FB

FB


Ads

Sabtu, 13 April 2019

Suling Emas Jilid 101

Liu Lu Sian termasuk orang yang mendapat anugerah kekuatan, hasil dari pada banyaknya macam ilmu silat yang ia kuasai. Makin pandai, makin kuatlah dia dan makin besar kekusaannya terhadap orang lain mentaati kehendaknya. Ia menjadi mabok akan kekuatan sendiri, ingin menang sendiri dan tidak peduli akan peri-kemanusiaan.

Makin ia turuti nafsunya, maka makin hebatlah nafsu menggulung dirinya. Makin ia turuti kemurkaannya akan ilmu, ia makin tidak puas dan menghendaki lebih. Sepak terjangnya makin liar menjadi-jadi, sehingga beberapa tahun kemudian nama Tok-siauw-kwi menggemparkan dunia persilatan sebagai seorang tokoh yang ganas, liar, kejam dan ditakuti.

Untuk mematangkan ilmu yang dirampasnya dari Su-nikouw, seorang diri Lu Sian memasuki Go-bi-pai. Ia berhasil mencuri kitab Cap-sha-seng-keng (Kitab Ilmu Tiga Belas Bintang) yang selain mengajarkan latihan lweekang dan langkah-langkah kaki, juga Ilmu I-kin-swe-jwe (Ganti Otot Mencuci Sum-sum) seperi yang ia butuhkan.

Ilmu kepandaiannya meningkat cepat sekali dan kini Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian benar-benar menjadi seorang wanita sakti yang sukar dicari tandingannya. Di Go-bi-pai ia dikeroyok para hwesio, akan tetapi sanggup melarikan diri dengan hanya menderita luka ringan setelah merobohkan banyak hwesio Go-bi-pai yang terkenal kosen!

Bukan hanya Go-bi-pai yang ia serbu, juga ia naik ke Puncak Hoa-san, mencuri pedang pusaka Pek-giok-kiam (Pedang Pusaka Kumala Putih) yang menjadi pedang pusaka Hoa-san-pai. Dalam pertempuran di Hoa-san, ia dikeroyok dan berhasil merobohkan lima orang anak murid Hoa-san-pai yang tewas oleh pedangnya yang ganas dan dahsyat. Kemudian ia lari lagi sehingga semenjak saat itu ia menjadi seorang buruan, dicari dan dikejar oleh orang-orang Siauw-lim-pai, Go-bi-pai dan Hoa-san-pai! Namun berkat gerakannya yang lincah, ginkang-nya yang tinggi serta kecerdikannya yang seperti setan, ia selalu berhasil meloloskan diri.

Bukan hanya itu semua kehebohan yang ia perbuat di dunia kang-ouw. Banyak golongan persilatan yang sengaja ia datangi untuk diajak bertanding, mengalahkan ketuanya dan merobohkan banyak sekali tokoh kenamaan sehingga namanya menjulang tinggi, bahkan melewati nama besar ayahnya sendiri, Pat-jiu Sin-ong!

Yang paling hebat adalah ketika ia mendatangi Kong-thong-pai karena mendengar berita bahwa Ilmu Pedang Kong-thong-pai amat lihai. Ia datang sengaja hanya untuk menantang ketua Kong-thong-pai bertanding ilmu pedang! Juga di Kong-thong-pai ini Lu Sian merobohkan banyak tokoh, sungguh pun ia belum sanggup mengalahkan ilmu pedang ketua Kong-thong-pai yang bernama Kim Leng Tosu. Namun ia menang cekatan dan lincah sehingga kekalahannya dalam ilmu pedang dapat ia atasi dengan kelincahannya.

Demikianlah selama sepuluh tahun Lu Sian malang-melintang di dunia kang-ouw. Ilmu kepandaiannya makin hebat, akan tetapi berkat ilmunya awet muda, wajahnya masih tetap cantik jelita, tubuhnya menyiarkan keharuman yang khas, sedangkan bentuk tubuhnya masih menggairahkan seperti seorang gadis remaja.

Betapa pun liar dan ganas watak Lu Sian, sebagai seorang ibu kadang-kadang ia merasa rindu kepada puteranya, Bu Song. Rasa rindu inilah yang akhirnya membawa kedua kakinya melangkah menuju propinsi Shansi. Pada waktu itu, Kerajaan Cin Muda telah roboh, terganti dengan kerajaan baru yang disebut Kerajaan Han Muda. Propinsi Shan-si telah berdiri sendiri dan menjadi Kerajaan Hou-han.

Akan tetapi alangkah kecewa hatinya ketika ia mendengar kabar bahwa bekas suaminya, Kam Si Ek, telah meletakkan jabatan dan telah pindah. Tak seorang pun tahu kemana pindahnya Kam Si Ek, bekas suaminya. Hatinya menjadi dingin kembali dan ia hanya percaya bahwa puteranya, Bu Song, tentu saja hidup aman sentosa di samping bekas suaminya.

Lu Sian termenung sambil makan di sebuah rumah makan di kota raja Hou-han. Ingin ia menangis kalau teringat akan puteranya, namun hatinya yang keras mencegahnya berduka lebih lama lagi.

"Lebih baik dia tidak mengenal aku sebagai ibunya," demikian pikirnya.

Bagaimana kalau puteranya itu bertemu dengannya dan mengenalnya sebagai seorang ibu yang meninggalkan anaknya? Apalagi kalau mengenal bahwa ibunya adalah Tok-siauw-kwi, iblis betina yang ditakuti orang? Lu Sian tersenyum, dan dengan gemas ia meneguk cawan araknya yang ke sembilan kalinya.

Cara ia menuangkan arak ke mulut dan langsung ke perut melalui tenggorokan menandakan bahwa ia sudah biasa dengan minuman keras ini. Memang jarang sekali ada wanita yang dapat minum arak seperti dia itu. Cara ia minum benar-benar cara seorang ‘setan arak’ minum.






Tiba-tiba Lu Sian menengok ke kiri. Perasaannya yang tajam membuat ia tahu bahwa ia diperhatikan orang dari arah kiri. Pemuda yang sedang memandangnya itu nampak gugup, hendak menundukkan muka atau pura-pura tidak melihat, namun pandang matanya seakan-akan lekat pada wajah ayu itu. Lu Sian tersenyum, membuang muka akan tetapi matanya yang tajam mengerling, tajam melebihi pedang. Hatinya pun tergetar.

Betapa tidak? Pemuda itu tampan bukan main. Tubuhnya tinggi tegap, mukanya halus putih seperti muka wanita, namun alisnya hitam tebal, matanya lebar bercahaya terang dan tajam seperti mata harimau. Wajah tampan dan tubuh tegap seorang pria ganteng selalu masih menggerakkan hati Lu Sian, biar pun usianya sudah empat puluh tahun!

Semenjak hatinya yang mengalami cinta kasih telah dikecewakan oleh Kam Si Ek, Tan Hui dan yang terakhir murid Siauw-lim-pai Yap Kwan Bi, ia menganggap pria hanya manusia jenis lain yang menarik, dan hanya tepat dijadikan permainan belaka untuk memuaskan nafsunya.

Semenjak ia merantau, banyak sudah pria yang jatuh bertekuk lutut oleh kecantikannya yang luar biasa. Tetapi setelah Lu Sian mempermainkannya dan laki-laki itu benar-benar telah roboh hatinya, selalu Lu Sian meninggalkannya pergi dan tertawa puas melihat bekas kekasih ini menjadi patah hati, menjadi gila atau setengah gila!

Selagi Lu Sian berdebar hatinya bertemu dengan seorang pemuda tampan remaja yang paling tinggi berusia dua puluh dua tahun ini, tiba-tiba terdengar angin mendesir dan pandang mata Lu Sian yang tajam dapat melihat berkelebatnya senjata rahasia halus menyambar ke arah si Pemuda Tampan!

Lu Sian merasa khawatir sekali melihat sikap pemuda itu seperti seorang pemuda pelajar yang tak mengerti ilmu silat, maka ia lalu menjemput nasi dengan sumpitnya dan sekali menggerakkan tangan, nasi itu menyambar ke arah sinar senjata rahasia menjadi butiran-butiran nasi dan runtuh ke bawah tanpa mengeluarkan suara!!

Pemuda itu masih enak-enak minum araknya dan memang ia tidak tahu akan adanya bahaya yang tadi mengancam nyawanya.

Setelah senjata-senjata rahasia jarum itu runtuh, terdengar orang berseru di luar rumah makan,

"Biar ada yang melindungi, kita harus bunuh pangeran ini!" dan muncullah tiga orang laki-laki tinggi besar yang membawa golok telanjang di tangan.

Pemilik rumah makan dan dua orang pelayannya ketakutan, juga dua orang lain yang sedang duduk makan disitu lari keluar. Pemuda tampan itu pun kelihatan terkejut sekali mendengar ucapan ini, bangkit berdiri dari kursinya dan mukanya pucat. Gerakan ini saja meyakinkan Lu Sian bahwa pemuda yang diserang tadi benar-benar tak pandai silat, maka ia melirik kearah tiga orang tinggi besar itu. Orang-orang yang kasar akan tetapi tidak seperti penjahat.

“Tolong! Tolong!” teriak pemuda itu saat melihat tiga orang tinggi besar itu menyerbu ke arahnya.

Lu Sian tidak mau tinggal diam saja. Tangan kirinya bergerak tanpa ia bangkit dari kursinya. Terdengar tiga orang itu berteriak kesakitan dan roboh bergulingan menabrak meja kursi. Mata mereka mendelik, dari dalam hidung dan telinga keluar darah. Nyawa mereka sudah putus!

"Keparat dari mana berani membunuh murid-murid keponakanku?!"

Terdengar bentakan keras dan melayanglah tubuh seorang tosu yang bersenjata pedang, langsung menghantamkan pedangnya dari atas ke bawah tepat di atas kepala Lu Sian!

Wanita sakti ini hanya tersenyum, sama sekali tidak menoleh, akan tetapi tiba-tiba kursi yang didudukinya mencelat ke samping dan ia masih enak-enak duduk di atasnya. Pedang itu menyambar terus ke bawah dan....

"Crakkkkk!!" meja yang tadi berada di depan Lu Sian terbelah menjadi dua potong!

Pemuda yang sebenarnya seorang pangeran yang menyamar itu menggigil ketakutan, juga tiga orang pengurus rumah makan kini berjongkok bersembunyi di balik meja.

Si Tosu ternyata bertubuh tinggi kurus, usianya hampir lima puluh tahun, wajahnya pucat seperti orang berpenyakitan. Namun menyaksikan betapa sekali bacok ia dapat membelah meja yang tebal, dapat dibayangkan betapa besar tenaganya dan betapa tajam pedangnya.

Hampir ia tidak percaya ketika pedangnya hanya mengenai meja sedangkan wanita muda yang ia bacok itu masih enak-enak duduk di atas kursi dekat sebuah meja lain. Ia membalikkan tubuh, mengeluarkan seruan marah dan melompat ke arah Lu Sian, menerjang dengan pedang diputar cepat.

"Trakkk!"

Pedang itu berhenti di tengah-tengah dan kiranya telah terjepit sepasang sumpit yang berada di tangan Lu Sian.

Si Tosu mengerahkan tenaga membetot, namun sia-sia karena pedangnya seakan-akan terjepit oleh jepitan baja yang amat kuat. Mendadak Lu Sian melepaskan jepitannya sehingga si Tosu terhuyung mundur, dan pada saat itu pula sepasang sumpit itu langsung melayang ke arah lambung dan leher si Tosu. Namun Si Tosu ternyata cukup gesit karena ia mampu membuang diri ke samping dan bergulingan menyelamatkan diri.

Akan tetapi baru saja ia melompat bangun, datang sinar merah menyambarnya. Tosu itu memutar pedang dan banyak jarum runtuh, namun sebatang jarum masih dapat menerobos dan menancap di dadanya. Tosu itu mengeluh dan terguling roboh. Ia mencabut jarum di dadanya dan melihat jarum merah serta mencium bau harum, matanya terbelalak memandang Lu Sian, telunjuknya menuding dan mulutnya berseru,

"Kau... Tok-siauw-kwi....!"

Namun ia tak dapat bicara lebih lanjut karena racun jarum telah mencapai jantungnya dan ia mati dengan mata mendelik.

Lu Sian hanya tersenyum dan masih duduk menghadapi meja.

Tiga orang pemilik dan pengurus rumah makan itu segera keluar dari tempat sembunyi mereka dan berlutut di depan si Pemuda Tampan.

"Syukur bahwa Tuhan masih melindungi Paduka...."

"Sssst, sudah jangan banyak ribut. Lebih baik lekas laporkan kepada penjaga keamanan kota dan mengurus empat mayat penjahat itu," kata si Pemuda, kini sikapnya agung dan sudah tenang kembali.

Ia lalu melangkah menghampiri Lu Sian, merangkap kedua tangan di depan dada sambil membungkuk memberi hormat.

"Lihiap (Nona Perkasa) telah menolong nyawa saya, sungguh merupakan budi amat besar dan membuat saya bingung bagaimana saya akan dapat membalas budi itu." Ucapannya halus dan tutur katanya sopan menyenangkan.

Lu Sian segera bangkit berdiri dan membalas penghormatan orang. Bibirnya tetap tersenyum manis, kerling matanya benar-benar mengiris jantung.

"Ah, urusan kecil seperti itu bukan berarti menghutangkan budi. Ada orang-orang jahat hendak membunuh Kongcu, bagaimana saya dapat berpeluk tangan saja?"

Pemuda itu memandang penuh kagum dan ia tidak menyembunyikan rasa kagum ini, bukan hanya kagum akan kehebatan kepandaian wanita ini, namun juga kagum akan kecantikannya yang luar biasa, akan bau harum semerbak yang keluar dari tubuh wanita itu dan memabokkannya.

"Hebat sekali, Lihiap! Kalau tidak menyaksikan dengan mata sendiri, mana mungkin saya percaya di dunia ini ada seorang yang kepandaiannya seperti dewi, sedangkan Lihiap begini can.... eh, muda? Tadi pun merupakan teka-teki bagi saya siapa gerangan yang membuat tiga orang penyerang saya jatuh tersungkur dan tewas seketika. Kalau tidak ada penyerang ke empat tadi, sampai mati pun saya mungkin tidak percaya bahwa Lihiap yang telah menolong saya."

Berdebar jantung Lu Sian. Laki-laki ini sungguh menarik hati dan menyenangkan. Rasa kagum yang terpancar dari matanya dan pujian yang keluar dari mulutnya sama sekali bukanlah kosong dan menjilat sifatnya, melainkan langsung keluar dari hati. Ia dapat membedakan hal ini. Sambil menjura lagi dan memperlebar senyumnya sehingga tampak sedikit deretan gigi putih berkilau, ia berkata,

"Ah, Kongcu terlalu memuji dan membesar-besarkan. Kalau tidak salah pendengaran saya, bukankah Kongcu seorang pangeran? Inilah yang mengagumkan, melihat seorang pangeran berada di luar istananya dengan berpakaian seperti rakyat biasa, benar-benar jarang sekali dapat ditemui pada jaman kini."






Tidak ada komentar:

Posting Komentar