FB

FB


Ads

Selasa, 16 April 2019

Suling Emas Jilid 113

"Ibu...!!!" Ia memeluk, lalu melihat pedang yang menancap di dada ibunya. "Ibu...!! Ibu...!!! Ibuuu...!!!" Eng Eng memeluk dan terguling, pingsan di samping mayat ibunya.

Semenjak kematian isterinya, Kwee Seng atau Kim-mo Taisu berpekan-pekan selalu duduk termenung, bersemedhi di dalam kamarnya. Jarang ia keluar, jarang pula ia suka makan hidangan yang disediakan puterinya. Puncak Min-san seperti kosong, sunyi dan gelap, seakan-akan selalu tertutup mendung kedukaan.

Biar pun di dalam hatinya Kim-mo Taisu tidak pernah mencinta isterinya seperti seorang pria mencinta wanita, namun ia mendapatkan seorang isteri yang berbudi dalam diri Gin Lin. Seorang teman hidup yang menyenangkan dan ia merasa amat iba kepada wanita itu.

Kini ia merasa menyesal mengapa hatinya tak pernah menjatuhkan cinta kasihnya kepada Gin Lin, wanita yang demikian baiknya, melainkan masih saja terikat kepada Lu Sian. Ia merasa menyesal dan berdosa kepada isterinya. Ia harus membalas dendam. Biar pun pembunuh isterinya telah ia bunuh pula, namun ia harus mencari orang-orang yang memusuhi Kong Lo Sengjin dan isterinya.

Keadaan yang merupakan perubahan besar ini amat mempengaruhi pula jiwa Kwee Eng. Gadis ini menjadi sedih melihat ayahnya yang selalu termenung dan berduka seperti seorang yang kehilangan semangat. Sore hari itu Kwee Seng baru keluar dari kamarnya, akan tetapi ia tidak melihat puterinya, hanya melihat Bu Song yang sedang duduk di depan pondok membaca kitab.

Melihat gurunya keluar, Bu Song cepat menghentikan bacaannya dan segera memberi hormat. Suaranya terharu ketika ia berkata,

"Maafkan teecu yang berlancang mulut, Suhu. Akan tetapi teecu ingat betapa tidak baiknya membiarkan diri hanyut diseret dan ditenggelamkan perasaan yang dibiarkan berlarut-larut tanpa dilawan. Bukankah akan berubah menjadi racun yang melemahkan batin?"

Sejenak Kim-mo Taisu memandang muridnya yang berdiri dengan sikap hormat dan yang menundukkan muka. Ia tersenyum pahit dan menjawab.

"Terima kasih, Bu Song. Aku tidak lupa akan kenyataan itu. Akan tetapi... ah, betapa lemahnya manusia. Dan engkau tidak tahu pula betapa hebat penderitaan batinku selama itu. Akan tetapi, bukanlah peristiwa ini saja yang membuat hatiku jatuh, muridku, melainkan hal-hal yang mendatanglah yang membuat aku prihatin. Aku harus pergi, akan tetapi betapa aku dapat meninggalkan Eng Eng seorang diri? Bu Song, berjanjilah engkau bahwa engkau bersedia melindungi adikmu Eng Eng selamanya."

Pemuda itu mengangkat mukanya yang membayangkan kesungguhan hatinya, memandang gurunya dengan sinar mata yang jujur.

"Teecu berjanji untuk melindungi Eng-moi selama teecu hidup!"

Tergetar jantung Kwee Seng menatap wajah muridnya ini. Terbayang kekerasan hati Lu Sian pada wajah itu dan ia menaruh kepercayaan penuh kepada pemuda ini.

"Bu Song, apakah kau mencinta Eng Eng?"

Wajah itu tidak berubah dan sinar matanya masih penuh kejujuran.
"Tentu saja, Suhu. Teecu mencinta Adik Eng Eng."

"Mencinta seperti adik kandung?"

"Benar, Suhu."

"Ah, aku tidak ingin kau mencintanya seperti adik kandung."

Bu Song terkejut.
"Maksud Suhu...?"

Kim-mo Taisu memegang pundak muridnya dengan pandang mata tajam.
"Aku ingin kau mencintanya seperti seorang pria mencinta wanita! Seperti seorang laki-laki mencinta calon isterinya!"

Seketika wajah pemuda itu menjadi merah sekali dan ia menundukkan mukanya, menjawab gagap,

"Ah, ini... ini..."






“Jawablah sejujurnya, Bu Song. Dapatkah kau mencintanya seperti itu...?"

Dengan hati perih Kim-mo Taisu bertanya, karena ia tidak ingin puterinya mendapatkan suami yang baik akan tetapi tidak mencintanya, seperti apa yang dialami mendiang ibunya.

Bu Song mengangguk.
"Memang teecu... mencintanya seperti itu, Suhu... hanya tentu saja tadinya tak berani mengaku...."

"Bagus! Legalah hatiku. Bu Song. Kalau begitu kau tentu bersedia menjadi suami Eng Eng, bukan?"

Pemuda yang memiliki hati yang kuat itu telah dapat membebaskan diri dari rasa malu dan canggung. Kini ia mengangkat muka memandang gurunya dan menjawab dengan sungguh-sungguh,

"Suhu, teecu menghaturkan beribu terima kasih kepada Suhu yang tidak saja telah mengangkat teecu dari lumpur kehinaan, mendidik teecu, juga kini menganugerahi teecu menjadi calon mantu. Hanya teecu sendiri dan Thian yang mengetahui betapa besar rasa terima kasih itu. Tentu saja teecu bersedia sehidup semati dengan Eng-moi. Akan tetapi, Suhu. Bagaimana teecu berani lancang menjadi suami Eng-moi kalau keadaan teecu seperti ini? Teecu sebatang kara, miskin dan tidak bekerja. Sungguh teecu akan menyesal seumur hidup kalau kelak hanya akan menyia-nyiakan harapan Suhu dan menyeret Eng-moi dalam kehidupan miskin sengsara."

Kim-mo Taisu menepuk-nepuk pundak Bu Song.
"Hemm, anak baik. Kau mempunyai cita-cita apakah? Katakan padaku."

"Semenjak kecil teecu mempelajari sastra. Tentu pelajaran itu akan menjadi sia-sia belaka kalau tidak teecu pergunakan. Teecu ingin sekali mengikuti ujian di kota raja...."

Kim-mo Taisu mengerutkan kening. Teringat ia akan pengalamannya sendiri ketika ia masih muda. Ia pun dahulu bercita-cita demikian, namun cita-cita itu kandas karena pada masa itu tak mungkin orang dapat lulus ujian kalau tidak mampu memberi uang suapan yang besar kepada para petugas. Oleh karena itu ia dapat memaklumi isi hati calon mantunya.

"Baiklah, Bu Song. Perjodohanmu dengan Eng Eng tidak tergesa-gesa. Cukup bagiku asal kalian sudah bertunangan. Kau boleh menempuh ujian di kota raja dan setelah itu, lulus atau gagal, kau harus melangsungkan pernikahanmu dengan Eng Eng. Biar aku sendiri yang akan menyelidiki ke kota raja. Mudah-mudahan sekarang sudah ada perubahan dan mudah-mudahan Kerajaan Cou Muda yang baru ini tidak lagi mempraktekkan keburukan jaman lama Dinasti Tang. Eh, di mana Eng Eng?"

Bu Song menghela napas.
"Sejak Ibu Guru meninggal, karena melihat Suhu setiap hari menutup diri dan tenggelam berduka cita, Eng-moi pun turut bersusah hati sepanjang hari. Kalau Suhu tidak mau makan, Eng-moi pun tidak suka makan. Kalau Suhu sudah tidur, barulah Eng-moi mau mengaso. Kerjanya hanya menangis setiap hari dan teecu sampai bingung bagaimana harus menghiburnya."

Naik sedu-sedan di tenggorokan Kim-mo Taisu.
"Ahhh, salahku... salahku... mengapa aku selemah ini, Bu Song." Ia memandang wajah muridnya yang agak kurus dan pucat. "Kau pun tentu ikut pula kurang makan dan kurang tidur! Jangan bohong."

"Melihat keadaan Suhu dan Eng Moi, bagaimana teecu bisa senang? Semua akibat sambung menyambung. Subo meninggal dan Suhu berduka. Suhu berduka dan Eng-moi bersusah. Eng-moi bersusah, teecu bingung merana."

"Ah, memang aku bersalah, Bu Song. Lekas kau susul Adikmu dan suruh pulang!"

Bu Song girang hatinya. Bukan hanya girang karena berita tentang pertunangannya dengan Eng Eng atau tentang maksud suhunya menyuruh dia mengikuti ujian di kota raja, melainkan terutama sekali girang karena perubahan suhunya ini tentu akan mengubah pula keadaan Eng Eng. Ia melangkah lebar dan berjalan cepat mendaki sebuah puncak. Ia yakin tentu Eng Eng berada disana.

Bu Song tidak tahu betapa suhunya mengawasi dari belakang, lalu menarik napas panjang dan berkata seorang diri,

"Anak baik sekali! Mutiara belum tergosok. Kelak ia akan menjadi pendekar yang sukar dicari bandingannya. Akan tetapi bagaimana dapat menggerakkan hatinya untuk menjadi pendekar? Kematian isteriku tentu lebih membuat ia benci akan ilmu silat. Jelas tampak di mukanya betapa ia menyalahkan ilmu silat dalam peristiwa ini!"

Tepat seperti dugaan Bu Song, ia mendapatkan Eng Eng duduk berlutut di atas tanah di puncak yang sunyi, menangis sesenggukan. Bu Song berhenti dan memandang dengan hati perih. Kasihan sekali, pikirnya. Akan tetapi ketika ia melangkah mendekat, tidak seperti biasanya jantungnya berdebar aneh. Rasa iba hatinya bercampur dengan rasa yang aneh, yang membuat jantungnya berdebar dan mukanya terasa panas.

"Eng-moi...!" ia memanggil lirih.

Sejenak isak itu terhenti dan Eng Eng menoleh, memandang kepada Bu Song dengan mata basah. Kemudian ia menangis lagi sambil berkata,

"Koko, mau apa kau menyusulku disini? Tinggalkanlah aku seorang diri...," tangisnya makin menjadi.

Bu Song maju mendekat, berlutut dan menyentuh pundak gadis itu.
"Eng-moi, mengapa kau menyiksa diri seperti itu? Menyerahlah kepada keadaan, Moi-moi. Ahh... apakah yang kekal di dunia ini? Sewaktu-waktu maut pasti merenggut, memisahkan kita dari orang yang kita sayang. Bahkan setiap saat dapat saja maut merenggut nyawa kita sendiri. Moi-moi, kuatkanlah hatimu, tenangkan batinmu. Ah, sakit rasa hatiku melihatmu sehari-hari menangis begini...."

"Song-koko...!"

Gadis itu makin keras menangis dan menutupkan muka pada dada pemuda yang berlutut di depannya.

Bu Song mendekap kepala itu, jantungnya berdebar penuh kasih sayang. Setelah tangis gadis itu berkurang, ia perlahan mengangkat muka itu dari dadanya, memegang kedua pipi gadis itu dan memandang mukanya. Sepasang mata jeli yang memerah, hidung kecil mancung yang ujungnya merah dan pipi yang basah air mata, pipi yang agak pucat dan kurus.

"Moi-moi, kau kehilangan Ibumu, akan tetapi disini masih ada aku, masih ada Ayahmu. Aku akan menjagamu, akan menemanimu selamanya, Moi-moi."

Air mata bercucuran keluar dari mata Eng Eng dan gadis ini terisak sambil memejamkan matanya. Tak tahan Bu Song menyaksikan ini dan ia menundukkan mukanya. Bibirnya menyapu ujung hidung, mengecap air mata dari pipi.

"Ah-hu-hu-hu...!" Eng Eng menangis lagi dan mendekapkan muka pada dada yang bidang itu.

Bu Song menghela napas dan mengelus-ngelus rambut yang hitam halus. Tiba-tiba Eng Eng mendorongkan kedua tangannya pada dada Bu Song. Biar pun tangan gadis itu kecil halus, namun ia memiliki tenaga lweekang, maka tubuh Bu Song terjengkang ke belakang!

Pemuda itu kaget, cepat merayap bangun dan memandang. Gadis itu masih duduk di tanah, air matanya masih bertitik akan tetapi tidak menangis lagi, mulutnya cemberut dan ia menegur, nada suaranya marah.

"Song-koko... apa yang kau lakukan tadi...??"

"...apa...? Mengapa...? Ah, aku... menciummu... aku kasihan..."

"Engkau nakal!"

"Moi-moi, bukan baru sekarang aku menciummu!" Bu Song memperotes.

"Memang sejak kita masih kecil kau suka mencium, sebab kau memang tukang cium! Akan tetapi, kau biasa hanya mencium pipi. Kenapa tadi kau... kau mencium hidung...??" Mata itu tidak menangis lagi, kini memandang marah.

"Ah, maaf, Moi-moi. Aku tidak... tidak sengaja... aku... aku...."

Aneh sekali. Terbayang senyum di bibir merah itu.
"Sudahlah! Aku bukan marah karena kau mencium, melainkan... ah, hidung dan pipiku kotor, aku sedang menangis, penuh air mata, mengapa kau tidak menunggu mukaku bersih kalau mencium?"

Bu Song tercengang. Sungguh masih seperti kanak-kanak! Akan tetapi memang sejak kecil Eng Eng tinggal di puncak gunung, jarang bergaul dengan orang banyak. Dialah satu-satunya kawan bermain, seperti kakak dan adik. Eng Eng masih kekanak-kanakan. Akan tetapi ayahnya sudah bicara tentang jodoh!

"Eng-moi, mari kita pulang." Dia membungkuk dan menyentuh pundak gadis itu. "Hari sudah hampir petang."






Tidak ada komentar:

Posting Komentar