FB

FB


Ads

Selasa, 16 April 2019

Suling Emas Jilid 111

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Kwee Seng dan keluarganya. Seperti telah diceritakan di bagian depan, perubahan besar terjadi dalam kehidupan Kwee Seng. Tadinya ia seakan-akan telah bosan hidup, tidak peduli lagi akan dirinya dan hidup sebagai seorang jembel tanpa sedikit pun memelihara diri.

Ia telah menjadi korban asmara ketika gagal dalam cinta dengan Liu Lu Sian, kemudian hatinya terpukul hebat pula ketika ia mengalami hubungan cinta yang luar biasa dengan nenek Neraka Bumi. Semua ini menambah hebat luka di hatinya yang tadinya sudah tergurat oleh peristiwa pengalamannya dengan Ang-siauw-hwa.

Memang, semenjak keluar dari Neraka Bumi, ilmu kepandaian Kwee Seng meningkat tinggi, akan tetapi juga keadaan dirinya berubah sama sekali. Kalau dahulu ia merupakan seorang pemuda terpelajar yang halus dan selalu berpakaian rapi bersih, kini ia berubah menjadi seorang yang tidak peduli dan keadaannya seperti jembel. Tidak ada lagi bekas-bekasnya seorang pelajar yang sopan dan bersih, sehingga ia di sana-sini disangka seorang gila.

Akan tetapi keadaan hidupnya berubah semenjak pertemuannya kembali dengan Khu Gin Lin, saudara kembar Ang-siauw-hwa yang ternyata adalah seorang wanita cantik yang dahulu menyamar sebagai nenek-nenek tua di Neraka Bumi. Timbul pula kegairahan dan kegembiraan hidupnya.

Apalagi karena ‘nenek’ yang ternyata seorang wanita muda cantik itu datang bersama seorang anak perempuan, anaknya! Ia telah menjadi seorang ayah dan ternyata dia dahulu sama sekali tidak melakukan hubungan gila dengan seorang nenek-nenek tua, melainkan dengan seorang gadis jelita, bahkan saudara kembar Ang-siauw-hwa yang merupakan wanita pertama yang menggugah cinta kasihnya.

Kegembiraan ini ditambah pula dengan kenyataan tentang diri Bu Song. Sama sekali tidak pernah ia sangka bahwa muridnya yang menimbulkan sayangnya ini ternyata adalah putera Liu Lu Sian! Dua hal yang datang berbareng ini benar-benar telah mengobati luka-luka di hati Kwee Seng.

Seperti telah kita ketahui, Kwee Seng membawa isteri, puteri dan juga muridnya ke gunung Min-san, dimana ia hidup berbahagia dengan mereka. Khu Gin Lin adalah seorang isteri yang mencinta suami, ada pun Kwee Eng atau biasa dipanggil Eng Eng adalah seorang anak perempuan yang lincah gembira, merupakan matahari ke dua di puncak Min-san itu. Bu Song sebagai murid juga amat penurut dan taat sehingga makin membahagiakan hati Kwee Seng.

Ada pun Bu Song dan Eng Eng yang selalu berdua di puncak gunung itu semenjak kecil, menjadi amat rukun. Ketika masih kecil mereka itu seakan-akan kakak beradik, akan tetapi makin besar makin berakarlah rasa kasih sayang mereka satu kepada yang lain sehingga tidaklah aneh kalau menjelang dewasa, daya tarik gadis itu menjatuhkan hati Bu Song sehingga diam-diam ia mencinta Eng Eng yang kini telah menjadi seorang gadis remaja berusia enam belas tahun yang cantik jelita, lincah jenaka dan lihai ilmu silatnya.

Ada pun Bu Song telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh satu tahun yang bertubuh tinggi tegap, berwajah tampan serius, wataknya pendiam, dan pandai dalam ilmu surat. Tanpa ia sadari, di dalam tubuhnya telah terdapat dasar-dasar ilmu silat. Bu Song telah memiliki tenaga dan hawa sakti di dalam tubuhnya, hanya saja ia tidak tahu bagaimana harus mempergunakannya!

Pada suatu pagi yang indah di puncak gunung Min-san, Kwee Seng bersama isterinya duduk di depan pondok, menikmati hawa pagi pegunungan yang bersih sejuk dan menyehatkan.

Sinar matahari pagi dari timur mulai mengusir halimun pagi yang tebal. Dalam usianya yang empat puluh tahun lebih, Kwee Seng belum kelihatan tua benar. Wajahnya masih segar berseri, tubuhnya makin tegap dan agak gemuk. Hanya jenggot dan kumisnya yang tipis itu dipeliharanya dan membuat ia tampak lebih tua dari pada dahulu.

Ada pun isterinya yang amat cinta kepadanya juga belum tampak tua benar. Tubuhnya masih ramping, senyumnya masih segar dan sepasang matanya masih bening seperti bintang. Ketika mereka duduk di depan pondok itu, tiba-tiba terdengar suara ketawa Eng Eng yang nyaring gembira, lalu tampak gadis itu berlari-lari mendekati puncak sambil berseru.

"Koko, kayu bakar kita telah habis. Hayo berlomba mencari kayu!"

Tubuhnya yang kecil ramping itu berkelebat cepat, bajunya yang berwarna merah berkibar-kibar ketika ia lari sambil menengok ke belakang, wajahnya cantik berseri-seri.

Di belakangnya tampak Bu Song berusaha mengejarnya. Pemuda ini memiliki bentuk tubuh yang baik sekali. Bahunya bidang, dadanya berbentuk segitiga dan jelas membayangkan kekuatan, langkahnya tidak seperti seorang pelajar yang lemah, melainkan seperti seekor harimau. Wajahnya tampan dan ganteng, dengan alis hitam tebal berbentuk golok. Matanya lebar bersinar tajam sekali penuh wibawa, hidungnya mancung dan bibirnya jarang tersenyum. Dagunya terdapat belahan kecil ditengah-tengahnya, menambah ketampanan dan sifat tegasnya. Sayang, wajah yang ganteng ini terbayang kemurungan yang membuat ia pendiam dan sering kali keningnya berkerut.

"Moi-moi, biarlah aku yang mengumpulkan kayu. Pekerjaan kasar ini adalah pekerjaan laki-laki. Kalau berlomba, tentu saja aku kalah. Larimu lebih cepat dari pada larinya rusa, mana aku bisa menyusulmu?"






Biar pun ia berkata demikian, namun Bu Song lari juga agar tidak mengecewakan hati gadis yang menjadi teman bermain sejak kecil selama belasan tahun. Sebentar kemudian bayangan kedua orang muda itu lenyap dalam sebuah hutan di puncak.

Suami isteri yang duduk di depan pondok itu tersenyum, saling pandang penuh arti.
"Tak dapat disangkal lagi, mereka adalah pasangan yang amat cocok dan setimpal," kata Kwee Seng setelah menarik napas panjang penuh kepuasan.

Isterinya mengangguk.
"Benar Eng Eng orangnya lincah jenaka, sebaliknya Bu Song pendiam dan penyabar, amat cocok dan dapat saling mempengaruhi. Juga kulihat mereka itu saling mencinta. Hanya sayang...."

"Mengapa sayang, isteriku?"

"Ada dua hal yang kusayangkan. Pertama, orang tuanya tidak hidup bahagia, rumah tangga orang tuanya berantakan, ayah bunda bercerai. Ayah kawin lagi, Ibu..."

Kwee Seng menghela napas.
"Memang tak dapat disangkal hal itu, akan tetapi apakah kita harus mengukur keadaan seseorang anak dari orang tuanya? Bu Song anak baik, semenjak kecil dia dalam pengawasan kita. Bertahun-tahun kita melihat dia tumbuh dewasa, melihat watak-wataknya. Apakah masih belum cukup dan haruskah kita mengingat keadaan ayah bundanya?"

"Kau memang betul. Aku terpengaruh oleh keadaan orang tuanya karena biasanya dari keluarga yang berantakan akan tumbuh anak-anak yang kurang baik. Akan tetapi Bu Song semenjak kecil menjadi muridmu. Hanya aku sayangkan, karena kalau saja orang tuanya tidak demikian, alangkah akan lebih baiknya...."

"Hemmm, tak salah omonganmu itu. Dan hal kedua yang kau sayangkan, apakah itu?"

"Aku menyayangkan bahwa Bu Song tidak mau belajar ilmu silat. Sedangkan anak kita, sungguh pun tidak sangat pandai, boleh dibilang telah memiliki kepandaian tinggi. Apakah hal ini tidak akan menjadi penghalang kesesuaian faham dan watak mereka kelak?"

Kwee Seng tersenyum.
"Kau tidak tahu, isteriku. Karena memang hal ini kurahasiakan agar jangan sampai bocor dan mengagetkan hati Bu Song. Kasihan anak yang hidupnya sebatang kara dan berhati bersih itu. Dia begitu benci kepada ilmu silat karena sejak kecil ia menelan filsafat-filsafat hidup penuh damai dan penuh cinta kasih terhadap sesama hidup, dan terutama sekali karena ia kecewa melihat ayah bundanya yang menurut jalan pikirannya terpisah dan tersesat oleh ilmu silat. Di samping ini, telah banyak ia menyaksikan kekejaman dan kekejian di waktu ia masih kecil sehingga timbul anggapannya bahwa ilmu silat hanya menjadi alat untuk melakukan kekejaman dan pembunuhan belaka. Inilah sebabnya ia tidak mau belajar ilmu silat. Akan tetapi, aku melihat bakat baik sekali terpendam dalam dirinya. Bakat luar biasa yang bahkan jauh lebih baik dari pada aku sendiri. Karena inilah, diam-diam aku menanam dasar-dasar ilmu silat dan telah menyuruh dia berlatih siulian dan napas. Sekarang pun ia telah memiliki sinkang yang hebat, hanya saja, ia tidak sadar akan hal ini. Kelak, kalau ia mengalami penderitaan hidup karena ketidak-mampuannya bersilat, baru akan terbuka pikirannya dan sekali ia mempelajarinya, ia akan menjadi seorang yang luar biasa, bahkan mungkin melebihi kepandaian dan tingkatku."

Gin Lin tercengang, akan tetapi juga girang sekali.
"Syukurlah kalau begitu. Kini hilang keraguanku. Sebaiknya kita lekas-lekas laksanakan perjodohan mereka. Setelah mereka menjadi suami isteri, baru lega hatiku dan dapat kita tinggalkan mereka...."

"Ah, isteriku. Kurang bahagiakah kita tinggal disini? Adakah yang lebih nikmat dari pada hidup tenang dan tenteram seperti hidup kita sekarang ini? Apakah kau masih selalu merindukan dunia ramai dan menyaksikan pertumpahan darah?"

Tiba-tiba wajah berseri nyonya itu digelapi mendung, bahkan kedua matanya menjadi basah sehingga cepat-cepat ia mengusap air mata itu dengan sapu-tangannya. Dengan muka tunduk ia berkata,

"Suamiku, memang aku berterima kasih kepada Thian, juga bersyukur kepadamu yang telah memberi kebahagiaan hidup kepadaku di tempat ini. Aku cukup bahagia, akan tetapi... ah, betapa aku dapat melupakan ayah bundaku yang terbunuh secara kejam, saudara kembarku menjadi... pelacur... dan aku sendiri, seandainya tidak bertemu denganmu, apa jadinya dengan aku? Semua itu karena kebiadaban musuh yang membunuh, merampok, memperkosa, menghina... Suamiku, katakanlah, apakah aku harus diam saja sekarang? Apakah mungkin kebahagiaan hidupku tanpa mengingat sedikit pun akan penderitaan orang tua dan keluargaku? Suamiku, di waktu sadar aku hidup bahagia di sampingmu dan di samping anak kita, akan tetapi tahukah kau betapa setiap malam aku bermimpi dan bertemu dengan arwah orang tuaku yang memandang penuh penyesalan? Ah, suamiku..." Gin Lin lalu menangis.

Kwee Seng memegang pundak isterinya.
"Tenangkan hatimu, isteriku. Jangan kau kira bahwa aku pun tidak peduli akan hal itu semua. Akan tetapi, kurasa tidaklah tepat kalau urusan pribadi dicampur-adukkan dengan urusan negara. Keluargamu terbasmi bukan karena urusan pribadi, melainkan karena urusan negara. Karena keluargamu bangsawan Tang, maka ketika Dinasti Tang roboh, tentu saja keluargamu terlanda mala-petaka. Andai kata kau hendak membalas, kepada siapakah kau akan membalas? Dalam keributan seperti itu, dalam perang, mana bisa kita membalas kepada seseorang?"

"Memang betul ucapanmu, suamiku," kata Gin Lin yang sudah dapat menenangkan hatinya. "Dan memang aku tidak mendendam kepada seseorang, melainkan menaruh dendam kepada mereka yang menurunkan Dinasti Tang, karena mereka itulah yang menghancurkan keluarga kami. Karena itu, kalau anak kita sudah menikah, aku... ijinkanlah aku membantu Paman Couw Pa Ong untuk menghancurkan musuh sehingga dengan jalan itu berarti aku sudah melakukan kewajibanku berbakti kepada orang tua dan keluarga...."

"Baiklah... baiklah, kita bicarakan hal ini kelak. Apa kau kira aku dapat melepasmu begitu saja? Sekali kita berkumpul, untuk selamanya. Kalau memang kulihat bahwa musuh-musuhmu itu orang jahat, sebagai seorang pendekar tentu saja aku akan suka membantumu membasmi mereka."

Gin Lin memegang lengan tangan suaminya. Matanya basah memandang wajah suaminya ketika ia berkata terharu,

"Aku tahu engkau suamiku yang berhati baik sekali...."

Mereka berpadangan dan diam-diam Kwee Seng menarik napas. Ia hanya menaruh kasihan kepada wanita ini, wanita yang menjadi isterinya karena kebetulan dan terpaksa. Ia tahu bahwa Gin Lin amat mencintanya, mencintanya semenjak masih menyamar sebagai nenek di Neraka Bumi. Akan tetapi dia, cinta jugakah dia kepada isterinya ini? Sukar dikatakan, dan Kwee Seng akan membohongi diri sendiri kalau dia mengaku demikian.

Cinta kasih terhadap wanita agaknya telah lenyap dari hati Kwee Seng. Hatinya sudah kosong. Cintanya sudah lenyap bersama Lu Sian. Akan tetapi, sampai mati pun ia tidak akan suka menyatakan hal ini melalui mulut, bahkan ia coba mengusir dari dalam hatinya setiap kali timbul. Ia merasa kasihan kepada Gin Lin dan akan membela isterinya ini dengan seluruh jiwa raganya.

"Isteriku, bukankah sekarang Paman Couw Pa Ong telah berhasil pula meruntuhkan Kerajaan Cin dan dengan demikian berarti sudah menang perang?"

"Betul, suamiku. Akan tetapi Paman bersekutu dengan golongan lain sehingga kini didirikan Kerajaan Han Muda (947-951). Akan tetapi Kerajaan Han ini pun selalu dibayangi musuh, selalu diserang dan keadaan Paman kabarnya makin payah...."

"Bagaimana kau bisa tahu?"

Merah wajah isterinya ketika menjawab,
"Aku telah menyuruh seorang penduduk lereng gunung pergi menyelidik ke kota raja...."

Kwee Seng terkejut.
“Hemmm, kiranya isteriku ini diam-diam tak pernah melupakan urusan negara.”

Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu seorang kakek telah berada di situ. Kedua kakinya bersila, tergantung di antara dua batang tongkat yang dipegangnya menggantikan kedua kaki untuk berdiri.

"Paman...!" Gin Lin berseru girang.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar