Kwee Seng memang bukan seorang penjudi, tentu saja ia tidak mengerti apa artinya istilah "botoh kendil!" ini. Botoh berarti penjudi, adapun kendil adalah perabot dapur untuk masak nasi.
Ia mengerutkan kening, mengira istilah itu merupakan makian.
"Apa maksudmu? Apa itu botoh kendil?"
Jawaban ini membuat semua orang yang hadir makin terheran. Dari jawaban ini saja mudah diketahui bahwa jembel ini bukanlah seorang ahli judi, bagaimana mendadak ia begini berani bertaruhan besar dan malah menang?
"Botoh kendil adalah penjudi yang segera lari meninggalkan gelanggang begitu mendapat kemenangan, termasuk golongan yang licik!" jawab Si bandar yang juga terheran-heran.
Kwee Seng tertawa, tidak jadi marah.
"wah, belum apa-apa kau sudah takut kalau-kalau aku pergi membawa kemenanganku. Bandar macam apa kau ini, tidak berani menghadapi kekalahan? Jangan kuatir, tikus, aku tidak akan lari. Hayo bayar dulu kemenanganku!"
Dengan tangan gemetar akan tetapi mulut memaksa senyum, bandar itu memerintahkan pembantunya untuk membayar jumlah taruhan itu, dimasukkan ke dalam pundi-pundi hitam. Ketika menerima pembayaran ini, Kwee Seng lalu menaruh pundi-pundi baru di sebelah pundi-pundi kuningnya sambil berkata, suaranya nyaring.
"Sekarang kupertaruhkan semua ini, dua ratus empat puluh tail!"
"Ohhhh.....!!!"
Kini orang-orang yang tadinya bermain di meja-meja kecil menjadi tertarik dan berkerumunlah mereka di sekeliliing meja besar. Seakan-akan menjadi terhenti sama sekali perjudian di dalam ruangan itu, semua penjudi menjadi penonton dan yang berjudi hanyalah Kwee Seng seorang melawan Si Bandar bermata sipit.
Bandar ini pun kaget, akan tetapi kini wajahnya berseri-seri. Kiranya jembel ini benar-benar gila. Dengan begini, sekaligus ia dapat menarik kembali kekalahannya, bahkan sekalian menarik uang modal Si Jembel! Kalau tadi ia mungkin kurang tepat menyentil dadu, sekarang tidak mungkin lagi. Ia akan berlaku hati-hati dan pasti kali ini ia akan menang.
"Bagus! Kau benar-benar menjadi penjudi jempol!" Ia memuji sambil mulai memutar-mutar biji dadu ke dalam mangkok.
"Huh, aku bukan penjudi, sama sekali tidak jempol."
Kwee Seng membantah, akan tetapi matanya mengawasi dadu yang berputar-putar di mangkok, sedangkan kedua tangannya masih ia tumpangkan di atas meja di depan dadanya.
Si Bandar menggerakkan tangannya dan dengan cepat mangkok itu sudah tertelungkup lagi di atas meja menyembunyikan dadu di bawahnya.
"Nah, sekarang ulangi taruhanmu biar disaksikan semua orang!"
Si Bandar berkata, suaranya agak gemetar karena menahan ketegangan hatinya. Ia tadi melihat jelas bawa biji dadu yang ditutupnya itu telentang dengan angka dua di atas! Jadi genap! Ia mengharapkan Si Jembel ini tidak merobah taruhannya.
"Aku mempertaruhkan dua ratus empat puluh tail untuk angka ganjil!"
Kwee Seng berkata tenang tapi cukup jelas. Muka Si Bandar berseri gembira, mulutnya menyeringai penuh kemenangan ketika ia tertawa penuh ejekan.
"Bagus, semua orang mendengar dan menyaksikan. Dia bertaruh dengan pasangan angka ganjil. Nah, siap dibuka, kali ini kau pasti kalah!"
Tangannya membuka mangkok dan tentu saja jari tangannya tidak melakukan gerakan apa-apa karena ia sudah tahu betul bahwa dadu itu berangka dua, jadi berarti genap. Begitu tangannya yang kiri membuka dadu, tangan kanan siap untuk menggaruk dua buah pundi-pundi uang penuh perak berharga itu.
"Wah, ganjil lagi...!!"
Seru semua orang dan Si Bandar menengok kaget. Kedua kakinya menggigil ketika matanya melihat betapa dadu itu kini jelas memperlihatkan titik satu! Bagaimana mungkin ini? Ia mengucek-ngucek matanya. Tadi ia jelas melihat titik dua!
"Heh-heh-heh, mengapa kau mengosok-gosok mata? Apakah matamu lamur? semua orang melihat jelas bahwa itu angka satu, berarti ganjil. Kau kalah lagi dan hayo bayar aku dua ratus empat puluh tail!"
Bandar itu bangkit berdiri, dahinya penuh peluh dingin sebesar kedele.
"Ini... ini tak mungkin... bagaimana bisa ganjil lagi...?"
Ia sudah memandang ke arah empat tukang pukul, siap untuk memerintahkan menangkap Si Jembel, menyeretnya keluar dan memukulinya, kalau perlu membunuhnya.
"Hayo bayar!" Kwee Seng berkata. "Apakah rumah judi ini tidak mampu bayar lagi?"
Selagi Si Bandar Judi tergagap-gagap dan empat orang tukang pukul lain sudah siap pula datang mendekat dengan wajah beringas, tiba-tiba terdengar suara tertawa-tawa. Dari sebelah dalam muncullah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, akan tetapi pakaiannya penuh tambal-tambalan, pakaian pengemis!
"Orang muda ini sudah menang mengapa tidak lekas-lekas dibayar?" kata pengemis tua itu.
Heran tapi nyata! Si Bandar kelihatan takut dan cepat-cepat duduk memerintahkan pembantunya membayar dua ratus empat puluh tail perak, sedangkan para tukang pukul itu mundur dengan sikap hormat sekali! Si Kakek Pengemis itu lalu berjalan menghampiri bandar, mengambil tempat duduk di dekat bandar, berhadapan dengan Kwee Seng!
"Baiklah, Pangcu,"
Kata Si Bandar dan mendengar sebutan Pangcu (Ketua Perkumpulan) ini, diam-diam Kwee Seng melirik dan memandang kakek itu penuh perhatian.
Usianya lima puluh lebih, pakaiannya tambal-tambalan akan tetapi jelas bukan pakaian butut, melainkan kain bermacam-macam yang masih baru sengaja dipotong-potong dan disambung-sambung. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat yang kini disandarkan di bangkunya sedangkan kedua tangannya ditaruh di atas meja di depan dadanya.
Diam-diam Kwee Seng menduga bahwa kakek ini tentulah seorang yang berilmu tinggi, maka ia bersikap hati-hati. Tadi ia telah menggunakan tenaga lwee-kangnya memperoleh kemenangan, yaitu dengan hawa lwee-kang disalurkan melalui tangan menekan meja membuat biji dadu itu tetap atau membalik sesuka hatinya.
Dua buah pundi-pundi hitam telah dibayarkan kepadanya dan kini di depan Kwee Seng terdapat empat pundi-pundi uang yang isinya semua empat ratus delapan puluh tail! Setelah membayar, Si Bandar ragu-ragu untuk melanjutkan perjudian, karena ia takut kalau kalah. Kalau sampai kalah lagi, ia akan celaka, harus mempertanggung jawabkan kekalahannya yang aneh! Akan tetapi ketika ia melirik ke arah kakek itu, Si Kakek berkata perlahan.
"Teruskan, biar aku menyaksikan sampai di mana nasib baik orang muda ini."
Mendengar ini, Si Bandar berseri lagi wajahnya. Ucapan itu berarti bahwa Si Kakek hendak membantunya dan tentu saja dengan adanya perintah ini, tanggung jawab digeser dari pundaknya.
Siapakah kakek ini? Dia ini bukan lain adalah ketua dari Ban-hwa Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Selaksa Bunga). Tadinya rumah judi itu dibuka oleh para pencoleng kota, akan tetapi kurang lebih setengah tahun yang lalu, secara tiba-tiba rumah judi itu diberi nama Ban-hwa-po-koan, karena sesungguhnya, terjadi perubahan hebat pada Ban-hwa Kai-pang.
Perkumpulan pengemis ini secara tiba-tiba berubah sepak terjangnya dan dengan kekerasan menguasai rumah judi itu pula. Karena para pimpinannya memang berilmu tinggi, tidak ada yang berani menentangnya, bahkan para penjahat menjadi sekutu mereka. Inilah sebabnya mengapa bandar dan para tukang pukul yang mengenal Koai-tung Tiang-lo (Orang Tua Tongkat Setan) Ketua ban-hwa Kai-pang, menjadi ketakutan, akan tetapi juga lega karena dengan hadirnya ketua ini, mereka menjadi besar hati.
Si Bandar dengan semangat baru telah memutar-mutar dadu di dalam mangkok lagi. Lalu ia membalikkan mangkok di atas meja. Ia melihat jelas bahwa dadu itu berangka tiga, maka dengan ujung kakinya ia menyentuh kaki Koai-tung Tiang-lo tiga kali untuk memberi tahu. Kakek itu mengangguk-angguk dan tersenyum dengan ujung mulut ditekuk ke bawah, penuh ejekan.
"Nah, sekarang kau mau bertaruh berapa dan dengan pasangan ganjil atau genap?" keadaan menjadi tegang dan sunyi kembali, lebih tegang daripada tadi.
Semua orang yang berada disitu, biarpun sebagian tidak mengenal kakek pengemis, namun dapat menduga bahwa kakek itu tentulah seorang berpengaruh dan berpihak kepada rumah judi.
Benar-benar amat menarik melihat jembel muda yang rambutnya awut-awutan dan yang bernasib baik itu kini berhadapan dengan seorang pengemis tua yang serba bersih. Baru pertama kali ini terjadi hal begitu menarik di dalam rumah judi sehingga semua orang menonton dengan hati berdebar-debar, bahkan yang tadinya murung karena kalah, sejenak lupa akan kekalahannya.
Sambil menarik ke arah kakek itu Kwee Seng mendorong empat pundi-pundi perak sambil berkata.
"Tidak ada perubahan, kupertaruhkan semua, empat ratus delapan puluh tail perak dengan pasangan angka ganjil!"
Si Bandar mengerling ke arah si kakek, tampaknya bingung. Akan tetapi kakek itu tersenyum dan memberi tanda dengan mata supaya Si Bandar bekerja seperti biasa, yaitu menggunakan jari tangannya yang lihai itu membalikkan dadu agar membalik menjadi angka empat atau dua.
Dengan gerakan hati-hati Si Bandar menangkap pantat mangkok, jari-jari tangannya menyelinap masuk dan pada saat itu ia merasa betapa siku tangannya di pegang oleh kakek pengemis dan terasa betapa hawa yang hangat memasuki lengannya sampai ke jari-jari tangannya. Bandar ini sedikit banyak tahu akan ilmu silat, maka ia girang sekali, maklum bahwa ketua pengemis itu membantunya dengan tenaga sin-kang.
"Siap Buka... heeeiittt! Aduuhhh....!"
Si Bandar berteriak kesakitan ketika mangkok dibuka. Jari-jari tangannya yang menyentil biji dadu seakan-akan digencet antara dua tenaga yang merupakan dua jepitan baja, tertekan oleh hawa sin-kang Si Kakek dan terhimpit dari depan oleh hawa yang tidak tampak yang entah bagaimana memasuki biji dadu. Cepat ia menarik kembali tangannya.
"Ganjil lagi...! Hebat...!!"
Semua orang berseru ketika melihat biji dadu itu memperlihatkan angka tiga! Diam-diam Si Kakek menatap wajah Kwee Seng. Ia maklum bahwa jembel muda ini bukan orang sembarangan, dan maklum pula bahwa tadi ia gagal membantu karena jembel muda itu menyerang dengan dorongan berhawa sin-kang dari jari-jari tangan, mencegah Si Bandar menggulingkan biji dadu dengan jari tangan!
Wajah bandar itu pucat sekali, berkedip-kedip ia memandang ke arah si kakek. Ia jelas merasa gelisah dan mohon bantuan. Kakek itu hanya tersenyum dan berkata.
"Sahabat muda ini besar sekali untungnya. Dia sudah menang, tidak lekas dibayar mau tunggu kapan lagi?"
Mendengar ini, Si Bandar dan para pembantunya sibuk mengumpulkan uang, akan tetapi mana cukup untuk membayar jumlah begitu besar? Bandar itu terpaksa lari ke sebelah dalam untuk mengambil kekurangan uang dari kas besar! Jumlah yang dibayarkan ini adalah hasil beberapa hari!
Orang-orang di situ makin terheran-heran melihat betapa jembel muda yang kini sudah menjadi raja uang dengan kemenangan-kemenangan besar sehingga di depannya berjajar delapan pundi-pundi yang jumlahnya hampir seribu tail perak, masih belum puas agaknya, buktinya ia masih memandang ke arah mangkok dadu. Kini kakek pengemis itu yang bertanya.
"Sahabat muda masih berani melanjutkan?"
Kwee Seng tertawa, menengok ke kanan kiri.
"Mana arak? Berilah seguci arak berapa saja kubeli. Aku sudah menjadi kaya-raya, ha-ha-ha!"
Seorang tukang pukul menerima tanda kedipan mata dari kakek pengemis, cepat-cepat ia menggotong seguci besar arak dan meletakkannya di depan Kwee Seng,
"Tidak usah bayar, sahabat. Arak ini adalah suguhan kami untuk tamu yang menjadi langganan baik." Kata Si Kakek yang kini tidak sembunyi-sembunyi lagi bersikap sebagai tuan rumah.
Ia mengerutkan kening, mengira istilah itu merupakan makian.
"Apa maksudmu? Apa itu botoh kendil?"
Jawaban ini membuat semua orang yang hadir makin terheran. Dari jawaban ini saja mudah diketahui bahwa jembel ini bukanlah seorang ahli judi, bagaimana mendadak ia begini berani bertaruhan besar dan malah menang?
"Botoh kendil adalah penjudi yang segera lari meninggalkan gelanggang begitu mendapat kemenangan, termasuk golongan yang licik!" jawab Si bandar yang juga terheran-heran.
Kwee Seng tertawa, tidak jadi marah.
"wah, belum apa-apa kau sudah takut kalau-kalau aku pergi membawa kemenanganku. Bandar macam apa kau ini, tidak berani menghadapi kekalahan? Jangan kuatir, tikus, aku tidak akan lari. Hayo bayar dulu kemenanganku!"
Dengan tangan gemetar akan tetapi mulut memaksa senyum, bandar itu memerintahkan pembantunya untuk membayar jumlah taruhan itu, dimasukkan ke dalam pundi-pundi hitam. Ketika menerima pembayaran ini, Kwee Seng lalu menaruh pundi-pundi baru di sebelah pundi-pundi kuningnya sambil berkata, suaranya nyaring.
"Sekarang kupertaruhkan semua ini, dua ratus empat puluh tail!"
"Ohhhh.....!!!"
Kini orang-orang yang tadinya bermain di meja-meja kecil menjadi tertarik dan berkerumunlah mereka di sekeliliing meja besar. Seakan-akan menjadi terhenti sama sekali perjudian di dalam ruangan itu, semua penjudi menjadi penonton dan yang berjudi hanyalah Kwee Seng seorang melawan Si Bandar bermata sipit.
Bandar ini pun kaget, akan tetapi kini wajahnya berseri-seri. Kiranya jembel ini benar-benar gila. Dengan begini, sekaligus ia dapat menarik kembali kekalahannya, bahkan sekalian menarik uang modal Si Jembel! Kalau tadi ia mungkin kurang tepat menyentil dadu, sekarang tidak mungkin lagi. Ia akan berlaku hati-hati dan pasti kali ini ia akan menang.
"Bagus! Kau benar-benar menjadi penjudi jempol!" Ia memuji sambil mulai memutar-mutar biji dadu ke dalam mangkok.
"Huh, aku bukan penjudi, sama sekali tidak jempol."
Kwee Seng membantah, akan tetapi matanya mengawasi dadu yang berputar-putar di mangkok, sedangkan kedua tangannya masih ia tumpangkan di atas meja di depan dadanya.
Si Bandar menggerakkan tangannya dan dengan cepat mangkok itu sudah tertelungkup lagi di atas meja menyembunyikan dadu di bawahnya.
"Nah, sekarang ulangi taruhanmu biar disaksikan semua orang!"
Si Bandar berkata, suaranya agak gemetar karena menahan ketegangan hatinya. Ia tadi melihat jelas bawa biji dadu yang ditutupnya itu telentang dengan angka dua di atas! Jadi genap! Ia mengharapkan Si Jembel ini tidak merobah taruhannya.
"Aku mempertaruhkan dua ratus empat puluh tail untuk angka ganjil!"
Kwee Seng berkata tenang tapi cukup jelas. Muka Si Bandar berseri gembira, mulutnya menyeringai penuh kemenangan ketika ia tertawa penuh ejekan.
"Bagus, semua orang mendengar dan menyaksikan. Dia bertaruh dengan pasangan angka ganjil. Nah, siap dibuka, kali ini kau pasti kalah!"
Tangannya membuka mangkok dan tentu saja jari tangannya tidak melakukan gerakan apa-apa karena ia sudah tahu betul bahwa dadu itu berangka dua, jadi berarti genap. Begitu tangannya yang kiri membuka dadu, tangan kanan siap untuk menggaruk dua buah pundi-pundi uang penuh perak berharga itu.
"Wah, ganjil lagi...!!"
Seru semua orang dan Si Bandar menengok kaget. Kedua kakinya menggigil ketika matanya melihat betapa dadu itu kini jelas memperlihatkan titik satu! Bagaimana mungkin ini? Ia mengucek-ngucek matanya. Tadi ia jelas melihat titik dua!
"Heh-heh-heh, mengapa kau mengosok-gosok mata? Apakah matamu lamur? semua orang melihat jelas bahwa itu angka satu, berarti ganjil. Kau kalah lagi dan hayo bayar aku dua ratus empat puluh tail!"
Bandar itu bangkit berdiri, dahinya penuh peluh dingin sebesar kedele.
"Ini... ini tak mungkin... bagaimana bisa ganjil lagi...?"
Ia sudah memandang ke arah empat tukang pukul, siap untuk memerintahkan menangkap Si Jembel, menyeretnya keluar dan memukulinya, kalau perlu membunuhnya.
"Hayo bayar!" Kwee Seng berkata. "Apakah rumah judi ini tidak mampu bayar lagi?"
Selagi Si Bandar Judi tergagap-gagap dan empat orang tukang pukul lain sudah siap pula datang mendekat dengan wajah beringas, tiba-tiba terdengar suara tertawa-tawa. Dari sebelah dalam muncullah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, akan tetapi pakaiannya penuh tambal-tambalan, pakaian pengemis!
"Orang muda ini sudah menang mengapa tidak lekas-lekas dibayar?" kata pengemis tua itu.
Heran tapi nyata! Si Bandar kelihatan takut dan cepat-cepat duduk memerintahkan pembantunya membayar dua ratus empat puluh tail perak, sedangkan para tukang pukul itu mundur dengan sikap hormat sekali! Si Kakek Pengemis itu lalu berjalan menghampiri bandar, mengambil tempat duduk di dekat bandar, berhadapan dengan Kwee Seng!
"Baiklah, Pangcu,"
Kata Si Bandar dan mendengar sebutan Pangcu (Ketua Perkumpulan) ini, diam-diam Kwee Seng melirik dan memandang kakek itu penuh perhatian.
Usianya lima puluh lebih, pakaiannya tambal-tambalan akan tetapi jelas bukan pakaian butut, melainkan kain bermacam-macam yang masih baru sengaja dipotong-potong dan disambung-sambung. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat yang kini disandarkan di bangkunya sedangkan kedua tangannya ditaruh di atas meja di depan dadanya.
Diam-diam Kwee Seng menduga bahwa kakek ini tentulah seorang yang berilmu tinggi, maka ia bersikap hati-hati. Tadi ia telah menggunakan tenaga lwee-kangnya memperoleh kemenangan, yaitu dengan hawa lwee-kang disalurkan melalui tangan menekan meja membuat biji dadu itu tetap atau membalik sesuka hatinya.
Dua buah pundi-pundi hitam telah dibayarkan kepadanya dan kini di depan Kwee Seng terdapat empat pundi-pundi uang yang isinya semua empat ratus delapan puluh tail! Setelah membayar, Si Bandar ragu-ragu untuk melanjutkan perjudian, karena ia takut kalau kalah. Kalau sampai kalah lagi, ia akan celaka, harus mempertanggung jawabkan kekalahannya yang aneh! Akan tetapi ketika ia melirik ke arah kakek itu, Si Kakek berkata perlahan.
"Teruskan, biar aku menyaksikan sampai di mana nasib baik orang muda ini."
Mendengar ini, Si Bandar berseri lagi wajahnya. Ucapan itu berarti bahwa Si Kakek hendak membantunya dan tentu saja dengan adanya perintah ini, tanggung jawab digeser dari pundaknya.
Siapakah kakek ini? Dia ini bukan lain adalah ketua dari Ban-hwa Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Selaksa Bunga). Tadinya rumah judi itu dibuka oleh para pencoleng kota, akan tetapi kurang lebih setengah tahun yang lalu, secara tiba-tiba rumah judi itu diberi nama Ban-hwa-po-koan, karena sesungguhnya, terjadi perubahan hebat pada Ban-hwa Kai-pang.
Perkumpulan pengemis ini secara tiba-tiba berubah sepak terjangnya dan dengan kekerasan menguasai rumah judi itu pula. Karena para pimpinannya memang berilmu tinggi, tidak ada yang berani menentangnya, bahkan para penjahat menjadi sekutu mereka. Inilah sebabnya mengapa bandar dan para tukang pukul yang mengenal Koai-tung Tiang-lo (Orang Tua Tongkat Setan) Ketua ban-hwa Kai-pang, menjadi ketakutan, akan tetapi juga lega karena dengan hadirnya ketua ini, mereka menjadi besar hati.
Si Bandar dengan semangat baru telah memutar-mutar dadu di dalam mangkok lagi. Lalu ia membalikkan mangkok di atas meja. Ia melihat jelas bahwa dadu itu berangka tiga, maka dengan ujung kakinya ia menyentuh kaki Koai-tung Tiang-lo tiga kali untuk memberi tahu. Kakek itu mengangguk-angguk dan tersenyum dengan ujung mulut ditekuk ke bawah, penuh ejekan.
"Nah, sekarang kau mau bertaruh berapa dan dengan pasangan ganjil atau genap?" keadaan menjadi tegang dan sunyi kembali, lebih tegang daripada tadi.
Semua orang yang berada disitu, biarpun sebagian tidak mengenal kakek pengemis, namun dapat menduga bahwa kakek itu tentulah seorang berpengaruh dan berpihak kepada rumah judi.
Benar-benar amat menarik melihat jembel muda yang rambutnya awut-awutan dan yang bernasib baik itu kini berhadapan dengan seorang pengemis tua yang serba bersih. Baru pertama kali ini terjadi hal begitu menarik di dalam rumah judi sehingga semua orang menonton dengan hati berdebar-debar, bahkan yang tadinya murung karena kalah, sejenak lupa akan kekalahannya.
Sambil menarik ke arah kakek itu Kwee Seng mendorong empat pundi-pundi perak sambil berkata.
"Tidak ada perubahan, kupertaruhkan semua, empat ratus delapan puluh tail perak dengan pasangan angka ganjil!"
Si Bandar mengerling ke arah si kakek, tampaknya bingung. Akan tetapi kakek itu tersenyum dan memberi tanda dengan mata supaya Si Bandar bekerja seperti biasa, yaitu menggunakan jari tangannya yang lihai itu membalikkan dadu agar membalik menjadi angka empat atau dua.
Dengan gerakan hati-hati Si Bandar menangkap pantat mangkok, jari-jari tangannya menyelinap masuk dan pada saat itu ia merasa betapa siku tangannya di pegang oleh kakek pengemis dan terasa betapa hawa yang hangat memasuki lengannya sampai ke jari-jari tangannya. Bandar ini sedikit banyak tahu akan ilmu silat, maka ia girang sekali, maklum bahwa ketua pengemis itu membantunya dengan tenaga sin-kang.
"Siap Buka... heeeiittt! Aduuhhh....!"
Si Bandar berteriak kesakitan ketika mangkok dibuka. Jari-jari tangannya yang menyentil biji dadu seakan-akan digencet antara dua tenaga yang merupakan dua jepitan baja, tertekan oleh hawa sin-kang Si Kakek dan terhimpit dari depan oleh hawa yang tidak tampak yang entah bagaimana memasuki biji dadu. Cepat ia menarik kembali tangannya.
"Ganjil lagi...! Hebat...!!"
Semua orang berseru ketika melihat biji dadu itu memperlihatkan angka tiga! Diam-diam Si Kakek menatap wajah Kwee Seng. Ia maklum bahwa jembel muda ini bukan orang sembarangan, dan maklum pula bahwa tadi ia gagal membantu karena jembel muda itu menyerang dengan dorongan berhawa sin-kang dari jari-jari tangan, mencegah Si Bandar menggulingkan biji dadu dengan jari tangan!
Wajah bandar itu pucat sekali, berkedip-kedip ia memandang ke arah si kakek. Ia jelas merasa gelisah dan mohon bantuan. Kakek itu hanya tersenyum dan berkata.
"Sahabat muda ini besar sekali untungnya. Dia sudah menang, tidak lekas dibayar mau tunggu kapan lagi?"
Mendengar ini, Si Bandar dan para pembantunya sibuk mengumpulkan uang, akan tetapi mana cukup untuk membayar jumlah begitu besar? Bandar itu terpaksa lari ke sebelah dalam untuk mengambil kekurangan uang dari kas besar! Jumlah yang dibayarkan ini adalah hasil beberapa hari!
Orang-orang di situ makin terheran-heran melihat betapa jembel muda yang kini sudah menjadi raja uang dengan kemenangan-kemenangan besar sehingga di depannya berjajar delapan pundi-pundi yang jumlahnya hampir seribu tail perak, masih belum puas agaknya, buktinya ia masih memandang ke arah mangkok dadu. Kini kakek pengemis itu yang bertanya.
"Sahabat muda masih berani melanjutkan?"
Kwee Seng tertawa, menengok ke kanan kiri.
"Mana arak? Berilah seguci arak berapa saja kubeli. Aku sudah menjadi kaya-raya, ha-ha-ha!"
Seorang tukang pukul menerima tanda kedipan mata dari kakek pengemis, cepat-cepat ia menggotong seguci besar arak dan meletakkannya di depan Kwee Seng,
"Tidak usah bayar, sahabat. Arak ini adalah suguhan kami untuk tamu yang menjadi langganan baik." Kata Si Kakek yang kini tidak sembunyi-sembunyi lagi bersikap sebagai tuan rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar