"Bagus! Terima kasih! Sudah diberi kemenangan besar, masih disuguhi arak lagi." Kata Kwee Seng yang segera mengangkat guci dan menuangkannya ke mulut, minum sampai bergelogok suaranya. Setelah habis setengah guci, ia baru berhenti dan mengusap mulutnya dengan ujung lengan baju. "Arak baik... arak baik... ha-ha, hayo teruskan permainan!"
Ketika bandar yang bermuka pucat itu dengan tangan menggigil memegang mangkok, Si Ketua Pengemis merampas mangkok dan mendorong bandar itu ke pinggir. Dorongan perlahan saja akan tetapi bandar itu hampir roboh, terhuyung-huyung sampai jauh.
"Ha-ha-ha, memang dia sialan!" Kwee Seng menertawakan.
Koai-tung Tiang-lo memegang mangkok dan memandang Kwee Seng dengan mata penuh selidik.
"Orang muda, kau hendak pasang berapa?"
"Heh-heh, semua ini kupasangkan untuk angka ganjil, ha-ha"
"Gila!"
Seru seorang di antara para penonton. Ia berkata demikian karena tidak tahan hatinya melihat betapa kemenangan sebesar itu akan diludeskan dalam sekali pasangan.
Kwee Seng mendengar makian menengok dan melihat muka orang yang pucat, mata yang muram tanda kalah judi.
"Kau benar, sahabat. Memang kita semua yang sudah memasuki rumah judi adalah orang-orang gila belaka! Ha-ha-ha! Orang tua, kau mainkanlah dadu itu. Delapan pundi-pundi ini untuk angka ganjil."
"Hemm, orang muda, apakah yang kau kehendaki? Tentu bukan kemenangan uang."
Kata Si Kakek sambil mulai memutar-mutar dadu dalam mangkok. Gerakannya kaku, tidak seindah dan secepat gerakan bandar tadi. Memang Koai-tung Tiang-lo bukanlah seorang bandar judi. Namun, biar tangannya kaku dan seperti tidak bergerak, dadu di dalam mangkok itu berputar cepat sekali, jauh lebih cepat dari pada kalau diputar oleh Si Bandar tadi.
"Heh-heh, orang tua, kau benar. Delapan pundi-pundi perak ini kupertaruhkan untuk angka ganjil. Kalau aku kalah, kau boleh ambil semua perak ini tanpa banyak urusan lagi. Akan tetapi kalau aku yang menang, aku hanya minta dibayar sebuah keterangan."
Semua orang makin terheran, akan tetapi kakek itu tersenyum maklum. Memang bagi orang-orang kang-ouw, uang tidaklah berharga.
"Uangmu delapan kantung, sudah jelas harganya. Akan tetapi keterangan itu, harus disebutkan dulu agar diketahui harganya, apakah cukup dibayar dengan delapan kantung perak."
Percakapan ini benar-benar tak dapat dimengerti oleh tukang judi yang mendengarkan dengan perasaan heran. Kwee Seng mengangguk.
"Itu pantas! Keterangan itu adalah tentang diri seorang jembel muda macam aku ini yang menyebut dirinya kai-ong (raja pengemis). Aku ingin berjumpa dengannya!"
Berubah wajah kakek itu mendengar ini, matanya menyambar tajam.
"Hemm, ada urusan apakah dengan kai-ong?"
"Urusan pribadi. Bagaimana, kau terima?"
Kakek itu mengangguk.
"Boleh. Akan tetapi keterangan itu jauh lebih berharga daripada delapan pundi-pundi perak. Kalau kau kalah, keterangan tidak kau dapat, delapan pundi-pundi ini berikut tangan kirimu harus kau bayarkan kepadaku. Kalau kau menang, uangmu ini kau bawa pergi bersama keterangan tentang di mana adanya kai-ong. Akur?"
Semua orang terkejut. Bukan main taruhan itu. Berikut tangan kiri? Berarti tangan kiri jembel muda itu kalau kalah harus dibuntungi? Ah, kalau tidak gila, tentu Si Jembel menolak. Akan tetapi, Kwee Seng mengangguk dan berkata,
"Cocok!"
Wah, benar-benar jembel muda ini sudah gila. Masa sebuah keterangan tentang seorang kai-ong saja dipertaruhkan dengan hampir seribu tail perak berikut sebuah tangan dibuntungi!
Keadaan menjadi tegang bukan main, bahkan kini ditambah rasa ngeri di hati. Dadu itu berputaran makin cepat dan tiba-tiba mangkok itu ditutupkan di atas meja, menyembunyikan dadu yang akan menentukan nasib Si Jembel dan tangan kiri.
Koai-tung Tiang-lo masih menindih mangkok tertutup, sedangkan tangan kanannya terletak di atas meja dengan jari-jari tangan terbuka. Namun, suasana yang amat tegang itu sama sekali tidak mempengaruhi Si Jembel muda, kini ia malah mengangkat guci dengan tangan kanan untuk dituangkan isinya ke dalam mulut, sedangkan tangan kirinya juga terletak di atas meja dan matanya terus melirik ke arah mangkok di atas meja.
Melihat kesempatan selagi lawannya minum arak, Koai-tung Tiang-lo segera berseru.
"Siap buka, lihatlah!"
Tangan kirinya mengangkat mangkok dan jari-jari tangan kanannya menegang! Akan tetapi pada saat itu juga jari-jari tangan kiri Kwee Seng menegang dan seperti halnya Koai-tung Tiang-lo, dari jari-jari tangan ini, menyambar keluar tenaga sin-kang (hawa sakti) ke arah biji dadu di atas meja.
Semua mata memandang dan... terdengar seruan heran karena begitu mangkok dibuka, biji dadu di atas meja itu berputaran! Hal ini tentu saja tidak mungkin Karena tadi begitu mangkok ditutup, tentu biji dadu itu telah jatuh ke meja dan berhenti bergerak. Bagaimana sekarang bisa berputaran? Hanya sebentar saja dadu itu berputar, mendadak kini berhenti sehingga semua mata memandang dengan terbelalak dan melotot seperti mau terloncat keluar dari tempatnya.
Kembali terdengar seruan-seruan tertahan di sana-sini ketika mereka melihat betapa biji dadu itu terletak miring sedemikian rupa sehingga permukaannya dibagi dua antara titik-titik angka tiga dan dua! Akan tetapi dadu itu bukannya diam melainkan bergerak ke kanan kiri, sebentar mendoyomg ke angka tiga, di lain saat mendoyong ke angka dua, seakan-akan ada kekuatan tak tampak yang saling dorong, saling mengadu kekuatan untuk mendorong dadu roboh telentang memperlihatkan permukaan angka tiga atau dua.
Ketika orang-orang yang berada disitu memandang kepada dua orang pengemis tua dan muda itu, mereka makin kaget dan heran, lalu gelisah dengan sendirinya. Pengemis tua itu wajahnya merah sekali dan basah penuh peluh, tangan kanannya menggetar di atas meja dengan jari-jari terbuka dan telapak tangan menghadap ke arah dadu, napasnya agak terengah-engah.
Adapun pengemis muda itu masih enak-enak saja duduk dengan tangan kiri dibuka jarinya menghadap ke depan, tangan kanan masih memegang guci arak yang diminumya dan kini perlahan-lahan diletakkannya guci arak ke atas meja. Gerakan ini menimbulkan getar pada meja dan dadu itu membalik hampir telentang dengan muka angka tiga, akan tetapi terdengar Koai-tung Tiang-lo berseru aneh dan dadu itu membalik lagi menjadi miring!
"Pangcu, apa kau masih hendak berkeras?” Terdengar Kwee Seng berkata sambil tersenyum.
Betapapun juga, Kwee Seng adalah seorang terpelajar yang masih ingat akan peraturan. Ia maklum bahwa pengemis tua yang dipanggil Pangcu (ketua) ini adalah seorang terkemuka, maka ia sengaja tidak mau membikin malu.
Dengan adu tenaga sin-kang itu, tentu sudah cukup bagi pangcu itu untuk mengetahui bahwa kakek itu tidak akan menang, lalu suka mengalah tanpa menderita malu karena jarang ada yang mengerti bahwa mereka telah saling mengadu sin-kang.
Akan tetapi Koai-tung Tiang-lo adalah seorang yang keras kepala. Apalagi sekarang setelah ia mengandalkan pengaruhnya kepada seorang yang ia anggap paling sakti di dunia ini, yaitu orang berjuluk Raja Pengemis, maka Ketua Ban-hwa Kai-pang ini menjadi tinggi hati. Mana ia sudi mengalah terhadap seorang jembel tak ternama yang seperti miring otaknya ini?
Tiba-tiba Koai-tung Tiang-lo berseru keras dan biji dadu itu melayang naik dari atas meja! Kakek itu sendiri bangkit berdiri, tangan kanannya kini dengan terang-terangan diangkat ke depan sedangkan tangan kirinya masih memegang mangkok.
Kwee Seng menghela napas. Kakek ini benar-benar keras kepala, perlu ditundukkan. Ia masih saja duduk, tapi tangan kirinya terpaksa ia angkat dan tertuju ke atas, ke arah dadu yang mengambang di udara dalam keadaan masih miring!
Tentu saja semua orang menahan napas, mata terbelalak mulut ternganga memandang peristiwa aneh itu. Mereka tidak mengerti jelas apa yang terjadi dan siapa di antara mereka berdua yang bermain sulap, akan tetapi mereka dapat menduga bahwa terjadi pertandingan hebat di antara kedua orang aneh itu.
"Aaiiihhh!"
Teriakan ini keluar dari dalam dada Koai-tung Tiang-lo dan menyambarlah mangkok dari tangan kirinya menuju Kwee Seng. Namun pendekar ini sambil tersenyum mengulur tangan kanan dan sebelum mangkok itu menyentuh tangan kanannya, benda itu sudah terpental kembali kemudian terhenti di tengah-tengah, biji dadu itu seperti mengambang di udara karena "terjepit" di antara dua rangkum tenaga dahsyat yang saling mendorong!
Ketika bandar yang bermuka pucat itu dengan tangan menggigil memegang mangkok, Si Ketua Pengemis merampas mangkok dan mendorong bandar itu ke pinggir. Dorongan perlahan saja akan tetapi bandar itu hampir roboh, terhuyung-huyung sampai jauh.
"Ha-ha-ha, memang dia sialan!" Kwee Seng menertawakan.
Koai-tung Tiang-lo memegang mangkok dan memandang Kwee Seng dengan mata penuh selidik.
"Orang muda, kau hendak pasang berapa?"
"Heh-heh, semua ini kupasangkan untuk angka ganjil, ha-ha"
"Gila!"
Seru seorang di antara para penonton. Ia berkata demikian karena tidak tahan hatinya melihat betapa kemenangan sebesar itu akan diludeskan dalam sekali pasangan.
Kwee Seng mendengar makian menengok dan melihat muka orang yang pucat, mata yang muram tanda kalah judi.
"Kau benar, sahabat. Memang kita semua yang sudah memasuki rumah judi adalah orang-orang gila belaka! Ha-ha-ha! Orang tua, kau mainkanlah dadu itu. Delapan pundi-pundi ini untuk angka ganjil."
"Hemm, orang muda, apakah yang kau kehendaki? Tentu bukan kemenangan uang."
Kata Si Kakek sambil mulai memutar-mutar dadu dalam mangkok. Gerakannya kaku, tidak seindah dan secepat gerakan bandar tadi. Memang Koai-tung Tiang-lo bukanlah seorang bandar judi. Namun, biar tangannya kaku dan seperti tidak bergerak, dadu di dalam mangkok itu berputar cepat sekali, jauh lebih cepat dari pada kalau diputar oleh Si Bandar tadi.
"Heh-heh, orang tua, kau benar. Delapan pundi-pundi perak ini kupertaruhkan untuk angka ganjil. Kalau aku kalah, kau boleh ambil semua perak ini tanpa banyak urusan lagi. Akan tetapi kalau aku yang menang, aku hanya minta dibayar sebuah keterangan."
Semua orang makin terheran, akan tetapi kakek itu tersenyum maklum. Memang bagi orang-orang kang-ouw, uang tidaklah berharga.
"Uangmu delapan kantung, sudah jelas harganya. Akan tetapi keterangan itu, harus disebutkan dulu agar diketahui harganya, apakah cukup dibayar dengan delapan kantung perak."
Percakapan ini benar-benar tak dapat dimengerti oleh tukang judi yang mendengarkan dengan perasaan heran. Kwee Seng mengangguk.
"Itu pantas! Keterangan itu adalah tentang diri seorang jembel muda macam aku ini yang menyebut dirinya kai-ong (raja pengemis). Aku ingin berjumpa dengannya!"
Berubah wajah kakek itu mendengar ini, matanya menyambar tajam.
"Hemm, ada urusan apakah dengan kai-ong?"
"Urusan pribadi. Bagaimana, kau terima?"
Kakek itu mengangguk.
"Boleh. Akan tetapi keterangan itu jauh lebih berharga daripada delapan pundi-pundi perak. Kalau kau kalah, keterangan tidak kau dapat, delapan pundi-pundi ini berikut tangan kirimu harus kau bayarkan kepadaku. Kalau kau menang, uangmu ini kau bawa pergi bersama keterangan tentang di mana adanya kai-ong. Akur?"
Semua orang terkejut. Bukan main taruhan itu. Berikut tangan kiri? Berarti tangan kiri jembel muda itu kalau kalah harus dibuntungi? Ah, kalau tidak gila, tentu Si Jembel menolak. Akan tetapi, Kwee Seng mengangguk dan berkata,
"Cocok!"
Wah, benar-benar jembel muda ini sudah gila. Masa sebuah keterangan tentang seorang kai-ong saja dipertaruhkan dengan hampir seribu tail perak berikut sebuah tangan dibuntungi!
Keadaan menjadi tegang bukan main, bahkan kini ditambah rasa ngeri di hati. Dadu itu berputaran makin cepat dan tiba-tiba mangkok itu ditutupkan di atas meja, menyembunyikan dadu yang akan menentukan nasib Si Jembel dan tangan kiri.
Koai-tung Tiang-lo masih menindih mangkok tertutup, sedangkan tangan kanannya terletak di atas meja dengan jari-jari tangan terbuka. Namun, suasana yang amat tegang itu sama sekali tidak mempengaruhi Si Jembel muda, kini ia malah mengangkat guci dengan tangan kanan untuk dituangkan isinya ke dalam mulut, sedangkan tangan kirinya juga terletak di atas meja dan matanya terus melirik ke arah mangkok di atas meja.
Melihat kesempatan selagi lawannya minum arak, Koai-tung Tiang-lo segera berseru.
"Siap buka, lihatlah!"
Tangan kirinya mengangkat mangkok dan jari-jari tangan kanannya menegang! Akan tetapi pada saat itu juga jari-jari tangan kiri Kwee Seng menegang dan seperti halnya Koai-tung Tiang-lo, dari jari-jari tangan ini, menyambar keluar tenaga sin-kang (hawa sakti) ke arah biji dadu di atas meja.
Semua mata memandang dan... terdengar seruan heran karena begitu mangkok dibuka, biji dadu di atas meja itu berputaran! Hal ini tentu saja tidak mungkin Karena tadi begitu mangkok ditutup, tentu biji dadu itu telah jatuh ke meja dan berhenti bergerak. Bagaimana sekarang bisa berputaran? Hanya sebentar saja dadu itu berputar, mendadak kini berhenti sehingga semua mata memandang dengan terbelalak dan melotot seperti mau terloncat keluar dari tempatnya.
Kembali terdengar seruan-seruan tertahan di sana-sini ketika mereka melihat betapa biji dadu itu terletak miring sedemikian rupa sehingga permukaannya dibagi dua antara titik-titik angka tiga dan dua! Akan tetapi dadu itu bukannya diam melainkan bergerak ke kanan kiri, sebentar mendoyomg ke angka tiga, di lain saat mendoyong ke angka dua, seakan-akan ada kekuatan tak tampak yang saling dorong, saling mengadu kekuatan untuk mendorong dadu roboh telentang memperlihatkan permukaan angka tiga atau dua.
Ketika orang-orang yang berada disitu memandang kepada dua orang pengemis tua dan muda itu, mereka makin kaget dan heran, lalu gelisah dengan sendirinya. Pengemis tua itu wajahnya merah sekali dan basah penuh peluh, tangan kanannya menggetar di atas meja dengan jari-jari terbuka dan telapak tangan menghadap ke arah dadu, napasnya agak terengah-engah.
Adapun pengemis muda itu masih enak-enak saja duduk dengan tangan kiri dibuka jarinya menghadap ke depan, tangan kanan masih memegang guci arak yang diminumya dan kini perlahan-lahan diletakkannya guci arak ke atas meja. Gerakan ini menimbulkan getar pada meja dan dadu itu membalik hampir telentang dengan muka angka tiga, akan tetapi terdengar Koai-tung Tiang-lo berseru aneh dan dadu itu membalik lagi menjadi miring!
"Pangcu, apa kau masih hendak berkeras?” Terdengar Kwee Seng berkata sambil tersenyum.
Betapapun juga, Kwee Seng adalah seorang terpelajar yang masih ingat akan peraturan. Ia maklum bahwa pengemis tua yang dipanggil Pangcu (ketua) ini adalah seorang terkemuka, maka ia sengaja tidak mau membikin malu.
Dengan adu tenaga sin-kang itu, tentu sudah cukup bagi pangcu itu untuk mengetahui bahwa kakek itu tidak akan menang, lalu suka mengalah tanpa menderita malu karena jarang ada yang mengerti bahwa mereka telah saling mengadu sin-kang.
Akan tetapi Koai-tung Tiang-lo adalah seorang yang keras kepala. Apalagi sekarang setelah ia mengandalkan pengaruhnya kepada seorang yang ia anggap paling sakti di dunia ini, yaitu orang berjuluk Raja Pengemis, maka Ketua Ban-hwa Kai-pang ini menjadi tinggi hati. Mana ia sudi mengalah terhadap seorang jembel tak ternama yang seperti miring otaknya ini?
Tiba-tiba Koai-tung Tiang-lo berseru keras dan biji dadu itu melayang naik dari atas meja! Kakek itu sendiri bangkit berdiri, tangan kanannya kini dengan terang-terangan diangkat ke depan sedangkan tangan kirinya masih memegang mangkok.
Kwee Seng menghela napas. Kakek ini benar-benar keras kepala, perlu ditundukkan. Ia masih saja duduk, tapi tangan kirinya terpaksa ia angkat dan tertuju ke atas, ke arah dadu yang mengambang di udara dalam keadaan masih miring!
Tentu saja semua orang menahan napas, mata terbelalak mulut ternganga memandang peristiwa aneh itu. Mereka tidak mengerti jelas apa yang terjadi dan siapa di antara mereka berdua yang bermain sulap, akan tetapi mereka dapat menduga bahwa terjadi pertandingan hebat di antara kedua orang aneh itu.
"Aaiiihhh!"
Teriakan ini keluar dari dalam dada Koai-tung Tiang-lo dan menyambarlah mangkok dari tangan kirinya menuju Kwee Seng. Namun pendekar ini sambil tersenyum mengulur tangan kanan dan sebelum mangkok itu menyentuh tangan kanannya, benda itu sudah terpental kembali kemudian terhenti di tengah-tengah, biji dadu itu seperti mengambang di udara karena "terjepit" di antara dua rangkum tenaga dahsyat yang saling mendorong!
"Semua yang hadir harap lihat baik-baik, angka berapakah permukaan dadu itu?”
Ucapan Kwee Seng ini diikuti pengerahan tenaga sin-kang. Tadi dalam menahan serangan lawan ia hanya mempergunakan sepertiga tenaganya saja, maka kini ia menambah tenaganya dan... betapa pun Koai-tung Tiang-lo mempertahankan sekuat tenaga, tetap saja dadu itu kini membalik dan biarpun masih mengambang di udara, namun jelas kini memperlihatkan angka tiga pada permukaannya. Semua orang yang melihat angka tiga ini, tentu saja serentak berkata
"Angka tiga...!"
"Hemm, berarti angka ganjil. Pangcu, kau kalah...."
Pada saat Kwee Seng berkata demikian itu empat orang tukang pukul sudah mencabut golok dan membacok kepala dan leher Kwee Seng dari belakang! Tentu saja Kwee Seng tahu akan hal ini, namun karena sambaran tenaga empat batang golok itu tidak berarti baginya dan karena ia sedang mengerahkan sin-kang sehingga seluruh tubuhnya terlindung ia pura-pura tidak tahu dan diam saja.
Empat batang golok itu meluncur kuat ke arah kepala dan leher, tiba-tiba... "wuuuutttt!" senjata-senjata itu membalik seakan-akan terdorong tenaga yang amat kuat. Tanpa dapat dicegah lagi, golok-golok itu menyerang pemegangnya karena tangan itu sudah tak dapat dikuasai lagi saking hebatnya tenaga membalik.
Bukan kepala Kwee Seng yang termakan mata golok melainkan kepala para penyerangnya yang terpukul punggung golok. Terdengar suara keras disusul jerit kesakitan dan suara berkerontangan golok-golok terjatuh di lantai. Biarpun tidak tajam, namun punggung golok baja cukup keras untuk membuat kepala mereka "bocor" dan tumbuh tanduk biru!
Pada saat berikutnya, terdengar suara keras dan mangkok itu meledak pecah, demikian pula biji dadu, lalu disusul terjengkangnya tubuh Koai-tung tiang-lo ke belakang menimpa kursinya!
Kwee Seng tertawa lalu menyambar guci araknya dan menenggak habis araknya. Sementara itu, Koai-tung Tiang-lo sudah melompat bangun, mukanya sebentar merah sebentar pucat, napasnya agak terengah-engah. Cepat ia menghardik para tukang pukul yang sudah mengurung Kwee Seng dengan senjata di tangan sedangkan para pengunjung rumah judi sudah panik hendak melarikan diri, takut terbawa-bawa dalam perkelahian.
Koai-tung Tiang-lo mengangkat kedua tangan menjura kepada Kwee Seng.
"Sicu (Orang Gagah) hebat, pantas berjumpa dengan kai-ong. Di lereng sebelah utara Tapie-san, di mana kai-ong kami menanti kunjunganmu."
Kwee Seng tersenyum dan menjura.
"Kau cukup jujur, Pangcu. Terima kasih."
Ucapan Kwee Seng ini diikuti pengerahan tenaga sin-kang. Tadi dalam menahan serangan lawan ia hanya mempergunakan sepertiga tenaganya saja, maka kini ia menambah tenaganya dan... betapa pun Koai-tung Tiang-lo mempertahankan sekuat tenaga, tetap saja dadu itu kini membalik dan biarpun masih mengambang di udara, namun jelas kini memperlihatkan angka tiga pada permukaannya. Semua orang yang melihat angka tiga ini, tentu saja serentak berkata
"Angka tiga...!"
"Hemm, berarti angka ganjil. Pangcu, kau kalah...."
Pada saat Kwee Seng berkata demikian itu empat orang tukang pukul sudah mencabut golok dan membacok kepala dan leher Kwee Seng dari belakang! Tentu saja Kwee Seng tahu akan hal ini, namun karena sambaran tenaga empat batang golok itu tidak berarti baginya dan karena ia sedang mengerahkan sin-kang sehingga seluruh tubuhnya terlindung ia pura-pura tidak tahu dan diam saja.
Empat batang golok itu meluncur kuat ke arah kepala dan leher, tiba-tiba... "wuuuutttt!" senjata-senjata itu membalik seakan-akan terdorong tenaga yang amat kuat. Tanpa dapat dicegah lagi, golok-golok itu menyerang pemegangnya karena tangan itu sudah tak dapat dikuasai lagi saking hebatnya tenaga membalik.
Bukan kepala Kwee Seng yang termakan mata golok melainkan kepala para penyerangnya yang terpukul punggung golok. Terdengar suara keras disusul jerit kesakitan dan suara berkerontangan golok-golok terjatuh di lantai. Biarpun tidak tajam, namun punggung golok baja cukup keras untuk membuat kepala mereka "bocor" dan tumbuh tanduk biru!
Pada saat berikutnya, terdengar suara keras dan mangkok itu meledak pecah, demikian pula biji dadu, lalu disusul terjengkangnya tubuh Koai-tung tiang-lo ke belakang menimpa kursinya!
Kwee Seng tertawa lalu menyambar guci araknya dan menenggak habis araknya. Sementara itu, Koai-tung Tiang-lo sudah melompat bangun, mukanya sebentar merah sebentar pucat, napasnya agak terengah-engah. Cepat ia menghardik para tukang pukul yang sudah mengurung Kwee Seng dengan senjata di tangan sedangkan para pengunjung rumah judi sudah panik hendak melarikan diri, takut terbawa-bawa dalam perkelahian.
Koai-tung Tiang-lo mengangkat kedua tangan menjura kepada Kwee Seng.
"Sicu (Orang Gagah) hebat, pantas berjumpa dengan kai-ong. Di lereng sebelah utara Tapie-san, di mana kai-ong kami menanti kunjunganmu."
Kwee Seng tersenyum dan menjura.
"Kau cukup jujur, Pangcu. Terima kasih."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar