FB

FB


Ads

Senin, 15 April 2019

Suling Emas Jilid 108

Cu Bian makin bingung dan terpaksa sekali ia mengerahkan tenaga mempererat kedua lengannya yang membekuk leher. Untuk melakukan ini, terpaksa pula ia merapatkan dadanya ke punggung Lu Sian. Jantungnya berdebar kencang sekali, darahnya berdenyut-denyut, kepalanya menjadi pening, dan napasnya terengah-engah!


Lu Sian tersenyum, hampir terkekeh geli. Tentu saja ia dapat merasakan betapa dada bidang dan keras yang merapat punggungnya itu berdenyut-denyut keras, betapa kedua lengan yang berotot dan kuat itu menggigil, betapa napas di belakang tengkuknya itu panas sekali dan terengah-engah!

Makin kagumlah ia. Alangkah kuatnya pemuda ini, kuat lahir batin. Tubuhnya kuat, juga batinnya kuat sehingga biar pun nafsu muda yang sudah selayaknya itu mulai bergelora, namun ia masih dapat bertahan dan berusaha menekannya.

"Yang lebih kuat lagi, Ciangkun!"

Ia menggoda dan sengaja berlama-lama melepaskan diri sehingga pemuda itu merasa semakin ‘tersiksa’.

"Sudah cukup, Toanio. Lekaslah gunakan Sia-kut-hoat..."

"Kenapa sih Ciangkun terburu-buru?" Lu Sian menggoda terus.

"Saya... eh... saya khawatir kalau-kalau... Toanio akan terluka..."

Karena sudah yakin bahwa diam-diam pemuda ini tidak dapat menahan daya tarik kewanitaannya, Lu Sian lalu berkata,

"Nah, yang kuat, kerahkan tenagamu, aku akan melepaskan diri!"

Sambil berkata demikian, ia menggerakkan tubuhnya, menggeliat-geliat dan... dengan mudah ia dapat ‘merosot’ ke luar dari pelukan ketat itu!

Cu Bian masih berdiri agak membongkok dengan kedua lengan memeluk seperti tadi, akan tetapi yang dipeluknya sudah terlepas dan ia masih terengah-engah dan meramkan matanya!

"Bagaimana, Ciangkun?" Lu Sian tertawa dan menggigit bibir menahan geli.

Cu Bian cepat sadar dan ia segera membungkuk dan memberi hormat.
"Benar-benar Toanio lihai sekali, saya merasa takluk. Dan amat beruntunglah saya akan mendapat bimbingan Toanio dalam mempelajari Sia-kut-hoat."

"Ciangkun, Ilmu Sia-kut-hoat mudah dipelajari, akan tetapi dasarnya harus kuat. Seperti kukatakan tadi, berdasarkan penggunaan hawa sakti dalam tubuh yang disalurkan pada sambungan tulang. Untuk mempelajari ini, kita harus berada dalam ruangan tertutup dan biarlah aku membantu penyaluran hawa dalam tubuh Ciangkun agar lebih cepat hasilnya. Sanggupkah Ciangkun?"

Makin merah muka Cu Bian, akan tetapi ia percaya betul bahwa Sian-toanio ini bersungguh-sungguh hendak melatihnya. Kalau memang caranya demikian, apa mau dikata lagi? Toh ini hanya latihan, demi memenuhi syarat agar berhasil!

"Baiklah, Toanio, apakah kamar saya cukup memenuhi syarat?"

"Cukuplah, asal di tempat tertutup," jawab Lu Sian menahan geli hatinya.

Mereka lalu meninggalkan taman dan memasuki kamar Cu Bian yang cukup luas dan bersih. Sebuah tempat tidur lebar berdiri di sudut kamar. Lu Sian tidak mau tergesa-gesa, karena ia tidak ingin membuat pemuda ini terlalu sungkan, malu dan bercuriga. Maka ia pun berkata,

"Ciangkun harus duduk bersila menyatukan perhatian dan mengerahkan hawa sakti dalam tubuh. Biar saya yang membantu penyaluran hawa sakti itu. Akan tetapi agaknya Ciangkun akan merasa tidak pantas kalau kita berlatih di atas... sana itu!" Ia menuding ke arah ranjang dan Cu Bian menundukkan muka, tak berani memandang wajah Lu Sian. "Karena itu, biarlah kita duduk bersila di lantai ini saja."






Cu Bian tidak berani menjawab. Ia benar-benar merasa amat sungkan dan malu. Selama hidupnya belum pernah ia berdua dengan seorang wanita di dalam kamar, apalagi berada di atas satu ranjang, biar pun hanya bersila!

"Terserah... kepada Toanio...," jawabnya dan ia lalu mendahului duduk bersila di atas lantai.

Lu Sian pun duduk bersila di depannya, kemudian wanita itu menempelkan kedua telapak tangannya kepada tangan Cu Bian sambil berkata,

"Atur napas kerahkan tenaga, biar nanti aku yang membantumu menyalurkan tenaga ke sambungan-sambungan tulang. Kau menurutlah saja dan lihat hasilnya."

Cu Bian mengangguk karena sukarlah baginya mengeluarkan suara setelah kedua tangan mereka saling menempel. Betapa takkan berdebar jantungnya karena tapak tangan yang halus lunak itu menyalurkan hawa mukjijat yang seperti membanjir ke dalam tubuhnya membuat tubuhnya penuh getaran-getaran aneh. Dan bau yang semerbak harum itu!

Cu Bian cepat memejamkan kedua matanya, mencurahkan perhatiannya dan mengerahkan sinkang (hawa sakti) dalam tubuhnya. Terasa olehnya betapa satu kekuatan hebat yang masuk ke tubuhnya melalui telapak tangan itu menguasai hawa saktinya dan mendorongnya menembus seluruh tulang dalam tubuh. Mula-mula lengan kanannya berbunyi berkeretakan, lalu lengan kiri, kedua kaki, kedua pundak, leher dan punggung.

"Sia-kut-hoat dapat membuat tubuh menjadi kecil, tulang-tulang seperti dapat dilipat sehingga kita mudah lolos dari ikatan apa pun juga," Lu Sian berbisik. "Tanpa menggerakkan tubuh sekali pun kita dapat meloloskan diri dari cengkeraman apa saja. Lihatlah buktinya!"

Tiba-tiba Cu Bian yang masih meramkan mata itu merasa betapa tulang pundaknya bergoncang. Ia tidak melawan karena tadi sudah dipesan, menurut saja. Pundaknya serasa tak bertulang lagi sehingga ia terkejut.

"Cu-ciangkun, lihat hasilnya, buka matamu...," kembali Lu Sian berbisik perlahan.

Cu Bian membuka kedua matanya dan... terbelalak ia memandang tubuh bagian atas yang tak tertutup apa-apa lagi itu. Kulit yang putih halus memerah terkena sinar lampu, dada yang montok padat dengan lekuk lengkung sempurna. Dia sendiri pun bertelanjang di tubuh bagian atas. Entah bagaimana, baju mereka berdua telah terlepas dan bergantungan di pinggang, sedangkan kedua tangan mereka masih saling menempel dan tak pernah lepas.

Pemuda yang selama hidupnya belum pernah menyaksikan pemandangan seperti ini, tak dapat menahan lagi. Tubuhnya menggetar, mukanya menjadi merah dan terasa panas, dadanya menggelora menyesakkan napas. Kedua tangan Lu Sian kini memegang kedua tangan pemuda itu dan memijit-mijitnya mesra.

"Tak senangkah hatimu karena hasil ini?" Ia berbisik dengan senyum memikat dan mata basah penuh nafsu.

Makin berombak dada Cu Bian, ia hanya mengangguk-angguk tanpa dapat berkata apa-apa, matanya tidak berani langsung bertemu pandang dengan Lu Sian melainkan tak pernah berkedip menatap ke arah dada! Tiba-tiba Lu Sian tertawa lirih dan menubruknya, merangkul dan menciumnya.

"Eh... eh... Toanio...."

Cu Bian terengah-engah dan tubuhnya menggigil, akan tetapi kedua lengannya yang kuat itu memeluk dan mendekap tubuh yang menggairahkan, mendekap sekuat tenaganya sehingga kalau yang dipeluknya itu wanita lain tentu akan remuk-remuk tulang iganya.

Akan tetapi Lu Sian bukannya wanita biasa. Didekap sekuat itu, ia hanya tertawa dan kini ia menoleh ke arah lampu, tampak senyumnya melebar, senyum kemenangan ketika bibirnya meruncing untuk meniup ke arah lampu di sudut kamar sehingga padam.....

Karena di dalam istana Kaisar Cin Muda ini Lu Sian mengalami kehidupan yang penuh kesenangan dimana ia dapat memuaskan semua nafsunya, hidup bergelimang harta dunia dan kesenangan, maka ia merasa seakan-akan tercapai semua yang menjadi cita-citanya.

Sampai delapan tahun ia tinggal di dalam istana, dan selama itu Coa Kim Bwee berhasil menyenangkan hatinya dengan pelayanan-pelayanan manis sehingga banyak pula ilmu yang ia turunkan kepada selir raja ini. Bahkan ilmu awet muda ia turunkan pula kepada Coa Kim Bwee yang tentu saja menjadi amat girang.

Biar pun maklum bahwa wanita yang di dalam istana dikenal sebagai Sian-tonio itu sesungguhnya adalah puteri Beng-kauwcu yang berjuluk Tok-siauw-kwi dan yang menghabiskan pangeran-pangeran dan panglima-panglima muda yang tampan untuk dijadikan kekasihnya, namun Raja tidak mau menghalanginya. Hal ini adalah karena hadirnya Lu Sian di dalam istana itu pun merupakan hal yang menguntungkan. Semenjak ada Lu Sian di dalam istana, jarang sekali terjadi penyerbuan musuh dan kalau pun ada, tentu akan disapu bersih oleh wanita sakti itu.

Karena istana sudah terjaga dengan adanya Lu Sian, para panglima yang tadinya bertugas menjaga keselamatan raja, kini memindahkan perhatiannya ke luar istana dan mulai membantu melakukan pembersihan dalam kota raja. Banyak sudah mata-mata musuh ditangkap dan dibunuh, bahkan belum lama ini belasan orang pengikut atau anak buah Couw Pa Ong yang masih selalu berusaha merampas kekuasaan dapat dibasmi habis dalam sebuah kuil kosong di sebelah selatan kota raja.

Yang memimpin pembasmian ini adalah Panglima Muda Cu Bian yang kini telah memperoleh kemajuan hebat dalam ilmu silatnya semenjak ia menjadi kekasih Lu Sian. Panglima muda ini banyak berhasil dalam usaha membasmi musuh, karena dia melakukan penyelidikan dengan menyamar sebagai penduduk biasa, tidak berpakaian sebagai panglima.

Dalam penyelidikannya, Cu Bian tahu bahwa komplotan mata-mata yang paling aktif di kota raja adalah gerombolan anak buah Couw Pa Ong atau Kong Lo Sengjin, bekas Raja Muda Kerajaan Tang yang masih setia kepada dinasti yang sudah runtuh itu. Dan ia tahu pula bahwa di dalam kota raja terdapat sebuah tempat yang dijadikan tempat pertemuan mereka, di samping kuil kosong dimana ia telah membasmi tiga belas orang mata-mata belum lama ini.

Pada suatu pagi, seorang diri Cu Bian yang berpakaian sebagai seorang penduduk biasa pergi menyelidiki rumah tua di ujung kota yang sunyi di sebelah barat itu. Goloknya ia sembunyikan di balik baju dan ia mendekati rumah tua itu dengan hati-hati dan menyelinap diantara pohon-pohon di belakang rumah. Biasanya rumah tua ini kosong, akan tetapi tadi ia melihat berkelebatnya bayangan orang melalui jendela yang tidak berdaun lagi itu.

Setelah dekat ia mengintai dan terdengar suara orang bercakap-cakap. Hatinya tergerak ketika ia melihat seorang kakek tua duduk di atas kursi sedang marah-marah kepada seorang laki-laki yang berdiri ketakutan.

“Siapakah kakek ini?” pikirnya. Kakek yang mukanya penuh cambang, pakaiannya longgar dan wajahnya berwibawa!

"Goblok! Tolol sekali kalian! Bagaimana sampai berhasil disergap dan dibunuh? Benar-benar tidak berotak. Dan semua usaha ke istana gagal belaka, mengantar nyawa dengan sia-sia! Ah, baru beberapa tahun aku mengaso di Pek-coa-to (Pulau Ular Putih), usaha kita macet karena ketololan kalian. Kalau para pembantuku adalah patriot-patriot konyol seperti kalian ini, mana mungkin Kerajaan Tang yang jaya dapat bangkit kembali?"

"Ampun, Ong-ya, sesungguhnya kami cukup hati-hati, akan tetapi semenjak Tok-siauw-kwi berada disini, kami tidak berdaya apa-apa. Semua serbuan ke istana gagal dan teman-teman kita banyak yang mati konyol. Gerakan kita disini menjad macet sama sekali."

Diam-diam Cu Bian terkejut. Kiranya inilah Sin-jiu Couw Pa Ong yang terkenal pula dengan julukannya Kong Lo Sengjin! Ia memandang penuh perhatian. Melihat betapa kedua kaki yang tergantung di kursi itu lemas dan lumpuh, ia tidak ragu-ragu lagi. Hatinya berdebar dan ia menoleh ke belakang. Kalau saja ada pembantu, ah, kalau saja ada Sian-toanio! Akan tetapi masa ia tidak akan dapat mengalahkan seorang kakek yang lumpuh kedua kakinya? Dan orang kedua itu pun kelihatan lemah.

"Huh, menghadapi Tok-siauw-kwi saja takut? Biarlah, setelah aku datang, akan kuhancurkan kepala siluman betina itu. Hemm, kau lihat baik-baik!"






Tidak ada komentar:

Posting Komentar