FB

FB


Ads

Sabtu, 13 April 2019

Suling Emas Jilid 103

"Ah, dia itu selir ke tujuh dari Sri Baginda, maka terhitung ibu ke tujuh dariku. Dia masih amat muda, akan tetapi di antara semua penghuni istana, dialah yang paling lihai ilmu silatnya. Dia itu dahulu puteri seorang jenderal yang berguru kepada orang-orang pandai. Memang dia hebat... eh, betapa pun juga dibandingkan denganmu, dia bukan apa-apa!"

Lu Sian tersenyum lagi dan memainkan biji matanya.
"Kau belum tahu sampai di mana kepandaianku, bagaimana bisa menyatakan begitu? Agaknya Coa Kim Bwee itu amat lihai dan kau mengenal baik ibu tirimu itu!"

Wajah Pangeran ini mendadak menjadi merah sekali dan mata tajam Lu Sian dapat menduga bahwa diantara pemuda tampan dan selir ayahnya tentulah ada hubungan mesra. Sudah banyak ia mendengar tentang selir-selir raja yang masih muda mengadakan hubungan dengan putera-putera raja yang muda dan tampan. Akan tetapi ia tidak peduli akan hal ini karena sepanjang pengalamannya, tak pernah ia mendapatkan seorang pun laki-laki yang benar-benar hanya mencinta seorang wanita dan benar-benar ‘setia’ seperti yang seringkali terdengung dari mulutnya.

"Lie-kongcu, sekarang apakah syarat-syaratnya kalau aku menjadi pengawal pribadimu?"

"Syaratnya? Eh... syaratnya tentu saja kau tidak boleh berpisah dari sampingku, siang... malam... jadi... eh, kau selalu mendampingiku dan kalau kau suka menerimanya, aku... aku akan berterima kasih sekali. Biar aku berlutut di depanmu....!"

Pangeran muda yang sudah tergila-gila oleh kecantikan Lu Sian itu benar-benar hendak berlutut!

Dengan halus Lu Sian menyentuh pundaknya, melarangnya berlutut.
"Nanti dulu, Kongcu. Kau mempunyai syarat, aku pun mempunyai permintaan sebagai syarat. Pertama, aku harus mendapat kebebasan bergerak di dalam istana ini, kecuali tempat tinggal Raja tentu saja."

"Baik, baik, hal itu dapat dilaksanakan."

"Ke dua, di luar kehendakku, orang lain tidak boleh bertanya-tanya tentang diriku, dan ke tiga, segala permintaanku harus kau turuti. Juga setiap saat aku meninggalkan tempat ini, tak boleh ada yang menghalangiku."

"Baik, baik, asal Sian-li suka menjadi pelindungku, pengawal pribadiku yang tak pernah meninggalkanku siang malam..."

"Dan tentang berlutut itu, nanti malam saja boleh kau berlutut sepuas hatimu!"

Mendengar ini, si Pangeran Muda menjadi girang dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu bangkit dan merangkul leher Lu Sian yang mudah saja terbuai dalam belaian si Pangeran Muda yang muda dan tampan. Bahkan dengan halus ia berbisik.

"Senja telah lewat, di sini sudah mulai gelap dan dingin, lebih baik kita masuk saja."

Pangeran muda itu bertekuk lutut dan benar-benar jatuh menghadapi rayuan seorang wanita yang berpengalaman seperti Lu Sian. Sampai-sampai di dalam kamar Pangeran yang mewah dan bersih itu, ketika mereka makan minum menghadapi meja, si Pangeran menuruti segala perintah Lu Sian, biar pun ia disuruh minum arak dari sepatu Lu Sian yang dijadikan cawan! Disuruh berlutut, disuruh mengambilkan perhiasan apa saja yang dikehendaki Lu Sian. Memang tidak ada kegelian yang lebih menggelikan dapat menghinggapi seorang pria dari pada kalau ia sudah tergila-gila kepada seorang wanita!

Dua hari dua malam Lu Sian dan Pangeran Lie Kong Hian tak pernah meninggalkan kamar, tenggelam ke dalam permainan nafsu. Pada pagi hari ke tiga, ketika Lu Sian terbangun dari tidurnya, pangeran itu sudah tidak berada di dalam kamar. Ia bangkit dan dengan malas-malasan Lu Sian duduk menghadapi cermin yang besar, mengambil sisir dan menyisir rambutnya yang dilepas sanggulnya dan terurai panjang sampai ke pinggul.

Rambutnya hitam halus, berombak dan berbau harum. Sambil tersenyum-senyum puas dan girang karena kini ia merasai kenikmatan hidup seperti seorang puteri istana, tiba-tiba ia mendengar suara ribut-ribut di luar. Cepat ia bangkit dan mengintai dari balik pintu kamar.

Kagetlah hatinya ketika ia melihat Pangeran Lie Kong Hie berdiri dengan muka pucat dan kedua lengan terpentang. Di depannya berdiri seorang wanita muda yang cantik bersikap galak, membawa pedang di tangan dan di belakangnya terdapat seorang gadis lain berpakaian pelayan, juga membawa pedang telanjang!






Lu Sian cepat meraba kantung jarumnya. Sambil mengintai ia bersiap dengan jarum-jarum merahnya. Ia tidak segera turun tangan karena hendak melihat dan mendengar dulu apa yang terjadi. Kalau gadis cantik itu hendak membunuh Kong Hian, tentu ia akan mendahuluinya dengan jarum-jarum yang tak pernah meleset!

"Kau bersekongkol dengan pemberontak!" si Gadis membentak dengan suara yang nyaring, sedangkan matanya memancarkan sinar berapi. "Hayo, serahkan dia kepadaku, ataukah kau benar-benar hendak membelanya karena ia kabarnya cantik jelita? Mata keranjang! Kau rela bersekongkol dengan pemberontak hanya karena dia cantik?"

"Tidak... tidak... Kim Bwee... eh, ibu... dia bukan pemberontak. Dia... dia pengawal pribadiku, dan malah menolongku dari pada serangan kaum pemberontak!"

"Tapi dia Tok-siauw-kwi...!"

"Orang-orang jahat menamakan dia begitu akan tetapi dia seorang Dewi! Dia bukan pemberontak. Kim... eh, ibu... harap suka bersabar dan jangan menuruti hati cemburu..."

"Siapa cemburu?? Biar engkau kumpulkan... eh, seribu orang perempuan lacur, aku tidak peduli! Akan tetapi sekali engkau bersekongkol dengan pemberontak, pedangku sendiri yang akan menembus dadamu...!"

Wanita itu mengancam dan menodongkan pedangnya ke depan dada Lie Kong Hian. Sedangkan pelayan yang juga berpedang itu sudah bergerak mengurung.

"Chit-moi (Adik ke Tujuh)... tahan pedangmu...!" tiba-tiba terdengar jerit tertahan dan selir raja ke tiga, ibu Lie Kong Hian sudah datang berlari-lari dan memeluk puteranya, kemudian menghadang di depan puteranya memandang kepada wanita berpedang itu. "Chit-moi, jangan engkau main-main dengan senjata tajam! Mengapa kau bersikap begini?"

"Sam-cici (Kakak ke Tiga), puteramu yang bagus ini bersekongkol dan menyembunyikan seorang perempuan pemberontak dalam kamarnya. Bagaimana aku dapat mendiamkannya saja? Bukankah hadirnya seorang pemberontak, betapa cantiknya pun, berarti membahayakan kita semua, terutama Sri Baginda?"

"Tenanglah, Chit-moi. Memang betul ada datang seorang wanita yang telah menolong nyawa Hian-ji (Anak Hian) ketika ia diserang pemberontak. Tentu saja kami percaya kepada penolong itu dan hatiku malah lega ketika mendengar bahwa ia suka menjadi pengawal pribadi anakku. Kalau ia pemberontak, mengapa ia menolong anakku? Dan andai kata ia pemberontak sekali pun, hal itu bukanlah salahnya anakku, melainkan dia yang menyelundup dengan tindakan palsu. Mengapa kau tidak menyelidikinya lebih dulu sebelum bertindak terhadap puteraku?"

"Memang aku akan menyelidikinya! Dia Tok-siauw-kwi, berarti dia pemberontak. Dia di kamarmu bukan?"

Pertanyaan ini ditujukan kepada Kong Hian yang menjadi merah sekali wajahnya dan akhirnya mengangguk.

Wanita berpedang yang cantik dan galak ini memang Coa Kim Bwee, selir ke tujuh Sri Baginda. Memang mudah diduga bahwa selain berkepandaian tinggi, Coa Kim Bwee yang masih amat muda dan cantik itu tentu saja merasa tidak puas menjadi selir ke tujuh. Wataknya memang berandalan dan genit, dan Lie Kong Hian bukanlah satu-satunya ‘anak tiri’ yang ia jadikan kekasihnya! Ada pun tindakannya sekarang ini selain menaruh curiga, juga sebagian besar terdorong oleh rasa cemburu, mendengar bahwa seorang di antara kekasihnya yang paling ia sayangi ini mengeram seorang wanita cantik dari luar sampai dua hari dua malam!

Coa Kim Bwee bersuit dan muncullah lima orang wanita pelayan lain yang memang sudah siap dengan pedang di tangan masing-masing. Kini enam orang pelayan wanita itu mengikuti Coa Kim Bwee melangkah perlahan menuju ke kamar Pangeran Lie Kong Hian!

Lu Sian tersenyum setelah mendengar dan melihat semua yang terjadi di luar. Ia sudah senang tinggal di istana pangeran ini dan memang ia mulai bosan dengan perantauan yang kadang-kadang amat sengsara. Kalau ia turun tangan membunuh Coa Kim Bwee dan enam orang pembantunya, tentu ia tak mungkin dapat tinggal dalam istana lebih lama lagi. Coa Kim Bwee adalah selir terkasih dari Raja, tentu kematiannya akan menimbulkan geger.

Dan melihat betapa Coa Kim Bwee agaknya berpengaruh dan dapat bertindak sesukanya di istana, ia rasa lebih baik wanita ini ia dekati. Untuk dapat melaksanakan niat ini, ia harus mampu menaklukkan wanita ini yang dilihat dari langkahnya memiliki ilmu kepandaian yang lumayan.

Maka melihat Coa Kim Bwee dan enam orang pembantunya yang semua memegang pedang telanjang itu menuju ke kamarnya, ia cepat duduk kembali di depan cermin dan menyisir rambutnya dengan sikap tenang.


Coa Kim Bwee muncul di sebelah belakangnya. Mereka bertemu pandang melalui cermin. Tanpa menyembunyikan rasa kagumnya melihat wajah cantik terhias rambut hitam panjang itu, Coa Kim Bwee memandang lalu membentak.

"Apakah engkau Tok-siauw-kwi?"

Bentakannya mengandung keraguan karena ia benar-benar tidak mengira akan menemui seorang wanita yang demikian cantik jelita, lagi masih muda.

Sepanjang pendengarannya, Tok-siauw-kwi tentu telah berusia empat puluh tahun, karena ketika Tok-siauw-kwi masih menjadi isteri Jenderal Kam Si Ek, dia sendiri baru berusia sepuluh tahun! Karena inilah ia ragu-ragu dan bertanya.

Tanpa menoleh Lu Sian menjawab melalui cermin.
"Kalau betul, mengapa? Mau apakah engkau datang bersama enam orang pembantumu dengan pedang di tangan?"

Kembali Coa Kim Bwee tertegun. Sikap wanita ini demikian tenang dan manis, namun sinar mata melalui cermin itu membuat tengkuknya berdiri. Banyak sudah Coa Kim Bwee menghadapi lawan tangguh, namun belum pernah ia merasa jerih seperti pada saat ini. Akan tetapi ia memberanikan hati dan membentak lagi.

"Aku datang untuk menangkapmu. Menyerahlah baik-baik sebelum pedang kami memaksamu!"

Lu Sian tersenyum makin lebar. Giginya berkilat putih.
"Adik yang manis, kalau ada urusan yang hendak dibicarakan, mengapa tidak masuk sendiri dan bicara baik-baik tanpa diganggu enam orang pelayanmu yang menjemukan?"

Coa Kim Bwee marah. Ia memberi isyarat dengan pedangnya kepada enam orang pembantunya sambil berkata,

"Tangkap dia!"

Juga enam orang pelayan itu marah karena dikatakan ‘menjemukan’ dan sama sekali tidak dipandang mata oleh wanita berambut panjang itu. Mereka berenam adalah pelayan perempuan yang bertugas sebagai pengawal, memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup tinggi. Biasanya penjahat pria saja masih mampu mereka hadapi dan kalahkan, apalagi hanya seorang perempuan tak bersenjata yang sedang bersisir rambut? Mereka bahkan merasa malu untuk mengeroyok. Akan tetapi mereka tidak berani membantah karena telah menerima perintah.

Coa Kim Bwee melangkah masuk dan berdiri di pinggir untuk memberi jalan kepada mereka. Enam orang pelayan itu segera melangkah masuk menghampiri Lu Sian dari belakang dengan sikap mengancam. Akan tetapi Lu Sian tetap tidak menoleh, hanya menatap mereka dengan pandang mata tajam melalui cermin di depannya.

"Serbu!"

Seorang diantara mereka memberi komando dan dengan bermacam gerakan menyerbulah keenam orang pelayan itu ke depan.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar