FB

FB


Ads

Senin, 15 April 2019

Suling Emas Jilid 110

Terdengar angin bersiutan menerjang ke arah Lu Sian. Angin pukulan ini amat dahsyat dan karena kehebatan kedua tangannya inilah maka Kong Lo Sengjin dijuluki Sin-jiu (Kepalan Sakti). Banyak musuh kuat roboh hanya oleh angin pukulannya ini. Bahkan Lu Sian sendiri dahulu pernah menyaksikan betapa kakek ini merobohkan banyak lawan dengan penggunaan ilmu pukulan jarak jauh. Dahulu ia merasa ngeri melihat kedahsyatan pukulan si Kakek, akan tetapi sekarang ia bukanlah Lu Sian beberapa tahun yang lalu.

Melihat kakek itu menggunakan pukulan jarak jauh, ia cepat memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang, lutut ditekuk, tubuh direndahkan, kemudian kedua tangannya juga dia pukulkan ke depan. Pedang di tangan kanan ditarik ke dalam di belakang lengan, dan ia mengerahkan tenaga sinkang untuk melawan dorongan hawa pukulan lawan. Dari kedua tangannya menyambar pula angin pukulan dahsyat ke depan!

Benturan dua tenaga sinkang di udara itu tidak menimbulkan suara, juga tidak tampak oleh mata, akan tetapi akibatnya hebat karena keduanya terpental ke belakang dengan kuda-kuda masih tidak berubah.

Mereka saling pandang dengan kaget, karena adu tenaga sinkang tadi membuktikan bahwa keduanya memiliki tingkat seimbang! Hal ini tentu saja tidak dinyana-nyana oleh Kong Lo Sengjin, maka kakek ini menjadi penasaran sekali. Ia tidak pernah mimpi bahwa tingkat kepandaian Lu Sian pada waktu itu sudah mengejar ayahnya sendiri dan dibandingkan dengan tingkat Kong Lo Sengjin, ia barangkali hanya kalah matang saja.

"Kau ingin mampus!" seru Kong Lo Sengjin.

Kini kakek itulah yang berkelebat ke depan dengan lompatan tinggi. Inilah terjangan berbahaya sekali karena dari atas, kakek sakti ini dapat menyerang dengan sepasang tongkatnya.

Namun Lu Sian maklum dan sama sekali tidak takut, bahkan ia pun mengeluarkan pekik melengking nyaring, lalu tubuhnya mencelat pula ke atas menyambut serangan lawan. Dua tubuh itu masih melayang ketika mereka bertemu di udara, dekat sebatang pohon dan dekat pula dengan ujung atap.

Mereka menggerakkan senjata dan bertanding di udara, saling tusuk dan tangkis sebelum tubuh mereka meluncur turun. Terdengar suara keras senjata beradu disusul muncratnya bunga api menyilaukan mata. Ketika keduanya turun ke atas tanah, daun-daun pohon rontok terbabat pedang Lu Sian sedangkan ujung atap dari tembok itu pecah berantakan dihantam tongkat Kong Lo Sengjin.

Begitu keduanya hinggap di atas tanah, keduanya cepat membalik saling berhadapan. Sejenak mereka tak bergerak, mata memandang tak berkedip, napas agak terengah karena biar pun baru beberapa gebrakan, namun tadi mereka telah mempergunakan seluruh tenaga sinkang.

Ikatan rambut Lu Sian terlepas dan kulit lehernya berdarah sedikit, akan tetapi pangkal lengan kiri Kong Lo Sengjin juga berdarah, bajunya robek. Kiranya dalam pertempuran di udara tadi, keduanya telah terluka, biar pun hanya luka ringan!

Makin panas dan penasaran hati Kong Lo Sengjin. Ia mengeluarkan gerengan seperti harimau terluka. Kakek ini memang wataknya tidak pernah mau kalah. Kemarahannya memuncak ketika mendapatkan dirinya hanya dapat bertanding seimbang saja dalam menghadapi seorang wanita muda. Sambil menggereng liar ia menerjang maju. Tongkatnya bergerak cepat sekali dan amat kuat sehingga berpusinglah angin pukulan yang mengeluarkan bunyi bersiutan.

Namun Lu Sian yang juga tak pernah mau kalah kembali memekik panjang melengking-lengking, lalu tubuhnya bergerak cepat terbungkus sinar pedangnya yang mengeluarkan suara berdesing-desing. Kini kedua orang sakti ini bertanding dari jarak dekat, tak lagi mengandalkan tenaga sinkang seperti tadi, melainkan mempergunakan ilmu silat dan mengandalkan kegesitan gerakan tubuh.






Hebat bukan main pertandingan ini. Lu Sian sudah mahir akan Ilmu Coan-in-hui yang ia pelajari dari jago ginkang Tan Hui, maka gerakannya cepat dan tubuhnya ringan seperti seekor lebah. Pedangnya mainkan ilmu pedang campuran Pat-mo Kiam-hoat dan Toa-hong Kiam-sut, hebat bukan main. Tubuhnya seakan-akan sudah lenyap dan yang tampak hanyalah cahaya pedang gemerlapan yang merupakan sinar panjang melayang-layang membentuk lingkaran-lingkaran seperti seekor naga mengamuk.

Namun Kong Lo Sengjin bukanlah lawan ringan. Kakek lumpuh ini amat lihai. Biar pun kedua kakinya sudah lumpuh, namun kegesitannya tidak berkurang. Malah kedua tongkat yang menggantikan kedudukan sepasang kaki itu dapat dipakai menyerang dan meloncat, diikuti tamparan dan kebutan tangan dan ujung lengan baju yang kesemuanya merupakan senjata yang tidak kalah ampuhnya.

Kadang-kadang pedang bertemu tongkat, ada kalanya lengan bertemu lengan dan pertandingan itu sukar diikuti pandang mata karena keduanya seakan-akan telah menjadi satu gundukan sinar yang saling gulung.

"Trang... cring... plak-plak...!" tiba-tiba keduanya meloncat setengah terlempar ke belakang.

Kiranya dalam jurus terakhir tadi, Kong Lo Sengjin berhasil menghajar punggung Lu Sian dengan telapak tangan kirinya, akan tetapi pada detik yang sama Lu Sian berhasil pula menggunakan rambutnya yang riap-riapan untuk menghantam jalan darah di leher lawan!

Ketika mereka terhuyung ke belakang dan saling pandang, ternyata dari ujung bibir Lu Sian mengucur darah segar, akan tetapi Kong Lo Sengjin memejamkan mata dan lehernya kelihatan biru menghitam.


Setelah membuka matanya lagi, Kong Lo Sengjin tertawa.
"Ha-ha-ha, Tok-siauw-kwi siluman betina. Kiranya kau benar-benar lihai sekali!"

"Tua bangka tak usah banyak cerewet. Mau lanjutkan, hayo maju! Kalau kau sudah menerima kalah, lekas minggat dari sini!"

"Siluman betina, siapa kalah?"

Kong Lo Sengjin sudah siap menerjang lagi, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

"Iblis tua, jangan menjual lagak! Cici, biarkan kami membantumu!"

Muncullah Coa Kim Bwee bersama tujuh orang panglima istana yang merupakan orang-orang pilihan dan memiliki kepandaian yang lumayan. Segera mereka mengurung dan menerjang Kong Lo Sengjin!

"Ha-ha-ha, Tok-siau-kwi, lain kali kita bertanding pula. Eh, anjing-anjing buduk, Kakekmu tidak ada waktu melayani segala macam anjing!"

Tiba-tiba tubuh Kong Lo Sengjin mencelat ke atas, melayang melampaui kepala para pengurungnya dan cepat sekali sudah menghilang ke atas tembok istana.

"Tak usah dikejar... sia-sia belaka....!" kata Lu Sian.

Coa Kim Bwee membalik dan baru terlihat olehnya Lu Sian mengusap darah dari bibir.
"Eh, Cici, kau... kau terluka...?" Ia memegang lengan wanita itu hendak menolongnya.

Akan tetapi Lu Sian mengibaskan lengannya.
"Aku tidak apa-apa. Lebih baik suruh orang mengurus mayat Cu-ciangkun di dalam kamar itu."

Coa Kim Bwee terkejut sekali dan ngeri hatinya ketika melihat betapa panglima muda yang tampan itu sudah menjadi mayat yang tidak berjantung lagi karena jantungnya sudah tertancap di atas meja oleh goloknya sendiri.

**** 110 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar