"Tidak, aku tidak pulang!" kata Eng Eng merajuk dan jari tangannya menghapus air matanya yang mulai keluar lagi. "Untuk apa pulang melihat Ayah bersusah saja? Aku tidak pulang, biar tidur disini!"
"Aihh, jangan begitu, Moi-moi. Suhu sekarang sudah sadar kembali, tadi sudah keluar pondok dan menanyakanmu. Suhu mengharap-harap pulangmu, Moi-moi."
"Kau bohong!"
"Wah, kapan aku pernah membohongimu? Marilah adik manis, tuh Ayahmu menanti di sana. Sebentar lagi gelap disini dan Suhu tentu akan marah kalau aku tidak pulang bersamamu. Marilah...!" Ia menarik tubuh gadis itu berdiri.
Eng Eng seperti sengaja berlambat-lambat dan merajuk manja sehingga ia setengah diseret oleh Bu Song.
"Marilah, Moi-moi. Apakah kau masih marah kepadaku? Boleh kau memukulku agar puas hatimu!"
"Siapa mau pukul? Aku tidak marah!" akan tetapi suaranya ketus.
"Kalau tidak marah marilah kita jalan cepat-cepat, ayahmu menanti."
"Kau janji dulu!"
"Janji apa?"
"Lain kali kalau mau cium, harus bilang."
Bu Song menahan senyum.
"Mengapa?"
"Biar kubersihkan dulu pipi dan hidungku."
Bu Song tak dapat menahan lagi senyumnya. Ia menjura dan mengangkat kedua tangan di depan dada.
"Baiklah, baiklah, Nona. Dan ampunkan aku....!"
Eng Eng terkekeh ketawa lalu tubuhnya berkelebat lari turun dari puncak itu meninggalkan Bu Song. Bu Song juga tertawa dan mengejar, akan tetapi tentu saja ia tidak mampu mengejar gadis yang terlatih baik sehingga memiliki ginkang yang lumayan itu.
Karena itu Bu Song lalu tidak mengejar lagi. Ia berjalan seenaknya. Biarlah Eng Eng pulang lebih dulu, pikirnya, agar tidak canggung rasanya bagi gadis itu kalau ayahnya memberi tahu tentang perjodohan. Sambil tersenyum-senyum Bu Song melanjutkan perjalanan pulang perlahan-lahan, hatinya girang sekali dan ia mengenang gadis kekasihnya itu yang menjadi teman bermain sejak kecil.
Semenjak kecil Eng Eng memang lincah jenaka sekali, kadang-kadang amat nakal dan manja. Semenjak kecil, karena hubungan mereka seperti kakak beradik, tidak jarang ia mencium pipi Eng Eng, ciuman kanak-kanak dan setelah mereka menjadi besar, ciuman mereka itu menjadi ciuman saudara.
Akan tetapi tadi, terus terang harus ia akui bahwa ketika ia tadi mencium Eng Eng, berbeda sekali perasaannya dengan biasanya. Agaknya perasaan inilah yang mengagetkan Eng Eng. Ia tersenyum lagi, kemudian Bu Song bersenandung.
Kegembiraan hatinya membuat ia bernyanyi-nyanyi perlahan. Gurunya benar. Ia tidak hanya mencintai Eng Eng sebagai seorang kakak, malah lebih dari itu, ia mencintai Eng Eng sebagai seorang pria mencintai seorang wanita! Seperti cinta gurunya terhadap ibu gurunya!
Karena sejak kecil hidupnya selalu di puncak dekat guru dan ibu gurunya, maka kedua orang tua inilah yang ia jadikan contoh dan ia gembira sekali. Guru dan ibu gurunya selalu hidup rukun, dan ia akan senang sekali kalau dapat melanjutkan hidup bersama Eng Eng sebagai isterinya.
Ketika ia tiba dekat pondok, Bu Song melihat Eng Eng menangis. Gadis ini bersembunyi di balik pohon tak jauh dari pondok. Di depan pondok itu terdengar dua orang berbantahan dengan suara keras. Ternyata mereka itu adalah Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin, kakek lumpuh yang dikenal oleh Bu Song sebagai paman ibu gurunya yang meninggal dunia.
Melihat wajah Eng Eng pucat sekali, Bu Song kaget dan heran. Akan tetapi ia pun tidak berani muncul dan hanya melihat dari jauh. Ia hanya mendengar ucapan Kong Lo Sengjin yang suaranya parau.
"Nah, Kwee Seng! Jangan dikira aku tidak tahu akan riwayatmu yang busuk itu! Sekali lagi kutekankan, engkau tidak berhak menentukan perjodohan Eng-jin! Mau enaknya saja engkau ini! Sekarang pun, apa tanda setiamu terhadap isteri? Isteri terbunuh, musuh berkeliaran, dan kau enak-enak disini. Inikah yang disebut orang gagah?"
"Kong Lo Sengjin. Kau pergilah," jawab gurunya, suaranya mengandung duka dan marah. "Tentang anakku, tak boleh orang lain turut campur, engkau sendiri pun tidak boleh! Soal membalas, tentu saja akan kulakukan. Kau lihat saja, Kim-mo Taisu takkan berhenti sebelum semua musuh terbasmi habis!"
Kakek lumpuh itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, inilah baru ucapan seorang pendekar sejati, seorang patriot sejati! Karena isterimu meninggal, engkau bukan keponakanku lagi, Kim-mo Taisu, melainkan seorang sahabatku, sahabat seperjuangan. Ha-ha-ha!"
"Sayang sekali bukan begitu, Kong Lo Sengjin! Jalan kita terpisah, biar pun musuh-musuh kita sama. Nah, kau pergilah!"
Sambil terbahak-bahak Kong Lo Sengjin berkelebat pergi di atas sepasang tongkatnya. Eng Eng tersedu dan berlari menghampiri ayahnya yang memeluknya dan membiarkan gadis itu menangis.
Bu Song tak berani bergerak. Untung pada waktu itu cuaca sudah mulai gelap sehingga kedua orang ayah dan anak itu agaknya tidak melihatnya. Ia terheran-heran dan bingung. Apakah yang terjadi? Ia merasa menyesal mengapa tadi tidak mengejar Eng Eng sehingga kini agaknya ia terlambat datang dan tidak tahu apa yang terjadi sebelum ia datang.
Apa sesungguhnya yang terjadi? Hanyalah perbantahan antara Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin, namun perbantahan yang isinya menghancurkan hati Eng Eng yang kebetulan datang dan mendengar sambil bersembunyi karena ia takut melihat ayahnya bicara keras dengan paman ibunya yang sejak dahulu menimbulkan rasa takut di hatinya. Mula-mula ia mendengar ayahnya membentak keras....
"Tidak! Urusan jodoh anakku adalah di tanganku, tiada orang lain boleh mencampurinya! Akulah yang berhak menentukan, karena bukankah aku ayahnya?"
Kong Lo Sengjin tertawa mengejek.
"Kwee Seng, berani kau membuka mulut besar setelah isterimu meninggal? Kau kira aku tidak tahu betapa kau dahulu meninggalkan Gin Lin karena kau kira dia nenek-nenek? Betapa kau meninggalkan dia menderita seorang diri, mengandung dan melahirkan Eng Eng karena perbuatanmu? Tak ingatkah engkau bahwa akibat perbuatanmu yang hina itu Gin Lin menjadi wanita ternoda dan Eng Eng menjadi anak tanpa ayah, anak yang lahir dari perhubungan gelap? Dan akulah orangnya yang mengangkat Gin Lin dan anaknya dari sengsara. Setelah Eng Eng besar, setelah Gin Lin ternyata seorang gadis cantik, baru kau muncul dan mengaku sebagai suami Gin Lin, sebagai ayah Eng Eng! Huh, tak bermalu! Kini Gin Lin dibunuh orang, engkau enak-enak saja, sebaliknya kau mengukuhi hakmu sebagai ayah Eng Eng."
"Kong Lo Sengjin, tutup mulutmu! Kalau tidak, jangan sesalkan kalau aku terpaksa melawanmu!" Kim-mo Taisu membentak marah.
"Aha, kau kira aku takut? Kau kira engkau gagah? Kegagahanmu untuk melawan Paman Gin Lin karena aku tahu rahasiamu? Ha-ha-ha! Bukannya mencari musuh-musuh Gin Lin, sebaliknya engkau malah hendak melawan aku! Boleh, engkau boleh menjadi musuhku, akan tetapi sekali-kali engkau tidak boleh mengaku sebagai ayah Eng Eng! Gin Lin hanyalah kekasihmu barangkali, akan tetapi bukan isterimu. Bilakah engkau menikah dengan keponakanku itu? Siapa saksinya? Ha-ha-ha!"
"Diam!!" Kim-mo Taisu membentak lagi. "Kong Lo Sengjin, kuminta kepadamu, jangan ulangi semua itu. Baiklah, kuakui bahwa memang aku telah meningalkan Gin Lin di Neraka Bumi, akan tetapi aku tidak mengira bahwa dia telah mengandung! Dan aku telah memperbaiki semua kesalahan, dan aku berjanji pula akan membasmi musuh-musuhnya."
"Ha-ha-ha! Betulkah itu? Kau berani menghadapi Tok-siauw-kwi?" Kong Lo Sengjin mendesak. "Aku pun tahu bahwa cintamu bukan kepada Gin Lin melainkan kepada siluman betina itulah. Pat-jiu Sin-ong sudah menceritakan semuanya kepadaku! Jenderal Kam Si Ek sudah menceritakan semuanya kepadaku! Ha-ha-ha, alangkah lucunya. Engkau yang patah hati menjadi buta, Gin Lin yang menyamar nenek-nenek sekali pun engkau tubruk. Sebaliknya, Tok-siauw-kwi tanpa mempedulikan cintamu telah berpesta pora dan bermain gila, menghabiskan para bangsawan muda di Hou-han. Dia pun termasuk komplotan yang memusuhi aku, memusuhi Gin Lin. Dialah seorang di antara musuh-musuh yang menyebabkan kematian Gin Lin. Beranikah kau kini membalas kepadanya?"
Kim-mo Taisu merasa kepalanya berdenyut-denyut. Pening kepalanya, sakit hatinya. Akan tetapi apa hendak ia jawab? Ucapan kakek keji ini semua tepat dan benar. Terbayang di depan matanya betapa ia telah mengalami hal-hal yang amat memalukan, betapa semua itu menjadi bukti dari pada kelemahan batinnya terhadap asmara.
"Pergilah...! Aku akan menghadapinya... kau pergilah!"
Hanya demikian ia menjawab dan pada saat itulah Bu Song datang dan mendengar percakapan selanjutnya.
Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa tadi telah terjadi percakapan yang menyinggung-nyinggung ibunya. Namun, andai kata ia mendengar sekali pun, ia tidak akan tahu bahwa Tok-siauw-kwi adalah ibu kandungnya....
Bu Song masih belum berani keluar ketika melihat Eng Eng tersedu-sedu dalam pelukan ayahnya. Baru setelah mereka memasuki pondok, ia berani mendekati pondok. Malam itu Kim-mo Taisu dan Eng Eng tidak keluar lagi dan Bu Song mendengar betapa Eng Eng bergelisah di dalam kamarnya, kadang-kadang menangis. Ada pun gurunya terdengar menarik napas berulang-ulang dalam kamar semedhinya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kim-mo Taisu sudah memanggilnya menghadap.
"Bu Song," kata guru yang mukanya pucat ini. "Kau kumpulkan semua persediaan akar-akar obat yang sudah kering, juga kulit ular dan harimau yang sudah kering, pilih yang baik-baik. Kemudian kau bawa semua itu turun ke lereng barat dan temui Paman Kui Sam."
"Suhu maksudkan Kui Sam Lopek di dusun Hek-teng?"
Bu Song menegaskan. Ia mengenal Kui Sam si pedagang keliling yang banyak menceritakan tentang kota raja dan kota-kota besar lainnya dalam perantauannya.
"Betul, dia. Berikan semua barang itu kepadanya dan katakan agar ia tukar dengan lima stel pakaian sekolah untukmu, kemudian sisanya supaya dia persiapkan saja, nanti kalau aku hendak pergi, kuambil uangnya."
Berdebar jantung Bu Song. Jelas bahwa ia benar-benar akan disuruh mengikuti ujian ke kota raja! Tak enak hatinya. Akar-akar obat dan kulit ular dan harimau itu adalah simpanan mereka, hasil perburuan bertahun-tahun.
"Suhu, selain pakaian untuk teecu, apakah tidak ada lain pesanan? Pakaian untuk Eng-moi, untuk Suhu sendiri, atau lain keperluan...."
Kim-mo Taisu menggeleng kepala.
"Bu Song, ketahuilah. Aku segera akan turun gunung pergi ke kota raja, mencarikan tempat untukmu. Kau jaga adikmu baik-baik sampai aku pulang. Setelah aku pulang, kaulah yang akan pergi mengikuti ujian. Setelah itu baru kelak kita bicara tentang yang lain-lain...."
Guru ini menarik napas panjang dan Bu Song tidak berani membantah lagi. Cepat ia mengumpulkan barang-barang itu, mengikatnya menjadi satu, menggulung kulit dan menyediakan pikulan. Barang-barang itu sudah kering, tidak terlalu berat, apalagi Bu Song sudah biasa turun naik puncak sambil memikul beban. Sudah menjadi pekerjaannya sehari-hari.
Ia agak merasa heran mengapa Eng Eng belum juga muncul. Ingin ia bertemu dengan gadis itu sebelum ia pergi ke dusun Hek-teng. Akan tetapi karena matahari sudah mulai muncul dan gadis itu belum keluar, ia tidak berani menanti lebih lama lagi. Barang-barang itu lalu dipikulnya dan mulailah ia menuruni puncak menuju ke dusun Hek-teng yang letaknya di lereng gunung Min-san bagian barat.
Hari sudah siang ketika ia tiba di dusun Hek-teng dan langsung ia menuju ke rumah Kui Sam. Pedagang itu girang sekali menerima kiriman barang-barang yang baginya amat berharga dan menguntungkan itu.
Kalau barang-barang ini dibawa ke kota akan menghasilkan uang banyak. Akan tetapi pada saat Bu Song tiba di situ, Kui Sam sedang sibuk sekali dan di situ berkumpul semua penduduk dusun Hek-teng. Maka sesingkatnya saja Bu Song menyampaikan semua pesan suhunya yang diterima baik oleh Kui Sam.
"Aihh, jangan begitu, Moi-moi. Suhu sekarang sudah sadar kembali, tadi sudah keluar pondok dan menanyakanmu. Suhu mengharap-harap pulangmu, Moi-moi."
"Kau bohong!"
"Wah, kapan aku pernah membohongimu? Marilah adik manis, tuh Ayahmu menanti di sana. Sebentar lagi gelap disini dan Suhu tentu akan marah kalau aku tidak pulang bersamamu. Marilah...!" Ia menarik tubuh gadis itu berdiri.
Eng Eng seperti sengaja berlambat-lambat dan merajuk manja sehingga ia setengah diseret oleh Bu Song.
"Marilah, Moi-moi. Apakah kau masih marah kepadaku? Boleh kau memukulku agar puas hatimu!"
"Siapa mau pukul? Aku tidak marah!" akan tetapi suaranya ketus.
"Kalau tidak marah marilah kita jalan cepat-cepat, ayahmu menanti."
"Kau janji dulu!"
"Janji apa?"
"Lain kali kalau mau cium, harus bilang."
Bu Song menahan senyum.
"Mengapa?"
"Biar kubersihkan dulu pipi dan hidungku."
Bu Song tak dapat menahan lagi senyumnya. Ia menjura dan mengangkat kedua tangan di depan dada.
"Baiklah, baiklah, Nona. Dan ampunkan aku....!"
Eng Eng terkekeh ketawa lalu tubuhnya berkelebat lari turun dari puncak itu meninggalkan Bu Song. Bu Song juga tertawa dan mengejar, akan tetapi tentu saja ia tidak mampu mengejar gadis yang terlatih baik sehingga memiliki ginkang yang lumayan itu.
Karena itu Bu Song lalu tidak mengejar lagi. Ia berjalan seenaknya. Biarlah Eng Eng pulang lebih dulu, pikirnya, agar tidak canggung rasanya bagi gadis itu kalau ayahnya memberi tahu tentang perjodohan. Sambil tersenyum-senyum Bu Song melanjutkan perjalanan pulang perlahan-lahan, hatinya girang sekali dan ia mengenang gadis kekasihnya itu yang menjadi teman bermain sejak kecil.
Semenjak kecil Eng Eng memang lincah jenaka sekali, kadang-kadang amat nakal dan manja. Semenjak kecil, karena hubungan mereka seperti kakak beradik, tidak jarang ia mencium pipi Eng Eng, ciuman kanak-kanak dan setelah mereka menjadi besar, ciuman mereka itu menjadi ciuman saudara.
Akan tetapi tadi, terus terang harus ia akui bahwa ketika ia tadi mencium Eng Eng, berbeda sekali perasaannya dengan biasanya. Agaknya perasaan inilah yang mengagetkan Eng Eng. Ia tersenyum lagi, kemudian Bu Song bersenandung.
Kegembiraan hatinya membuat ia bernyanyi-nyanyi perlahan. Gurunya benar. Ia tidak hanya mencintai Eng Eng sebagai seorang kakak, malah lebih dari itu, ia mencintai Eng Eng sebagai seorang pria mencintai seorang wanita! Seperti cinta gurunya terhadap ibu gurunya!
Karena sejak kecil hidupnya selalu di puncak dekat guru dan ibu gurunya, maka kedua orang tua inilah yang ia jadikan contoh dan ia gembira sekali. Guru dan ibu gurunya selalu hidup rukun, dan ia akan senang sekali kalau dapat melanjutkan hidup bersama Eng Eng sebagai isterinya.
Ketika ia tiba dekat pondok, Bu Song melihat Eng Eng menangis. Gadis ini bersembunyi di balik pohon tak jauh dari pondok. Di depan pondok itu terdengar dua orang berbantahan dengan suara keras. Ternyata mereka itu adalah Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin, kakek lumpuh yang dikenal oleh Bu Song sebagai paman ibu gurunya yang meninggal dunia.
Melihat wajah Eng Eng pucat sekali, Bu Song kaget dan heran. Akan tetapi ia pun tidak berani muncul dan hanya melihat dari jauh. Ia hanya mendengar ucapan Kong Lo Sengjin yang suaranya parau.
"Nah, Kwee Seng! Jangan dikira aku tidak tahu akan riwayatmu yang busuk itu! Sekali lagi kutekankan, engkau tidak berhak menentukan perjodohan Eng-jin! Mau enaknya saja engkau ini! Sekarang pun, apa tanda setiamu terhadap isteri? Isteri terbunuh, musuh berkeliaran, dan kau enak-enak disini. Inikah yang disebut orang gagah?"
"Kong Lo Sengjin. Kau pergilah," jawab gurunya, suaranya mengandung duka dan marah. "Tentang anakku, tak boleh orang lain turut campur, engkau sendiri pun tidak boleh! Soal membalas, tentu saja akan kulakukan. Kau lihat saja, Kim-mo Taisu takkan berhenti sebelum semua musuh terbasmi habis!"
Kakek lumpuh itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, inilah baru ucapan seorang pendekar sejati, seorang patriot sejati! Karena isterimu meninggal, engkau bukan keponakanku lagi, Kim-mo Taisu, melainkan seorang sahabatku, sahabat seperjuangan. Ha-ha-ha!"
"Sayang sekali bukan begitu, Kong Lo Sengjin! Jalan kita terpisah, biar pun musuh-musuh kita sama. Nah, kau pergilah!"
Sambil terbahak-bahak Kong Lo Sengjin berkelebat pergi di atas sepasang tongkatnya. Eng Eng tersedu dan berlari menghampiri ayahnya yang memeluknya dan membiarkan gadis itu menangis.
Bu Song tak berani bergerak. Untung pada waktu itu cuaca sudah mulai gelap sehingga kedua orang ayah dan anak itu agaknya tidak melihatnya. Ia terheran-heran dan bingung. Apakah yang terjadi? Ia merasa menyesal mengapa tadi tidak mengejar Eng Eng sehingga kini agaknya ia terlambat datang dan tidak tahu apa yang terjadi sebelum ia datang.
Apa sesungguhnya yang terjadi? Hanyalah perbantahan antara Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin, namun perbantahan yang isinya menghancurkan hati Eng Eng yang kebetulan datang dan mendengar sambil bersembunyi karena ia takut melihat ayahnya bicara keras dengan paman ibunya yang sejak dahulu menimbulkan rasa takut di hatinya. Mula-mula ia mendengar ayahnya membentak keras....
"Tidak! Urusan jodoh anakku adalah di tanganku, tiada orang lain boleh mencampurinya! Akulah yang berhak menentukan, karena bukankah aku ayahnya?"
Kong Lo Sengjin tertawa mengejek.
"Kwee Seng, berani kau membuka mulut besar setelah isterimu meninggal? Kau kira aku tidak tahu betapa kau dahulu meninggalkan Gin Lin karena kau kira dia nenek-nenek? Betapa kau meninggalkan dia menderita seorang diri, mengandung dan melahirkan Eng Eng karena perbuatanmu? Tak ingatkah engkau bahwa akibat perbuatanmu yang hina itu Gin Lin menjadi wanita ternoda dan Eng Eng menjadi anak tanpa ayah, anak yang lahir dari perhubungan gelap? Dan akulah orangnya yang mengangkat Gin Lin dan anaknya dari sengsara. Setelah Eng Eng besar, setelah Gin Lin ternyata seorang gadis cantik, baru kau muncul dan mengaku sebagai suami Gin Lin, sebagai ayah Eng Eng! Huh, tak bermalu! Kini Gin Lin dibunuh orang, engkau enak-enak saja, sebaliknya kau mengukuhi hakmu sebagai ayah Eng Eng."
"Kong Lo Sengjin, tutup mulutmu! Kalau tidak, jangan sesalkan kalau aku terpaksa melawanmu!" Kim-mo Taisu membentak marah.
"Aha, kau kira aku takut? Kau kira engkau gagah? Kegagahanmu untuk melawan Paman Gin Lin karena aku tahu rahasiamu? Ha-ha-ha! Bukannya mencari musuh-musuh Gin Lin, sebaliknya engkau malah hendak melawan aku! Boleh, engkau boleh menjadi musuhku, akan tetapi sekali-kali engkau tidak boleh mengaku sebagai ayah Eng Eng! Gin Lin hanyalah kekasihmu barangkali, akan tetapi bukan isterimu. Bilakah engkau menikah dengan keponakanku itu? Siapa saksinya? Ha-ha-ha!"
"Diam!!" Kim-mo Taisu membentak lagi. "Kong Lo Sengjin, kuminta kepadamu, jangan ulangi semua itu. Baiklah, kuakui bahwa memang aku telah meningalkan Gin Lin di Neraka Bumi, akan tetapi aku tidak mengira bahwa dia telah mengandung! Dan aku telah memperbaiki semua kesalahan, dan aku berjanji pula akan membasmi musuh-musuhnya."
"Ha-ha-ha! Betulkah itu? Kau berani menghadapi Tok-siauw-kwi?" Kong Lo Sengjin mendesak. "Aku pun tahu bahwa cintamu bukan kepada Gin Lin melainkan kepada siluman betina itulah. Pat-jiu Sin-ong sudah menceritakan semuanya kepadaku! Jenderal Kam Si Ek sudah menceritakan semuanya kepadaku! Ha-ha-ha, alangkah lucunya. Engkau yang patah hati menjadi buta, Gin Lin yang menyamar nenek-nenek sekali pun engkau tubruk. Sebaliknya, Tok-siauw-kwi tanpa mempedulikan cintamu telah berpesta pora dan bermain gila, menghabiskan para bangsawan muda di Hou-han. Dia pun termasuk komplotan yang memusuhi aku, memusuhi Gin Lin. Dialah seorang di antara musuh-musuh yang menyebabkan kematian Gin Lin. Beranikah kau kini membalas kepadanya?"
Kim-mo Taisu merasa kepalanya berdenyut-denyut. Pening kepalanya, sakit hatinya. Akan tetapi apa hendak ia jawab? Ucapan kakek keji ini semua tepat dan benar. Terbayang di depan matanya betapa ia telah mengalami hal-hal yang amat memalukan, betapa semua itu menjadi bukti dari pada kelemahan batinnya terhadap asmara.
"Pergilah...! Aku akan menghadapinya... kau pergilah!"
Hanya demikian ia menjawab dan pada saat itulah Bu Song datang dan mendengar percakapan selanjutnya.
Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa tadi telah terjadi percakapan yang menyinggung-nyinggung ibunya. Namun, andai kata ia mendengar sekali pun, ia tidak akan tahu bahwa Tok-siauw-kwi adalah ibu kandungnya....
Bu Song masih belum berani keluar ketika melihat Eng Eng tersedu-sedu dalam pelukan ayahnya. Baru setelah mereka memasuki pondok, ia berani mendekati pondok. Malam itu Kim-mo Taisu dan Eng Eng tidak keluar lagi dan Bu Song mendengar betapa Eng Eng bergelisah di dalam kamarnya, kadang-kadang menangis. Ada pun gurunya terdengar menarik napas berulang-ulang dalam kamar semedhinya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kim-mo Taisu sudah memanggilnya menghadap.
"Bu Song," kata guru yang mukanya pucat ini. "Kau kumpulkan semua persediaan akar-akar obat yang sudah kering, juga kulit ular dan harimau yang sudah kering, pilih yang baik-baik. Kemudian kau bawa semua itu turun ke lereng barat dan temui Paman Kui Sam."
"Suhu maksudkan Kui Sam Lopek di dusun Hek-teng?"
Bu Song menegaskan. Ia mengenal Kui Sam si pedagang keliling yang banyak menceritakan tentang kota raja dan kota-kota besar lainnya dalam perantauannya.
"Betul, dia. Berikan semua barang itu kepadanya dan katakan agar ia tukar dengan lima stel pakaian sekolah untukmu, kemudian sisanya supaya dia persiapkan saja, nanti kalau aku hendak pergi, kuambil uangnya."
Berdebar jantung Bu Song. Jelas bahwa ia benar-benar akan disuruh mengikuti ujian ke kota raja! Tak enak hatinya. Akar-akar obat dan kulit ular dan harimau itu adalah simpanan mereka, hasil perburuan bertahun-tahun.
"Suhu, selain pakaian untuk teecu, apakah tidak ada lain pesanan? Pakaian untuk Eng-moi, untuk Suhu sendiri, atau lain keperluan...."
Kim-mo Taisu menggeleng kepala.
"Bu Song, ketahuilah. Aku segera akan turun gunung pergi ke kota raja, mencarikan tempat untukmu. Kau jaga adikmu baik-baik sampai aku pulang. Setelah aku pulang, kaulah yang akan pergi mengikuti ujian. Setelah itu baru kelak kita bicara tentang yang lain-lain...."
Guru ini menarik napas panjang dan Bu Song tidak berani membantah lagi. Cepat ia mengumpulkan barang-barang itu, mengikatnya menjadi satu, menggulung kulit dan menyediakan pikulan. Barang-barang itu sudah kering, tidak terlalu berat, apalagi Bu Song sudah biasa turun naik puncak sambil memikul beban. Sudah menjadi pekerjaannya sehari-hari.
Ia agak merasa heran mengapa Eng Eng belum juga muncul. Ingin ia bertemu dengan gadis itu sebelum ia pergi ke dusun Hek-teng. Akan tetapi karena matahari sudah mulai muncul dan gadis itu belum keluar, ia tidak berani menanti lebih lama lagi. Barang-barang itu lalu dipikulnya dan mulailah ia menuruni puncak menuju ke dusun Hek-teng yang letaknya di lereng gunung Min-san bagian barat.
Hari sudah siang ketika ia tiba di dusun Hek-teng dan langsung ia menuju ke rumah Kui Sam. Pedagang itu girang sekali menerima kiriman barang-barang yang baginya amat berharga dan menguntungkan itu.
Kalau barang-barang ini dibawa ke kota akan menghasilkan uang banyak. Akan tetapi pada saat Bu Song tiba di situ, Kui Sam sedang sibuk sekali dan di situ berkumpul semua penduduk dusun Hek-teng. Maka sesingkatnya saja Bu Song menyampaikan semua pesan suhunya yang diterima baik oleh Kui Sam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar