FB

FB


Ads

Senin, 15 April 2019

Suling Emas Jilid 109

Tiba-tiba kakek itu menggerakkan lengannya dan angin besar menyambar ke arah jendela di mana Cu Bian mengintai.

"Brakk!"

Runtuhlah sebagian dinding jendela itu, akan tetapi Cu Bian sudah melompat ke samping, terus ia memutar golok yang sudah dicabutnya sambil menyerbu ke dalam rumah melalui jendela.

"Pemberontak tua bangka! Lebih baik kau menyerahkan diri untuk diadili dari pada harus berkenalan dengan golokku!" bentaknya.

Kong Lo Sengjin tidak mempedulikan panglima muda ini, bahkan menoleh ke arah laki-laki temannya tadi sambil bertanya,

"Siapakah budak ini?"

Laki-laki itu meloncat ke pinggir, gerakannya cukup ringan, dan ia berkata,
"Ong-ya, inilah dia Cu-ciangkun, panglima muda yang memimpin pembasmian teman-teman kita di kuil tua...!"

"Oho! Bagus sekali kau mengantarkan nyawa kesini, budak. Lekas berlutut agar kau dapat terbebas dari kematian mengerikan!" suara Kong Lo Sengjin berubah menyeramkan.

"Ong-ya, dia ini seorang di antara kekasih Tok-siauw-kwi!" laki-laki itu berkata pula.

Sementara itu Cu Bian sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi.
"Pemberontak rendah! Rasakan golokku!"

Ia menerjang maju, membacok dengan goloknya, gerakannya cepat dan kuat sekali. Goloknya lenyap berubah sinar putih seperti kilat menyambar ke arah leher kakek itu.

"Singgg...!!"

Namun goloknya mengenai angin belaka karena kakek yang sakti itu telah mencelat ke atas bersama kursinya! Dengan masih duduk diatas kursi, Kong Lo Sengjin telah berhasil mengelakkan sambaran golok! Gerakan luar biasa ini dibarengi suara tertawa bergelak-gelak.

Cu Bian penasaran sekali. Sambil berseru keras ia menerjang terus kemana pun berkelebatnya bayangan kakek bersama kursinya. Ia sudah memperoleh pelajaran dari wanita cantik itu, tidak hanya pelajaran bermain cinta, melainkan juga pelajaran untuk memperhebat ginkang-nya, lweekang dan ilmu goloknya.

Namun menghadapi kakek lumpuh ini, ia benar-benar tidak berdaya. Goloknya selalu membacok angin belaka dan pada detik terakhir, kakek itu selalu dapat berpindah tempat bersama kursinya dan masih tetap tertawa-tawa.

"Ha-ha, disuruh berlutut tidak mau, kau menghendaki kematian yang mengerikan!"

Kakek itu berkata dan lengan bajunya yang panjang itu berkibar menyambar ke depan, yang kanan menangkis golok, yang kiri menyambar ke arah kepala Cu Bian.

Bukan main kagetnya pemuda ini ketika goloknya hampir saja terlepas dari pegangan ketika bertemu dengan ujung lengan baju. Akan tetapi ia lebih memperhatikan sambaran ujung lengan baju kedua yang mengarah kepalanya. Cepat ia miringkan tubuh membuang diri, akan tetapi tetap saja pundaknya kena dihantam ujung lengan baju.

"Plakk!"

Perlahan saja tampaknya hantaman itu, namun akibatnya cukup hebat karena tubuh Cu Bian terhuyung-huyung ke belakang dan kepalanya serasa hampir pecah saking hebatnya rasa nyeri di pundaknya.

Namun orang muda ini mempunyai keberanian besar. Ia meloncat bangun dan kini dengan kemarahan meluap, ia menerjang maju lagi dengan dahsyat sambil menahan rasa nyeri yang menusuk jantung.

"Hah, rebahlah kau!" bentak Kong Lo Sengjin tanpa berpindah dari kursinya.






Hanya dengan menggerakkan kedua tangannya, di lain saat ia telah dapat merampas golok dan merobohkan Cu Bian dengan totokan yang membuat tubuh pemuda itu lemas dan seperti lumpuh.

Cu Bian mengerahkan tenaga hendak bangun, akan tetapi begitu bangun duduk ia terbaring kembali karena tubuhnya menjadi amat lemas. Akan tetapi matanya tetap melotot memandang kakek ini, sedikit pun tidak membayangkan ketakutan.

Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan di luar dan menerobos masuklah tiga orang berpakaian perwira diikuti oleh belasan orang anak buahnya. Mereka ini adalah pasukan keamanan di kota raja yang tadi melihat gerakan Cu Bian menyelidiki rumah kosong dan kini datang memberi bantuan.

"Kau hadapi mereka!"

Teriak si Kakek dan sekali mengulur tangan, ia telah menyambar Cu Bian berikut goloknya, kemudian tubuhnya melayang ke arah pintu.

"Serbu! Tolong Cu-ciangkun!" teriak seorang perwira.

Mereka yang berada dekat pintu segera memapaki tubuh kakek yang melayang itu dengan tombak dan golok. Terdengar suara berkerontangan disusul robohnya empat orang prajurit ketika Kong Lo Sengjin menangkis dengan kebutan ujung lengan bajunya sambil mengibaskan tangan mengirim tamparan. Tubuhnya sudah mencelat ke luar dengan mempergunakan sepasang tongkat yang tadinya ia sambar dari dekat meja. Ia telah melesat jauh ke depan, sebentar saja lenyap dari tempat itu sambil membawa tubuh Cu Bian yang tak dapat bergerak sama sekali dalam kempitannya.

Yang celaka adalah anak buah Kong Lo Sengjin yang tertinggal dalam rumah tua. Dia lihai juga, melawan mati-matian dengan golok rampasan, akan tetapi tiga orang perwira itu adalah pengawal-pengawal istana yang tangkas. Maka setelah mengalami pertempuran hebat, akhirnya orang itu tewas di bawah bacokan banyak senjata dan tubuhnya hancur.

Peristiwa tertawannya Cu-ciangkun oleh seorang kakek pemberontak amat menggegerkan kota raja. Penjagaan diperketat, di seluruh kota tampak para prajurit hilir mudik mengadakan pemeriksaan dan penjagaan. Juga sekitar istana dijaga keras. Namun semua itu tidak menghalangi Kong Lo Sengjin yang menyelundup ke dalam istana, mempergunakan kepandaiannya yang luar biasa. Bagaikan seekor burung saja ia melompati pagar tembok yang mengurung istana tanpa terlihat oleh para penjaga, kemudian menyelinap dalam gelap, meloncat ke atas bangunan istana. Cu-ciangkun masih berada dalam kempitannya ketika ia tiba di atas istana sambil mencari-cari.

Lu Sian juga mendengar tentang tertawannya Cu-ciangkun. Ia ikut merasa gelisah karena Cu Bian merupakan seorang di antara kekasihnya yang menyenangkan hatinya. Ia menduga-duga siapa gerangan kakek tua lihai itu, dan samar-samar ia teringat akan Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong. Diam-diam ia bergidik.

Pernah beberapa tahun yang lalu ia menyaksikan sepak terjang kakek lumpuh yang amat lihai itu. Akan tetapi ia tidak takut sekarang. Bahkan ingin ia mencoba kepandaian kakek itu. Agaknya sekarang ia takkan kalah menandingi kesaktian si Kakek yang ia tahu amat lihai ilmu silat tangan kosong dan amat kuat tenaga sinkang-nya untuk melakukan pukulan jarak jauh.

Malam itu Lu Sian tak dapat tidur. Ia duduk dalam kamarnya termenung menghadapi meja. Karena hawa udara agak panas, ia membuka jendela kamarnya yang berbentuk bulat seperti bulan purnama. Telinganya yang terlatih itu dapat menangkap suara perlahan di luar kamar. Akan tetapi ia hanya tersenyum mengejek dan tidak bergerak dari bangku yang didudukinya, pura-pura tidak tahu bahwa ada seorang tamu malam yang tinggi ginkang-nya, sehingga gerakan kakinya hampir tidak menerbitkan suara, tengah mendekati kamarnya. Selama ini ia tak pernah berhenti berlatih sehingga Lu Sian merasa amat percaya akan kepandaiannya sendiri.

Tiba-tiba sinar putih menyambar dari luar jendela memasuki kamar. Biar pun sinar itu menyambar dari belakangnya, namun Lu Sian maklum bahwa senjata itu tidak akan mengenai tubuhnya, maka ia tetap duduk tidak bergoyang sama sekali.

"Capp...!"

Sinar itu ternyata sebatang golok yang kini menancap di atas meja di depannya, golok yang indah dan di ujung golok itu terdapat sebuah benda merah kebiruan yang kini tertancap golok di atas meja. Benda yang berlumur darah. Sebuah jantung manusia! Melihat golok itu, jantung Lu Sian berdebar. Inilah golok Cu Bian, kekasihnya. Dan jantung itu...??

Tiba-tiba terdengar berkesiurnya angin dan sesosok tubuh melayang masuk melalui jendela, menubruk Lu Sian. Wanita ini bangkit berdiri, tangan kirinya menyampok dan tubuh itu terbanting ke atas lantai. Ketika ia memandang, ternyata itu adalah sesosok mayat seorang laki-laki yang telentang dengan dada robek dan mata terbelalak. Mayat Cu Bian!

"Ha-ha-ha! Tok-siauw-kwi, kukirim pulang tubuh kekasihmu! Wanita tak tahu malu, kau mengotori nama besar Beng-kauw!" terdengar suara memaki dan mengejeknya di luar.

Hampir meledak rasa dada Lu Sian saking marahnya. Mukanya menjadi merah sekali, sepasang matanya berkilat dan ia menyambar pedangnya, terus melayang ke luar dari jendela. Ketika ia turun di dalam taman bunga di pinggir rumah, ternyata di situ telah berdiri seorang kakek, berdiri di atas kedua tongkatnya yang menggantikan kaki. Sin-jiu Couw Pa Ong alias Kong Lo Sengjin!

"Hemmm, kiranya engkau tua bangka keparat! Bukankah engkau ini si pemberontak Couw Pa Ong yang juga bernama Kong Lo Sengjin!"

"Ha-ha-ha! Betul sekali, Tok-siauw-kwi. Kau boleh menyebut aku pemberontak, akan tetapi aku memberontak kepada kerajaan-kerajaan yang dahulunya memberontak dan merobohkan Dinasti Tang. Aku seorang patriot sejati! Tidak seperti engkau ini! Suamimu, Jenderal Kam Si Ek juga seorang patriot sejati, akan tetapi engkau telah mengkhianatinya, mencemarkan namanya. Apalagi kalau diingat bahwa engkau puteri Beng-kauwcu Pat-jiu Sin-ong Liu Gan..., benar-benar menyebalkan dan merendahkan nama ayahmu dan Beng-kauw!"

"Tutup mulutmu yang kotor! Kong Lo Sengjin, orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi aku tidak!"

"Ha-ha-ha, sombongnya! Ayahmu sendiri tidak akan berani kurang ajar terhadapku, kau ini bocah sombong bisa apakah? Mengingat muka Ayahmu, biarlah aku mengampuni dirimu dan lekas kau minggat dari Kerajaan Hou-han ini dan jangan membelanya. Ada hubungan apakah Hou-han denganmu maka kau membelanya mati-matian?"

"Kakek tua bangka! Apa yang kulakukan, ada hubungan apa denganmu? Kau peduli apa?!”

"Wah, benar keras kepala! Kau kira aku tidak tahu bahwa kau disini mengumpulkan pemuda-pemuda tampan untuk memuaskan nafsumu yang kotor dan hina? Kau...."

"Keparat!"

Lu Sian sudah menerjang maju dengan pedangnya karena tidak tahan lagi mendengar kata-kata Kong Lo Sengjin. Pedangnya berkelebat cepat bagaikan kilat menyambar, dengan gerakan dahsyat sekaligus telah menyerang dengan tiga kali bacokan dan dua tusukan berubi-tubi.

"Trang-trang-trang-trang-trang....!"

Lima kali pedang bertemu tongkat dan keduanya meloncat ke belakang sampai mereka terpisah dalam jarak enam meter.

Hebat serangan Lu Sian, akan tetapi hebat pula tangkisan si Kakek Tua. Keduanya merasa telapak tangan mereka tergetar dan diam-diam Kong Lo Sengjin terheran-heran. Tangkisannya tadi telah ia gerakkan dengan pengerahan sinkang dengan maksud membuat pedang lawan terpental, akan tetapi jangankan terpental, bahkan pedang itu masih dapat menyerang terus sampai lima kali. Hal ini membuat Kong Lo Sengjin menjadi marah dan penasaran.

Di lain pihak, Lu Sian juga bersikap hati-hati. Ia maklum bahwa kakek ini pandai sekali serta kuat tenaganya. Serangannya tadi merupakan jurus yang lihai dari Toa-hong Kiam-sut, akan tetapi dapat ditangkis dengan baik oleh lawan dan tangannya terasa gemetar, tanda bahwa tenaga yang tersalur pada tongkat itu amat kuatnya.

Tangan kiri Lu Sia bergerak dan sinar merah menyambar ke depan. Itulah jarum-jarum Siang-tok-ciam yang ia lepas dengan pengerahan tenaga. Belasan batang jarum halus yang mengeluarkan bau harum itu menyambar ke arah jalan darah yang mematikan, sukar sekali dielakkan lawan karena begitu tangannya bergerak, sinar berkelebat dan jarum-jarum itu sudah sampai di tempat sasaran!

Namun sambil tertawa Kong Lo Sengjin mengebutkan ujung lengan bajunya dengan gerakan memutar dan jarum-jarum itu bagaikan tergulung angin kemudian runtuh di tanah sebelum sampai ke tubuh kakek sakti itu.

"Ha-ha, jangan berlagak di depan Kakekmu! Rasakan ini!"

Bentak Kong Lo Sengjin sambil mengerahkan tenaga dan menggerakkan kedua tangannya mendorong ke depan.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar