Lu Sian menuntun kudanya dan mengajaknya melompat ke atas dek perahu, sedangkan Kwee Seng mengikutinya tanpa banyak bicara. Dalam keadaan remang-remang kini ia dapat melihat wajah gadis itu, masih berseri-seri gembira dan cantik sekali.
Kali ini Lu Sian melirik kepadanya dan tersenyum-senyum manis, akan tetapi juga tidak bicara apa-apa.
“Eh, Paman, kau tadi bilang apa?” ketika perahu sudah meluncur ke tengah, Lu Sian bertanya. “Orang-orang mengungsi dari sana ? Ada terjadi apakah diseberang sana?”
Si Tukang Perahu memandang, keningnya berkerut.
“Apakah nona belum tahu ? Daerah San-si mulai geger. Sejak gubernur Li Ko Yung berkuasa dan kerajaan Tang ditumbangkan belum pernah terjadi kehebohan di kalangan rakyat. Akan tetapi setelah Jenderal Muda Kam menentang kekuasaan gubernur dan tidak setuju dengan pemberontakan melawan kerajaan, keadaan menjadi geger karena jenderal Kam mempunyai banyak pengikut. Malah sesungguhnya rakyat banyak yang menyokong jenderal muda gagah perkasa itu. Banyaklah dilakukan penangkapan-penangkapan oleh gubernur, dengan tuduhan memberontak…”
“Ah…! Dan bagaimana dengan jenderal itu ? Apakah ditangkap juga ? Dan dimana dia sekarang?”
Lu Sian agaknya tertarik sekali, akan tetapi Kwee Seng mendengar semua itu dengan hati dingin. Memang sama sekali ia tidak ada perhatian terhadap keributan negara yang tiada hentinya, semenjak pemberontakan yang terjadi puluhan tahun yang lalu terus menerus, sampai tumbangnya Kerajaan Tang dan tanah air menjadi pecah-pecah karena diperebutkan.
Entah berapa banyaknya sekarang raja-raja dan raja-raja muda atau bekas-bekas gubernur yang mengangkat diri sendiri, mendirikan kerajaan-kerajaan kecil yang saling curiga-mencurigai, seakan-akan sekelompok anjing masing-masing mendekap sebatang tulang. Ia muak dengan itu semua, muak melihat manusia-manusia yang demi mencari kemuliaan dan kedudukan duniawi, berebutan tak tahu malu, mempergunakan rakyat yang dipecah-pecah untuk memihak demi kepentingan masing-masing tanpa menghiraukan korban berjatuhan di kalangan rakyat jelata yang selalu hidup miskin dan bodoh !
“Mana bisa Jenderal Kam ditangkap ? Biar gubernur sendiri takkan berani menangkapnya, hanya berani menangkapi rakyat yang tak berdaya ! Pula, tanpa adanya jenderal yang gagah perkasa dan dicinta rakyat itu, bagaimana mungkin Shan-si akan dapat bertahan terhadap serangan dari luar?”
“Paman yang baik, bukankah jenderal itu bernama Kam Si Ek?”
“Betul, bagaimana nona dapat mengenal nama jenderal kami itu sedangkan tadi nona tidak tahu apa-apa tentang keributan di daerah San-si?”
Kini Kwee Seng mulai memperhatikan apalagi ketika disebut nama Kam Si Ek. Ia sudah mendengar akan kehebatan sepak terjang Jenderal Muda itu, bahkan belum lama ini Kam Si Ek muncul pula di pesta Beng-kauw dan telah memperlihatkan sikap dan wataknya yang memang gagah perkasa ketika mencegah Lu Sian menjatuhkan tangan maut kepada seorang pengagumnya.
Seorang pemuda gagah yang berwatak satria, tidak melayani tantangan Lu Sian padahal pemuda yang menjadi jenderal itu belum tentu kalah oleh gadis puteri Beng-kauwcu ini. Laki-laki yang tidak tunduk oleh wajah cantik ! Tidak seperti aku, demikian Kwee Seng memaki diri sendiri.
“Eh, Sian-moi. Kau menyebrang sungai ini, apakah hendak melakukan perjalanan ke utara ? Mau ke manakah ? Ingat, perjalanan ini adalah perjalananku, kau hanya ikut denganku,”
Kata Kwee Seng setelah tukang perahu itu pergi ke kepala perahu untuk membantu penyebrangan karena air mulai agak deras alirannya dan tidak amanlah kalau hanya mengandalkan tenaga pembantunya yang masih anak-anak.
Dengan kerling tajam Lu Sian mencibirkan bibirnya yang merah. Jantung Kwee Seng serasa ditarik-tarik. Manisnya gadis ini kalau begitu !
“Kwee-koko, seorang suami boleh membawa kehendak sendiri, ada kalanya harus menghormati dan menuruti keinginan si isteri, tunangan pun bukan. Bagaimana aku harus selau menuruti kehendakmu ! Kau bukan suamiku, bukan tunanganku, juga bukan atau belum menjadi guruku karena kau belum menurunkan apa-apa seperti yang telah kau janjikan kepada ayah. Aku ingin ke utara, kalau kau hendak mengambil jalan lain tanpa menurunkan kepandaian kepadaku yang berarti kau melanggar janji, terserah.”
Kwee Seng mengeluh di dalam hatinya. Terlalu sekali gadis ini menggodanya. Ia tertawa dengan sabar.
“Adik yang baik, kata-katamu seperti ujung pisau tajamnya. Aku sih tidak mempunyai tujuan tertentu, kemana pun boleh. Akan tetapi kalau di utara terjadi keributan perang, mengapa kau hendak kesana?”
Lu Sian tertawa dan giginya yang putih berkilau terkena matahari pagi yang mulai muncul dan sinarnya menembus celah-celah daun pohon.
“Justeru karena ada perang aku ingin ke sana. Aku hendak menonton keramaian ! Kwee-koko, ada tontonan bagus, mengapa kita lewatkan begitu saja ? Pula, melakukan perjalanan bersamaku, biarpun menempuh bahaya, bukankah amat menyenangkan bagimu?”
Gadis itu mengerling, manis sekali dan Kwee Seng menahan napasnya. Sinar matahari pagi jatuh pada kepala gadis itu, membuat sekeliling kepala seperti dilingkungi sinar keemasan !
“Kau… cantik sekali, Moi-moi…” katanya perlahan, penuh kekaguman.
Lu Sian tertawa.
“Gadis di pagi hari belum berhias, mana bisa cantik ? Ihhh, kau sudah mabok lagi, Koko, kini bukan mabok arak, melainkan mabok asmara… !”
Lu Sian tertawa-tawa menggoda, lalu berjongkok di pinggir perahu, tangannya menyambar air yang jernih dan mulailah ia mencuci mukanya, digosok-gosoknya sehingga seluruh kulit mukanya menjadi kemerahan dan segar laksana bunga mawar merah tersiram embun pagi.
Digoda secara terang-terangan seperti itu, Kwee Seng menjadi lemas dan selanjutnya ia tidak mau banyak bicara lagi, karena setiap godaan gadis itu merupakan tusukan di hatinya. Mengapa ia tiba-tiba menjadi begini lemah ? Mengapa ia tidak pergi saja tinggalkan gadis ini ? Kemana perginya keangkuhannya yang selama ini ia banggakan? Ah, ia masih mengharap. Ia masih menanti. Lu Sian telah mendengar pengakuan cintanya, dan gadis ini sukar sekali diraba isi hatinya. Kadang-kadang begitu mesra seakan-akan gadis itu pun mencintainya sungguhpun ingin memperlihatkan kebalikannya, akan tetapi mengapa kadang-kadang begitu kejam menyerangnya dengan kata-kata sindiran ?
Setelah menyeberang, kembali Lu Sian membalapkan kudanya. Kwee Seng mengikuti dari belakang dan sebentar saja mereka sudah memasuki sebuah hutan. Benar saja seperti yang dikatakan tukang perahu, setelah agak siang tampaklah berbondong-bondong orang mengungsi ke selatan. Karena jalan mulai ramai dengan rombongan pengungsi, Lu Sian dan Kwee Seng mengambil jalan hutan yang kecil akan tetapi sunyi.
“Mengapa mengungsi saja harus beramai-ramai seperti itu ? Memenuhi jalan saja.”
Lu Sian mengomel karena jalan hutan yang dilalui sempit dan seringkali pohon-pohon kecil berduri mengganggunya.
“Rakyat sudah terlalu banyak mengalami tindasan dan kekerasan, Sian-moi. Mereka tahu bahwa mengungsi pun tidak terlepas dari intaian bahaya gangguan orang jahat atau binatang buas maka mereka merasa lebih aman untuk melakukan pengungsian beramai-ramai. Pada perang sekacau ini biasanya orang-orang jahat suka mempergunakan kesempatan merampok.”
“Wah, kau benar, koko dan agaknya kita yang akan menjadi korban. Kau dengar itu?”
Kwee Seng mengangguk.
“Derap kaki banyak kuda dari belakang ! Akan tetapi belum tentu perampok-perampok yang mengejar kita, Moi-moi.”
Mereka berdua berhenti dan menoleh ke belakang. Tak lama kemudian derap kaki kuda berbunyi lebih jelas dan muncullah tiga orang penunggang kuda yang membalapkan kuda mereka cepat sekali. Tiga ekor kuda tunggangan mereka itu besar-besar dan ternyata merupakan kuda pilihan, malah lebih besar dan baik daripada kuda tunggangan Kwee Seng dan Lu Sian.
Sedangkan tiga orang penunggangnya adalah wanita-wanita muda yang cantik-cantik dan berpakaian mewah akan tetapi ringkas. Pedang berukir indah bergantung di punggung mereka, tangan kiri memegang kendali kuda, tangan kanan memegang cambuk. Melihat kesigapan mereka menunggang kuda, mudah diduga mereka itu adalah wanita-wanita yang pandai ilmu silat, apalagi pedang mereka membayangkan pedang pusaka yang baik.
Yang terdepan paling tua usianya, antara dua puluh lima tahun, pakaiannya serba merah, yang ke dua berusia dua puluh tahun, pakaiannya serba kuning dan yang ke tiga baru delapan belas tahun berpakaian serba hijau.
Melihat raut muka mereka, dapat diduga bahwa mereka itu kakak beradik, dan sukar dikatakan mana yang paling cantik diantara mereka. Semua cantik dan pandang mata mereka tajam. Akan tetapi wajah yang berkulit halus itu diperbagus lagi dengan bedak dan yanci (pemerah bibir / pipi) sehingga menimbulkan kesan di hati Kwee Seng bahwa tiga orang wanita ini adalah gadis-gadis pesolek, seperti Ang-siauw-hwa.
Berbeda dengan Liu Lu Sian yang ia lihat tak pernah memakai bedak dan yanci, sungguhpun hal ini memang tidak perlu karena kulit muka Lu Sian sudah terlalu putih halus dan bibirnya selalu merah membasah, pipinya kemerahan seperti buah apel masak.
“Minggir ! Minggir!”
Tiga orang gadis itu berseru nyaring tanpa mengurangi kecepatan lari kuda mereka. Padahal jalan itu sempit sekali. Terpaksa Kwee Seng menarik kendali kudanya, dipinggirkan. Melihat Lu Sian tetap membiarkan kudanya menghadap jalan, Kwee Seng tidak mau membiarkan keributan terjadi, ia meraih kendali kuda tunggangan Lu Sian dan menarik binatang itu minggir pula.
Dua ekor kuda tunggangan pertama dan kedua lewat cepat sekali dan tercium bau harum minyak wangi. Kuda ke tiga yang ditunggangi gadis termuda, melambat dan gadis ini mengerling ke arah Kwee Seng, lalu melempar senyum ! Setelah melirik penuh arti barulah gadis ke tiga ini membalapkan kudanya lagi. Kwee Seng cepat menggerakkan tangannya menangkap pergelangan tangan Lu Sian. Gadis ini menggenggam jarum-jarum yang merupakan senjata rahasia dan yang tadinya hendak ia sambitkan kepada tiga orang gadis itu !
“Moi-moi, mengapa mencari gara-gara dengan orang-orang yang sama sekali tidak kita kenal dan tidak ada permusuhan dengan kita?”
Lu Sian menjebikan bibirnya, kebiasaan yang selalu membetot jantung Kwee Seng, lalu menyimpan kembali jarum-jarum rahasianya.
“Menjemukan ! Koko, apakah kau selalu menjadi lemah hati dan siap menolong setiap orang perempuan cantik?”
Merah kedua pipi Kwee Seng.
“Bukan begitu, moi-moi. Aku hanya suka menolong kepada orang yang perlu ditolong, tak peduli dia perempuan atau laki-laki. Akan tetapi mereka itu tadi tidak mempunyai salah apa-apa, mengapa hendak kau serang?”
“Tidak salah apa-apa ? Ihh, kenapa matanya lirak-lirik seperti tukang copet?”
Kwee Seng tertawa geli mendengar ini.
“Tukang copet ? Ha-ha, perumpamaanmu sungguh tak tepat. Masa gadis cantik menjadi tukang copet? Dan lagi, aku Si Miskin ini apanya yang patut di copet?”
Lu Sian tersenyum juga.
“Apalagi kalau bukan hatimu yang akan dicopet?”
Kwee Seng membelalakkan matanya memandang, akan tetapi gadis itu hanya mentertawakannya tanpa menutupi mulut, memperlihatkan deretan gigi putih dan lubang mulut kemerahan. Kwee Seng merasa ditertawakan, hatinya sebal dan sakit.
“Mari kita lanjutkan perjalanan!”
Akhirnya ia berkata agak marah, akan tetapi Lu Sian tetap tertawa-tawa ketika membedal kudanya di belakang pemuda itu.
“Eh, kau terburu-buru amat. Apakah hendak mengejar pencopet dan menyerahkan hatimu ? Dia manis sekali, Kwee-koko! Kerlingnya tajam dan mengundang tantangan !”
Berkali-kali Lu Sian menggoda, akan tetapi Kwee Seng tidak menjawab dan terus membalapkan kudanya.
Akan tetapi agaknya tiga orang gadis tadi pun melarikan kuda cepat sekali, buktinya sampai tiga hari mereka berdua belum juga dapat menyusul tiga orang gadis itu. Pada hari ke empatnya, setelah bermalam di dalam hutan yang dingin, Kwee Seng dan Lu Sian melanjutkan perjalanan.
Kali ini Lu Sian melirik kepadanya dan tersenyum-senyum manis, akan tetapi juga tidak bicara apa-apa.
“Eh, Paman, kau tadi bilang apa?” ketika perahu sudah meluncur ke tengah, Lu Sian bertanya. “Orang-orang mengungsi dari sana ? Ada terjadi apakah diseberang sana?”
Si Tukang Perahu memandang, keningnya berkerut.
“Apakah nona belum tahu ? Daerah San-si mulai geger. Sejak gubernur Li Ko Yung berkuasa dan kerajaan Tang ditumbangkan belum pernah terjadi kehebohan di kalangan rakyat. Akan tetapi setelah Jenderal Muda Kam menentang kekuasaan gubernur dan tidak setuju dengan pemberontakan melawan kerajaan, keadaan menjadi geger karena jenderal Kam mempunyai banyak pengikut. Malah sesungguhnya rakyat banyak yang menyokong jenderal muda gagah perkasa itu. Banyaklah dilakukan penangkapan-penangkapan oleh gubernur, dengan tuduhan memberontak…”
“Ah…! Dan bagaimana dengan jenderal itu ? Apakah ditangkap juga ? Dan dimana dia sekarang?”
Lu Sian agaknya tertarik sekali, akan tetapi Kwee Seng mendengar semua itu dengan hati dingin. Memang sama sekali ia tidak ada perhatian terhadap keributan negara yang tiada hentinya, semenjak pemberontakan yang terjadi puluhan tahun yang lalu terus menerus, sampai tumbangnya Kerajaan Tang dan tanah air menjadi pecah-pecah karena diperebutkan.
Entah berapa banyaknya sekarang raja-raja dan raja-raja muda atau bekas-bekas gubernur yang mengangkat diri sendiri, mendirikan kerajaan-kerajaan kecil yang saling curiga-mencurigai, seakan-akan sekelompok anjing masing-masing mendekap sebatang tulang. Ia muak dengan itu semua, muak melihat manusia-manusia yang demi mencari kemuliaan dan kedudukan duniawi, berebutan tak tahu malu, mempergunakan rakyat yang dipecah-pecah untuk memihak demi kepentingan masing-masing tanpa menghiraukan korban berjatuhan di kalangan rakyat jelata yang selalu hidup miskin dan bodoh !
“Mana bisa Jenderal Kam ditangkap ? Biar gubernur sendiri takkan berani menangkapnya, hanya berani menangkapi rakyat yang tak berdaya ! Pula, tanpa adanya jenderal yang gagah perkasa dan dicinta rakyat itu, bagaimana mungkin Shan-si akan dapat bertahan terhadap serangan dari luar?”
“Paman yang baik, bukankah jenderal itu bernama Kam Si Ek?”
“Betul, bagaimana nona dapat mengenal nama jenderal kami itu sedangkan tadi nona tidak tahu apa-apa tentang keributan di daerah San-si?”
Kini Kwee Seng mulai memperhatikan apalagi ketika disebut nama Kam Si Ek. Ia sudah mendengar akan kehebatan sepak terjang Jenderal Muda itu, bahkan belum lama ini Kam Si Ek muncul pula di pesta Beng-kauw dan telah memperlihatkan sikap dan wataknya yang memang gagah perkasa ketika mencegah Lu Sian menjatuhkan tangan maut kepada seorang pengagumnya.
Seorang pemuda gagah yang berwatak satria, tidak melayani tantangan Lu Sian padahal pemuda yang menjadi jenderal itu belum tentu kalah oleh gadis puteri Beng-kauwcu ini. Laki-laki yang tidak tunduk oleh wajah cantik ! Tidak seperti aku, demikian Kwee Seng memaki diri sendiri.
“Eh, Sian-moi. Kau menyebrang sungai ini, apakah hendak melakukan perjalanan ke utara ? Mau ke manakah ? Ingat, perjalanan ini adalah perjalananku, kau hanya ikut denganku,”
Kata Kwee Seng setelah tukang perahu itu pergi ke kepala perahu untuk membantu penyebrangan karena air mulai agak deras alirannya dan tidak amanlah kalau hanya mengandalkan tenaga pembantunya yang masih anak-anak.
Dengan kerling tajam Lu Sian mencibirkan bibirnya yang merah. Jantung Kwee Seng serasa ditarik-tarik. Manisnya gadis ini kalau begitu !
“Kwee-koko, seorang suami boleh membawa kehendak sendiri, ada kalanya harus menghormati dan menuruti keinginan si isteri, tunangan pun bukan. Bagaimana aku harus selau menuruti kehendakmu ! Kau bukan suamiku, bukan tunanganku, juga bukan atau belum menjadi guruku karena kau belum menurunkan apa-apa seperti yang telah kau janjikan kepada ayah. Aku ingin ke utara, kalau kau hendak mengambil jalan lain tanpa menurunkan kepandaian kepadaku yang berarti kau melanggar janji, terserah.”
Kwee Seng mengeluh di dalam hatinya. Terlalu sekali gadis ini menggodanya. Ia tertawa dengan sabar.
“Adik yang baik, kata-katamu seperti ujung pisau tajamnya. Aku sih tidak mempunyai tujuan tertentu, kemana pun boleh. Akan tetapi kalau di utara terjadi keributan perang, mengapa kau hendak kesana?”
Lu Sian tertawa dan giginya yang putih berkilau terkena matahari pagi yang mulai muncul dan sinarnya menembus celah-celah daun pohon.
“Justeru karena ada perang aku ingin ke sana. Aku hendak menonton keramaian ! Kwee-koko, ada tontonan bagus, mengapa kita lewatkan begitu saja ? Pula, melakukan perjalanan bersamaku, biarpun menempuh bahaya, bukankah amat menyenangkan bagimu?”
Gadis itu mengerling, manis sekali dan Kwee Seng menahan napasnya. Sinar matahari pagi jatuh pada kepala gadis itu, membuat sekeliling kepala seperti dilingkungi sinar keemasan !
“Kau… cantik sekali, Moi-moi…” katanya perlahan, penuh kekaguman.
Lu Sian tertawa.
“Gadis di pagi hari belum berhias, mana bisa cantik ? Ihhh, kau sudah mabok lagi, Koko, kini bukan mabok arak, melainkan mabok asmara… !”
Lu Sian tertawa-tawa menggoda, lalu berjongkok di pinggir perahu, tangannya menyambar air yang jernih dan mulailah ia mencuci mukanya, digosok-gosoknya sehingga seluruh kulit mukanya menjadi kemerahan dan segar laksana bunga mawar merah tersiram embun pagi.
Digoda secara terang-terangan seperti itu, Kwee Seng menjadi lemas dan selanjutnya ia tidak mau banyak bicara lagi, karena setiap godaan gadis itu merupakan tusukan di hatinya. Mengapa ia tiba-tiba menjadi begini lemah ? Mengapa ia tidak pergi saja tinggalkan gadis ini ? Kemana perginya keangkuhannya yang selama ini ia banggakan? Ah, ia masih mengharap. Ia masih menanti. Lu Sian telah mendengar pengakuan cintanya, dan gadis ini sukar sekali diraba isi hatinya. Kadang-kadang begitu mesra seakan-akan gadis itu pun mencintainya sungguhpun ingin memperlihatkan kebalikannya, akan tetapi mengapa kadang-kadang begitu kejam menyerangnya dengan kata-kata sindiran ?
Setelah menyeberang, kembali Lu Sian membalapkan kudanya. Kwee Seng mengikuti dari belakang dan sebentar saja mereka sudah memasuki sebuah hutan. Benar saja seperti yang dikatakan tukang perahu, setelah agak siang tampaklah berbondong-bondong orang mengungsi ke selatan. Karena jalan mulai ramai dengan rombongan pengungsi, Lu Sian dan Kwee Seng mengambil jalan hutan yang kecil akan tetapi sunyi.
“Mengapa mengungsi saja harus beramai-ramai seperti itu ? Memenuhi jalan saja.”
Lu Sian mengomel karena jalan hutan yang dilalui sempit dan seringkali pohon-pohon kecil berduri mengganggunya.
“Rakyat sudah terlalu banyak mengalami tindasan dan kekerasan, Sian-moi. Mereka tahu bahwa mengungsi pun tidak terlepas dari intaian bahaya gangguan orang jahat atau binatang buas maka mereka merasa lebih aman untuk melakukan pengungsian beramai-ramai. Pada perang sekacau ini biasanya orang-orang jahat suka mempergunakan kesempatan merampok.”
“Wah, kau benar, koko dan agaknya kita yang akan menjadi korban. Kau dengar itu?”
Kwee Seng mengangguk.
“Derap kaki banyak kuda dari belakang ! Akan tetapi belum tentu perampok-perampok yang mengejar kita, Moi-moi.”
Mereka berdua berhenti dan menoleh ke belakang. Tak lama kemudian derap kaki kuda berbunyi lebih jelas dan muncullah tiga orang penunggang kuda yang membalapkan kuda mereka cepat sekali. Tiga ekor kuda tunggangan mereka itu besar-besar dan ternyata merupakan kuda pilihan, malah lebih besar dan baik daripada kuda tunggangan Kwee Seng dan Lu Sian.
Sedangkan tiga orang penunggangnya adalah wanita-wanita muda yang cantik-cantik dan berpakaian mewah akan tetapi ringkas. Pedang berukir indah bergantung di punggung mereka, tangan kiri memegang kendali kuda, tangan kanan memegang cambuk. Melihat kesigapan mereka menunggang kuda, mudah diduga mereka itu adalah wanita-wanita yang pandai ilmu silat, apalagi pedang mereka membayangkan pedang pusaka yang baik.
Yang terdepan paling tua usianya, antara dua puluh lima tahun, pakaiannya serba merah, yang ke dua berusia dua puluh tahun, pakaiannya serba kuning dan yang ke tiga baru delapan belas tahun berpakaian serba hijau.
Melihat raut muka mereka, dapat diduga bahwa mereka itu kakak beradik, dan sukar dikatakan mana yang paling cantik diantara mereka. Semua cantik dan pandang mata mereka tajam. Akan tetapi wajah yang berkulit halus itu diperbagus lagi dengan bedak dan yanci (pemerah bibir / pipi) sehingga menimbulkan kesan di hati Kwee Seng bahwa tiga orang wanita ini adalah gadis-gadis pesolek, seperti Ang-siauw-hwa.
Berbeda dengan Liu Lu Sian yang ia lihat tak pernah memakai bedak dan yanci, sungguhpun hal ini memang tidak perlu karena kulit muka Lu Sian sudah terlalu putih halus dan bibirnya selalu merah membasah, pipinya kemerahan seperti buah apel masak.
“Minggir ! Minggir!”
Tiga orang gadis itu berseru nyaring tanpa mengurangi kecepatan lari kuda mereka. Padahal jalan itu sempit sekali. Terpaksa Kwee Seng menarik kendali kudanya, dipinggirkan. Melihat Lu Sian tetap membiarkan kudanya menghadap jalan, Kwee Seng tidak mau membiarkan keributan terjadi, ia meraih kendali kuda tunggangan Lu Sian dan menarik binatang itu minggir pula.
Dua ekor kuda tunggangan pertama dan kedua lewat cepat sekali dan tercium bau harum minyak wangi. Kuda ke tiga yang ditunggangi gadis termuda, melambat dan gadis ini mengerling ke arah Kwee Seng, lalu melempar senyum ! Setelah melirik penuh arti barulah gadis ke tiga ini membalapkan kudanya lagi. Kwee Seng cepat menggerakkan tangannya menangkap pergelangan tangan Lu Sian. Gadis ini menggenggam jarum-jarum yang merupakan senjata rahasia dan yang tadinya hendak ia sambitkan kepada tiga orang gadis itu !
“Moi-moi, mengapa mencari gara-gara dengan orang-orang yang sama sekali tidak kita kenal dan tidak ada permusuhan dengan kita?”
Lu Sian menjebikan bibirnya, kebiasaan yang selalu membetot jantung Kwee Seng, lalu menyimpan kembali jarum-jarum rahasianya.
“Menjemukan ! Koko, apakah kau selalu menjadi lemah hati dan siap menolong setiap orang perempuan cantik?”
Merah kedua pipi Kwee Seng.
“Bukan begitu, moi-moi. Aku hanya suka menolong kepada orang yang perlu ditolong, tak peduli dia perempuan atau laki-laki. Akan tetapi mereka itu tadi tidak mempunyai salah apa-apa, mengapa hendak kau serang?”
“Tidak salah apa-apa ? Ihh, kenapa matanya lirak-lirik seperti tukang copet?”
Kwee Seng tertawa geli mendengar ini.
“Tukang copet ? Ha-ha, perumpamaanmu sungguh tak tepat. Masa gadis cantik menjadi tukang copet? Dan lagi, aku Si Miskin ini apanya yang patut di copet?”
Lu Sian tersenyum juga.
“Apalagi kalau bukan hatimu yang akan dicopet?”
Kwee Seng membelalakkan matanya memandang, akan tetapi gadis itu hanya mentertawakannya tanpa menutupi mulut, memperlihatkan deretan gigi putih dan lubang mulut kemerahan. Kwee Seng merasa ditertawakan, hatinya sebal dan sakit.
“Mari kita lanjutkan perjalanan!”
Akhirnya ia berkata agak marah, akan tetapi Lu Sian tetap tertawa-tawa ketika membedal kudanya di belakang pemuda itu.
“Eh, kau terburu-buru amat. Apakah hendak mengejar pencopet dan menyerahkan hatimu ? Dia manis sekali, Kwee-koko! Kerlingnya tajam dan mengundang tantangan !”
Berkali-kali Lu Sian menggoda, akan tetapi Kwee Seng tidak menjawab dan terus membalapkan kudanya.
Akan tetapi agaknya tiga orang gadis tadi pun melarikan kuda cepat sekali, buktinya sampai tiga hari mereka berdua belum juga dapat menyusul tiga orang gadis itu. Pada hari ke empatnya, setelah bermalam di dalam hutan yang dingin, Kwee Seng dan Lu Sian melanjutkan perjalanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar