"Heh-heh-heh, Bayisan hidung belang! Jangan samakan aku dengan engkau! Kau suka mengganggu wanita, aku tidak! Kau penjahat cabul, aku justeru membasmi penjahat cabul! Aku Kwee Seng selamanya tidak memaksa perempuan yang tidak cinta kepadaku!"
Kalimat terakhir ini tanpa ia sadari keluar dari mulutnya dan diam-diam Kwee Seng meringis karena ia teringat akan Liu Lu Sian yang tidak cinta kepadanya.
Di lain pihak, Bayisan kelihatan terkejut dan marah mendengar disebutnya nama ini.
"Akhh, keparat! Jadi kau ini Kwee Seng, pelajar jembel tak tahu malu itu? Kau telah terlepas dari tangan maut Suhuku Ban-pi Lo-cia, sekarang kau tak mungkin terlepas dari tanganku!" setelah berkata demikian, Bayisan menyerang hebat dengan pedangnya.
Pedang itu digerakkan ke atas akan tetapi dari atas menyambar ke bawah dengan bacokan ke arah kepala, kemudian disusul gerakan menusuk dada. Hebat serangan ini, karena sekaligus dalam satu gerakan saja telah menjatuhkan dua serangan yaitu membacok kepala dan menusuk dada!
Akan tetapi Kwee Seng menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya mencelat ke belakang sejauh dua meter sambil meneguk araknya. Sekaligus dua serangan itu gagal sama sekali!
"Aih... aihhh... jadi kau ini murid Ban-pi Lo-cia? Pantas... pantas.... Gurunya hidung belang, muridnya mata keranjang!"
Akan tetapi dengan gerakan kilat Bayisan sudah menerjang maju dan permainan pedangnya benar-benar hebat. Kiranya Bayisan bukanlah sembarang murid dari Ban-pi Lo-cia, agaknya sudah menerima gemblengan dan mewarisi ilmu silat bagian yang paling tinggi, di samping ilmu silat yang dipelajarinya dari orang-orang pandai di daerah utara dan barat. Pedang di tangannya berkelebatan berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan angin yang ditimbulkan mengeluarkan bunyi berdesingan mengerikan.
Diam-diam kwee seng kagum juga. Sayang sekali, pikirnya. Jarang ada orang muda dengan ilmu kepandaian sehebat ini, maka amatlah sayang kepandaian begini baik jatuh pada diri seorang pemuda yang bermoral rendah. Orang dengan kepandaian seperti ini tentu akan dapat menjunjung tinggi nama besar suku bangsa Khitan yang memang terkenal sejak dulu sebagai suku bagsa yang kuat dan pengelana yang ulet.
Menghadapi pedang Bayisan yang tak boleh dipandang ringan ini, terpaksa Kwee Seng mengeluarkan kipasnya dan dengan kipas di tangan kiri, barulah ia menghalau semua ancaman bahaya dari pedang itu.
Sebaliknya, Bayisan kaget sekali. Gurunya pernah bercerita bahwa di dunia kang-ouw muncul jago muda bernama Kwee Seng yang berjuluk Kim-mo-eng. Akan tetapi gurunya tidak bicara tentang kehebatan pemuda itu, maka sungguh kagetlah ia ketika melihat betapa pemuda itu hanya dengan kipas di tangan mampu menghadapi pedangnya, malah kini semua jalan pedangnya serasa buntu, lubang untuk menyerang tertutup sama sekali!
Celaka, pikirnya, andaikata ia dapat menangkan sastrawan muda itu, hal yang amat meragukan, tentu akan makan waktu lama sekali. Pertandingan melawan sastrawan ini tidak penting baginya, lebih penting lagi diri Lai Kui Lan yang ia tinggalkan dalam kamar hotel. Pengaruh totokannya tidak akan tahan lama, apalagi gadis itu memiliki ilmu kepandaian yang tidak rendah.
Kalau ia terus melayani sastrawan ini dan Lai Kui Lan dapat membebaskan diri daripada totokan, tentu akan terlepas dan lari. Kalau sudah lari kembali ke benteng, sukarlah untuk menangkapnya lagi. Ia akan menderita rugi dua kali, pertama, kehilangan calon korban yang begitu menggiurkan, ke dua, rencananya menarik Jenderal Kam Si Ek sebagai sekutu Khitan akan gagal sama sekali.
Berpikir demikian, pemuda Khitan yang cerdik ini lalu mengeluarkan seruan keras dan tinggi hampir merupakan suara lengking memekakkan telinga, kemudian pedangnya bergerak menusuk-nusuk seperti datangnya belasan batang anak panah. Kwee Seng terkejut.
Lengking tadi hampir mencapai tingkat yang dapat membahayakan lawan. Kalau pemuda Khitan ini tekun berlatih dan menerima bimbingan orang pandai, tentu akan berhasil memiliki ilmu pekik semacam Saicu-ho-kang (Auman Singa) yang dapat melumpuhkan lawan hanya dengan pengerahan suara saja ! Apalagi lengking itu disusul serangan pedang sehebat itu. Benar-benar pemuda Khitan ini mengagumkan dan berbahaya.
Kwee Seng cepat memutar kipasnya dan karena ia kuatir kipasnya akan rusak menghadapi hujan tusukan itu, ia mengalah dan meloncat ke belakang. Akan tetapi kesempatan itu dipergunakan oleh Bayisan untuk menggerakkan tangan kirinya. Benda-benda hitam menyambar dan Kwee Seng mencium bau yang amat tidak enak ketika ia mengelak dan jarum-jarum hitam itu lewat di depan mukanya.
Jarum-jarum beracun yang lebih jahat daripada jarum beracun milik Liu Lu Sian ! Untuk menghilangkan bau tidak enak, ia meneguk araknya. Akan tetapi Bayisan meloncat pergi sambil berkata.
"Jembel busuk, Tuanmu tidak ada waktu lagi untuk... "
Hanya sampai di sini kata-kata Bayisan karena tiba-tiba ia terguling roboh dan tubuhnya lemas ! Kiranya secepat kilat Kwee Seng tadi telah menyemburkan arak dari mulutnya dan menyusulkan sebuah totokan dengan ujung kipasnya.
Gerakannya melompat seperti kilat menyambar dengan cepatnya sehingga tidak terduga-duga oleh Bayisan yang lebih dulu sudah tersembur arak pada punggungnya. Robohlah tokoh Khitan itu, terguling telentang. Ia berusaha bangkit namun tak berhasil dan roboh lagi. Di lain saat Kwee Seng sudah berdiri di dekatnya dan menudingkan gagang kipas pada dadanya. Kini suara Kwee Seng keren berpengaruh.
"Bayisan ? Kau terhitung apa dengan Kalisani?"
Bayisan orangnya cerdik sekali. Kalau perlu ia sanggup bersikap pengecut untuk menyelamatkan diri. Seketika ia mengerti bahwa nyawanya tergantung pada jawabannya ini. Tanpa ragu-ragu ia berkata,
"Dia Kakak Misanku, tunggu saja kau akan pembalasannya karena kau berani menghinaku!"
Kwee Seng tertawa bergelak dan melangkah mundur.
"Ho-ho-ha-ha ! Kau hendak menggunakan nama Kalisani untuk menakut-nakuti aku ? Aha, lucu ! Justeru karena engkau saudara misannya, justeru karena memandang mukanya, aku mengampuni jiwamu yang kotor, bukan sekali-kali karena aku takut kepadanya. Huh, manusia rendah yang mencemarkan nama besar orang-orang gagah Khitan!"
Kwee Seng meludah, mengenai muka Bayisan, lalu pemuda ini meninggalkan Bayisan, berlari cepat ke dusun.
Ketika ia memasuki kamar lewat jendela, ia melihat Lai Kui Lan masih telentang di atas pembaringan, air matanya bercucuran, akan tetapi kini gadis itu sudah dapat mulai bergerak-gerak lemah.
Kwee Seng cepat menggunakan ujung kipasnya menotok jalan darah dan terbebaslah Kui Lan. Gadis ini meloncat bangun, mukanya membayangkan kemarahan besar. Ia bersikap seperti orang hendak bertempur, kedua tangannya yang kecil mengepal, matanya berapi-api memandang ke sana ke mari, mencari-cari.
"Mana dia ? Mana jahanam terkutuk itu ? Aku hendak mengadu nyawa dengan jahanam itu!"
"Tenanglah, Nona. Bayisan sudah pergi kupancing dia keluar dusun dan dia sekarang terbaring di sana, tertotok gagang kipasku. Untung bahaya lewat sudah, Nona, dan kiranya tak baik menimbulkan gaduh di hotel ini sehingga memancing datang banyak orang dan akan timbul pertanyaan-pertanyaan yang amat tak baik bagi nama Nona..."
Tiba-tiba Lai Kui Lan memandang Kwee Seng dan menjatuhkan diri di depan pemuda itu sambil menangis. Kwee Seng kebingungan dan menyentuh pundak gadis itu dengan halus.
"Ah, apa-apaan ini Nona ? Mari bangkit dan duduklah, kalau hendak bicara, lakukanlah dengan baik, jangan berlutut seperti ini."
Lai Kui Lan menahan isaknya, lalu bangkit dan duduk di atas kursi. Kwee Seng tetap berdiri dan menenggak araknya yang tidak habis-habis itu.
"Kwee-taihiap, kau telah menolong jiwaku..."
"Ah, kau tidak terancam bahaya maut, bagaimana bisa bilang aku menolong jiwamu?"
"Kwee-taihiap bagaimana bisa bilang begitu ? Bahaya yang mengancamku di tangan jahanam itu lebih hebat daripada maut..." Gadis itu menangis lagi lalu cepat menghapus air matanya dengan saputangan. "Sampai mati aku Lai Kui Lan tidak dapat melupakan budi Taihiap..."
Tiba-tiba sepasang pipinya menjadi merah dan sinar matanya menatap wajah Kwee Seng penuh rasa terima kasih.
Melihat sinar mata itu, Kwee Seng membuang muka dan menenggak araknya lagi.
"Lupakanlah saja, Nona, dan berterima kasih kepada Tuhan bahwa kejahatan selalu pasti akan hancur."
"Ah, di mana dia ? Aku harus membunuhnya ! Dia tertotok di luar dusun?" Setelah berkata demikian, gadis itu cepat ke luar dan berlari di dalam gelap.
Kwee Seng menggeleng-gelengkan kepalanya. Memang Bayisan patut di bunuh, akan tetapi ia merasa tidak enak kepada Kalisani, tokoh Khitan yang dikagumi semua orang dunia kang-ouw. Maka ia tidak menghendaki nona itu membunuh Bayisan, dan diam-diam ia mengikuti Lai Kui Lan dari jauh.
Akan tetapi hatinya lega ketika ia melihat bahwa ketika Lai Kui Lan tiba di luar dusun, Bayisan sudah tak tampak lagi bayangannya. Kembali ia merasa kagum. Pemuda Khitan itu benar-benar luar biasa, dapat membebaskan diri dari totokan sedemikian cepatnya. Ketika dengan hati kecewa Kui Lan kembali ke kamar itu, ia tidak melihat Kwee Seng, hanya melihat sehelai kertas bertulis di atas meja. Ia memungutnya dan membaca tulisan yang rapi dan bagus.
Para pelayan telah melihat nona datang bersama dia, tidak baik bagi nona tinggal lebih lama di tempat ini, lebih baik kembali.
Surat itu tak bertanda tangan, akan tetapi Kui Lan maklum siapa orangnya yang menulisnya. Dengan helaan napas panjang, lalu meloncat keluar lagi dan berlari-lari menuju benteng sutenya. Gadis ini tidak tahu bahwa diam-diam dari jauh Kwee Seng mengikutinya untuk menjaga kalau-kalau gadis ini bertemu lagi dengan Bayisan. Setelah gadis itu memasuki benteng, barulah ia berjalan perlahan kembali ke hotelnya, memasuki kamar lalu tidur dengan nyenyak.
Pada keesokan malamnya, Kwee Seng berjalan perlahan mendaki bukit Liong-kui-san. Baiknya malam hari itu angkasa tidak terhalang mendung sehingga bulan yang masih besar menyinar terang, menerangi jalan setapak yang amat sukar dilalui.
Diam-diam pemuda ini kagum akan keadaan gunung yang tak dikenalnya ini, bergidik menyaksikan jurang-jurang yang amat dalam, dan ia merasa menyesal mengapa ia kemarin minta supaya Lu Sian datang ke tempat seperti ini. Kalau ia tahu gunung ini begini berbahaya, tentu ia memilih tempat lain. Akan tetapi karena sudah terlanjur, dan ia maklum pula bahwa Lu Sian cukup pandai untuk dapat mendaki gunung ini, ia melanjutkan pendakiannya.
Tepat pada tengah malam ia tiba di puncak bukit. Puncak ini merupakan tempat datar yang luasnya lima belas meter persegi, ditumbuhi rumput tebal, dan di sebelah selatan dan barat merupakan tempat pendakian yang sukar, adapun di sebelah utara dan timur tampak jurang ternganga, jurang yang tak dapat dibayangkan betapa dalamya karena yang tampak hanya warna hitam gelap mengerikan. Jauh sebelah bawah, agaknya di jurang sebelah timur, terdengar suara air gemericik, akan tetapi tidak tampak airnya.
Ketika tiba di tempat itu, Kwee Seng menengok ke belakang dan menarik napas panjang. Sejak tadi ia tahu bahwa ada orang mengikutinya, dan tahu pula bahwa orang itu bukan lain adalah Lai Kui Lan. Ketika tiba di bagian yang sukar dan banyak batunya tadi, diam-diam ia menyelinap dan mengambil jalan lain turun lagi maka ia melihat bahwa orang yang membayanginya tadi itu adalah Lai Kui Lan.
Ia diam saja dan tidak menegur, lalu melanjutkan perjalanannya, malah menjaga agar ia tidak mengambil jalan terlalu sukar agar nona yang membayanginya itu dapat mengikutinya dengan aman. Ia menduga-duga apa maksud nona itu dan akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa nona itu tentu ingin pula melihat kelanjutan daripada urusannya dengan Lu Sian.
Tiba-tiba ia teringat, Lu Sian seorang yang aneh wataknya. Kalau diketahui bahwa ada orang ketiga hadir, tentu akan marah, bukan tak mungkin timbul keganasannya dan menyerang Kui Lan. Oleh karena inilah maka Kwee Seng tidak jadi naik, cepat ia berlari turun lagi menyongsong Kui Lan.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Kui Lan ketika melihat Kwee Seng secara tiba-tiba berdiri di depannya, tak jauh dari puncak. Mereka berdiri berhadapan saling pandang, dan Kui Lan menjadi makin gugup.
"Eh... ah... Kwee-taihiap.... aku... aku ingin bercerita kepadamu tentang... tentang mengapa aku sampai datang bersama... jahanam itu. Karena aku tidak bisa menjumpai Taihiap disana, aku... aku lalu datang kesini karena aku tahu bahwa malam ini Taihiap tentu akan datang disini."
Kata-kata ini diucapkan tergesa-gesa dan tergagap sehingga Kwee Seng merasa kasihan, tidak mau menggodanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang mendesak.
Kalimat terakhir ini tanpa ia sadari keluar dari mulutnya dan diam-diam Kwee Seng meringis karena ia teringat akan Liu Lu Sian yang tidak cinta kepadanya.
Di lain pihak, Bayisan kelihatan terkejut dan marah mendengar disebutnya nama ini.
"Akhh, keparat! Jadi kau ini Kwee Seng, pelajar jembel tak tahu malu itu? Kau telah terlepas dari tangan maut Suhuku Ban-pi Lo-cia, sekarang kau tak mungkin terlepas dari tanganku!" setelah berkata demikian, Bayisan menyerang hebat dengan pedangnya.
Pedang itu digerakkan ke atas akan tetapi dari atas menyambar ke bawah dengan bacokan ke arah kepala, kemudian disusul gerakan menusuk dada. Hebat serangan ini, karena sekaligus dalam satu gerakan saja telah menjatuhkan dua serangan yaitu membacok kepala dan menusuk dada!
Akan tetapi Kwee Seng menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya mencelat ke belakang sejauh dua meter sambil meneguk araknya. Sekaligus dua serangan itu gagal sama sekali!
"Aih... aihhh... jadi kau ini murid Ban-pi Lo-cia? Pantas... pantas.... Gurunya hidung belang, muridnya mata keranjang!"
Akan tetapi dengan gerakan kilat Bayisan sudah menerjang maju dan permainan pedangnya benar-benar hebat. Kiranya Bayisan bukanlah sembarang murid dari Ban-pi Lo-cia, agaknya sudah menerima gemblengan dan mewarisi ilmu silat bagian yang paling tinggi, di samping ilmu silat yang dipelajarinya dari orang-orang pandai di daerah utara dan barat. Pedang di tangannya berkelebatan berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan angin yang ditimbulkan mengeluarkan bunyi berdesingan mengerikan.
Diam-diam kwee seng kagum juga. Sayang sekali, pikirnya. Jarang ada orang muda dengan ilmu kepandaian sehebat ini, maka amatlah sayang kepandaian begini baik jatuh pada diri seorang pemuda yang bermoral rendah. Orang dengan kepandaian seperti ini tentu akan dapat menjunjung tinggi nama besar suku bangsa Khitan yang memang terkenal sejak dulu sebagai suku bagsa yang kuat dan pengelana yang ulet.
Menghadapi pedang Bayisan yang tak boleh dipandang ringan ini, terpaksa Kwee Seng mengeluarkan kipasnya dan dengan kipas di tangan kiri, barulah ia menghalau semua ancaman bahaya dari pedang itu.
Sebaliknya, Bayisan kaget sekali. Gurunya pernah bercerita bahwa di dunia kang-ouw muncul jago muda bernama Kwee Seng yang berjuluk Kim-mo-eng. Akan tetapi gurunya tidak bicara tentang kehebatan pemuda itu, maka sungguh kagetlah ia ketika melihat betapa pemuda itu hanya dengan kipas di tangan mampu menghadapi pedangnya, malah kini semua jalan pedangnya serasa buntu, lubang untuk menyerang tertutup sama sekali!
Celaka, pikirnya, andaikata ia dapat menangkan sastrawan muda itu, hal yang amat meragukan, tentu akan makan waktu lama sekali. Pertandingan melawan sastrawan ini tidak penting baginya, lebih penting lagi diri Lai Kui Lan yang ia tinggalkan dalam kamar hotel. Pengaruh totokannya tidak akan tahan lama, apalagi gadis itu memiliki ilmu kepandaian yang tidak rendah.
Kalau ia terus melayani sastrawan ini dan Lai Kui Lan dapat membebaskan diri daripada totokan, tentu akan terlepas dan lari. Kalau sudah lari kembali ke benteng, sukarlah untuk menangkapnya lagi. Ia akan menderita rugi dua kali, pertama, kehilangan calon korban yang begitu menggiurkan, ke dua, rencananya menarik Jenderal Kam Si Ek sebagai sekutu Khitan akan gagal sama sekali.
Berpikir demikian, pemuda Khitan yang cerdik ini lalu mengeluarkan seruan keras dan tinggi hampir merupakan suara lengking memekakkan telinga, kemudian pedangnya bergerak menusuk-nusuk seperti datangnya belasan batang anak panah. Kwee Seng terkejut.
Lengking tadi hampir mencapai tingkat yang dapat membahayakan lawan. Kalau pemuda Khitan ini tekun berlatih dan menerima bimbingan orang pandai, tentu akan berhasil memiliki ilmu pekik semacam Saicu-ho-kang (Auman Singa) yang dapat melumpuhkan lawan hanya dengan pengerahan suara saja ! Apalagi lengking itu disusul serangan pedang sehebat itu. Benar-benar pemuda Khitan ini mengagumkan dan berbahaya.
Kwee Seng cepat memutar kipasnya dan karena ia kuatir kipasnya akan rusak menghadapi hujan tusukan itu, ia mengalah dan meloncat ke belakang. Akan tetapi kesempatan itu dipergunakan oleh Bayisan untuk menggerakkan tangan kirinya. Benda-benda hitam menyambar dan Kwee Seng mencium bau yang amat tidak enak ketika ia mengelak dan jarum-jarum hitam itu lewat di depan mukanya.
Jarum-jarum beracun yang lebih jahat daripada jarum beracun milik Liu Lu Sian ! Untuk menghilangkan bau tidak enak, ia meneguk araknya. Akan tetapi Bayisan meloncat pergi sambil berkata.
"Jembel busuk, Tuanmu tidak ada waktu lagi untuk... "
Hanya sampai di sini kata-kata Bayisan karena tiba-tiba ia terguling roboh dan tubuhnya lemas ! Kiranya secepat kilat Kwee Seng tadi telah menyemburkan arak dari mulutnya dan menyusulkan sebuah totokan dengan ujung kipasnya.
Gerakannya melompat seperti kilat menyambar dengan cepatnya sehingga tidak terduga-duga oleh Bayisan yang lebih dulu sudah tersembur arak pada punggungnya. Robohlah tokoh Khitan itu, terguling telentang. Ia berusaha bangkit namun tak berhasil dan roboh lagi. Di lain saat Kwee Seng sudah berdiri di dekatnya dan menudingkan gagang kipas pada dadanya. Kini suara Kwee Seng keren berpengaruh.
"Bayisan ? Kau terhitung apa dengan Kalisani?"
Bayisan orangnya cerdik sekali. Kalau perlu ia sanggup bersikap pengecut untuk menyelamatkan diri. Seketika ia mengerti bahwa nyawanya tergantung pada jawabannya ini. Tanpa ragu-ragu ia berkata,
"Dia Kakak Misanku, tunggu saja kau akan pembalasannya karena kau berani menghinaku!"
Kwee Seng tertawa bergelak dan melangkah mundur.
"Ho-ho-ha-ha ! Kau hendak menggunakan nama Kalisani untuk menakut-nakuti aku ? Aha, lucu ! Justeru karena engkau saudara misannya, justeru karena memandang mukanya, aku mengampuni jiwamu yang kotor, bukan sekali-kali karena aku takut kepadanya. Huh, manusia rendah yang mencemarkan nama besar orang-orang gagah Khitan!"
Kwee Seng meludah, mengenai muka Bayisan, lalu pemuda ini meninggalkan Bayisan, berlari cepat ke dusun.
Ketika ia memasuki kamar lewat jendela, ia melihat Lai Kui Lan masih telentang di atas pembaringan, air matanya bercucuran, akan tetapi kini gadis itu sudah dapat mulai bergerak-gerak lemah.
Kwee Seng cepat menggunakan ujung kipasnya menotok jalan darah dan terbebaslah Kui Lan. Gadis ini meloncat bangun, mukanya membayangkan kemarahan besar. Ia bersikap seperti orang hendak bertempur, kedua tangannya yang kecil mengepal, matanya berapi-api memandang ke sana ke mari, mencari-cari.
"Mana dia ? Mana jahanam terkutuk itu ? Aku hendak mengadu nyawa dengan jahanam itu!"
"Tenanglah, Nona. Bayisan sudah pergi kupancing dia keluar dusun dan dia sekarang terbaring di sana, tertotok gagang kipasku. Untung bahaya lewat sudah, Nona, dan kiranya tak baik menimbulkan gaduh di hotel ini sehingga memancing datang banyak orang dan akan timbul pertanyaan-pertanyaan yang amat tak baik bagi nama Nona..."
Tiba-tiba Lai Kui Lan memandang Kwee Seng dan menjatuhkan diri di depan pemuda itu sambil menangis. Kwee Seng kebingungan dan menyentuh pundak gadis itu dengan halus.
"Ah, apa-apaan ini Nona ? Mari bangkit dan duduklah, kalau hendak bicara, lakukanlah dengan baik, jangan berlutut seperti ini."
Lai Kui Lan menahan isaknya, lalu bangkit dan duduk di atas kursi. Kwee Seng tetap berdiri dan menenggak araknya yang tidak habis-habis itu.
"Kwee-taihiap, kau telah menolong jiwaku..."
"Ah, kau tidak terancam bahaya maut, bagaimana bisa bilang aku menolong jiwamu?"
"Kwee-taihiap bagaimana bisa bilang begitu ? Bahaya yang mengancamku di tangan jahanam itu lebih hebat daripada maut..." Gadis itu menangis lagi lalu cepat menghapus air matanya dengan saputangan. "Sampai mati aku Lai Kui Lan tidak dapat melupakan budi Taihiap..."
Tiba-tiba sepasang pipinya menjadi merah dan sinar matanya menatap wajah Kwee Seng penuh rasa terima kasih.
Melihat sinar mata itu, Kwee Seng membuang muka dan menenggak araknya lagi.
"Lupakanlah saja, Nona, dan berterima kasih kepada Tuhan bahwa kejahatan selalu pasti akan hancur."
"Ah, di mana dia ? Aku harus membunuhnya ! Dia tertotok di luar dusun?" Setelah berkata demikian, gadis itu cepat ke luar dan berlari di dalam gelap.
Kwee Seng menggeleng-gelengkan kepalanya. Memang Bayisan patut di bunuh, akan tetapi ia merasa tidak enak kepada Kalisani, tokoh Khitan yang dikagumi semua orang dunia kang-ouw. Maka ia tidak menghendaki nona itu membunuh Bayisan, dan diam-diam ia mengikuti Lai Kui Lan dari jauh.
Akan tetapi hatinya lega ketika ia melihat bahwa ketika Lai Kui Lan tiba di luar dusun, Bayisan sudah tak tampak lagi bayangannya. Kembali ia merasa kagum. Pemuda Khitan itu benar-benar luar biasa, dapat membebaskan diri dari totokan sedemikian cepatnya. Ketika dengan hati kecewa Kui Lan kembali ke kamar itu, ia tidak melihat Kwee Seng, hanya melihat sehelai kertas bertulis di atas meja. Ia memungutnya dan membaca tulisan yang rapi dan bagus.
Para pelayan telah melihat nona datang bersama dia, tidak baik bagi nona tinggal lebih lama di tempat ini, lebih baik kembali.
Surat itu tak bertanda tangan, akan tetapi Kui Lan maklum siapa orangnya yang menulisnya. Dengan helaan napas panjang, lalu meloncat keluar lagi dan berlari-lari menuju benteng sutenya. Gadis ini tidak tahu bahwa diam-diam dari jauh Kwee Seng mengikutinya untuk menjaga kalau-kalau gadis ini bertemu lagi dengan Bayisan. Setelah gadis itu memasuki benteng, barulah ia berjalan perlahan kembali ke hotelnya, memasuki kamar lalu tidur dengan nyenyak.
Pada keesokan malamnya, Kwee Seng berjalan perlahan mendaki bukit Liong-kui-san. Baiknya malam hari itu angkasa tidak terhalang mendung sehingga bulan yang masih besar menyinar terang, menerangi jalan setapak yang amat sukar dilalui.
Diam-diam pemuda ini kagum akan keadaan gunung yang tak dikenalnya ini, bergidik menyaksikan jurang-jurang yang amat dalam, dan ia merasa menyesal mengapa ia kemarin minta supaya Lu Sian datang ke tempat seperti ini. Kalau ia tahu gunung ini begini berbahaya, tentu ia memilih tempat lain. Akan tetapi karena sudah terlanjur, dan ia maklum pula bahwa Lu Sian cukup pandai untuk dapat mendaki gunung ini, ia melanjutkan pendakiannya.
Tepat pada tengah malam ia tiba di puncak bukit. Puncak ini merupakan tempat datar yang luasnya lima belas meter persegi, ditumbuhi rumput tebal, dan di sebelah selatan dan barat merupakan tempat pendakian yang sukar, adapun di sebelah utara dan timur tampak jurang ternganga, jurang yang tak dapat dibayangkan betapa dalamya karena yang tampak hanya warna hitam gelap mengerikan. Jauh sebelah bawah, agaknya di jurang sebelah timur, terdengar suara air gemericik, akan tetapi tidak tampak airnya.
Ketika tiba di tempat itu, Kwee Seng menengok ke belakang dan menarik napas panjang. Sejak tadi ia tahu bahwa ada orang mengikutinya, dan tahu pula bahwa orang itu bukan lain adalah Lai Kui Lan. Ketika tiba di bagian yang sukar dan banyak batunya tadi, diam-diam ia menyelinap dan mengambil jalan lain turun lagi maka ia melihat bahwa orang yang membayanginya tadi itu adalah Lai Kui Lan.
Ia diam saja dan tidak menegur, lalu melanjutkan perjalanannya, malah menjaga agar ia tidak mengambil jalan terlalu sukar agar nona yang membayanginya itu dapat mengikutinya dengan aman. Ia menduga-duga apa maksud nona itu dan akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa nona itu tentu ingin pula melihat kelanjutan daripada urusannya dengan Lu Sian.
Tiba-tiba ia teringat, Lu Sian seorang yang aneh wataknya. Kalau diketahui bahwa ada orang ketiga hadir, tentu akan marah, bukan tak mungkin timbul keganasannya dan menyerang Kui Lan. Oleh karena inilah maka Kwee Seng tidak jadi naik, cepat ia berlari turun lagi menyongsong Kui Lan.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Kui Lan ketika melihat Kwee Seng secara tiba-tiba berdiri di depannya, tak jauh dari puncak. Mereka berdiri berhadapan saling pandang, dan Kui Lan menjadi makin gugup.
"Eh... ah... Kwee-taihiap.... aku... aku ingin bercerita kepadamu tentang... tentang mengapa aku sampai datang bersama... jahanam itu. Karena aku tidak bisa menjumpai Taihiap disana, aku... aku lalu datang kesini karena aku tahu bahwa malam ini Taihiap tentu akan datang disini."
Kata-kata ini diucapkan tergesa-gesa dan tergagap sehingga Kwee Seng merasa kasihan, tidak mau menggodanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang mendesak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar