Setelah kembali ke kamar sendiri, Kim Bwee berseru girang.
"Wah, Raja suka kepadamu, Cici. Kalau kau mau..."
"Hush! Kau mau samakan aku denganmu? Selera kita berbeda, Kim Bwee. Siapa suka melayani laki-laki setengah tua yang jenggotnya kasar itu? Tidak, aku tidak mau. Kalau Raja memaksa, aku akan minggat dari sini."
Coa Kim Bwee tertawa.
"Jangan kuatir, Cici. Saya dapat membujuk raja dan menyatakan bahwa kau sudah menjauhkan diri daripada pria. Beliau membutuhkan kepandaianmu, tentu tidak akan memaksa. Bagaimana pendapat Cici tentang para pangeran dan panglima muda? Hebat, kan?"
Lu Sian tersenyum, memainkan biji matanya.
"Hebat sih hebat, akan tetapi sebagai wanita, bagaimana aku dapat mendekati mereka? Kau sendiri bilang, mereka itu sukar didekati."
"Ihh, siapa berani menolak Cici? Tadi pun kulihat mereka melirak-lirik ke arah Cici penuh kagum dan mengilar! Kalau memang Cici ada hasrat berkenalan, aku ada jalan untuk mempertemukan Cici dengan mereka."
Selir ke tujuh Kaisar ini benar-benar pandai mengambil hati sehingga Lu Sian merasa gembira sekali. Setelah berjanji akan menurunkan Ilmu Pukulan Tangan Api Merah kepada Kim Bwee, Lu Sian lalu mengatakan tanpa malu-malu lagi bahwa diantara para muda yang hadir tadi, ia tertarik kepada dua orang pangeran dan seorang panglima muda.
"Hi-hi-hik! Siapa bilang selera kita tidak cocok?" Kim Bwee bersorak. "Dan dua orang pangeran itu adalah Pangeran Kang yang kuilt mukanya halus seperti wanita, dan Pangeran Liang yang gagah seperti harimau. Cocok, bukan? Dan panglima muda itu adalah seorang jejaka asli, usianya baru dua puluh tahun, kuat seperti seekor kuda jantan dan pandai mainkan golok. Ganteng, ya? Terutama sekali kumisnya yang tipis dan dagunya. Hemm...!" Dengan lagak genit Kim Bwee meramkan matanya dan menelan ludah.
"Cihh! Genit benar engkau, Kim Bwee. Bagaimana kau hendak atur agar aku dapat berkenalan dengan mereka?"
"Mudah saja, mudah saja! Setelah Cici menjadi Pelindung Dalam Istana ini, sudah sewajarnya Cici mengadakan makan-makan dalam pesta perkenalan. Aku akan mengundang mereka dalam pesta, siapa bilang mereka akan berani menolaknya?"
Malam hari itu, ditemani oleh Coa Kim Bwee, Lu Sian tercapai hasrat hatinya, makan minum semeja dengan tiga orang muda yang ganteng tampan, Pangeran Kang, Pangeran Liang dan Panglima Muda Cu Bian.
Ketiga orang muda ini tentu saja tidak enak untuk menolak undangan Lu Sian yang kini dikenal sebagai Sian-toanio (Nyonya Besar Sian), pelindung istana yang memiliki kepandaian tinggi. Biar pun dengan malu-malu, mereka merasa girang juga dapat berkenalan dengan tokoh hebat ini. Dan bau semerbak harum di kala mereka makan bersama membuat hati muda mereka berdebar-debar.
Memang mereka semua maklum akan kegenitan selir ke tujuh kaisar yang sudah lama menggoda mereka, akan tetapi mereka tidak berani melayani karena mereka adalah orang-orang gagah yang tidak melakukan perbuatan hina. Akan tetapi, kecantikan dan kesaktian Sian-toanio benar-benar mengguncangkan hati dan pertahanan mereka.
Karena kini Lu Sian bebas mengunjungi bagian mana saja dalam lingkungan istana, akhirnya kedua orang Pangeran Kang dan Liang roboh dalam pelukannya, tidak kuat menahan goda dan bujuk rayunya. Orang-orang muda yang kurang pengalaman ini tentu saja mudah dipermainkan Lu Sian yang sewaktu-waktu di waktu malam dapat mengunjungi kamar mereka, dapat melakukan semua ini tanpa terlihat pengawal atau orang lain karena ia mempergunakan kepandaiannya yang tinggi.
Akan tetapi dasar moralnya sudah bejat dan rusak, Lu Sian masih belum puas dengan hasil kemenangan-kemenangan ini. Sudah banyak ia berhasil menjadikan pangeran-pangeran dan panglima muda tunduk dan menjadi kekasihnya, setiap saat ia dapat berpesta pora dengan pangeran-pangeran ganteng dan panglima-panglima gagah, namun satu hal membuat ia kecewa dan penasaran. Yaitu Panglima Muda Cu Bian yang sampai berbulan-bulan belum juga mau menyerah!
Panglima muda ini benar-benar keras hati. Setiap kali Lu Sian datang, dia melayani wanita ini dengan sopan dan keras, tidak mau tunduk dan tak pernah menyatakan tanda-tanda runtuh di bawah sikap manis dan bujuk rayu.
Malam itu untuk kesekian kalinya Lu Sian yang merasa penasaran mendatangi kamar Panglima Muda Cu Bian. Pemuda ini tengah membaca kitab di dalam taman di luar kamarnya, di bawah penerangan lampu kehijauan. Ketika melihat bayangan berkelebat, Cu Bian cepat melompat berdiri dan bersiap karena pada masa itu memang tidak aneh kalau ada musuh datang di waktu tengah malam. Akan tetapi ketika melihat bahwa yang datang adalah Lu Sian, ia tersenyum dan berkata.
"Ah, kiranya Sian-toanio yang datang. Silakan duduk!"
Lu Sian tersenyum manis dan duduk di atas bangku depan pemuda itu sambil berkata,
"Cu-ciangkun benar-benar rajin sekali, asyik mempelajari kitab apakah?"
Cu Bian tersenyum dengan muka merah.
"Ah, Toanio, sungguh malu kalau bicara tentang ilmu di depanmu. Aku terlalu bodoh untuk memahami isi kitab ini."
"Ilmu apakah yang berada dalam kitab itu?"
"Ilmu Sia-kut-hoat (Ilmu Pelemas Tulang)."
"Ah, Ciangkun sudah begini lihai masih mempelajari Sia-kut-hoat?"
Cu Bian cepat berdiri dan menjura.
"Harap Toanio jangan mentertawakan aku yang masih bodoh."
Lu Sian menutupi mulutnya menyembunyikan tawa.
"Para panglima disini benar-benar pandai merendahkan diri. Ciangkun, apakah kau menemui kesukaran dalam pelajaran Sia-kut-hoat?"
"Benar, Toanio."
"Hemm, apakah sukarnya? Kurasa mudah saja mempelajari ilmu ini. Kalau Ciangkun suka, boleh saja aku mengajarmu sampai berhasil."
"Sungguh? Ah, terima kasih, Toanio, terima kasih."
"Ciangkun suka?"
"Tentu saja saya suka, kalau tidak terlalu mengganggu Toanio."
"Ilmu Sia-kut-hoat berinti kepada penggunaan hawa sakti dalam tubuh. Akan tetapi untuk mengetahui sampai dimana tingkat Ciangkun, harap Ciangkun memberi petunjuk sebentar. Mari kita main-main sebentar, Ciangkun boleh saja menggunakan golokmu yang terkenal ampuh, dan akan kuperlihatkan betapa Sia-kut-hoat dapat melawannya."
"Mana saya berani? Tak usah dengan senjata, baik dengan tangan kosong saja, akan tetapi harap Toanio jangan mentertawai kebodohanku."
Lu Sian berdiri dan tersenyum manis.
"Tangan kosong pun boleh. Nah, silakan, Ciangkun."
Karena mendapat janji akan diberi pelajaran Ilmu Sia-kut-hoat yang amat ia inginkan, pemuda ini memenuhi permintaan Lu Sian. Ia lalu menyimpan bukunya dan berdiri menghadapi Lu Sian. Akan tetapi karena masih merasa sungkan-sungkan, ia menjura dan memberi hormat.
"Harap Toanio maafkan kelancanganku."
"Tak usah Ciangkun sungkan, mulailah."
"Toanio, awas serangan!" sambil berkata demikian Cu Bian menyerang dengan pukulan ke arah pundak.
Pukulan ini seharusnya menuju ke dada, akan tetapi Cu Bian yang pemalu merasa tidak pantas memukul dada dalam latihan, maka memukul pundak. Diam-diam Lu Sian menjadi gemas. Pemuda ini amat pemalu dan terlalu sopan, pikirnya. Ia segera mengangkat tangannya menangkis, sengaja bergerak perlahan dan lambat. Sebagai seorang ahli silat yang sudah pandai, tentu saja Cu Bian melihat kelambatan ini. Betapa pun juga ia seorang panglima muda yang sudah terkenal, tentu saja dalam pertandingan ilmu silat, ia ingin mencari kemenangan.
Melihat tangkisan lambat ini, kepalan tangannya dibuka dan ia menangkap lengan Lu Sian sambil menariknya. Tepat sekali tangannya berhasil mencengkeram kulit lengan yang halus dan hangat. Akan tetapi mendadak sekali pegangan yang erat itu terlepas seakan-akan lengan itu seekor belut atau ular yang licin, dan seakan-akan tulang lengan itu lenyap. Ia kaget sekali.
"Nah, itulah kegunaan Sia-kut-hoat, Ciangkun. Kau boleh menangkapku lagi di mana saja!" tantang Lu Sian sambil tersenyum.
Cu-ciangkun masih belum mau percaya.
"Maaf, Toanio!"
Katanya dan ia bergerak maju. Kedua tangannya cepat sekali berhasil menangkap kedua lengan Lu Sian dan kini ia mengerahkan tenaga, jari-jari tangannya mencengkeram.
Dengan mulut tetap tersenyum Lu Sian berkata,
"Yang keras, Ciangkun, lebih keras lagi."
Cu Bian penasaran sekali dan mempererat pegangannya, tidak peduli lagi apakah pegangannya itu akan meyakitkan, bahkan ia lalu mempergunakan cengkeraman dari Ilmu Silat Eng-jiauw-kang (Ilmu Cakar Garuda). Dengan ilmu ini ia berani mencengkeram senjata tajam lawan, maka kini memegang lengan halus, dapat dibayangkan betapa kuatnya. Namun tiba-tiba Lu Sian mengeluarkan suara lirih dan... tahu-tahu kedua lengannya sudah terlepas lagi dari cengkeraman Cu Bian!
"Hebat...!" Cu Bian berseru girang.
"Cu-ciangkun, kalau hanya mencoba dengan lengan saja, tentu akan dikira bahwa Sia-kut-hoat hanya dapat dipakai untuk melemaskan tulang lengan. Cobalah sekarang Ciangkun menangkapku seperti orang menangkap pencuri, boleh Ciangkun menjepit tubuhku dengan kedua lengan boleh kau rangkul dan jepit."
Seketika wajah Cu Bian menjadi merah.
"Ini... ini... mana saya berani...?"
"Ihh, Ciangkun mengapa sungkan-sungkan dan malu-malu? Bukankah kita ini sedang berlatih menguji ilmu? Hayo, lakukanlah jangan ragu-ragu. Sebaiknya Ciangkun menggunakan ilmu menangkap yang paling kuat, membekuk leherku melalui bawah kedua lenganku ke atas."
Berdebar jantung Cu Bian. Di lubuk hatinya ia amat mengagumi wanita ini, kagum akan ilmu kepandaiannya, juga kagum akan kecantikannya. Akan tetapi dia bukanlah seorang pemuda hidung belang, dan ia selalu menjaga kesopanan dan menjaga nama. Kalau saja ia tidak amat ingin mempelajari Sia-kut-hoat, agaknya ia akan berkeras menolak. Merangkul seperti itu sama saja dengan memeluk, pikirnya.
"Aku... aku... tidakkah itu berarti saya berani kurang ajar terhadap Toanio?" Ia masih membantah dan ragu-ragu.
Makin gemas hati Lu Sian. Benar-benar seorang pemuda istimewa. Belum pernah ia bertemu dengan pemuda yang begini pemalu dan tahan uji dan kuat menahan perasaan.
"Cu-ciangkun, bagaimana ini? Aku sedang memberi petunjuk tentang Sia-kut-hoat yang ingin kau pelajari, mengapa begini saja kau keberatan? Ada apakah terselip dalam hatimu?"
Makin bingung dan guguplah Cu Bian mendengar ini. Celaka, pikirnya. Keraguanku ini bahkan menimbulkan kesan bahwa memang hatiku memikirkan hal-hal kurang layak! Ia segera melangkah maju dan berkata tegas,
"Baiklah, Toanio!"
Lu Sian tersenyum mengejek, lalu membalikkan tubuhnya, mengangkat kedua lengannya ke atas,
"Nah, kau bekuklah aku!"
Cu Bian mendorong kedua lengannya melalui bawah lengan Lu Sian, lalu membalikkan tangan ke atas dan kedua tangannya bertemu di atas tengkuk Lu Sian. Jantungnya berdebar makin keras dan pemuda ini memejamkan matanya menggigit bibir!
Kasihan sekali pemuda yang masih hijau ini. Mana bisa ia tidak merasa ‘tersiksa’ ketika kedua lengannya merasakan kulit leher yang halus, dadanya merapat pada punggung yang lunak, hidungnya dekat sekali dengan rambut yang harum semerbak? Demi kesopanan ia agak mengundurkan tubuhnya dan pelukannya pada leher mengendur.
"Eh-eh, bagaimana ini? Kalau cara Ciangkun membekuk pencuri selemah ini, tanpa Sia-kut-hoat sekali pun akan mudah lepas. Jangan sungkan-sungkan, Ciangkun. Atau... khawatirkah engkau kalau-kalau leherku akan patah?"
"Wah, Raja suka kepadamu, Cici. Kalau kau mau..."
"Hush! Kau mau samakan aku denganmu? Selera kita berbeda, Kim Bwee. Siapa suka melayani laki-laki setengah tua yang jenggotnya kasar itu? Tidak, aku tidak mau. Kalau Raja memaksa, aku akan minggat dari sini."
Coa Kim Bwee tertawa.
"Jangan kuatir, Cici. Saya dapat membujuk raja dan menyatakan bahwa kau sudah menjauhkan diri daripada pria. Beliau membutuhkan kepandaianmu, tentu tidak akan memaksa. Bagaimana pendapat Cici tentang para pangeran dan panglima muda? Hebat, kan?"
Lu Sian tersenyum, memainkan biji matanya.
"Hebat sih hebat, akan tetapi sebagai wanita, bagaimana aku dapat mendekati mereka? Kau sendiri bilang, mereka itu sukar didekati."
"Ihh, siapa berani menolak Cici? Tadi pun kulihat mereka melirak-lirik ke arah Cici penuh kagum dan mengilar! Kalau memang Cici ada hasrat berkenalan, aku ada jalan untuk mempertemukan Cici dengan mereka."
Selir ke tujuh Kaisar ini benar-benar pandai mengambil hati sehingga Lu Sian merasa gembira sekali. Setelah berjanji akan menurunkan Ilmu Pukulan Tangan Api Merah kepada Kim Bwee, Lu Sian lalu mengatakan tanpa malu-malu lagi bahwa diantara para muda yang hadir tadi, ia tertarik kepada dua orang pangeran dan seorang panglima muda.
"Hi-hi-hik! Siapa bilang selera kita tidak cocok?" Kim Bwee bersorak. "Dan dua orang pangeran itu adalah Pangeran Kang yang kuilt mukanya halus seperti wanita, dan Pangeran Liang yang gagah seperti harimau. Cocok, bukan? Dan panglima muda itu adalah seorang jejaka asli, usianya baru dua puluh tahun, kuat seperti seekor kuda jantan dan pandai mainkan golok. Ganteng, ya? Terutama sekali kumisnya yang tipis dan dagunya. Hemm...!" Dengan lagak genit Kim Bwee meramkan matanya dan menelan ludah.
"Cihh! Genit benar engkau, Kim Bwee. Bagaimana kau hendak atur agar aku dapat berkenalan dengan mereka?"
"Mudah saja, mudah saja! Setelah Cici menjadi Pelindung Dalam Istana ini, sudah sewajarnya Cici mengadakan makan-makan dalam pesta perkenalan. Aku akan mengundang mereka dalam pesta, siapa bilang mereka akan berani menolaknya?"
Malam hari itu, ditemani oleh Coa Kim Bwee, Lu Sian tercapai hasrat hatinya, makan minum semeja dengan tiga orang muda yang ganteng tampan, Pangeran Kang, Pangeran Liang dan Panglima Muda Cu Bian.
Ketiga orang muda ini tentu saja tidak enak untuk menolak undangan Lu Sian yang kini dikenal sebagai Sian-toanio (Nyonya Besar Sian), pelindung istana yang memiliki kepandaian tinggi. Biar pun dengan malu-malu, mereka merasa girang juga dapat berkenalan dengan tokoh hebat ini. Dan bau semerbak harum di kala mereka makan bersama membuat hati muda mereka berdebar-debar.
Memang mereka semua maklum akan kegenitan selir ke tujuh kaisar yang sudah lama menggoda mereka, akan tetapi mereka tidak berani melayani karena mereka adalah orang-orang gagah yang tidak melakukan perbuatan hina. Akan tetapi, kecantikan dan kesaktian Sian-toanio benar-benar mengguncangkan hati dan pertahanan mereka.
Karena kini Lu Sian bebas mengunjungi bagian mana saja dalam lingkungan istana, akhirnya kedua orang Pangeran Kang dan Liang roboh dalam pelukannya, tidak kuat menahan goda dan bujuk rayunya. Orang-orang muda yang kurang pengalaman ini tentu saja mudah dipermainkan Lu Sian yang sewaktu-waktu di waktu malam dapat mengunjungi kamar mereka, dapat melakukan semua ini tanpa terlihat pengawal atau orang lain karena ia mempergunakan kepandaiannya yang tinggi.
Akan tetapi dasar moralnya sudah bejat dan rusak, Lu Sian masih belum puas dengan hasil kemenangan-kemenangan ini. Sudah banyak ia berhasil menjadikan pangeran-pangeran dan panglima muda tunduk dan menjadi kekasihnya, setiap saat ia dapat berpesta pora dengan pangeran-pangeran ganteng dan panglima-panglima gagah, namun satu hal membuat ia kecewa dan penasaran. Yaitu Panglima Muda Cu Bian yang sampai berbulan-bulan belum juga mau menyerah!
Panglima muda ini benar-benar keras hati. Setiap kali Lu Sian datang, dia melayani wanita ini dengan sopan dan keras, tidak mau tunduk dan tak pernah menyatakan tanda-tanda runtuh di bawah sikap manis dan bujuk rayu.
Malam itu untuk kesekian kalinya Lu Sian yang merasa penasaran mendatangi kamar Panglima Muda Cu Bian. Pemuda ini tengah membaca kitab di dalam taman di luar kamarnya, di bawah penerangan lampu kehijauan. Ketika melihat bayangan berkelebat, Cu Bian cepat melompat berdiri dan bersiap karena pada masa itu memang tidak aneh kalau ada musuh datang di waktu tengah malam. Akan tetapi ketika melihat bahwa yang datang adalah Lu Sian, ia tersenyum dan berkata.
"Ah, kiranya Sian-toanio yang datang. Silakan duduk!"
Lu Sian tersenyum manis dan duduk di atas bangku depan pemuda itu sambil berkata,
"Cu-ciangkun benar-benar rajin sekali, asyik mempelajari kitab apakah?"
Cu Bian tersenyum dengan muka merah.
"Ah, Toanio, sungguh malu kalau bicara tentang ilmu di depanmu. Aku terlalu bodoh untuk memahami isi kitab ini."
"Ilmu apakah yang berada dalam kitab itu?"
"Ilmu Sia-kut-hoat (Ilmu Pelemas Tulang)."
"Ah, Ciangkun sudah begini lihai masih mempelajari Sia-kut-hoat?"
Cu Bian cepat berdiri dan menjura.
"Harap Toanio jangan mentertawakan aku yang masih bodoh."
Lu Sian menutupi mulutnya menyembunyikan tawa.
"Para panglima disini benar-benar pandai merendahkan diri. Ciangkun, apakah kau menemui kesukaran dalam pelajaran Sia-kut-hoat?"
"Benar, Toanio."
"Hemm, apakah sukarnya? Kurasa mudah saja mempelajari ilmu ini. Kalau Ciangkun suka, boleh saja aku mengajarmu sampai berhasil."
"Sungguh? Ah, terima kasih, Toanio, terima kasih."
"Ciangkun suka?"
"Tentu saja saya suka, kalau tidak terlalu mengganggu Toanio."
"Ilmu Sia-kut-hoat berinti kepada penggunaan hawa sakti dalam tubuh. Akan tetapi untuk mengetahui sampai dimana tingkat Ciangkun, harap Ciangkun memberi petunjuk sebentar. Mari kita main-main sebentar, Ciangkun boleh saja menggunakan golokmu yang terkenal ampuh, dan akan kuperlihatkan betapa Sia-kut-hoat dapat melawannya."
"Mana saya berani? Tak usah dengan senjata, baik dengan tangan kosong saja, akan tetapi harap Toanio jangan mentertawai kebodohanku."
Lu Sian berdiri dan tersenyum manis.
"Tangan kosong pun boleh. Nah, silakan, Ciangkun."
Karena mendapat janji akan diberi pelajaran Ilmu Sia-kut-hoat yang amat ia inginkan, pemuda ini memenuhi permintaan Lu Sian. Ia lalu menyimpan bukunya dan berdiri menghadapi Lu Sian. Akan tetapi karena masih merasa sungkan-sungkan, ia menjura dan memberi hormat.
"Harap Toanio maafkan kelancanganku."
"Tak usah Ciangkun sungkan, mulailah."
"Toanio, awas serangan!" sambil berkata demikian Cu Bian menyerang dengan pukulan ke arah pundak.
Pukulan ini seharusnya menuju ke dada, akan tetapi Cu Bian yang pemalu merasa tidak pantas memukul dada dalam latihan, maka memukul pundak. Diam-diam Lu Sian menjadi gemas. Pemuda ini amat pemalu dan terlalu sopan, pikirnya. Ia segera mengangkat tangannya menangkis, sengaja bergerak perlahan dan lambat. Sebagai seorang ahli silat yang sudah pandai, tentu saja Cu Bian melihat kelambatan ini. Betapa pun juga ia seorang panglima muda yang sudah terkenal, tentu saja dalam pertandingan ilmu silat, ia ingin mencari kemenangan.
Melihat tangkisan lambat ini, kepalan tangannya dibuka dan ia menangkap lengan Lu Sian sambil menariknya. Tepat sekali tangannya berhasil mencengkeram kulit lengan yang halus dan hangat. Akan tetapi mendadak sekali pegangan yang erat itu terlepas seakan-akan lengan itu seekor belut atau ular yang licin, dan seakan-akan tulang lengan itu lenyap. Ia kaget sekali.
"Nah, itulah kegunaan Sia-kut-hoat, Ciangkun. Kau boleh menangkapku lagi di mana saja!" tantang Lu Sian sambil tersenyum.
Cu-ciangkun masih belum mau percaya.
"Maaf, Toanio!"
Katanya dan ia bergerak maju. Kedua tangannya cepat sekali berhasil menangkap kedua lengan Lu Sian dan kini ia mengerahkan tenaga, jari-jari tangannya mencengkeram.
Dengan mulut tetap tersenyum Lu Sian berkata,
"Yang keras, Ciangkun, lebih keras lagi."
Cu Bian penasaran sekali dan mempererat pegangannya, tidak peduli lagi apakah pegangannya itu akan meyakitkan, bahkan ia lalu mempergunakan cengkeraman dari Ilmu Silat Eng-jiauw-kang (Ilmu Cakar Garuda). Dengan ilmu ini ia berani mencengkeram senjata tajam lawan, maka kini memegang lengan halus, dapat dibayangkan betapa kuatnya. Namun tiba-tiba Lu Sian mengeluarkan suara lirih dan... tahu-tahu kedua lengannya sudah terlepas lagi dari cengkeraman Cu Bian!
"Hebat...!" Cu Bian berseru girang.
"Cu-ciangkun, kalau hanya mencoba dengan lengan saja, tentu akan dikira bahwa Sia-kut-hoat hanya dapat dipakai untuk melemaskan tulang lengan. Cobalah sekarang Ciangkun menangkapku seperti orang menangkap pencuri, boleh Ciangkun menjepit tubuhku dengan kedua lengan boleh kau rangkul dan jepit."
Seketika wajah Cu Bian menjadi merah.
"Ini... ini... mana saya berani...?"
"Ihh, Ciangkun mengapa sungkan-sungkan dan malu-malu? Bukankah kita ini sedang berlatih menguji ilmu? Hayo, lakukanlah jangan ragu-ragu. Sebaiknya Ciangkun menggunakan ilmu menangkap yang paling kuat, membekuk leherku melalui bawah kedua lenganku ke atas."
Berdebar jantung Cu Bian. Di lubuk hatinya ia amat mengagumi wanita ini, kagum akan ilmu kepandaiannya, juga kagum akan kecantikannya. Akan tetapi dia bukanlah seorang pemuda hidung belang, dan ia selalu menjaga kesopanan dan menjaga nama. Kalau saja ia tidak amat ingin mempelajari Sia-kut-hoat, agaknya ia akan berkeras menolak. Merangkul seperti itu sama saja dengan memeluk, pikirnya.
"Aku... aku... tidakkah itu berarti saya berani kurang ajar terhadap Toanio?" Ia masih membantah dan ragu-ragu.
Makin gemas hati Lu Sian. Benar-benar seorang pemuda istimewa. Belum pernah ia bertemu dengan pemuda yang begini pemalu dan tahan uji dan kuat menahan perasaan.
"Cu-ciangkun, bagaimana ini? Aku sedang memberi petunjuk tentang Sia-kut-hoat yang ingin kau pelajari, mengapa begini saja kau keberatan? Ada apakah terselip dalam hatimu?"
Makin bingung dan guguplah Cu Bian mendengar ini. Celaka, pikirnya. Keraguanku ini bahkan menimbulkan kesan bahwa memang hatiku memikirkan hal-hal kurang layak! Ia segera melangkah maju dan berkata tegas,
"Baiklah, Toanio!"
Lu Sian tersenyum mengejek, lalu membalikkan tubuhnya, mengangkat kedua lengannya ke atas,
"Nah, kau bekuklah aku!"
Cu Bian mendorong kedua lengannya melalui bawah lengan Lu Sian, lalu membalikkan tangan ke atas dan kedua tangannya bertemu di atas tengkuk Lu Sian. Jantungnya berdebar makin keras dan pemuda ini memejamkan matanya menggigit bibir!
Kasihan sekali pemuda yang masih hijau ini. Mana bisa ia tidak merasa ‘tersiksa’ ketika kedua lengannya merasakan kulit leher yang halus, dadanya merapat pada punggung yang lunak, hidungnya dekat sekali dengan rambut yang harum semerbak? Demi kesopanan ia agak mengundurkan tubuhnya dan pelukannya pada leher mengendur.
"Eh-eh, bagaimana ini? Kalau cara Ciangkun membekuk pencuri selemah ini, tanpa Sia-kut-hoat sekali pun akan mudah lepas. Jangan sungkan-sungkan, Ciangkun. Atau... khawatirkah engkau kalau-kalau leherku akan patah?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar