Cepat ia memberi aba-aba untuk menyerang pemuda itu dengan anak panah, sedangkan ia sendiri pun lalu mementang gendawanya. Akan tetapi pemuda itu hanya menengok sambil tersenyum. Wajah yang tampan itu tersinar dan Kam Si Ek tercengang. Pemuda itu tampan bukan main dan senyumnya manis sekali ! Tentu sebangsa jai-hwa-cat (penjahat cabul) yang hendak melarikan gadis dengan maksud kotor dan rendah !
"Lihat panah !"
Bentaknya dan sekali gendawanya menjepret, lima batang anak panah menyambar ke arah tubuh belakang Kwee Seng !
"Bagus !"
Kwee Seng yang masih menengok itu tersenyum lebar dan memuji, karena kepandaian melepas panah itu benar-benar hebat. Lima anak panah itu menuju ke lima bagian jalan darah di punggung dan kakinya, dan dengan kecepatan yang luar biasa !
Cepat tangan kirinya mencabut kipasnya dan ia harus mengerahkan lwee-kangnya untuk mengebut dan meruntuhkan anak-anak panah itu. Akan tetapi kini para perajurit panah sudah pula ikut melepaskan anak panah, sedangkan Kam Si Ek dengan kecepatan luar biasa sudah pula menghujankan anak panahnya.
Terpaksa Kwee Seng kembali mengebut sambil mengerahkan sin-kang-nya, kemudian sekali berkelebat tubuhnya sudah meloncat jauh, kemudian berlari cepat setelah tubuhnya melayang turun dan sekali ia menggerakkan kakinya, ia telah meloncat ke atas tembok benteng.
Hujan anak panah lagi dari kanak kiri, namun pelepasan anak panah oleh para perajurit itu tentu saja tidak begitu di hiraukan oleh Kwee Seng. Sekali kipasnya mengebut, angin kebutannya sudah membuat semua anak panah menyeleweng arahnya atau runtuh ke bawah. Kemudian ia meloncat keluar tembok dan lenyap !
"Lihat panah !"
Bentaknya dan sekali gendawanya menjepret, lima batang anak panah menyambar ke arah tubuh belakang Kwee Seng !
"Bagus !"
Kwee Seng yang masih menengok itu tersenyum lebar dan memuji, karena kepandaian melepas panah itu benar-benar hebat. Lima anak panah itu menuju ke lima bagian jalan darah di punggung dan kakinya, dan dengan kecepatan yang luar biasa !
Cepat tangan kirinya mencabut kipasnya dan ia harus mengerahkan lwee-kangnya untuk mengebut dan meruntuhkan anak-anak panah itu. Akan tetapi kini para perajurit panah sudah pula ikut melepaskan anak panah, sedangkan Kam Si Ek dengan kecepatan luar biasa sudah pula menghujankan anak panahnya.
Terpaksa Kwee Seng kembali mengebut sambil mengerahkan sin-kang-nya, kemudian sekali berkelebat tubuhnya sudah meloncat jauh, kemudian berlari cepat setelah tubuhnya melayang turun dan sekali ia menggerakkan kakinya, ia telah meloncat ke atas tembok benteng.
Hujan anak panah lagi dari kanak kiri, namun pelepasan anak panah oleh para perajurit itu tentu saja tidak begitu di hiraukan oleh Kwee Seng. Sekali kipasnya mengebut, angin kebutannya sudah membuat semua anak panah menyeleweng arahnya atau runtuh ke bawah. Kemudian ia meloncat keluar tembok dan lenyap !
"Suci ... ! Dimana kau ... ?" Kam Si Ek berseru, akan tetapi ia tidak melihat kakak seperguruannya itu.
Namun ia mempunyai banyak pekerjaan, maka ia tidak mencarinya lagi, melainkan cepat mengatur anak buahnya untuk melakukan penjagaan yang lebih kuat dan memerintah orang-orang untuk mengurus lima buah mayat yang menggeletak di lantai ruangan gedung.
Malam itu juga ia mengadili lima orang lain yang dilukai encinya dan menggunakan kesempatan ini untuk mengancam para tentara dengan hukuman berat apabila ada yang berani melakukan penyelewengan. Kemudian ia masuk ke dalam kamarnya dan duduk termenung. Ia maklum bahwa tidak semua anggota bala tentaranya setia kepadanya, karena sesungguhnya, ia tidak mampu memberi belanja yang cukup kepada mereka. Banyak diantara mereka yang diam-diam ingin rupanya dia mengabdi kepada Raja Liang atau kepada Gubernur Li yang juga sudah mengangkat diri sendiri sebagai raja muda di Shan-si.
"Tidak," bantah suara hatinya, "sebelum muncul pemimpin yang betul-betul akan membuat rakyat Shan-si khususnya hidup aman tentram dan makmur, aku tidak akan mengabdi kepada siapapun juga !"
Sementara itu, Lu Sian terus meronta-ronta, kedua kakinya di gerak-gerakkan dan akhirnya Kwee Seng menurunkannya di dalam hutan tempat mereka tadi beristirahat sambil membebaskan totokannya. Dengan pedang di depan dada Lu Sian meloncat maju dan membentak.
"Kwee Seng, kali ini kau terlalu ! Mengapa kau mengganggu urusanku ? Apakah kau hendak pamer kepandaianmu ?"
"Eh, Sian-moi..., aku hanya hendak mencegah kau menimbulkan keributan di tempat orang, aku... aku hanya bermaksud menolongmu... "
"Siapa butuh pertolongan mu? Siapa sudi ? Kwee Seng, agaknya di samping kelemahan hatimu, kau juga memiliki kesombongan memandang rendah orang lain. Apa yang kulakukan, kau peduli apakah ?"
"Sian-moi, mengapa kau berkata demikian ? Bagaimana aku dapat tidak mempedulikan apa yang kau lakukan ? Sian-moi... kau sudah tahu akan perasaan hatiku, tak perlu kusembunyikan lagi. Aku cinta padamu ! Nah, sekarang terlepaslah sudah ganjalan hatiku. Aku mencintaimu, tentu saja aku tak dapat membiarkanmu terancam bahaya atau melakukan hal-hal yang tidak semestinya. Kam Si Ek seorang patriot sejati, seorang gagah perkasa, tak boleh diganggu..."
"Cukup ! Biar seribu kali kau mencintaku, kau belum berhak untuk mengurusi persoalanku. Aku bukan apa-apamu, tahu ? Kau boleh mencintaku sampai mampus, akan tetapi aku tidak mencintaimu ! Dengar baik-baik, Kwee Seng, aku tidak cinta kepadamu ! Kau memang tampan, kau memang gagah perkasa, memiliki kesaktian tinggi melebihi aku, akan tetapi kau lemah ! Kau bukan laki-laki sejati, hatimu lemah, mudah jatuh. Kau kira aku cinta kepadamu ? Ihh ! Aku suka ikut bersamamu karena mengharapkan kepandaianmu yang kau janjikan kepadaku di depan ayah. Nah kau dengar sekarang ? Setelah kau ketahui pendirianku, apakah kau kini hendak menarik janjimu lagi seperti layaknya seorang pengecut ?"
Bukan main hebatnya serangan ini bagi Kwee Seng, seakan-akan ribuan batang jarum berbisa menusuk-nusuk jantungnya. Wajahnya sebentar pucat sebentar merah, tubuhnya gemetar, bibirnya menggigil, matanya sayu dan dua butir air mata membasahi pipinya. Kemudian ia menggertak gigi mengeraskan perasaan, menguatkan hatinya, mengepal tangan dan berkata sambil menengadahkan muka ke langit.
"Bagus sekali ! Memang kau patut menjadi puteri Pat-jiu-Sin-ong ! Aku yang bodoh. Ha-ha-ha, aku yang tolol. Orang macamku mana berharga menjatuhkan hati padamu ? Tidak, Liu Lu Sian, aku tidak menarik janjiku ! Kapan saja kau minta, akan kuturunkan ilmuku yang kupakai mengalahkan kau di panggung Beng-kauw ketika itu. Memang aku cinta kepadamu, dan kau tidak mencintaiku sama sekali. Ha-ha-ha, biarlah, biar dirasakan oleh hati yang rakus ini, oleh pikiran yang pendek dan tak tahu diri ini, Si Cebol merindukan bulan, ha-ha-ha!"
Senang bukan main hati Liu Lu Sian. Memang beginilah watak gadis puteri Beng-kauwcu ini. Mungkin karena semenjak kecil terlalu dimanja, atau memang memiliki watak aneh keturunan ayahnya yang terkenal sebagai tokoh aneh di dunia kang-ouw, gadis ini suka sekali melihat laki-laki sebanyak-banyaknya jatuh hati kepadanya. Suka Ia menggoda, menonjolkan kejelitaannya agar mereka makin dalam terperosok, kemudian akan ia kecewakan mereka, akan ia permainkan mereka dan melihat mereka menderita, ia akan mentertawakannya !
"Untung engkau masih belum terlalu rendah untuk menarik kembali janjimu. Kwee Seng, aku menuntut janjimu itu pada besok malam, tepat tengah malam, di sini juga. Aku akan menjumpaimu di sini dan... "
"Tidak, Liu Lu Sian. Tempat ini kurang sepi, mungkin ada orang lewat dan akan melihat kita. Kau lihat bukit di sana itu. Tampaknya sukar didatangi, terjal dan liar. Jangan kira mudah menerima ilmu. Aku hanya mau menurunkan ilmuku kepadamu di puncak bukit itu. Besok malam tengah malam tepat, aku menantimu di sana !"
Lu Sian menengok ke arah timur. Matahari mulai muncul dan tampaklah bayangan sebuah bukit yang tak berapa jauh dari tempat itu. Bukit yang bentuknya aneh, puncaknya mencuat tinggi bentuknya seperti kepala naga atau kepala mahluk aneh.
"Baik, besok malam aku akan berada di pumcak itu!"
Setelah berkata demikian, Lu Sian meloncat ke atas kudanya dan melarikan kuda itu pergi meninggalkan Kwee Seng.
Pemuda itu berdiri tegak seperti patung, mendengarkan derap kaki kuda yang yang makin lama makin jauh, lalu ia meramkan matanya, serasa perih hatinya, serasa jantungnya dirobek dan serasa semangatnya terbang melayang mengikuti suara derap kaki kuda yang membawa lari Lu Sian, gadis yang selama ini memenuhi hatinya. Tiba-tiba ia tertawa dan menampar kepalanya sendiri.
"Ha-ha-ha, tolol ! Gila perempuan!!"
Kwee Seng lalu mengambil guci araknya dan minum dari guci araknya dan minum dari guci itu tanpa takaran lagi. Arak menggelogok memasuki kerongkongannya.
Tiba-tiba ia berhenti minum dan menengok memandang ke arah gerombolan pohon kembang kecil yang belum kebagian sinar matahari pagi, masih gelap. Biarpun perasaannya terganggu batinnya terpukul hebat, namun telinga pemuda ini masih amat tajam, perasaannya masih amat peka terhadap bahaya. Ia mendengar gerakan orang disitu, maka tegurnya,
"Siapakah mengintai disitu?"
Sesosok bayangan putih berkelebat keluar dari belakang pohon-pohon dan seorang gadis berdiri di hadapan Kwee Seng dengan muka merah dan sinar mata membayangkan rasa malu. Gadis ini cepat menjura dengan hormat sambil berkata.
"Harap Taihiap sudi memaafkan. Sesungguhnya bukan maksud saya untuk mengintai, akan tetapi keadaan tadi membuat saya tidak berani untuk keluar memperkenalkan diri."
Kwee Seng cepat membalas penghormatan gadis yang memakai pakaian serba putih ini. Gadis bermata jernih, bermuka terang dan bersikap gagah, yang belum pernah ia kenal. Akan tetapi ia segera teringat bahwa gadis inilah agaknya Si Bayangan Putih yang bertempur melawan Lu Sian di atas genteng benteng tadi.
"Hemm, kalau sudah lama Nona mengintai, agaknya tak perlu lagi memperkenalkan diri, tentu Nona sudah mengetahui segalanya!"
Kata Kwee Seng dengan hati mengkal karena adegan Lu Sian yang amat memalukan, yang merendahkan dirinya.
"Sekali lagi maaf, Taihiap. Sesungguhnya saya melihat dan mendengar semua dan sekarang tahulah saya bahwa gadis lihai yang secara aneh mendatangi benteng adik seperguruanku itu bukan lain adalah Nona Liu Lu Sian puteri Beng-kauwcu yang amat terkenal. Sungguh merupakan hal yang tidak pernah kami duga, dan andaikata dia datang memperkenalkan diri secara wajar, sudah pasti kami akan menyambutnya dengan segala kehormatan. Akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur dan saya merasa bersalah terhadap Kwee-taihiap yang amat saya kagumi karena kesaktiannya. Oleh karena itu, saya persilakan Kwee-taihiap sudi singgah di benteng kami untuk mempererat persahabatan dan untuk menambahkan pengetahuan kami yang dangkal."
Diam-diam Kwee Seng kagum. Biarpun hanya seorang wanita, seorang gadis muda, namun nona ini benar-benar jauh bedanya dengan wanita-wanita yang ia temui. Nona ini membayangkan otak tajam, pandangan luas, sopan-santun dan hati-hati, seperti sikap orang yang sudah banyak pengalaman. Ia lalu teringat bahwa ia belum menanyakan nama, dan sebagai seorang yang begitu luas pandangannya seperti nona ini, tentu saja tak mungkin akan memperkenalkan nama kalau tidak ditanya.
"Terima kasih, Nona baik sekali. Setelah nona mengetahui namaku, agaknya boleh juga aku mengenal nama nona yang terhormat?"
"Saya yang bodoh bernama Lai Kui Lan, membantu perjuangan Kam-sute (Adik Seperguruan Kam). Saya murid tunggal dari mendiang ayah Kam-sute, akan tetapi saya yang bodoh tak dapat mewarisi sepersepuluhnya dari ilmu silat keluarga Kam."
Kembali jawaban yang mengagumkan hati Kwee Seng. Ah, kalau saja Liu Lu Sian mempunyai watak dan sikap seperti nona baju putih ini, pikirnya.
"Sekali lagi terima kasih atas undangan Nona Liu yang manis budi. Akan tetapi, sebetulnya saya tidak ingin mengganggu ketenteraman Nona dan Kam-goanswe. Tadi pun saya hanya bermaksud mencegah terjadinya hal-hal yang mendatangkan kekacauan, maka maafkan kalau tadi saya melakukan kesalahan turun tangan terhadap Nona, karena maksud saya hanya menghentikan pertandingan."
Namun ia mempunyai banyak pekerjaan, maka ia tidak mencarinya lagi, melainkan cepat mengatur anak buahnya untuk melakukan penjagaan yang lebih kuat dan memerintah orang-orang untuk mengurus lima buah mayat yang menggeletak di lantai ruangan gedung.
Malam itu juga ia mengadili lima orang lain yang dilukai encinya dan menggunakan kesempatan ini untuk mengancam para tentara dengan hukuman berat apabila ada yang berani melakukan penyelewengan. Kemudian ia masuk ke dalam kamarnya dan duduk termenung. Ia maklum bahwa tidak semua anggota bala tentaranya setia kepadanya, karena sesungguhnya, ia tidak mampu memberi belanja yang cukup kepada mereka. Banyak diantara mereka yang diam-diam ingin rupanya dia mengabdi kepada Raja Liang atau kepada Gubernur Li yang juga sudah mengangkat diri sendiri sebagai raja muda di Shan-si.
"Tidak," bantah suara hatinya, "sebelum muncul pemimpin yang betul-betul akan membuat rakyat Shan-si khususnya hidup aman tentram dan makmur, aku tidak akan mengabdi kepada siapapun juga !"
Sementara itu, Lu Sian terus meronta-ronta, kedua kakinya di gerak-gerakkan dan akhirnya Kwee Seng menurunkannya di dalam hutan tempat mereka tadi beristirahat sambil membebaskan totokannya. Dengan pedang di depan dada Lu Sian meloncat maju dan membentak.
"Kwee Seng, kali ini kau terlalu ! Mengapa kau mengganggu urusanku ? Apakah kau hendak pamer kepandaianmu ?"
"Eh, Sian-moi..., aku hanya hendak mencegah kau menimbulkan keributan di tempat orang, aku... aku hanya bermaksud menolongmu... "
"Siapa butuh pertolongan mu? Siapa sudi ? Kwee Seng, agaknya di samping kelemahan hatimu, kau juga memiliki kesombongan memandang rendah orang lain. Apa yang kulakukan, kau peduli apakah ?"
"Sian-moi, mengapa kau berkata demikian ? Bagaimana aku dapat tidak mempedulikan apa yang kau lakukan ? Sian-moi... kau sudah tahu akan perasaan hatiku, tak perlu kusembunyikan lagi. Aku cinta padamu ! Nah, sekarang terlepaslah sudah ganjalan hatiku. Aku mencintaimu, tentu saja aku tak dapat membiarkanmu terancam bahaya atau melakukan hal-hal yang tidak semestinya. Kam Si Ek seorang patriot sejati, seorang gagah perkasa, tak boleh diganggu..."
"Cukup ! Biar seribu kali kau mencintaku, kau belum berhak untuk mengurusi persoalanku. Aku bukan apa-apamu, tahu ? Kau boleh mencintaku sampai mampus, akan tetapi aku tidak mencintaimu ! Dengar baik-baik, Kwee Seng, aku tidak cinta kepadamu ! Kau memang tampan, kau memang gagah perkasa, memiliki kesaktian tinggi melebihi aku, akan tetapi kau lemah ! Kau bukan laki-laki sejati, hatimu lemah, mudah jatuh. Kau kira aku cinta kepadamu ? Ihh ! Aku suka ikut bersamamu karena mengharapkan kepandaianmu yang kau janjikan kepadaku di depan ayah. Nah kau dengar sekarang ? Setelah kau ketahui pendirianku, apakah kau kini hendak menarik janjimu lagi seperti layaknya seorang pengecut ?"
Bukan main hebatnya serangan ini bagi Kwee Seng, seakan-akan ribuan batang jarum berbisa menusuk-nusuk jantungnya. Wajahnya sebentar pucat sebentar merah, tubuhnya gemetar, bibirnya menggigil, matanya sayu dan dua butir air mata membasahi pipinya. Kemudian ia menggertak gigi mengeraskan perasaan, menguatkan hatinya, mengepal tangan dan berkata sambil menengadahkan muka ke langit.
"Bagus sekali ! Memang kau patut menjadi puteri Pat-jiu-Sin-ong ! Aku yang bodoh. Ha-ha-ha, aku yang tolol. Orang macamku mana berharga menjatuhkan hati padamu ? Tidak, Liu Lu Sian, aku tidak menarik janjiku ! Kapan saja kau minta, akan kuturunkan ilmuku yang kupakai mengalahkan kau di panggung Beng-kauw ketika itu. Memang aku cinta kepadamu, dan kau tidak mencintaiku sama sekali. Ha-ha-ha, biarlah, biar dirasakan oleh hati yang rakus ini, oleh pikiran yang pendek dan tak tahu diri ini, Si Cebol merindukan bulan, ha-ha-ha!"
Senang bukan main hati Liu Lu Sian. Memang beginilah watak gadis puteri Beng-kauwcu ini. Mungkin karena semenjak kecil terlalu dimanja, atau memang memiliki watak aneh keturunan ayahnya yang terkenal sebagai tokoh aneh di dunia kang-ouw, gadis ini suka sekali melihat laki-laki sebanyak-banyaknya jatuh hati kepadanya. Suka Ia menggoda, menonjolkan kejelitaannya agar mereka makin dalam terperosok, kemudian akan ia kecewakan mereka, akan ia permainkan mereka dan melihat mereka menderita, ia akan mentertawakannya !
"Untung engkau masih belum terlalu rendah untuk menarik kembali janjimu. Kwee Seng, aku menuntut janjimu itu pada besok malam, tepat tengah malam, di sini juga. Aku akan menjumpaimu di sini dan... "
"Tidak, Liu Lu Sian. Tempat ini kurang sepi, mungkin ada orang lewat dan akan melihat kita. Kau lihat bukit di sana itu. Tampaknya sukar didatangi, terjal dan liar. Jangan kira mudah menerima ilmu. Aku hanya mau menurunkan ilmuku kepadamu di puncak bukit itu. Besok malam tengah malam tepat, aku menantimu di sana !"
Lu Sian menengok ke arah timur. Matahari mulai muncul dan tampaklah bayangan sebuah bukit yang tak berapa jauh dari tempat itu. Bukit yang bentuknya aneh, puncaknya mencuat tinggi bentuknya seperti kepala naga atau kepala mahluk aneh.
"Baik, besok malam aku akan berada di pumcak itu!"
Setelah berkata demikian, Lu Sian meloncat ke atas kudanya dan melarikan kuda itu pergi meninggalkan Kwee Seng.
Pemuda itu berdiri tegak seperti patung, mendengarkan derap kaki kuda yang yang makin lama makin jauh, lalu ia meramkan matanya, serasa perih hatinya, serasa jantungnya dirobek dan serasa semangatnya terbang melayang mengikuti suara derap kaki kuda yang membawa lari Lu Sian, gadis yang selama ini memenuhi hatinya. Tiba-tiba ia tertawa dan menampar kepalanya sendiri.
"Ha-ha-ha, tolol ! Gila perempuan!!"
Kwee Seng lalu mengambil guci araknya dan minum dari guci araknya dan minum dari guci itu tanpa takaran lagi. Arak menggelogok memasuki kerongkongannya.
Tiba-tiba ia berhenti minum dan menengok memandang ke arah gerombolan pohon kembang kecil yang belum kebagian sinar matahari pagi, masih gelap. Biarpun perasaannya terganggu batinnya terpukul hebat, namun telinga pemuda ini masih amat tajam, perasaannya masih amat peka terhadap bahaya. Ia mendengar gerakan orang disitu, maka tegurnya,
"Siapakah mengintai disitu?"
Sesosok bayangan putih berkelebat keluar dari belakang pohon-pohon dan seorang gadis berdiri di hadapan Kwee Seng dengan muka merah dan sinar mata membayangkan rasa malu. Gadis ini cepat menjura dengan hormat sambil berkata.
"Harap Taihiap sudi memaafkan. Sesungguhnya bukan maksud saya untuk mengintai, akan tetapi keadaan tadi membuat saya tidak berani untuk keluar memperkenalkan diri."
Kwee Seng cepat membalas penghormatan gadis yang memakai pakaian serba putih ini. Gadis bermata jernih, bermuka terang dan bersikap gagah, yang belum pernah ia kenal. Akan tetapi ia segera teringat bahwa gadis inilah agaknya Si Bayangan Putih yang bertempur melawan Lu Sian di atas genteng benteng tadi.
"Hemm, kalau sudah lama Nona mengintai, agaknya tak perlu lagi memperkenalkan diri, tentu Nona sudah mengetahui segalanya!"
Kata Kwee Seng dengan hati mengkal karena adegan Lu Sian yang amat memalukan, yang merendahkan dirinya.
"Sekali lagi maaf, Taihiap. Sesungguhnya saya melihat dan mendengar semua dan sekarang tahulah saya bahwa gadis lihai yang secara aneh mendatangi benteng adik seperguruanku itu bukan lain adalah Nona Liu Lu Sian puteri Beng-kauwcu yang amat terkenal. Sungguh merupakan hal yang tidak pernah kami duga, dan andaikata dia datang memperkenalkan diri secara wajar, sudah pasti kami akan menyambutnya dengan segala kehormatan. Akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur dan saya merasa bersalah terhadap Kwee-taihiap yang amat saya kagumi karena kesaktiannya. Oleh karena itu, saya persilakan Kwee-taihiap sudi singgah di benteng kami untuk mempererat persahabatan dan untuk menambahkan pengetahuan kami yang dangkal."
Diam-diam Kwee Seng kagum. Biarpun hanya seorang wanita, seorang gadis muda, namun nona ini benar-benar jauh bedanya dengan wanita-wanita yang ia temui. Nona ini membayangkan otak tajam, pandangan luas, sopan-santun dan hati-hati, seperti sikap orang yang sudah banyak pengalaman. Ia lalu teringat bahwa ia belum menanyakan nama, dan sebagai seorang yang begitu luas pandangannya seperti nona ini, tentu saja tak mungkin akan memperkenalkan nama kalau tidak ditanya.
"Terima kasih, Nona baik sekali. Setelah nona mengetahui namaku, agaknya boleh juga aku mengenal nama nona yang terhormat?"
"Saya yang bodoh bernama Lai Kui Lan, membantu perjuangan Kam-sute (Adik Seperguruan Kam). Saya murid tunggal dari mendiang ayah Kam-sute, akan tetapi saya yang bodoh tak dapat mewarisi sepersepuluhnya dari ilmu silat keluarga Kam."
Kembali jawaban yang mengagumkan hati Kwee Seng. Ah, kalau saja Liu Lu Sian mempunyai watak dan sikap seperti nona baju putih ini, pikirnya.
"Sekali lagi terima kasih atas undangan Nona Liu yang manis budi. Akan tetapi, sebetulnya saya tidak ingin mengganggu ketenteraman Nona dan Kam-goanswe. Tadi pun saya hanya bermaksud mencegah terjadinya hal-hal yang mendatangkan kekacauan, maka maafkan kalau tadi saya melakukan kesalahan turun tangan terhadap Nona, karena maksud saya hanya menghentikan pertandingan."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar