Seenaknya Kwee Seng mengambil dan mengempit delapan kantung uang yang isinya seribu tail lebih itu termasuk uangnya sendiri, lalu berjalan ke luar. Uang sebanyak itu sudah tentu amat berat, seratus dua puluh lima kati, tapi ia dapat mengempit dan membawanya seakan-akan amat ringan.
"Siapa yang kalah judi di sini, mari ikut aku keluar!" kata Kwee Seng sambil melangkah terus.
Sebentar saja, lebih dari tiga puluh orang ikut keluar, dan tentu saja tidak semua dari mereka menderita kekalahan. Yang menang pun karena ia mengharapkan keuntungan ikut pula keluar.
Sampai di luar rumah judi, Kwee Seng berhenti. Ternyata banyak orang pula berkumpul di depan rumah judi karena mereka sudah mendengar akan peristiwa aneh di rumah judi itu. Memang karena baru beberapa hari yang lalu terjadi keributan ketika puteri guru silat Sin-kauw-bu-koan bertanding dengan para tukang pukul rumah judi itu.
"Saudara-suadara sekalian telah kalah berjudi, bukan? Hentikanlah kebiasaan kalian gemar berjudi, karena percayalah, kalian tidak akan menang. Kalau kalian melanjutkan kegemaran buruk itu, pasti saudara sekalian akan menderita kesengsaraan lahir batin. Pada lahirnya, Saudara akan habis-habisan yang akibatnya tentu kekacauan rumah tangga, kehancuran pekerjaan karena tidak terurus, kemiskinan yang akan menyeret kalian kepada kemaksiatan lainnya. Kerugian batin, Saudara akan menjadi orang yang suka melakukan kecurangan, menjauhkan rasa cinta sesama, menimbulkan sifat iri dan tamak. Nah, ini uang kubagi-bagikan di antara kalian untuk menebus kekalahan kalian, akan tetapi mulai saat ini harap kalian jangan suka berjudi lagi. Pergunakan sedikit uang ini untuk modal bekerja!"
Tentu saja ucapan Kwee Seng ini disambut sorak-sorai oleh mereka dan dengan adil Kwee Seng membagi-bagi semua uang kemenangannya berikut uangnya sendiri sampai habis, seorang kebagian dua puluh tail perak lebih!
Setelah membagi habis delapan pundi-pundi uang itu, Kwee Seng lalu berjalan pergi keluar dari kota itu, menuju ke selatan karena ia hendak mencari raja pengemis di Gunung Tapie-san.
"Paman, perbuatanmu itu semua sia-sia belaka, tiada gunanya sama sekali!"
Ucapan ini keluar dari mulut seorang anak laki-laki yang semenjak tadi mengikuti Kwee Seng dari depan rumah judi. Kwee Seng sedang melamun, maka ia tidak memperhatikan langkah kaki seorang kanak-kanak yang mengikutinya dan sejak tadi melihat semua perbuatannya. Ia melirik dan melihat anak kecil yang berwajah terang dan tampan, berpakaian sederhana namun bersih. Ia merasa heran dan tidak dapat menangkap arti kata-kata anak laki-laki yang usianya paling banyak sepuluh tahun ini.
"Apa kau bilang?" tanyanya sambil melangkah terus, diikuti oleh anak itu.
"Aku bilang bahwa akan sia-sia saja perbuatan paman tadi di depan rumah judi, menghamburkan uang seperti orang melempar rabuk pada tanah kering!"
Kwee Seng melengak heran, lalu memandang lebih teliti sambil menghentikan langkahnya. Ia lalu tertawa bergelak karena mengenal anak ini sebagai anak yang pernah menaruh kasihan ketika ia ditawan oleh murid-murid guru silat Liong Keng!
"Ha-ha-ha-ha, kau bocah sinting itu muncul lagi?" tegurnya kepada anak laki-laki ini yang bukan lain adalah Kam Bu Song. "Eh, bocah, kenapa kau selalu bertemu denganku dan mencampuri urusanku?"
"Entah, Paman. Perjumpaan kita bukan kusengaja akan tetapi setiap kali kita bertemu, aku selalu tertarik kepadamu. Pertama dulu, aku tertarik karena merasa kasihan melihat kau diseret-seret orang. Sekarang, aku pun kasihan kepadamu karena melihat kau melakukan perbuatan yang sia-sia belaka akibat kau tidak mengerti."
Hampir Kwee Seng tidak percaya kepada telinganya sendiri. Dia seorang yang tinggi ilmunya mengenai sastra dan silat, kini diberi "kuliah" oleh seorang bocah yang berusia sepuluh tahun!
Akan tetapi karena kata-kata anak ini disusun rapi, ia tertarik sekali, apalagi setelah ia perhatikan, anak ini mempunyai pembawaan dan pribadi yang amat menarik. Pada saat itu, mereka sudah tiba di luar kota dan di tempat yang sunyi itu Kwee Seng lalu pergi ke bawah pohon di pinggir jalan, menjatuhkan diri duduk di atas tanah. Anak itu pun mengikutinya, berdiri di depannya dengan pandang mata penuh perhatian. Kwee Seng tertawa lagi.
"Heh-heh, bocah sinting. Sekarang kau katakan, mengapa perbuatanku tadi kau katakan sia-sia belaka tidak ada gunanya?”
"Karena perbuatan paman tadi bertentangan dengan dua hal," jawab anak itu tanpa ragu-ragu dan tanpa pikir-pikir lagi, tanda bahwa ia tahu akan apa yang diucapkannya dan tanda bahwa ia memang cerdas. "Pertama bertentangan dengan wejangan ini."
Anak itu lalu membusungkan dada mengambil napas, berdongak dan bernyanyilah ia dengan suara keras nyaring.
"Diri sendiri melakukan kejahatan
diri sendiri menimbulkan kesengsaraan.
Diri sendiri menghindarkan kejahatan
diri sendiri mendapatkan kebahagiaan.
Suci atau tidak tergantung kepribadiannya
orang lain mana mampu membersihkannya?"
Kwee Seng melongo.
"Eh, apakah kau murid seorang hwesio (pendeta Buddha)? Nyanyianmu adalah kalimat suci dalam kitab Sang Buddha!"
Ia mengenal sajak itu. Memang sajak ini adalah pelajaran dalam kitab Buddha Dhammapada.
Bu Song mengangguk.
"Aku membacanya dari kitab, kalau Sang Buddha yang mengajarkannya, biarlah aku menjadi murid Sang Buddha."
Jawaban ini pun aneh dan membuat Kwee Seng makin tertarik.
"Anak baik, mari kau duduklah di sini." Ia tidak mau lagi menyebut anak itu "anak sinting". Setelah Bu Song ikut duduk di bawah pohon di depannya, Kwee Seng lalu bertanya.
"Anak baik, coba kau jelaskan, apa hubungannya pelajaran itu dengan perbuatanku tadi."
"Para penjudi itu berjudi tidak ada yang menyuruh, adalah mereka sendiri yang membuat mereka melakukan penjudian. Mereka mau judi atau tidak mau judi, adalah mereka sendiri yang memutuskan. Mereka celaka karena judi, atau tidak celaka karena tidak judi, juga mereka sendiri yang menimbulkan. Pokok dan sumber semua perbuatan adalah terletak di dalam hatinya, ibarat baik buruknya kembang tergantung daripada pohonnya. Kalau pohonnya sakit, mana bisa kembangnya baik? Kalau hatinya kotor, mana bisa perbuatannya bersih? Perbuatan buruk mana bisa betulkan orang lain? Yang bisa membetulkan hanya dirinya sendiri, karena hati berada di dalam dirinya sendiri. Inilah sebabnya maka perbuatan Paman tadi sia-sia belaka. Pembagian uang takkan menolong mereka melepaskan kemaksiatan berjudi."
Kwee Seng melongo seperti patung. Kalau anak ini pandai membaca sajak dari kitab-kitab suci hal itu tidaklah mengherankan benar, semua anak yang diajar membaca tentu disuruh menghafalkannya. Akan tetapi apa yang diucapkannya ini sama sekali bukanlah hafalan dari kitab suci manapun juga, melainkan keluar dari pendapat dan pikiran berdasarkan pelajaran filsafat kebatinan untuk menguraikan sajak tadi! Inilah hebat! Ia kagum bukan main, akan tetapi masih sangsi. Jangan-jangan hanya kebetulan saja anak ini "ngoceh" tanpa sengaja tapi tepat. Ia hendak menguji pula.
"Hemm, kau tadi bilang perbuatanku bertentangan dengan dua hal. Hal pertama adalah sajak tadi, kini apakah hal ke dua?"
"Segala macam nasihat dan wejangan memanglah muluk-muluk dan enak didengar, akan tetapi itu hanyalah suara yang keluar dari mulut. Segala macam ayat dan pelajaran dalam kitab-kitab suci memanglah indah dan enak dibaca, akan tetapi hal itu hanyalah tulisan di atas kertas. Apakah artinya semua itu kalau tidak ada kenyataan dalam perbuatannya? Semenjak kanak-kanak sampai tua manusia lebih suka mencoba dari orang lain daripada belajar sendiri! Oleh karana itu. PERBAIKILAH DIRIMU SENDIRI SEBELUM ENGKAU MEMPERBAIKI ORANG LAIN."
"Ah, kau murid Nabi Khong Cu!" Kwee Seng berseru, kagum.
"Boleh juga disebut begitu karena beliau memang seorang guru besar yang patut menjadi guru. Dengan memperbaiki diri sendiri, kita membersihkan diri dari perbuatan jahat, dengan demikian orang-orang akan mencontoh. Kalau SEMUA ORANG MASING-MASING BELAJAR MEMPERBAIKI DIRI SENDIRI, maka apa perlunya segala macam nasihat dan pelajaran? Akan tetapi kalau tidak mau membersihkan diri sendiri, orang lain mana mau mencucinya bersih? Paman, itulah sebabnya kukatakan bahwa sia-sia saja Paman menasihati para penjudi itu. Alangkah akan janggalnya kalau mereka yang telah mendengar nasihat Paman itu mendapat kenyataan betapa Paman sendiri seorang maling..."
"Hahhh...? Apa kau bilang? Aku.... maling?"
Kwee Seng benar-benar kaget dan penasaran, matanya melotot dan ia memperlihatkan muka merah. Akan tetapi diam-diam ia kagum dan heran. Anak ini sama sekali tidak takut, matanya memandang bening dan wajahnya serius (sungguh-sungguh).
"Aku tahu bahwa fitnah itu jahat, Paman, karenanya tak mungkin aku berani melakukan fitnah. Akan tetapi yang menyatakan bahwa Paman seorang maling adalah Paman sendiri, dalam pertemuan kita yang pertama. Bukankah Paman sendiri yang bercerita kepadaku bahwa Paman mencuri paha panggang yang Paman makan itu?"
Sejenak Kwee Seng tertegun, mengingat-ingat, lalu ia tertawa bergelak sampai perutnya terasa kaku.
"Ha-ha-ha! Mengambil paha panggang kau anggap maling! Anak baik, aku sama sekali bukan maling!"
Bu Song menarik napas panjang.
"Syukurlah kalau begitu. Sebetulnya tidak perlu mencuri. Mencuri paha ayam maupun gajah, tetap mencuri namanya. Aku tidak akan mencuri, Paman."
Kwee Seng mengamati wajah anak itu penuh perhatian. Sepasang mata anak ini bening dan tajam, indah bentuknya dan dihias bulu mata yang panjang dan melengkung ke atas. Serasa pernah ia melihat mata indah seperti ini, akan tetapi tak dapat ia mengingat di mana dan kapan.
Adapun Bu Song tidak merasa bahwa jembel itu memperhatikannya, karena sebaliknya ia sendiri memperhatikan pakaian yang butut dan rambut riap-riapan itu. Kembali ia menghela napas dan berkata,
"Sayang, Paman, uang sebanyak itu dihamburkan sia-sia. Mengapa tidak paman sisakan sedikit untuk membeli pakaian? Pakaian Paman sudah begini rusak, juga kaki Paman telanjang tidak bersepatu."
Diam-diam ada rasa haru menyelinap di hati Kwee Seng. Baru kali ini semenjak perantauannya, ia mendapat perhatian orang lain, dikasihani orang lain. Hal ini menimbulkan haru dan suka di hatinya. Entah mengapa, pribadi anak ini amat menarik hatinya dan diam-diam Kwee Seng mencela dirinya sendiri.
Tertarik kepada orang lain inilah yang menjadi sebab-musabab segala penderitaanya. Kalau dahulu ia tidak tertarik kepada Ang-siauw-hwa, atau kepada Liu Lu Sian! Sekarang ia tertarik oleh keadaan bocah ini, kalau ia menuruti hatinya, tentu ada saja persoalan baru muncul. Ia lalu berdongak dan berusaha mengusir perasaannya sambil bernyanyi dengan suara keras.
"Lima warna membutakan mata
lima bunyi menulikan telinga
lima lezat merusak rasa
memburu membunuh menjadikan buas
benda dihargai menjadi curang
itulah sebabnya orang bijaksana
mementingkan kebutuhan perut
tak menghiraukan panca indera!"
Bu Song memandang dengan mata terbuka lebar dan kagum. Sama sekali tidak disangkanya bahwa jembel yang seperti orang gila dan suka bersikap edan-edanan dan aneh ini begitu pandai bernyanyi, suaranya nyaring merdu dan sajaknya bukan pula sembarang sajak. Kata-kata dalam sajak itu menimbulkan kesan mendalam di hatinya dan karena semenjak kecil ia dijejali kitab-kitab kuno yang sukar bentuk dan arti kalimatnya, maka sekali mendengar sajak ini Bu Song sudah dapat menangkap inti sarinya. Tak terasa lagi ia bertepuk tangan memuji.
"Bagus sekali, Paman terutama isi sajaknya!"
Kwee Seng tersenyum.
"Kau belum pernah mendengarnya? Belum pernah membacanya?"
Bu Song menggeleng kepalanya. Memang dahulu ayahnya melarang ia membaca kitab-kitab Agama To, karena menurut anggapan Kam Si Ek, pelajaran dalam agama ini hanya melemahkan semangat anak-anak. Akan tetapi Bu Song yang sudah banyak membaca kitab-kitab kuno, dapat menduganya, maka ia berkata.
"Aku belum pernah membaca sajak itu, akan tetapi agaknya itu adalah pelajaran Agama To, bukan?"
"Siapa yang kalah judi di sini, mari ikut aku keluar!" kata Kwee Seng sambil melangkah terus.
Sebentar saja, lebih dari tiga puluh orang ikut keluar, dan tentu saja tidak semua dari mereka menderita kekalahan. Yang menang pun karena ia mengharapkan keuntungan ikut pula keluar.
Sampai di luar rumah judi, Kwee Seng berhenti. Ternyata banyak orang pula berkumpul di depan rumah judi karena mereka sudah mendengar akan peristiwa aneh di rumah judi itu. Memang karena baru beberapa hari yang lalu terjadi keributan ketika puteri guru silat Sin-kauw-bu-koan bertanding dengan para tukang pukul rumah judi itu.
"Saudara-suadara sekalian telah kalah berjudi, bukan? Hentikanlah kebiasaan kalian gemar berjudi, karena percayalah, kalian tidak akan menang. Kalau kalian melanjutkan kegemaran buruk itu, pasti saudara sekalian akan menderita kesengsaraan lahir batin. Pada lahirnya, Saudara akan habis-habisan yang akibatnya tentu kekacauan rumah tangga, kehancuran pekerjaan karena tidak terurus, kemiskinan yang akan menyeret kalian kepada kemaksiatan lainnya. Kerugian batin, Saudara akan menjadi orang yang suka melakukan kecurangan, menjauhkan rasa cinta sesama, menimbulkan sifat iri dan tamak. Nah, ini uang kubagi-bagikan di antara kalian untuk menebus kekalahan kalian, akan tetapi mulai saat ini harap kalian jangan suka berjudi lagi. Pergunakan sedikit uang ini untuk modal bekerja!"
Tentu saja ucapan Kwee Seng ini disambut sorak-sorai oleh mereka dan dengan adil Kwee Seng membagi-bagi semua uang kemenangannya berikut uangnya sendiri sampai habis, seorang kebagian dua puluh tail perak lebih!
Setelah membagi habis delapan pundi-pundi uang itu, Kwee Seng lalu berjalan pergi keluar dari kota itu, menuju ke selatan karena ia hendak mencari raja pengemis di Gunung Tapie-san.
"Paman, perbuatanmu itu semua sia-sia belaka, tiada gunanya sama sekali!"
Ucapan ini keluar dari mulut seorang anak laki-laki yang semenjak tadi mengikuti Kwee Seng dari depan rumah judi. Kwee Seng sedang melamun, maka ia tidak memperhatikan langkah kaki seorang kanak-kanak yang mengikutinya dan sejak tadi melihat semua perbuatannya. Ia melirik dan melihat anak kecil yang berwajah terang dan tampan, berpakaian sederhana namun bersih. Ia merasa heran dan tidak dapat menangkap arti kata-kata anak laki-laki yang usianya paling banyak sepuluh tahun ini.
"Apa kau bilang?" tanyanya sambil melangkah terus, diikuti oleh anak itu.
"Aku bilang bahwa akan sia-sia saja perbuatan paman tadi di depan rumah judi, menghamburkan uang seperti orang melempar rabuk pada tanah kering!"
Kwee Seng melengak heran, lalu memandang lebih teliti sambil menghentikan langkahnya. Ia lalu tertawa bergelak karena mengenal anak ini sebagai anak yang pernah menaruh kasihan ketika ia ditawan oleh murid-murid guru silat Liong Keng!
"Ha-ha-ha-ha, kau bocah sinting itu muncul lagi?" tegurnya kepada anak laki-laki ini yang bukan lain adalah Kam Bu Song. "Eh, bocah, kenapa kau selalu bertemu denganku dan mencampuri urusanku?"
"Entah, Paman. Perjumpaan kita bukan kusengaja akan tetapi setiap kali kita bertemu, aku selalu tertarik kepadamu. Pertama dulu, aku tertarik karena merasa kasihan melihat kau diseret-seret orang. Sekarang, aku pun kasihan kepadamu karena melihat kau melakukan perbuatan yang sia-sia belaka akibat kau tidak mengerti."
Hampir Kwee Seng tidak percaya kepada telinganya sendiri. Dia seorang yang tinggi ilmunya mengenai sastra dan silat, kini diberi "kuliah" oleh seorang bocah yang berusia sepuluh tahun!
Akan tetapi karena kata-kata anak ini disusun rapi, ia tertarik sekali, apalagi setelah ia perhatikan, anak ini mempunyai pembawaan dan pribadi yang amat menarik. Pada saat itu, mereka sudah tiba di luar kota dan di tempat yang sunyi itu Kwee Seng lalu pergi ke bawah pohon di pinggir jalan, menjatuhkan diri duduk di atas tanah. Anak itu pun mengikutinya, berdiri di depannya dengan pandang mata penuh perhatian. Kwee Seng tertawa lagi.
"Heh-heh, bocah sinting. Sekarang kau katakan, mengapa perbuatanku tadi kau katakan sia-sia belaka tidak ada gunanya?”
"Karena perbuatan paman tadi bertentangan dengan dua hal," jawab anak itu tanpa ragu-ragu dan tanpa pikir-pikir lagi, tanda bahwa ia tahu akan apa yang diucapkannya dan tanda bahwa ia memang cerdas. "Pertama bertentangan dengan wejangan ini."
Anak itu lalu membusungkan dada mengambil napas, berdongak dan bernyanyilah ia dengan suara keras nyaring.
"Diri sendiri melakukan kejahatan
diri sendiri menimbulkan kesengsaraan.
Diri sendiri menghindarkan kejahatan
diri sendiri mendapatkan kebahagiaan.
Suci atau tidak tergantung kepribadiannya
orang lain mana mampu membersihkannya?"
Kwee Seng melongo.
"Eh, apakah kau murid seorang hwesio (pendeta Buddha)? Nyanyianmu adalah kalimat suci dalam kitab Sang Buddha!"
Ia mengenal sajak itu. Memang sajak ini adalah pelajaran dalam kitab Buddha Dhammapada.
Bu Song mengangguk.
"Aku membacanya dari kitab, kalau Sang Buddha yang mengajarkannya, biarlah aku menjadi murid Sang Buddha."
Jawaban ini pun aneh dan membuat Kwee Seng makin tertarik.
"Anak baik, mari kau duduklah di sini." Ia tidak mau lagi menyebut anak itu "anak sinting". Setelah Bu Song ikut duduk di bawah pohon di depannya, Kwee Seng lalu bertanya.
"Anak baik, coba kau jelaskan, apa hubungannya pelajaran itu dengan perbuatanku tadi."
"Para penjudi itu berjudi tidak ada yang menyuruh, adalah mereka sendiri yang membuat mereka melakukan penjudian. Mereka mau judi atau tidak mau judi, adalah mereka sendiri yang memutuskan. Mereka celaka karena judi, atau tidak celaka karena tidak judi, juga mereka sendiri yang menimbulkan. Pokok dan sumber semua perbuatan adalah terletak di dalam hatinya, ibarat baik buruknya kembang tergantung daripada pohonnya. Kalau pohonnya sakit, mana bisa kembangnya baik? Kalau hatinya kotor, mana bisa perbuatannya bersih? Perbuatan buruk mana bisa betulkan orang lain? Yang bisa membetulkan hanya dirinya sendiri, karena hati berada di dalam dirinya sendiri. Inilah sebabnya maka perbuatan Paman tadi sia-sia belaka. Pembagian uang takkan menolong mereka melepaskan kemaksiatan berjudi."
Kwee Seng melongo seperti patung. Kalau anak ini pandai membaca sajak dari kitab-kitab suci hal itu tidaklah mengherankan benar, semua anak yang diajar membaca tentu disuruh menghafalkannya. Akan tetapi apa yang diucapkannya ini sama sekali bukanlah hafalan dari kitab suci manapun juga, melainkan keluar dari pendapat dan pikiran berdasarkan pelajaran filsafat kebatinan untuk menguraikan sajak tadi! Inilah hebat! Ia kagum bukan main, akan tetapi masih sangsi. Jangan-jangan hanya kebetulan saja anak ini "ngoceh" tanpa sengaja tapi tepat. Ia hendak menguji pula.
"Hemm, kau tadi bilang perbuatanku bertentangan dengan dua hal. Hal pertama adalah sajak tadi, kini apakah hal ke dua?"
"Segala macam nasihat dan wejangan memanglah muluk-muluk dan enak didengar, akan tetapi itu hanyalah suara yang keluar dari mulut. Segala macam ayat dan pelajaran dalam kitab-kitab suci memanglah indah dan enak dibaca, akan tetapi hal itu hanyalah tulisan di atas kertas. Apakah artinya semua itu kalau tidak ada kenyataan dalam perbuatannya? Semenjak kanak-kanak sampai tua manusia lebih suka mencoba dari orang lain daripada belajar sendiri! Oleh karana itu. PERBAIKILAH DIRIMU SENDIRI SEBELUM ENGKAU MEMPERBAIKI ORANG LAIN."
"Ah, kau murid Nabi Khong Cu!" Kwee Seng berseru, kagum.
"Boleh juga disebut begitu karena beliau memang seorang guru besar yang patut menjadi guru. Dengan memperbaiki diri sendiri, kita membersihkan diri dari perbuatan jahat, dengan demikian orang-orang akan mencontoh. Kalau SEMUA ORANG MASING-MASING BELAJAR MEMPERBAIKI DIRI SENDIRI, maka apa perlunya segala macam nasihat dan pelajaran? Akan tetapi kalau tidak mau membersihkan diri sendiri, orang lain mana mau mencucinya bersih? Paman, itulah sebabnya kukatakan bahwa sia-sia saja Paman menasihati para penjudi itu. Alangkah akan janggalnya kalau mereka yang telah mendengar nasihat Paman itu mendapat kenyataan betapa Paman sendiri seorang maling..."
"Hahhh...? Apa kau bilang? Aku.... maling?"
Kwee Seng benar-benar kaget dan penasaran, matanya melotot dan ia memperlihatkan muka merah. Akan tetapi diam-diam ia kagum dan heran. Anak ini sama sekali tidak takut, matanya memandang bening dan wajahnya serius (sungguh-sungguh).
"Aku tahu bahwa fitnah itu jahat, Paman, karenanya tak mungkin aku berani melakukan fitnah. Akan tetapi yang menyatakan bahwa Paman seorang maling adalah Paman sendiri, dalam pertemuan kita yang pertama. Bukankah Paman sendiri yang bercerita kepadaku bahwa Paman mencuri paha panggang yang Paman makan itu?"
Sejenak Kwee Seng tertegun, mengingat-ingat, lalu ia tertawa bergelak sampai perutnya terasa kaku.
"Ha-ha-ha! Mengambil paha panggang kau anggap maling! Anak baik, aku sama sekali bukan maling!"
Bu Song menarik napas panjang.
"Syukurlah kalau begitu. Sebetulnya tidak perlu mencuri. Mencuri paha ayam maupun gajah, tetap mencuri namanya. Aku tidak akan mencuri, Paman."
Kwee Seng mengamati wajah anak itu penuh perhatian. Sepasang mata anak ini bening dan tajam, indah bentuknya dan dihias bulu mata yang panjang dan melengkung ke atas. Serasa pernah ia melihat mata indah seperti ini, akan tetapi tak dapat ia mengingat di mana dan kapan.
Adapun Bu Song tidak merasa bahwa jembel itu memperhatikannya, karena sebaliknya ia sendiri memperhatikan pakaian yang butut dan rambut riap-riapan itu. Kembali ia menghela napas dan berkata,
"Sayang, Paman, uang sebanyak itu dihamburkan sia-sia. Mengapa tidak paman sisakan sedikit untuk membeli pakaian? Pakaian Paman sudah begini rusak, juga kaki Paman telanjang tidak bersepatu."
Diam-diam ada rasa haru menyelinap di hati Kwee Seng. Baru kali ini semenjak perantauannya, ia mendapat perhatian orang lain, dikasihani orang lain. Hal ini menimbulkan haru dan suka di hatinya. Entah mengapa, pribadi anak ini amat menarik hatinya dan diam-diam Kwee Seng mencela dirinya sendiri.
Tertarik kepada orang lain inilah yang menjadi sebab-musabab segala penderitaanya. Kalau dahulu ia tidak tertarik kepada Ang-siauw-hwa, atau kepada Liu Lu Sian! Sekarang ia tertarik oleh keadaan bocah ini, kalau ia menuruti hatinya, tentu ada saja persoalan baru muncul. Ia lalu berdongak dan berusaha mengusir perasaannya sambil bernyanyi dengan suara keras.
"Lima warna membutakan mata
lima bunyi menulikan telinga
lima lezat merusak rasa
memburu membunuh menjadikan buas
benda dihargai menjadi curang
itulah sebabnya orang bijaksana
mementingkan kebutuhan perut
tak menghiraukan panca indera!"
Bu Song memandang dengan mata terbuka lebar dan kagum. Sama sekali tidak disangkanya bahwa jembel yang seperti orang gila dan suka bersikap edan-edanan dan aneh ini begitu pandai bernyanyi, suaranya nyaring merdu dan sajaknya bukan pula sembarang sajak. Kata-kata dalam sajak itu menimbulkan kesan mendalam di hatinya dan karena semenjak kecil ia dijejali kitab-kitab kuno yang sukar bentuk dan arti kalimatnya, maka sekali mendengar sajak ini Bu Song sudah dapat menangkap inti sarinya. Tak terasa lagi ia bertepuk tangan memuji.
"Bagus sekali, Paman terutama isi sajaknya!"
Kwee Seng tersenyum.
"Kau belum pernah mendengarnya? Belum pernah membacanya?"
Bu Song menggeleng kepalanya. Memang dahulu ayahnya melarang ia membaca kitab-kitab Agama To, karena menurut anggapan Kam Si Ek, pelajaran dalam agama ini hanya melemahkan semangat anak-anak. Akan tetapi Bu Song yang sudah banyak membaca kitab-kitab kuno, dapat menduganya, maka ia berkata.
"Aku belum pernah membaca sajak itu, akan tetapi agaknya itu adalah pelajaran Agama To, bukan?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar