FB

FB


Ads

Sabtu, 13 April 2019

Suling Emas Jilid 102

Pemuda itu tersenyum.
"Apa sih bedanya pangeran dan orang biasa? Lihiap, sekali lagi, katakanlah bagaimana saya harus membalas budimu?"

"Telah saya katakan tadi, tidak ada penghutangan budi. Kalau Kongcu hendak melakukan sesuatu untuk menuruti permintaanku, saat ini tidak ada keinginan lain di hatiku kecuali keterangan mengapa Kongcu sebagai pangeran diserang oleh empat orang ini dan siapakan mereka?"

Pemuda itu menggerakkan kipasnya untuk mengipas leher, padahal ia menggunakan benda itu untuk menutup mulutnya dari orang lain agar kata-katanya tidak terdengar orang lain kecuali Lu Sian, kemudian berkata perlahan,

"Lihiap disini bukan tempat kita bicara tentang itu. Saya persilakan Lihiap singgah di gedung kami, sudikah Lihiap memberi penghormatan itu?"

"Ayaaa....! Kongcu benar-benar terlalu merendah! Undangan itu justru merupakan kehormatan besar sekali bagiku. Terima kasih, Kongcu, tentu saja saya bersedia memenuhi undangan Kongcu."

Pada saat itu terdengar langkah kaki banyak orang dan masuklah tujuh orang berpakaian seragam yang serta-merta menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu.

"Bangunlah!" kata sang Pangeran dengan sikap berwibawa. "Urus empat mayat ini dan selidiki kalau-kalau masih ada teman-teman mereka yang berkeliaran dalam kota!"

Mereka bangkit dengan sikap hormat.

"Sediakan dua ekor kuda untuk kami!" kata pula pemuda itu.

Cepat sekali dua orang diantara mereka keluar, dan tak lama kemudian terdengarlah derap kaki dua ekor kuda di depan pintu rumah makan.....

"Lihiap, mari kita berangkat," ajak si Pangeran.

Ketika Lu Sian hendak membayar harga makanan, cepat-cepat si Pemilik Rumah Makan mencegah dengan ucapan manis.

"Harap Lihiap tidak usah repot-repot. Semua yang berada di sini hamba sediakan untuk keperluan sang Pangeran dan sahabat-sahabat beliau!"

Pangeran itu tersenyum dan mengajak Lu Sian keluar. Disana telah tersedia dua ekor kuda besar beserta perlengkapannya.

"Silakan, Lihiap," ajak pemuda itu.

Lu Sian tidak sungkan-sungkan lagi. Segera ia melompat ke atas pelana kuda, diikuti oleh pangeran itu. Mereka segera menjalankan kuda, diikuti pandang mata kagum dari belakang.

Walau pun jarang keluar, Lu Sian pernah tinggal di kota ini bersama suaminya, karena itu ia mengenal jalan dan tahu pula bahwa pemuda itu mengajaknya memasuki halaman sebuah gedung besar yang dahulu menjadi istana Gubernur Li!

Hatinya berdebar tidak enak, khawatir kalau-kalau ada orang mengenalnya. Akan tetapi ia menjadi lega ketika teringat bahwa sudah lewat belasan tahun sejak ia berada di sini, pula dahulu ia tidak pernah keluar rumah dan tak pernah bertemu dengan para pembesar di tempat ini. Selain itu, ia percaya bahwa ilmu awet muda membuat ia takkan dikenal orang. Biar pun usianya sudah empat puluhan, namun ia tetap kelihatan seperti seorang gadis dua puluh tahun lebih!

Bekas gedung Gubernur Li itu memang kini menjadi istana raja. Komplek bangunannya banyak sekali dan pemuda ini bertempat tinggal di sebuah gedung sebelah kiri belakang. Begitu kuda mereka diurus oleh pelayan, mereka lalu memasuki gedung. Banyak sekali pelayan laki-laki dan wanita menyambut mereka penuh penghormatan.

"Sampaikan kepada Thai-thai (Nyonya Besar) bahwa aku hendak menghadap bersama seorang pendekar wanita yang telah menolongku,"

Kata Pangeran itu dengan sikap gembira kepada seorang pelayan wanita. Mendengar ini, para pelayan memandang Lu Sian penuh perhatian dan kagum.

Pangeran itu mempersilakan Lu Sian duduk di ruang tamu yang amat indah. Dengan kagum Lu Sian memandangi lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan yang bergantungan di sepanjang dinding. Alangkah bedanya dengan suaminya dahulu, pikirnya. Suaminya itu biar pun seorang jenderal ternama, hidupnya sederhana dan gedungnya tidak semewah dan seindah ini.

"Lihiap, bolehkah saya mengetahui nama Lihiap yang terhormat?"






Lu Sian terkejut. Kalau ia mengakui namanya, ada bahayanya orang mengenalnya sebagai bekas isteri Jenderal Kam Si Ek! Ia tersenyum manis dan menjawab,

"Saya seorang wanita perantau yang tidak pernah mengingat nama. Seingat saya, nama saya Sian, akan tetapi orang-orang menjuluki saya...."

"Tok-siauw-kwi? Sungguh terlalu ketika aku mendengar tosu keparat itu memakimu Tok-siauw-kwi! Kau patutnya seorang Sian-li (Dewi) dan mungkin Lihiap benar-benar seorang Dewi karena namanya Sian (Dewa). Biarlah bagi saya, Lihiap adalah seorang Sian-li dan selanjutnya kusebut begitu...."

"Ah, Kongcu benar-benar membuat saya malu dengan pujian-pujian muluk. Dan siapakah Kongcu? Apakah Thai-cu (Pangeran Mahkota)?"

"Ah, bukan... bukan! Saya hanya seorang pangeran yang lahir dari seorang selir, ibuku selir ke tiga dari Sri Baginda. Namaku Lie Kong Hian."

Lu Sian mengangguk-angguk dan pada saat itu muncullah seorang pelayan wanita yang memberitahukan bahwa nyonya besar telah siap menerima puteranya dan seorang sahabatnya.

"Marilah kita menghadap ibu. Beliau tentu girang sekali mendengar bahwa kau telah menolong nyawaku," kata pangeran yang bernama Lie Kong Hian itu.

Lu Sian hanya tersenyum dan mengikuti pemuda itu memasuki ruangan belakang. Gedung ini amat besar dan indah, di sebelah dalamnya terdapat taman yang kecil namun indah sekali. Di sebelah belakang juga terdapat taman bunga yang dihias pintu bulan yang menembus ke taman gedung sebelahnya.

Di ruangan belakang, ibu pemuda itu sudah menanti sambil duduk di atas kursi, seorang wanita yang usianya empat puluh tahun lebih namun masih memperlihatkan sisa-sisa kecantikannya. Di belakangnya menjaga dua orang pelayan wanita yang memijit-mijit punggungnya akan tetapi segera disuruh berhenti ketika nyonya itu melihat masuknya Kong Hian dan Lu Sian.

"Ibu....!" pemuda itu tanpa memberi hormat lagi merangkul pundak ibunya dengan sikap manja sekali. "Inilah Nona Sian-li yang telah menyelamatkan nyawa puteramu."

Serta-merta Pangeran itu menceritakan betapa di dalam rumah makan ia diserang mata-mata musuh akan tetapi diselamatkan oleh Sian-li (Dewi) yang perkasa ini.

"Nah, itulah jadinya kalau anak tidak mentaati nasehat orang tua," sang ibu mengomel. "Kau senang sekali keluyuran di luar padahal kau tahu bahwa suasananya sedang tidak aman. Kekuasaan-kekuasaan sedang timbul di mana-mana untuk saling berlumba merebutkan kedudukan. Tentu saja seorang pangeran seperti engkau ini menjadi sasaran gemuk. Kong Hian, tanpa keluyuran di luar, kau di rumah kurang apa lagikah? Aahhh, dasar anak sukar diurus....!"

Nyonya itu menarik napas panjang, kemudian menoleh kepada Lu Sian yang berdiri menundukkan muka.

"Nona, banyak terima kasih atas pertolonganmu kepada puteraku. Alangkah akan tenang rasa hatiku kalau dia mempunyai seorang pelindung seperti engkau yang selalu mendampinginya! Agaknya Nona ini seperti Coa Kim Bwee, sayang dia itu menjadi ibu ke tujuh Kong Hian, kalau tidak...."

"Ibu, urusan dalam istana kau sebut-sebut di depan Lihiap, mana dia tahu? Sudahlah, harap ibu beristirahat, aku mau mengajak tamu kita melihat-lihat taman."

Ibunya tersenyum dan mengedipkan mata, kemudian menggerakkan tangan memberi ijin mereka pergi meninggalkannya.

Sambil berjalan di samping Kong Hian memasuki taman belakang yang lebih besar dari pada taman di dalam tadi, diam-diam Lu Sian merasa heran atas sikap selir raja yang ke tiga itu. Begitu bebas, bahkan ada sifat-sifat genit dan agaknya senang melihat puteranya bergaul dengan wanita. Akan tetapi hanya sebentar saja ia memikirkan hal ini karena segera ia tertarik oleh keindahan taman, kehalusan tutur kata dan ketampanan wajah Kong Hian.

Pemuda pangeran ini pintar sekali mengarang sajak dan mengucapkannya dengan kata-kata berirama sehingga Lu Sian makin tertarik dan teringat kepada Kwee Seng. Tanpa mereka sadari, percakapan menjadi lebih bebas dan kini mereka duduk berhadapan di antara bunga-bunga, di dekat pintu bulan sambil menikmati keindahan tubuh ikan-ikan emas yang berenang di dalam empang teratai.

"Sian-li...."

Lu Sian memandang dengan alis terangkat. Suara pemuda ini menggetar dan baru sekarang menyebutnya Sian-li begitu saja sedangkan tadinya menyebut Lihiap atau kadang-kadang juga nona. Geli hatinya mendengar sebutan Dewi ini, akan tetapi juga senang. Lebih baik Sian-li (Dewi) dari pada disebut Tok-siauw-kwi (Setan Cilik Beracun)!

"Hemmm...?" gumamnya sambil mengerling tajam.

Dengan gagap pangeran muda itu berkata.
"Aku... aku akan merasa bahagia sekali kalau ucapan ibuku tadi menjadi kenyataan."

"Ucapan yang bagaimana?"

"Kalau kau menjadi pelindung yang selalu mendampingiku!"

Kong Hian menatap tajam dan melihat Lu Sian tersenyum, sama sekali tidak marah, ia lalu memegang tangan wanita itu. Jari-jari tangan mereka yang mengeluarkan getaran dan saling cengkeram menjadi bukti bahwa hati masing-masing telah menjawab.

Akan tetapi dengan halus dan perlahan Lu Sian menarik tangannya, tersenyum lebar dan berkata,

"Apa salahnya? Akan tetapi sebagai calon pelindung, aku harus tahu lebih dulu mengapa kau perlu dilindungi dan siapakah para penyerangmu tadi, lalu apa syaratnya jika aku menjadi pelindungmu?"

Girang sekali wajah pangeran muda itu karena ia mendapat tanda bahwa wanita ini tidak akan menolaknya! Cepat ia bercerita,

"Empat orang itu adalah orang-orang yang bergabung dengan pemberontak. Mereka itu bekas anak buah Jenderal Kam Si Ek yang sudah meletakkan jabatan."

Tentu saja disebutnya nama suaminya ini membuat Lu Sian terkejut. Akan tetapi ia dapat menguasai perasaannya dan bertanya,

"Mengapa meletakkan jabatan dan mengapa pula mereka memberontak?"

"Setelah Kerajaan Hou-han didirikan, Jenderal Kam Si Ek menentang karena hal itu ia anggap pengkhianatan terhadap kesetiaan kepada Dinasti Tang yang sudah roboh. Dia masih baik, hanya meletakkan jabatannya dan hidup mengundurkan diri ke dusun. Akan tetapi banyak di antara anak buahnya bersekutu dengan tokoh Tang, yaitu bekas Raja Muda Couw Pa Ong. Mereka memberontak dan selalu berusaha meruntuhkan kerajaan-kerajaan kecil yang sudah berdiri dengan jalan membunuhi para bangsawan dan keluarga raja."

Diam-diam Lu Sian terkejut. Nama Sin-jiu Couw Pa Ong tentu saja sudah dikenalnya baik-baik, sungguh pun kini ia tidak gentar mendengar nama itu karena ilmu kepandaiannya sudah meningkat hebat, sehingga tidak perlu lagi takut menghadapi orang-orang pandai seperti Couw Pa Ong atau Kong Lo Sengjin yang lumpuh itu.

Melihat Lu Sian tidak terkejut disebutnya tokoh sakti ini, Kong Hian bertanya.
"Apakah Sian-li belum mendengar nama Couw Pa Ong?"

Lu Sian mengangguk.
"Kakek tua bangka lumpuh itu tentu saja pernah aku mendengar namanya, bahkan pernah bertemu dengannya."

Kagetlah hati Pangeran.
"Dan kau tidak gentar menghadapinya?"

"Ah, kakek seperti itu, hanya patut menakut-nakuti anak kecil."

Kong Hian memandang kagum sungguh pun hatinya masih meragu apakah wanita cantik ini benar-benar akan sanggup menghadapi seorang sakti menakutkan seperti Couw Pa Ong.

"Kalau begitu benar-benar aku mendapat perlindungan dewi dari kahyangan!" ia berseru girang.

"Kongcu, tadi ibumu menyebut-nyebut nama Coa Kim Bwee yang menjadi ibu ke tujuh darimu, siapakah dia dan mengapa ibumu membandingkan dia dengan aku?"






Tidak ada komentar:

Posting Komentar