FB

FB


Ads

Selasa, 16 April 2019

Suling Emas Jilid 112

"Ah, kiranya Paman yang datang. Maafkan kami tidak dapat menyambut lebih dulu karena tidak tahu," kata Kwee Seng yang sudah bangkit berdiri dan memberi hormat.

Sejenak kakek itu tidak menjawab, hanya berdiri menatap tajam kepada suami isteri itu. Kemudian dia berkata,

"Kim-mo Taisu Kwee Seng, aku ingin bicara empat mata denganmu."

"Tentu saja boleh. Silakan Paman masuk ke pondok kami yang buruk...."

"Tidak disitu, Kwee Seng. Mari kau ikut aku menuruni puncak. Di lereng sunyi sana kita bicara. Waktu hanya sedikit, musuh-musuh mengejar-ngejarku, aku perlu... bantuanmu, suami keponakanku!"

"Paman! Apakah yang terjadi...?" Gin Lin berseru kaget.

"Diamlah kau, Lin-ji. Tidak perlu ribut-ribut, hanya perlu kau tahu bahwa Kerajaan Han Muda runtuh pula. Masih untung Pamanmu ini tidak tewas. Relakah kau kalau suamimu membantuku?"

"Tentu saja, Paman! Kwee-koko, kau pergilah ke lereng bersama Paman. Kasihanilah, bantulah...."

Ucapan nyonya ini disertai pandang mata penuh permohonan, juga suaranya menyembunyikan isak tangisnya. Agaknya ia sedih sekali mendengar bahwa pamannya kembali sudah jatuh!

"Baiklah, Lin-moi. Mari, Paman!"

Kedua orang sakti itu berkelebat cepat menuruni puncak. Di sebuah lereng yang sunyi Kong Lo Sengjin berhenti, lalu menjatuhkan diri duduk bersila dengan sepasang kakinya yang lumpuh sambil berkata,

"Kim-mo Taisu, kali ini aku benar-benar membutuhkan bantuanmu."

"Hemm, bantuan bagaimana yang Paman maksudkan?"

"Duduklah disini. Aku sengaja mengajakmu kesini agar lebih enak kita bicara secara terbuka, jauh dari wanita yang tentu akan mengganggu saja."

Di dalam hatinya Kwee Seng tidak setuju dengan pendapat ini, akan tetapi ia tidak membantah, lalu duduk di depan kakek itu. Kakek yang sudah amat tua, akan tetapi dari pandang matanya jelas tampak semangat bernyala-nyala. Setelah melihat Kwee Seng duduk di depannya, kakek ini berkata, suaranya lambat perlahan.

"Engkau tentu telah mendengar dari isterimu betapa mala-petaka hebat menimpa Kerajaan Tang berikut semua bangsawan dan keluarga kaisar. Dan tentu kau pun sudah tahu betapa aku kehilangan tenaga kedua kakiku dalam perang itu dan kemudian betapa aku mengorbankan seluruh hidupku untuk berusaha membangun kembali Kerajaan Tang yang telah dirobohkan para pemberontak."

Kwee Seng mengangguk.

"Bagaimana pendapatmu tentang semua usahaku itu?"

"Sudah sepatutnya mengingat bahwa Paman adalah seorang bekas pangeran dan Raja Muda Tang yang tentu harus bersetia kepada Kerajaan Tang," jawab Kwee Seng sejujurnya.

"Bukan itu saja. Akan tetapi juga mengingat akan mala-petaka yang menimpa keluargaku, keluarga Gin Lin isterimu. Jangan mengira bahwa aku aktif bergerak untuk mencari kedudukan. Sama sekali bukan. Terus terang kukatakan bahwa ketika Kerajaan Tang Muda berhasil meruntuhkan Kerajaan Liang, aku lalu mengundurkan diri ke pulau kosong dimana aku melatih dua orang muridku. Baru setelah Kerajaan Tang Muda roboh, aku keluar lagi dari pulau dan berusaha membangun kembali Kerajaan Tang. Akan tetapi, banyak pengikut Tang sudah tewas sehingga terpaksa dengan mengadakan persekutuan dengan golongan lain, akhirnya kami berhasil meruntuhkan Kerajaan Cin dan membangun Kerajaan Han Muda. Namun, begitu aku kembali ke pulau mengundurkan diri, sekarang Kerajaan Han telah runtuh kembali, hanya berdiri selama empat tahun saja (947-951)!"






"Hemm, lalu sekarang apa yang dapat kulakukan untuk membantu Paman?"

"Sekarang sudah runtuh semangatku untuk membangun kembali Kerajaan Tang. Sudah habis sekarang keturunan kaisar, dan sudah musnah pula pengikut-pengikutnya. Apa artinya kalau tinggal aku seorang? Betapa pun juga, aku harus membalas dendam kepada tokoh-tokoh yang dahulu telah meruntuhkan Kerajaan Tang, juga tokoh-tokoh yang sekarang telah merobohkan Han Muda. Akan tetapi aku hanya sendiri, dan musuh-musuh itu begitu banyak. Oleh karena itulah, Kwee Seng, demi sakit hati dan dendam isterimu, maukah kau membantuku?"

"Maaf, Paman. Menurut pendapatku, keluarga isteriku terbasmi dalam keadaan perang dan dia sendiri pun tidak dapat mengatakan dengan jelas siapa-siapa orangnya yang melakukan pembasmian. Dalam perang tentu keadaan kacau-balau dan seluruh barisan pihak musuh merupakan lawan. Tak mungkin saya dan isteri saya membalas secara membabi buta, karena bukankah tentara pihak musuh itu pun hanya memenuhi tugas mereka? Tidak ada dendam pribadi dalam urusan perang. Ada pun tentang membantu Paman, agaknya sudah sepatutnya aku membantu kalau Paman terancam bahaya. Akan tetapi, kulihat Paman tidak terancam siapa-siapa pada saat ini. Kalau Paman mempunyai musuh-musuh pribadi lalu minta bantuanku, tentu saja harus kulihat dulu siapakah mereka itu. Kalau mereka terdiri dari golongan jahat, tentu aku tidak akan segan-segan membantumu."

Kong Lo Sengjin menampar batu di dekatnya sehingga hancurlah batu.
"Heh! Sudah kuduga kau akan banyak membantah! Banyak sekali musuh-musuhku dan sekarang pun aku sedang dikejar-kejar mereka. Di antara mereka adalah Ban-pi Lo-cia, Hek-giam-lo tokoh setan baru yang mewakili Khitan, Pouw-kai-ong si Raja Pengemis baru yang jahat, Ma Thai Kun orang Beng-kauw yang murtad, dan terakhir ada pula Tok-siauw-kwi...."

"Ahh...?" tanpa sadar Kwee Seng berseru kaget.

"Hemm, kau kaget mendengar nama Tok-siauw-kwi? Benar, dia adalah puteri Beng-kauwcu yang dulu menjadi tunanganmu!" kata Kong Lo Sengjin sambil memandang tajam.

Diam-diam Kwee Seng mengeluh. Kiranya peristiwa dua puluh tahunan yang lalu itu telah diketahui pula oleh kakek sakti ini.

"Mereka adalah orang-orang jahat, akan tetapi tidak mempunyai urusan pribadi dengan saya, Paman. Pernah saya mendengar nama mereka yang terkenal kejam, akan tetapi kiranya hanya Ban-pi Lo-cia seorang yang menimbulkan dendam di hati saya karena dialah pembunuh keponakanmu Khu Kim Lin!"

"Hah, segala urusan wanita! Bagiku yang terpenting adalah karena mereka ikut bersekongkol merobohkan Kerajaan Han sehingga kini berdiri kerajaan yang menamakan dirinya Kerajaan Cou! Pendeknya, kau membantuku atau tidak menghadapi mereka?"

"Kalau Paman diancam dan diserang, saya tentu akan membela Paman. Akan tetapi mencari mereka untuk memusuhi? Benar-benar kurang cocok dengan...."

Pada saat itu terdengar pekik dari puncak. Samar-samar terdengar suara Khu Gin Lin menjerit memanggil suaminya disertai pekik minta tolong.

"Celaka....!"

Bagaikan kilat menyambar, tubuh Kwee Seng sudah berkelebat dan seperti terbang saja ia berlari ke puncak.

Kakek lumpuh itu pun bangkit dan menggunakan sepasang tongkatnya berlari mengejar, akan tetapi wajahnya sama sekali tidak membayangkan kekhawatiran, bahkan mulutnya tersenyum dingin.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Kwee Seng ketika ia tiba di puncak. Dari jarak jauh ia melihat isterinya, Khu Gin Lin, sedang bertanding seru melawan seorang laki-laki yang berjenggot pendek, berambut panjang seperti saikong dan memegang sebatang pedang.

Isterinya pun berpedang, akan tetapi pedang di tangan isterinya itu tinggal sepotong, agaknya patah ketika bertanding. Laki-laki lawan isterinya itu hebat ilmu pedangnya, dan isterinya yang memang kurang berlatih terdesak hebat sekali dan berada dalam keadaan bahaya.

"Lim-moi... lari...!"

Teriak Kwee Seng dengan wajah pucat karena ia maklum bahwa setiap detik nyawa isterinya terancam bahaya.

Ujung pedang lawan itu sudah mematahkan semua jalan ke luar dan sudah mengancam hebat. Mendengar teriakan ini, Gin Lin timbul semangatnya dan memutar pedang buntungnya, namun sekali tangkis pedangnya terlepas. Kwee Seng meloncat dan mengeluarkan seruan keras sekali seperti seekor garuda memekik, namun terlambat. Gerakan pedang laki-laki itu amat cepatnya ketika menusuk dan....

"Blessss...!"

Ujung pedangnya amblas ke dalam dada kiri Khu Gin Lin! Hanya beberapa detik Kwee Seng terlambat.

Melihat hal mengerikan ini Kwee Seng mengerang. Tubuhnya mencelat maju dan tangan kirinya menampar.

"Krakkk!!!"

Hebat bukan main tamparan ini. Tepat mengenai kepala penyerang yang masih memegangi gagang pedang yang menancap di dada kiri Gin Lin. Seketika pecah kepala itu, kedua biji matanya terloncat ke luar dan otaknya muncrat bercampur darah, tubuhnya terkulai tak bernyawa lagi.

Dengan gerakan aneh Kwee Seng menyambar tubuh isterinya yang terhuyung-huyung. Pedang itu masih menancap di dada kiri. Tak berani Kwee Seng mencabutnya, karena ia maklum bahwa hal itu berbahaya sekali. Dengan pedang menancap, berarti darah masih tertahan sementara. Ia memeluk dengan hati hancur karena mendapat kenyataan bahwa nyawa isterinya tak mungkin dapat tertolong lagi. Pedang itu menancap terlalu dalam, hampir menembus dada!

"Lin-moi... oh, Lin-moi...!" Ia mendekap dan air mata turun bertitik membasahi pipinya.

Gin Lin membuka matanya dan tersenyum.
"Kwee-koko... aku puas... akhirnya aku dapat mengorbankan nyawa untuk berbakti kepada orang tua dan keluarga, untuk Kerajaan Tang...! Aku puas... dia... dia... sengaja datang mencari aku... begitu aku mengakui namaku, dia... terus menyerang...." Ia terbatuk payah, lalu merangkul leher suaminya, mencium pipinya. "Koko... jaga baik-baik anak kita... kawinkan dengan Bu... Song..." tiba-tiba mata itu terpejam, leher itu lemas dan nyawa Gin Lin meninggalkan tubuhnya.

"Lin-moi...!!"

Kwee Seng mendekap muka isterinya itu ke dada. Sejenak ia memejamkan mata, menahan napas. Kemudian ia sadar kembali, perlahan mengangkat tubuh isterinya, membawanya masuk ke dalam pondok. Ketika ia keluar lagi dengan muka pucat, ia melihat Kong Lo Sengjin ikut mengamuk, menusuk-nusuk mayat laki-laki itu dengan kedua tongkatnya sampai hancur lebur!

"Dia adalah seorang diantara musuh-musuhku! Lihat ini, di sakunya ada surat tantangan Ban-pi Lo-cia ditujukan kepadaku! Aku mengenal dia ini seorang jagoan di pantai timur yang ikut bersekutu menjatuhkan Kerajaan Han!"

Kwee Seng tidak memperhatikan ucapan itu, akan tetapi ia menerima surat itu dan membacanya. Sebuah surat tantangan! Ditanda-tangani oleh Ban-pi Lo-cia yang isinya menantang Kong Lo Sengjin datang ke muara Sungai Kuning di Laut Po-hai.

"Aku akan mencari mereka!" kata Kong Lo Sengjin dengan suara geram.

Seperti dalam mimpi Kwee Seng menggelengkan kepalanya.
"Harap Paman berangkat lebih dulu. Aku tidak berjanji apa-apa, akan tetapi kalau Paman bertemu dengan mereka, katakanlah bahwa Kim-mo Taisu akan menemui mereka, biar pun mereka bersembunyi dalam neraka sekali pun!"

Kong Lo Sengjin mengangguk-angguk.
"Begitu pun baik, akan tetapi bulan pertama tahun depan mereka berkumpul di lembah Sungai Kuning di Laut Po-hai. Nah, sampai ketemu lagi!"

Kakek itu tanpa mempedulikan kematian keponakannya, lalu berkelebat dan pergi dari puncak Min-san.

Kwee Seng memasuki pondok, berlutut di samping jenazah isterinya, menahan getaran hatinya ketika mendengar suara Bu Song dan Eng Eng di luar pondok. Terdengar Eng Eng berseru tertahan dan Bu Song juga kaget. Agaknya mereka menemukan mayat yang hancur di luar pondok, pikir Kwee Seng seperti dalam mimpi. Lalu kedua orang muda itu berlari-lari, membuka pintu pondok dan....

"Ayah...?!"

Eng Eng lari mendekati ayahnya yang duduk bersila seperti patung, kemudian ia memandang ke atas pembaringan depan ayahnya.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar