lalu mengambil setumpuk benda itu, kemudian turun lagi ke bawah.

Burung rajawali itu mengeluarkan suara aneh terbang berputaran mengelilingi tempat itu dan matanya selalu melirik ke arah Bu Song. Sama sekali ia tidak mengganggu Bu Song yang merayap turun.

Setibanya di bawah, orang-orang menyambut Bu Song dengan kening berkerut. Mereka merasa tidak puas karena belum berhasil membasmi musuh, malah pemuda itu dari puncak Min-san ini seakan-akan berpihak kepada musuh!

Bu Song seorang pemuda yang luas pandangan dan cerdik. Ia maklum akan isi hati orang-orang itu, maka ia segera berkata,

"Saudara-saudara, maafkan pendapatku ini. Akan tetapi burung rajawali hitam itu tidaklah jahat. Buktinya, ia tidak pernah membunuh manusia untuk dijadikan mangsanya. Ia menyerang manusia sekarang ini hanya karena kita yang lebih dahulu mengganggunya. Maka tidak perlu kita memusuhinya."

"Akan tetapi, dia sudah menghabiskan sepuluh ekor kambing kami!" bantah seseorang.

"Kalau tidak dibunuh, tentu akan menghabiskan lebih banyak lagi!" sambung orang kedua.

"Tidak, asal dijaga baik-baik," kata pula Bu Song. "Kambing-kambing yang sudah diterkamnya, biarlah kelak aku yang menggantinya, kutukar dengan akar-akar obat. Selanjutnya, jika kalian menggembala domba, supaya mempersiapkan obor. Begitu dia muncul, kalian menyerang. Dengan cara begini, burung yang lapar itu tentu akan mencari binatang lain dalam hutan. Lebih aman begini dari pada harus bermusuh melawan burung ajaib yang amat berbahaya itu. Untuk apa mengorbankan nyawa manusia kalau jalan lain dapat ditempuh?"

Akhirnya semua orang itu setuju dengan pendapat Bu Song dan pemuda ini dengan hati girang pulang ke puncak membawa liur (ilar) kering burung rajawali hitam.

**** 115 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar