FB

FB


Ads

Minggu, 10 Maret 2019

Suling Emas Jilid 024

Kui Lan menundukkan mukanya dan pipinya merah sekali. Akan tetapi ia menjawab dengan sikap sederhana merendah,

"Ilmu kepandaian Kwee-taihiap telah membuka mata saya. Saya ulangi lagi, atas nama Kam-sute juga, kami persilakan Kwee-taihiap untuk singgah dan menerima penghormatan kami."

"Tidak bisa, Nona Lai. Terima kasih. Saya harus pergi sekarang juga."

Setelah berkata demikian, Kwee Seng mengangkat kedua tangan memberi hormat, lalu melompat ke atas kudanya dan meninggalkan guci araknya yang sudah kosong. Hatinya yang penuh rasa nelangsa itu agaknya membuat ia tidak pedulian, sehingga guci arak kosong tidak pula dibawanya.

Setelah pemuda itu pergi, Lai Kui Lan berdiri termenung di tempat itu. Berkali-kali ia menarik napas panjang, kemudian pandang matanya bertemu dengan guci arak. Ia melangkah maju, membungkuk dan mengambil guci arak itu. Tanpa ia sadari, ia menekankan guci arak kosong itu pada dadanya, dan ia meramkan matanya seakan-akan guci arak yang tadi ia lihat diminum oleh Kwee Seng itu mewakili diri pemuda sakti yang telah membuat jantungnya menggetar-getar itu.

Kalau Lu Sian memandang rendah dan menghina Kwee Seng, sebaliknya Lai Kui Lan ini sekaligus jatuh cinta saking kagumnya melihat Kwee Seng dalam segebrakan merobohkan dia !

Memang aneh-aneh di dunia ini, apalagi kalau menyangkut asmara yang mengamuk di hati orang-orang muda. Lai Kui Lan yang berwatak gagah dan polos ini sekali jumpa jatuh dan mencintai Kwee Seng, akan tetapi yang dicintanya tidak tahu akan hal ini karena Kwee Seng kegilaan Liu Lu Sian. Sebaliknya Lu Sian tidak mau membalas cinta kasih Kwee Seng dan gadis liar ini kagum kepada Kam Si Ek !

Ketika Lai Kui Lan sadar kembali akan keadaan dirinya, mukanya menjadi makin merah dan beberapa butir air mata terlontar keluar dari pelupuk matanya. Teringat akan keadaan Kwee Seng ia bergidik. Kasihan sekali pendekar itu. Jatuh cinta kepada puteri Beng-kauwcu. Ia sudah mendengar akan Liu Lu Sian puteri Beng-kauwcu, gadis jelita dan perkasa yang sudah menjatuhkan hati entah berapa banyak pemuda.

Ia mendengar pula tentang para muda yang menjadi korban di Beng-kauw. Dan kini agaknya pendekar sakti Kwee Seng menjadi korban pula. Kemudian ia teringat akan sutenya, Kam Si Ek. Ada persamaan antara Liu Lu Sian dan Kan Si Ek. Sutenya itu pun menjadi rebutan para gadis, membuat banyak gadis tergila-gila, akan tetapi sutenya tetap tidak mau menerima cinta seorang di antara mereka. Banyak pula yang menjadi korban asmara, di antaranya tiga orang enci adik See-liong-sam-ci-moi-itu !

Teringat pula akan janji Kwee Seng untuk menurunkan ilmu pada besok tengah malam di puncak bukit sebelah timur, ia merasa ngeri. Bukit itu terkenal dengan nama Liong-kui-san (Bukit Siluman Naga), biarpun bukan sebuah di antara gunung-gunung besar, namun di daerah itu amat terkenal sebagai bukit yang sukar didatangi orang, serem dan dikabarkan banyak setannya.

Kam Si Ek sendiri melarang anak buahnya naik gunung itu, karena memang keadaannya amat berbahaya dan harus diakui bahwa ada sesuatu yang membuat puncak bukit itu kelihatan aneh. Banyak jurang-jurang yang tak terukur dalamnya, dan di sana mengalir pula sungai yang deras airnya, sungai yang sumbernya dari dalam gunung dan yang kemudian menggabung dengan sungai Wu-kiang. Sungai ini pun oleh penduduk diberi nama Liong-hiat-kiang (Sungai Darah Naga), karena pada saat tertentu sinar matahari membuat sungai itu kelihatan kemerahan seperti darah !

Kemudian Lai Kui Lan mengeluh dan berjalan dengan langkah gontai sambil mendekap guci arak. Semangatnya seolah-olah melayang pergi mengikuti bayangan Kwee Seng Si Pendekar Muda yang sakti dan tampan !

Kwee Seng yang merana hatinya oleh pengakuan Liu Lu Sian yang tidak membalas cinta kasihnya, membalapkan kudanya menjauhi letak benteng Jendral Kam Si Ek. Karena teringat akan janjinya kepada Liu Lu Sian, ia lalu membelokkan kudanya ke arah timur dan hatinya lega ketika memasuki sebuah dusun tak jauh dari kaki gunung, sebuah dusun yang cukup ramai, bahkan di situ terdapat sebuah rumah penginapan sederhana yang membuka pula sebuah restoran. Untung baginya, rumah penginapan itu dalam keadaan kosong tidak ada tamu sehingga keadaan sunyi dan ia tidak banyak menunggu.

Kwee Seng menjual kudanya dengan perantaraan pengurus hotel, kemudian ia minum mabok-mabokan sambil bernyanyi-nyanyi untuk mengusir pergi kerinduan dan kesedihan hatinya. Sebentar saja para pelayan hotel memberinya nama Sastrawan Pemabok ! Dalam maboknya Kwee Seng menyanyikan sajak-sajak romantis ciptaan penyair terkenal Li Tai Po.






Pada senja hari itu Kwee Seng berdiri di ruangan belakang rumah penginapan, memandang sinar matahari yang mulai lenyap, hanya tampak sinar merah kekuningan menerangi angkasa barat. Tangan kanannya memegang sebuah tempat arak terbuat daripada kulit labu kering. Ia bersandar kepada langkan, memandangi angkasa barat yang berwarna indah sekali sambil sekali-kali meneguk arak dari tempat itu. Teringat ia akan sajak karangan Li Tai Po, maka sambil mengangkat muka dan menggerak-gerakan tempat arak di depannya, Kwee Seng lalu menyanyikan sajak itu,

Kunikmati arak hingga tak sadar akan datangnya senja rontokan daun bunga memenuhi lipatan bajuku mabok kuhampiri anak sungai mencerminkan bulan ohhh, burung terbang pergi, sunyi dan rawan

Kwee Seng berhenti bernyanyi dan meneguk araknya. Biarpun hawa arak sudah memenuhi kepalanya, membuat kepalanya serasa ringan dan hendak melayang-layang namun sebagai seorang ahli silat yang sakti, telinganya menangkap suara langkah kaki orang. Sambil minum terus dan arak menetes-netes dari bibirnya, Kwee Seng melirik ke sebelah kanan. Ia masih berdiri bersandarkan langkan.

"Heh-heh-heh, matahari pergi tentu terganti munculnya bulan..."

Ia berkata-kata seorang diri akan tetapi diam-diam ia memperhatikan orang-orang yang baru datang. Mengapa ada orang datang dari belakang rumah penginapan ?

Ketika melihat bahwa yang datang adalah seorang pemuda dan seorang gadis, ia tidak berani memandang langsung, melainkan mengerling dan memperhatikan dari sudut matanya. Alangkah herannya ketika ia mengenal wanita itu. Bukan lain adalah gadis baju putih, Lai Kui Lan, suci (kakak seperguruan) dari Jenderal Kam Si Ek !

Pakaiannya masih sutra putih seperti pagi tadi, wajahnya masih terang dan manis seperti tadi, akan tetapi ada keanehan pada diri gadis ini. Kalau pagi tadi Lai Kui Lan amat peramah dan sinar matanya bening terang, kini gadis itu sama sekali tidak menengok ke arahnya, seakan-akan tidak mengenalnya atau tidak melihatnya, padahal tak mungkin tidak melihatnya karena di tempat itu tidak ada orang lain. Dan sinar mata gadis itu, seperti kehilangan semangat, tidak sewajarnya ! Apalagi lengan kiri gadis itu digandeng dengan erat oleh Si Pemuda yang memandang penuh curiga kepadanya.

Kwee Seng membalikkan tubuh, menggoyang-goyang kepalanya seperti seorang pemabokan dan mengangkat tempat arak ke arah pemuda itu dengan gerakan menawarkan. Akan tetapi diam-diam ia memperhatikan Si Pemuda. Seorang pemuda sebaya dengannya, berwajah cukup tampan akan tetapi membayangkan keanehan dan kekejaman, sepasang alisnya yang tebal hitam itu bersambung dari mata atas kiri ke atas mata kanan. Kepalanya kecil tertutup kain penutup kepala yang bentuknya lain daripada biasa.

Pada muka itu terbayang sesuatu yang asing, seperti terdapat pada wajah orang-orang asing. Tubuhnya tidak berapa besar namun membayangkan kekuatan tersembunyi yang hebat, sedangkan sinar matanya pun membayangkan tenaga dalam yang kuat. Diam-diam Kwee Seng terkejut dan menduga-duga siapa gerangan pemuda ini, dan mengapa pula Lai Kui Lan ikut dengan pemuda ini dengan sikap seolah-olah seekor domba yang dituntun ke penjagalan.

Seekor domba yang dituntun ke penjagalan ! Kalimat ini seakan-akan berdengung di telinga Kwee Seng, membuatnya termenung lupa akan araknya ketika dua orang itu sudah memasuki kamar tengah, mendengar suara Si Pemuda yang berat dan parau minta kamar dijawab oleh pengurus rumah penginapan.

Kemudian, masih tidak lupa akan araknya, Kwee Seng berjalan perlahan menuju ke kamarnya sendiri, kalimat tadi masih terngiang di telinganya. Mungkin, bisik hatinya. Mungkin sekali Lai Kui Lan menjadi domba dan pemuda itu kiranya patut pula menjadi seorang penyembelih domba, seorang jai-hwa-cat (penjahat cabul). Kalau tidak demikian, mengapa sikap Lai Kui Lan begitu aneh seperti orang terkena sihir ? Seperti seorang yang melek akan tetapi tidak sadar ?

Makin gelap keadaan cuaca di luar hotel, makin gelap pula pikiran Kwee Seng menghadapi teka-teki itu. Hatinya penasaran, biarpun beberapa kali ia meyakinkan hatinya bahwa kehadiran Lai Kui Lan bersama seorang pemuda itu sama sekali bukan urusannya dan bahwa tidak patut mengintai keadaan muda-mudi yang mungkin sedang di lautan madu asmara, namun kecurigaannya mendesak-desaknya sehingga tak lama kemudian, di dalam kegelapan malam, Kwee Seng sudah melayang naik ke atas genteng hotel dan melakukan pengintaian.

Hal ini ia lakukan dengan guci arak masih di tangan, karena untuk melakukan pekerjaan yang berlawanan dengan kesusilaan ini ia harus menguatkan hati dengan minum arak.

Akan tetapi ketika ia mengintai ke dalam kamar dua orang itu, hampir saja ia terjengkang saking marah dan kagetnya. Tak salah lagi apa yang dikuatirkan hatinya ! Ia melihat Lai Kui Lan terbaring telentang di atas pembaringan dalam keadaan lemas tak dapat bergerak, mukanya yang pucat itu basah oleh air mata, terang bahwa gadis itu tertotok hiat-to (jalan darah) di bagian thian-hu hiat dan mungkin juga jalan darah yang membuat gadis itu menjadi gagu !

Akan tetapi air mata itu menceritakan segalanya ! Menceritakan bahwa keadaan gadis seperti itu bukanlah atas kehendak Si Gadis sendiri, melainkan terpaksa dan karena tak berdaya. Adapun pemuda tadi, duduk di tepi pembaringan sambil berkata lirih membujuk-bujuk.

"Nona yang baik, mengapa kau menangis?" Dengan gerakan halus dan mesra pemuda itu mengusap-usap kedua pipi yang penuh air mata. "Aku tertarik oleh kecantikanmu, dan andaikata aku tidak tahu bahwa kau adalah suci dari Jenderal kam Si Ek, tentu aku tidak akan berlaku sesabar ini! Aku ingin kau menyerahkan diri kepadaku berikut hatimu, ingin kau membalas cintaku dan kau akan kuajak ke Khitan, menjadi isteriku, isteri seorang panglima! Dengan ikatan ini, tentu adik seperguruanmu akan suka bersekutu dengan kami. Nona, kau tinggal pilih, menyerah kepadaku dengan sukarela, ataukah kau ingin menjadi orang terhina karena aku menggunakan kekerasan? Kau tidak ingin dinodai seperti itu, bukan? Aku Bayisan, panglima terkenal di Khitan, tidak kecewa kau menjadi kekasihku..." Pemuda itu menundukkan mukanya hendak mencium muka gadis yang tak berdaya itu.

Tiba-tiba pemuda yang bernama Bayisan itu meloncat bangun, membatalkan niatnya mencium karena tengkuknya terasa panas dan sakit. Matanya jelilatan ke sana ke mari, cuping hidungnya kembang kempis karena ia mencium bau arak. Ia meraba tengkuknya yang ternyata basah dan ketika ia mendekatkan tangannya ke depan hidung, ia berseru kaget.

"Keparat, siapa berani main-main dengan aku?"

"Penjahat cabul jahanam! Di tempat umum kau berani melakukan perbuatan biadab, sekarang bertemu dengan aku tak mungkin kau dapat mengumbar nafsu iblismu!" terdengar suara Kwee Seng dari atas genteng.

Bayisan bergerak cepat sekali, tahu-tahu tubuhnya sudah melayang ke luar dari jendela kamar dan beberapa menit kemudian ia sudah meloncat naik ke atas genteng. Akan tetapi ia tidak melihat orang di atas genteng yang sunyi itu! Bayisan celingukan, napasnya terengah-engah karena menahan amarah, sebatang pedang sudah berada di tangan kanannya.

"Heeeei! Jahanam cabul, aku di sini. Mari kita keluar dusun kalau kau memang berani!"

Tahu-tahu Kwee Seng sudah berada agak jauh dari tempat itu, melambai-lambaikan guci araknya ke arah Bayisan.

Tentu saja orang Khitan ini makin marah dan sambil berseru keras ia mengejar. Kwee Seng lari cepat dan terjadilah kejar-kejaran di malam gelap itu, menuju ke luar dusun. Di luar dusun inilah Kwee Seng menantikan lawannya. Mereka berhadapan. Kwee Seng tenang dan ketika lawannya datang ia sedang meneguk araknya. Bayisan marah sekali, mukanya merah matanya jalang, pedang di tangannya gemetar. Ketika mengenal pemuda pelajar pemabokan itu, ia makin marah.

"Eh, kiranya kau, pelajar jembel tukang mabok! Kau siapakah dan mengapa kau lancang dan mencampuri urusan pribadi orang lain?"

Bayisan membentak menahan kemarahannya karena ia maklum bahwa yang berdiri di depannya bukan orang sembarangan sehingga ia harus bersikap hati-hati dan mengenal keadaan lawan lebih dulu. Bayisan terkenal sebagai seorang pemuda yang selain tinggi ilmunya. Juga amat cerdik dan keji. Di Khitan ia terkenal sebagai seorang panglima muda yang tangguh dan pandai.

Kwee Seng tertawa.
"Aku orang biasa saja, tidak seperti engkau ini, Panglima Khitan merangkap penjahat cabul! Aku mendengar tadi namamu Bauw I San? Belum pernah aku mendengar nama itu! Pernah aku mendengar nama Kalisani sebagai tokoh Khitan yang dipuji-puji, akan tetapi nama Bouw I San (Bayisan) tukang petik bunga (penjahat cabul) aku belum pernah!"

"Hemm, manusia sombong! Aku memang bernama Bayisan Panglima Khitan, kau mendengarnya atau belum bukan urusanku. Aku suka gadis itu dan hendak mengambilnya sebagai kekasih, kau mau apa? Apakah kau iri? Kalau kau iri, apakah kau tidak bisa mencari perempuan lain? Tak tahu malu engkau, hendak merebut perempuan yang sudah menjadi tawananku!"






Tidak ada komentar:

Posting Komentar