Kwee Seng girang dan merangkul pundak anak itu.
"Anak baik, memang itu adalah sajak dari kitab To-tek-kheng dari Agama To ajaran Nabi Lo Cu. Anak yang baik siapakah namamu?"
"Aku bernama Bu Song, paman."
"Bu Song? Nama yang indah dan gagah. Dan apa shemu (nama keturunan)?"
Bu Song mengerutkan kening dan menggeleng kepala.
"Aku tidak menggunakan she. Namaku cukup Bu Song saja, tanpa tambahan."
Kwee Seng memandang dengan alis bergerak-gerak.
"Mengapa begitu? Di manakah kau tinggal?"
Bu Song memandangnya dan kini anak itu tersenyum.
"Sama dengan engkau Paman."
"Heh...? Bagaimana bisa sama dengan aku, kalau aku tidak mempunyai tempat tinggal... Ehhh! Apa kau mau bilang bahwa kau tidak mempunyai tempat tinggal?"
Bu Song mengangguk!
"Dan orang tuamu? Siapakah mereka? Mengapa kau meninggalkan rumah orang tuamu?"
Ucapan Kwee Seng terdengar bengis dan ia memandang Bu Song dengan mata marah, seakan-akan hendak memaksa anak ini mengaku. Memang Kwee Seng marah karena ia dapat membayangkan betapa susahnya hati ayah bunda anak ini. Anak seperti ini tentu amat disayang oleh orang tuanya, maka kalau anak ini pergi tanpa pamit, tentu akan menyusahkan hati mereka.
Tiba-tiba Bu Song berdiri, lalu mengangkat tangan menjura kepada Kwee Seng.
"Maaf, Paman, terpaksa aku tidak dapat melayani bercakap-cakap dengan Paman lebih lama. Aku pergi...!"
"Hee, nanti dulu! Mengapa kau tidak mau bicara lagi?"
Sambil menoleh dan memperlihatkan muka sedih Bu Song menjawab,
"Orang bercakap-cakap harus jujur dan tidak saling membohong. Akan tetapi aku terpaksa tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan Paman, aku tidak dapat dan tidak mau bercerita tentang diriku, tentang riwayatku, maka terpaksa aku harus meninggalkan Paman, biarpun dengan penuh kesal dan kecewa...."
"He, Bu Song, kau kembalilah. Aku tidak akan tanya-tanya lagi tentang keadaan dirimu atau orang tuamu."
Bu Song menjadi girang sekali, ia berlari kembali dan duduk di depan Kwee Seng lagi. Kwee Seng kini memandang penuh perhatian, lalu memegang kedua pundak anak itu, meraba-raba memeriksa tubuh dengan hati girang dan heran ia mendapat kenyataan bahwa anak ini mempunyai bakat yang luar biasa untuk ilmu silat. Tulang-tulangnya bersih dan kuat seperti tubuh seekor harimau muda!
"Bu Song apakah kau pernah belajar ilmu silat?"
"Silat? Tidak, tidak pernah." Bu Song menggeleng kepalanya.
"Bagus! Anak baik, aku cocok sekali denganmu. Maukah kau menjadi muridku?"
Murid? Menjadi murid jembel yang gila-gilaan ini? Mau belajar apakah dari orang ini, pikir Bu Song dengan kening berkerut karena merasa sangsi.
"Paman, siapakah Paman ini dan hendak mengajar apakah kepadaku?"
Kwee Seng tertawa bergelak. Jari tangannya mencoret-coret tanah dan tampaklah guratan yang dalam dan indah gayanya, terdiri dari empat huruf yang berbunyi "Kim-mo Taisu", lalu ia tertawa dan berkata,
"Inilah namaku."
"Kim-mo Taisu!" Bu Song membaca dengan pandang mata kagum. "Alangkah indahnya huruf tulisan Paman! Aku suka menjadi murid Paman untuk belajar menulis huruf indah dan belajar kitab Agama to!"
Kwee Seng girang sekali mendapat kenyataan bahwa anak ini memang pandai. Ia tadi sengaja menuliskan huruf kembang, huruf-huruf yang indah dan coretannya cepat, sukar dimengerti pelajar setengah matang. Akan tetapi anak ini sekali melihat dapat membacanya, sungguh membuktikan kepandaian sastra yang cukup baik. Ia tertawa bergelak.
"Aku hanyalah seorang mahasiswa gagal, Bu Song. Tidak, aku bukan hanya mengajar kau tulis dan baca kitab agama To, akan tetapi terutama sekali aku akan mengajarkan ilmu silat kepadamu. Kau berbakat baik sekali untuk belajar ilmu silat."
Akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat anak itu menggeleng kepala cepat-cepat sambil mengerutkan sepasang alisnya yang berbentuk golok.
"Tidak, Paman! Aku tidak mau belajar silat!"
"Eh, kenapa?"
"Ilmu silat adalah ilmu yang jahat, pangkal permusuhan sumber kekejaman!"
"Ha-ha-ha, omongan apa ini? Ilmu tetap ilmu, baik jahatnya, kejam tidaknya, tergantung kepada si manusia yang mempergunakan ilmu itu."
"Betul, Paman. Akan tetapi, ilmu silat merupakan pendorong yang berbahaya. Kalau pandai silat, tentu menjadi berani untuk berkelahi, kalau gemar berkelahi tentu banyak musuh. Untuk apakah gunanya ilmu silat kalau tidak untuk berkelahi, bunuh-membunuh dan menjual lagak?"
"Waduhhhh! Dari siapa kau mendengar pendapat tentang ilmu silat seperti itu? Siapa yang bilang begitu?"
"Yang bilang begitu adalah Ay... tidak Paman, itu adalah pendapatku sendiri."
Hemm, agaknya ayah anak ini seorang sastrawan yang benci akan kekerasan maka membenci pula ilmu silat, pikir Kwee Seng. Ia diam-diam merasa heran mengapa anak ini demikian berkeras merahasiakan riwatnya, dan ia pun heran mengapa anak yang agaknya sejak kecil dididik sastra dan kehalusan, memiliki hati yang begini keras dan kuat seperti benteng baja.
Anak yang pandai sekali mempergunakan pikirannya, yang sekecil itu sudah berpemandangan luas, dapat menangkap inti sari filsafat kebatinan, yang berhati tabah tak kenal takut, berani mengemukakan jalan pikirannya secara terbuka dan jujur. Kwee Seng makin tertarik dan suka sekali.
"Baiklah, Bu Song. Kau menjadi muridku dan aku tidak akan mengajarmu ilmu silat, melainkan ilmu sastra, ilmu kesehatan dan pengobatan. Mulai saat ini kau adalah muridku dan aku adalah Suhumu, kau harus ikut kemana pun aku pergi."
Girang hati Bu Song. Ia memang merasa tertarik dan suka kepada jembel yang rambutnya awut-awutan itu, apalagi setelah menyaksikan sepak terjang Kwee Seng di depan rumah judi, ia benar-benar merasa kagum dan maklum bahwa orang itu bukanlah orang sembarangan walaupun ia tidak setuju dengan sepak terjangnya. Maka ia lalu cepat menjatuhkan diri berlutut memberi hormat sebagaimana layaknya seorang mengangkat guru sambil menyebut,
"Suhu!"
Kim-mo Taisu yang masih duduk di atas tanah sambil bersila, tiba-tiba menggunakan kedua telapak tangannya menggebrak tanah di depan Bu Song dan... tubuh anak itu mencelat ke atas semeter lebih tingginya.
Akan tetapi, hebat memang ketabahan hati Bu Song. Ia mencelat ke atas dalam keadaan masih berlutut dan biarpun hal itu merupakan hal tak tersangka-sangka dan amat mengejutkan, tidak sedikit pun seruan kaget atau takut keluar dari mulutnya, matanya yang bening dan tajam itu menatap ke arah wajah suhunya penuh pertanyaan. Kim-mo Taisu tertawa girang dan menyambar tubuh muridnya itu, lalu dipeluknya.
"Anak baik, muridku yang baik....!"
Bu Song terharu, matanya terasa panas namun hatinya yang keras menentang untuk meruntuhkan air mata. Ia merasa betapa dari diri suhunya memancar kasih sayang yang amat ia butuhkan, kasih sayang orang tua yang amat ia rindukan karena sejak kecil ia telah kehilangan perasaan ini.
Maka dalam saat itu, di dalam hatinya timbul rasa kasih yang amat besar terhadap gurunya yang berpakaian jembel dan berambut riap-riapan ini. Bukan hanya rasa taat dan bakti seorang murid terhadap guru, melainkan juga rasa sayang seorang anak terhadap ayah!
"Bu Song, kau tunggu sebentar di sini!"
Tiba-tiba Kim-mo Taisu berkata dan tanpa menanti jawaban muridnya, tubuhnya melesat lenyap dari tempat itu.
Bu Song bengong, kagum dan terheran-heran. Sewajarnyalah kalau pada saat itu timbul rasa inginnya belajar "terbang" seperti yang dilakukan suhunya, akan tetapi hatinya yang keras menolak keinginan ini karena pesan ayahnya dahulu ketika ia masih kecil, masih lekat di lubuk hatinya.
Ia tidak tahu kemana suhunya pergi, juga tidak dapat menduga kemana. Akan tetapi karena memang sejak semula maklum bahwa gurunya itu seorang manusia dengan kelakuan edan-edanan, ia hanya menghela napas lalu duduk di bawah pohon itu, menanti.
Kewajiban seorang murid untuk menanti perintah gurunya dan andaikata gurunya itu sehari semalam tidak kembali, ia akan tetap menanti di tempat itu! Untung baginya, tak usah ia menanti sampai begitu lama. Belum sejam lamanya, Kim-mo Taisu sudah berkelebat datang, membawa pundi-pundi kuning, datang-datang melempar pundi-pundi itu ke depan Bu Song sambil tertawa bergelak dan berkata.
"Ha-ha-ha, kau benar, muridku! Setan-setan judi itu memang sukar disembuhkan dari penyakit gemar judi. Mereka itu telah ramai-ramai berjudi pula dan betul saja, uang pembagian dariku mereka pergunakan sebagai modal! Benar-benar menjemukan!"
Bu Song menahan geli hatinya. Setelah Kim-mo Taisu menjadi gurunya, tentu saja tak berani ia mentertawakannya.
"Apakah yang kemudian Suhu lakukan terhadap mereka?" tanyanya, sikapnya hormat, sehingga Kim-mo Taisu tercengang.
"Aku? Ha-ha-ha, kurampas dari saku mereka seratus dua puluh tail, jumlah uangku sendiri, kemudian kujungkir balikkan meja judi, kulempar-lemparkan mereka ke atas genteng."
Bu Song diam saja, akan tetapi di dalam hati ia tidak setuju dengan perbuatan suhunya ini yang dianggap juga sia-sia belaka, tidak mungkin dapat mengobati penyakit para penjudi, malah hanya menimbulkan dendam dalam hati mereka terhadap suhunya.
Kim-mo Taisu memandang muridnya dengan tajam sambil tersenyum, mengerti bahwa muridnya tentu saja tidak setuju, akan tetapi melihat mulut muridnya tidak mengeluarkan kata-kata sesuatu, diam-diam ia makin kagum. Bocah ini kecil-kecil sudah tahu akan arti ketaatan murid terhadap guru, dan pandai pula menyimpan perasaan. Akan tetapi ia belum menguji sampai dimana keuletan dan ketahanan hati muridnya ini.
"Bu Song, kau melihat gunung itu?" Ia menudingkan telunjuknya ke arah sebuah bukit di selatan. "Itu adalah Gunung Tapie-san. Aku ada urusan penting kesana, harus cepat-cepat berangkat. Kau bawalah pundi-pundi uang ini dan kau susullah aku kesana. Carilah jalan menuju puncaknya. Beranikah kau?"
"Mengapa tidak berani, Suhu?"
"Baik, nah, sampai jumpa di pegunungan itu. Aku pergi sekarang!"
Setelah berkata demikian, Kim-mo Taisu menyerahkan pundi-pundi uang dan sekali berkelebat ia telah lenyap. Untuk kedua kalinya Bu Song kagum karena gerakan gurunya itu sama sekali tidak kelihatan, tahu-tahu bergerak dan lenyap begitu saja, seakan-akan suhunya pandai ilmu "menghilang".
Ia memandang pundi-pundi itu kemudian mengikatkanya di punggung, lalu mulailah anak ini melangkah menuju ke selatan. Bukit itu masih jauh, hanya kelihatan menjulang tinggi, puncaknya tertutup awan. Akan tetapi ia tidak merasa jerih. Ia percaya penuh bahwa suhunya pasti menanti disana. Mengejar ilmu harus berani menderita sengsara, ini adalah ucapan ayahnya. Apapun akan ia jalani untuk mentaati perintah suhunya.
Hatinya lapang, langkahnya ringan, akan tetapi perutnya lapar sekali, Anak kecil ini memandang ke sekeliling, hanya pohon-pohon belaka, tidak ada dusun, maka tersenyumlah ia. Kejanggalan yang menggelikan hatinya. Ia membawa banyak uang, malah beberapa potong uang kecil sisa hasilnya bekerja masih terdapat di saku. Akan tetapi, di dalam hutan seperti ini, apa gunanya banyak uang? Di kota orang berlomba mencari uang, akan tetapi di tempat seperti ini, uang segudang pun tiada gunanya!
"Anak baik, memang itu adalah sajak dari kitab To-tek-kheng dari Agama To ajaran Nabi Lo Cu. Anak yang baik siapakah namamu?"
"Aku bernama Bu Song, paman."
"Bu Song? Nama yang indah dan gagah. Dan apa shemu (nama keturunan)?"
Bu Song mengerutkan kening dan menggeleng kepala.
"Aku tidak menggunakan she. Namaku cukup Bu Song saja, tanpa tambahan."
Kwee Seng memandang dengan alis bergerak-gerak.
"Mengapa begitu? Di manakah kau tinggal?"
Bu Song memandangnya dan kini anak itu tersenyum.
"Sama dengan engkau Paman."
"Heh...? Bagaimana bisa sama dengan aku, kalau aku tidak mempunyai tempat tinggal... Ehhh! Apa kau mau bilang bahwa kau tidak mempunyai tempat tinggal?"
Bu Song mengangguk!
"Dan orang tuamu? Siapakah mereka? Mengapa kau meninggalkan rumah orang tuamu?"
Ucapan Kwee Seng terdengar bengis dan ia memandang Bu Song dengan mata marah, seakan-akan hendak memaksa anak ini mengaku. Memang Kwee Seng marah karena ia dapat membayangkan betapa susahnya hati ayah bunda anak ini. Anak seperti ini tentu amat disayang oleh orang tuanya, maka kalau anak ini pergi tanpa pamit, tentu akan menyusahkan hati mereka.
Tiba-tiba Bu Song berdiri, lalu mengangkat tangan menjura kepada Kwee Seng.
"Maaf, Paman, terpaksa aku tidak dapat melayani bercakap-cakap dengan Paman lebih lama. Aku pergi...!"
"Hee, nanti dulu! Mengapa kau tidak mau bicara lagi?"
Sambil menoleh dan memperlihatkan muka sedih Bu Song menjawab,
"Orang bercakap-cakap harus jujur dan tidak saling membohong. Akan tetapi aku terpaksa tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan Paman, aku tidak dapat dan tidak mau bercerita tentang diriku, tentang riwayatku, maka terpaksa aku harus meninggalkan Paman, biarpun dengan penuh kesal dan kecewa...."
"He, Bu Song, kau kembalilah. Aku tidak akan tanya-tanya lagi tentang keadaan dirimu atau orang tuamu."
Bu Song menjadi girang sekali, ia berlari kembali dan duduk di depan Kwee Seng lagi. Kwee Seng kini memandang penuh perhatian, lalu memegang kedua pundak anak itu, meraba-raba memeriksa tubuh dengan hati girang dan heran ia mendapat kenyataan bahwa anak ini mempunyai bakat yang luar biasa untuk ilmu silat. Tulang-tulangnya bersih dan kuat seperti tubuh seekor harimau muda!
"Bu Song apakah kau pernah belajar ilmu silat?"
"Silat? Tidak, tidak pernah." Bu Song menggeleng kepalanya.
"Bagus! Anak baik, aku cocok sekali denganmu. Maukah kau menjadi muridku?"
Murid? Menjadi murid jembel yang gila-gilaan ini? Mau belajar apakah dari orang ini, pikir Bu Song dengan kening berkerut karena merasa sangsi.
"Paman, siapakah Paman ini dan hendak mengajar apakah kepadaku?"
Kwee Seng tertawa bergelak. Jari tangannya mencoret-coret tanah dan tampaklah guratan yang dalam dan indah gayanya, terdiri dari empat huruf yang berbunyi "Kim-mo Taisu", lalu ia tertawa dan berkata,
"Inilah namaku."
"Kim-mo Taisu!" Bu Song membaca dengan pandang mata kagum. "Alangkah indahnya huruf tulisan Paman! Aku suka menjadi murid Paman untuk belajar menulis huruf indah dan belajar kitab Agama to!"
Kwee Seng girang sekali mendapat kenyataan bahwa anak ini memang pandai. Ia tadi sengaja menuliskan huruf kembang, huruf-huruf yang indah dan coretannya cepat, sukar dimengerti pelajar setengah matang. Akan tetapi anak ini sekali melihat dapat membacanya, sungguh membuktikan kepandaian sastra yang cukup baik. Ia tertawa bergelak.
"Aku hanyalah seorang mahasiswa gagal, Bu Song. Tidak, aku bukan hanya mengajar kau tulis dan baca kitab agama To, akan tetapi terutama sekali aku akan mengajarkan ilmu silat kepadamu. Kau berbakat baik sekali untuk belajar ilmu silat."
Akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat anak itu menggeleng kepala cepat-cepat sambil mengerutkan sepasang alisnya yang berbentuk golok.
"Tidak, Paman! Aku tidak mau belajar silat!"
"Eh, kenapa?"
"Ilmu silat adalah ilmu yang jahat, pangkal permusuhan sumber kekejaman!"
"Ha-ha-ha, omongan apa ini? Ilmu tetap ilmu, baik jahatnya, kejam tidaknya, tergantung kepada si manusia yang mempergunakan ilmu itu."
"Betul, Paman. Akan tetapi, ilmu silat merupakan pendorong yang berbahaya. Kalau pandai silat, tentu menjadi berani untuk berkelahi, kalau gemar berkelahi tentu banyak musuh. Untuk apakah gunanya ilmu silat kalau tidak untuk berkelahi, bunuh-membunuh dan menjual lagak?"
"Waduhhhh! Dari siapa kau mendengar pendapat tentang ilmu silat seperti itu? Siapa yang bilang begitu?"
"Yang bilang begitu adalah Ay... tidak Paman, itu adalah pendapatku sendiri."
Hemm, agaknya ayah anak ini seorang sastrawan yang benci akan kekerasan maka membenci pula ilmu silat, pikir Kwee Seng. Ia diam-diam merasa heran mengapa anak ini demikian berkeras merahasiakan riwatnya, dan ia pun heran mengapa anak yang agaknya sejak kecil dididik sastra dan kehalusan, memiliki hati yang begini keras dan kuat seperti benteng baja.
Anak yang pandai sekali mempergunakan pikirannya, yang sekecil itu sudah berpemandangan luas, dapat menangkap inti sari filsafat kebatinan, yang berhati tabah tak kenal takut, berani mengemukakan jalan pikirannya secara terbuka dan jujur. Kwee Seng makin tertarik dan suka sekali.
"Baiklah, Bu Song. Kau menjadi muridku dan aku tidak akan mengajarmu ilmu silat, melainkan ilmu sastra, ilmu kesehatan dan pengobatan. Mulai saat ini kau adalah muridku dan aku adalah Suhumu, kau harus ikut kemana pun aku pergi."
Girang hati Bu Song. Ia memang merasa tertarik dan suka kepada jembel yang rambutnya awut-awutan itu, apalagi setelah menyaksikan sepak terjang Kwee Seng di depan rumah judi, ia benar-benar merasa kagum dan maklum bahwa orang itu bukanlah orang sembarangan walaupun ia tidak setuju dengan sepak terjangnya. Maka ia lalu cepat menjatuhkan diri berlutut memberi hormat sebagaimana layaknya seorang mengangkat guru sambil menyebut,
"Suhu!"
Kim-mo Taisu yang masih duduk di atas tanah sambil bersila, tiba-tiba menggunakan kedua telapak tangannya menggebrak tanah di depan Bu Song dan... tubuh anak itu mencelat ke atas semeter lebih tingginya.
Akan tetapi, hebat memang ketabahan hati Bu Song. Ia mencelat ke atas dalam keadaan masih berlutut dan biarpun hal itu merupakan hal tak tersangka-sangka dan amat mengejutkan, tidak sedikit pun seruan kaget atau takut keluar dari mulutnya, matanya yang bening dan tajam itu menatap ke arah wajah suhunya penuh pertanyaan. Kim-mo Taisu tertawa girang dan menyambar tubuh muridnya itu, lalu dipeluknya.
"Anak baik, muridku yang baik....!"
Bu Song terharu, matanya terasa panas namun hatinya yang keras menentang untuk meruntuhkan air mata. Ia merasa betapa dari diri suhunya memancar kasih sayang yang amat ia butuhkan, kasih sayang orang tua yang amat ia rindukan karena sejak kecil ia telah kehilangan perasaan ini.
Maka dalam saat itu, di dalam hatinya timbul rasa kasih yang amat besar terhadap gurunya yang berpakaian jembel dan berambut riap-riapan ini. Bukan hanya rasa taat dan bakti seorang murid terhadap guru, melainkan juga rasa sayang seorang anak terhadap ayah!
"Bu Song, kau tunggu sebentar di sini!"
Tiba-tiba Kim-mo Taisu berkata dan tanpa menanti jawaban muridnya, tubuhnya melesat lenyap dari tempat itu.
Bu Song bengong, kagum dan terheran-heran. Sewajarnyalah kalau pada saat itu timbul rasa inginnya belajar "terbang" seperti yang dilakukan suhunya, akan tetapi hatinya yang keras menolak keinginan ini karena pesan ayahnya dahulu ketika ia masih kecil, masih lekat di lubuk hatinya.
Ia tidak tahu kemana suhunya pergi, juga tidak dapat menduga kemana. Akan tetapi karena memang sejak semula maklum bahwa gurunya itu seorang manusia dengan kelakuan edan-edanan, ia hanya menghela napas lalu duduk di bawah pohon itu, menanti.
Kewajiban seorang murid untuk menanti perintah gurunya dan andaikata gurunya itu sehari semalam tidak kembali, ia akan tetap menanti di tempat itu! Untung baginya, tak usah ia menanti sampai begitu lama. Belum sejam lamanya, Kim-mo Taisu sudah berkelebat datang, membawa pundi-pundi kuning, datang-datang melempar pundi-pundi itu ke depan Bu Song sambil tertawa bergelak dan berkata.
"Ha-ha-ha, kau benar, muridku! Setan-setan judi itu memang sukar disembuhkan dari penyakit gemar judi. Mereka itu telah ramai-ramai berjudi pula dan betul saja, uang pembagian dariku mereka pergunakan sebagai modal! Benar-benar menjemukan!"
Bu Song menahan geli hatinya. Setelah Kim-mo Taisu menjadi gurunya, tentu saja tak berani ia mentertawakannya.
"Apakah yang kemudian Suhu lakukan terhadap mereka?" tanyanya, sikapnya hormat, sehingga Kim-mo Taisu tercengang.
"Aku? Ha-ha-ha, kurampas dari saku mereka seratus dua puluh tail, jumlah uangku sendiri, kemudian kujungkir balikkan meja judi, kulempar-lemparkan mereka ke atas genteng."
Bu Song diam saja, akan tetapi di dalam hati ia tidak setuju dengan perbuatan suhunya ini yang dianggap juga sia-sia belaka, tidak mungkin dapat mengobati penyakit para penjudi, malah hanya menimbulkan dendam dalam hati mereka terhadap suhunya.
Kim-mo Taisu memandang muridnya dengan tajam sambil tersenyum, mengerti bahwa muridnya tentu saja tidak setuju, akan tetapi melihat mulut muridnya tidak mengeluarkan kata-kata sesuatu, diam-diam ia makin kagum. Bocah ini kecil-kecil sudah tahu akan arti ketaatan murid terhadap guru, dan pandai pula menyimpan perasaan. Akan tetapi ia belum menguji sampai dimana keuletan dan ketahanan hati muridnya ini.
"Bu Song, kau melihat gunung itu?" Ia menudingkan telunjuknya ke arah sebuah bukit di selatan. "Itu adalah Gunung Tapie-san. Aku ada urusan penting kesana, harus cepat-cepat berangkat. Kau bawalah pundi-pundi uang ini dan kau susullah aku kesana. Carilah jalan menuju puncaknya. Beranikah kau?"
"Mengapa tidak berani, Suhu?"
"Baik, nah, sampai jumpa di pegunungan itu. Aku pergi sekarang!"
Setelah berkata demikian, Kim-mo Taisu menyerahkan pundi-pundi uang dan sekali berkelebat ia telah lenyap. Untuk kedua kalinya Bu Song kagum karena gerakan gurunya itu sama sekali tidak kelihatan, tahu-tahu bergerak dan lenyap begitu saja, seakan-akan suhunya pandai ilmu "menghilang".
Ia memandang pundi-pundi itu kemudian mengikatkanya di punggung, lalu mulailah anak ini melangkah menuju ke selatan. Bukit itu masih jauh, hanya kelihatan menjulang tinggi, puncaknya tertutup awan. Akan tetapi ia tidak merasa jerih. Ia percaya penuh bahwa suhunya pasti menanti disana. Mengejar ilmu harus berani menderita sengsara, ini adalah ucapan ayahnya. Apapun akan ia jalani untuk mentaati perintah suhunya.
Hatinya lapang, langkahnya ringan, akan tetapi perutnya lapar sekali, Anak kecil ini memandang ke sekeliling, hanya pohon-pohon belaka, tidak ada dusun, maka tersenyumlah ia. Kejanggalan yang menggelikan hatinya. Ia membawa banyak uang, malah beberapa potong uang kecil sisa hasilnya bekerja masih terdapat di saku. Akan tetapi, di dalam hutan seperti ini, apa gunanya banyak uang? Di kota orang berlomba mencari uang, akan tetapi di tempat seperti ini, uang segudang pun tiada gunanya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar