Entah mengapa ia sendiri tidak tahu, pagi itu Kwee Seng merasa gembira sekali. Lenyap sudah rasa lelah dan lemah sebagai akibat pertandingan mati-matian melawan Ban-pi Lo-cia. Sinar matahari pagi yang menyoroti permukaan air telaga dan pohon-pohon di sekitarnya, tampak amat indah menyegarkan. Suara kicau burung pagi amat sedap, tidak seperti biasanya. Dan pemuda ini tersenyum, matanya bersinar-sinar, dan kedua pipinya menjadi kemerahan bibirnya tersenyum aneh kalau ia teringat pada Ang-siauw-hwa !
Ia harus mencari suling yang baik, tidak saja yang baik suaranya, akan tetapi juga yang memenuhi syarat untuk menjadi senjata. Bambu yang pilihan tua dan kering betul. Benar seperti dikatakan Ang-siauw-hwa, di sebelah barat telaga itu terdapat seorang penjual suling buatannya sendiri. Akan tetapi Kwee Seng kecewa melihat bahwa biarpun pembuatannya amat halus, namun bahannya terbuat daripada bambu biasa saja.
“Saya mempunyai sebatang bambu berbintik hitam yang biasa disebut bambu berbintik hitam, Kongcu. Bambu itu saya beli mahal dari seorang perantau di Lembah Huang-ho, akan tetapi karena mahalnya, sampai sekarang belum saya bikin suling, takut tidak akan ada yang berani membelinya.” Akhirnya Si Tukang Pembuat Suling itu berkata.
Kwee Seng girang sekali. Ia mengenal bambu naga hitam sebagai bambu yang kuat dan lurus maka amatlah baik untuk dijadikan suling dan dibuat senjata.
“Mana bambu itu ? Kenapa tidak dari tadi kau bilang ? Keluarkanlah, biar kumelihatnya.”
Setelah bambu itu dikeluarkan, Kwee Seng menjadi girang sekali. Benar bambu naga hitam yang amat baik, tua dan sudah kering betul. Mereka tawar-menawar, kemudian Kwee Seng berkata,
“Jadilah. Harap kau buatkan suling dari bambu ini sekarang juga, aku akan menunggunya.”
Setengah hari lebih Kwee Seng berada di rumah pembuat suling itu. Akhirnya lewat tengah hari, suling itu pun jadi dan setelah mencobanya dan mendapat kenyataan bahwa memang sudah tepat ukuran lubang-lubangnya. Kwee Seng membayar harga suling yang limapuluh kali lebih mahal daripada harga suling biasa, membeli pula sebuah suling biasa dan meninggalkan tempat itu. Ia girang sekali, mempercepat larinya menuju ke rumah mungil yang menurut cerita Ang-siauw-hwa menjadi tempat istirahatnya tak jauh dari telaga.
“Moi-moi, kau lihatlah suling ini!”
Di depan pintu rumah Kwee Seng sudah berseru memanggil, rindu akan senyum manis dan pandang mata mesra yang pasti akan menyambutnya.
Akan tetapi sunyi saja di sebelah dalam. Kwee Seng mendorong daun pintu dan… dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat dua sosok tubuh malang-melintang di belakang daun pintu. Ketika ia membungkuk dan memeriksa, ternyata itu adalah dua orang pelayan wanita yang sudah tak bernyawa lagi tanpa menderita luka yang kelihatan. Kwee Seng menjadi pucat mukanya.
“Moi-moi…!”
Serunya dan mendengar ada suara perlahan dari dalam kamar, sekali meloncat ia sudah menerjang daun pintu kamar dan masuk ke dalam kamar.
Apa yang dilihatnya ? Memang Ang-siauw-hwa berada di situ, akan tetapi dalam keadaan yang jauh bedanya dengan malam tadi, Gadis itu telentang di atas pembaringan, pakaiannya hampir telanjang, rambutnya terlepas dari ikatan dan menutupi sebagian leher dan dada, bajunya yang berwarna merah muda itu robek-robek dan penuh darah yang keluar dari dadanya di mana tampak menancap sebuah gunting !
Ia harus mencari suling yang baik, tidak saja yang baik suaranya, akan tetapi juga yang memenuhi syarat untuk menjadi senjata. Bambu yang pilihan tua dan kering betul. Benar seperti dikatakan Ang-siauw-hwa, di sebelah barat telaga itu terdapat seorang penjual suling buatannya sendiri. Akan tetapi Kwee Seng kecewa melihat bahwa biarpun pembuatannya amat halus, namun bahannya terbuat daripada bambu biasa saja.
“Saya mempunyai sebatang bambu berbintik hitam yang biasa disebut bambu berbintik hitam, Kongcu. Bambu itu saya beli mahal dari seorang perantau di Lembah Huang-ho, akan tetapi karena mahalnya, sampai sekarang belum saya bikin suling, takut tidak akan ada yang berani membelinya.” Akhirnya Si Tukang Pembuat Suling itu berkata.
Kwee Seng girang sekali. Ia mengenal bambu naga hitam sebagai bambu yang kuat dan lurus maka amatlah baik untuk dijadikan suling dan dibuat senjata.
“Mana bambu itu ? Kenapa tidak dari tadi kau bilang ? Keluarkanlah, biar kumelihatnya.”
Setelah bambu itu dikeluarkan, Kwee Seng menjadi girang sekali. Benar bambu naga hitam yang amat baik, tua dan sudah kering betul. Mereka tawar-menawar, kemudian Kwee Seng berkata,
“Jadilah. Harap kau buatkan suling dari bambu ini sekarang juga, aku akan menunggunya.”
Setengah hari lebih Kwee Seng berada di rumah pembuat suling itu. Akhirnya lewat tengah hari, suling itu pun jadi dan setelah mencobanya dan mendapat kenyataan bahwa memang sudah tepat ukuran lubang-lubangnya. Kwee Seng membayar harga suling yang limapuluh kali lebih mahal daripada harga suling biasa, membeli pula sebuah suling biasa dan meninggalkan tempat itu. Ia girang sekali, mempercepat larinya menuju ke rumah mungil yang menurut cerita Ang-siauw-hwa menjadi tempat istirahatnya tak jauh dari telaga.
“Moi-moi, kau lihatlah suling ini!”
Di depan pintu rumah Kwee Seng sudah berseru memanggil, rindu akan senyum manis dan pandang mata mesra yang pasti akan menyambutnya.
Akan tetapi sunyi saja di sebelah dalam. Kwee Seng mendorong daun pintu dan… dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat dua sosok tubuh malang-melintang di belakang daun pintu. Ketika ia membungkuk dan memeriksa, ternyata itu adalah dua orang pelayan wanita yang sudah tak bernyawa lagi tanpa menderita luka yang kelihatan. Kwee Seng menjadi pucat mukanya.
“Moi-moi…!”
Serunya dan mendengar ada suara perlahan dari dalam kamar, sekali meloncat ia sudah menerjang daun pintu kamar dan masuk ke dalam kamar.
Apa yang dilihatnya ? Memang Ang-siauw-hwa berada di situ, akan tetapi dalam keadaan yang jauh bedanya dengan malam tadi, Gadis itu telentang di atas pembaringan, pakaiannya hampir telanjang, rambutnya terlepas dari ikatan dan menutupi sebagian leher dan dada, bajunya yang berwarna merah muda itu robek-robek dan penuh darah yang keluar dari dadanya di mana tampak menancap sebuah gunting !
Kwee Segera menubruknya, akan tetapi sekali pandang maklumlah ia bahwa nyawa gadis ini tak dapat ditolongnya lagi, karena gunting itu tepat menancap di ulu hati. Ia diam-diam heran mengapa Ang-siauw-hwa tidak mati seketika dengan tusukan seperti itu.
“Moi-moi… siapa melakukan ini…?” Ia mengguncang-guncang pundak wanita itu.
Ang-siauw-hwa membuka matanya yang sudah layu dan tiba-tiba gadis itu tersenyum lemah.
“Kwee-koko… kau datang terlambat… tapi lebih baik begini… tak mungkin aku dapat melihat mukamu setelah apa yang terjadi… lebih baik aku akhiri hidupku…”
“Apa katamu ? Kau membunuh diri ? Tapi… tapi mengapa, Moi-moi…?
“Koko… pada saat kau pergi… datang hwesio iblis itu… ah, dua orang pelayanku dibunuhnya dan aku… aku…” Wanita itu menangis dan napasnya terengah-engah. “Setelah bertemu dengan engkau… setelah aku bersumpah setia hanya padamu seorang… kebiadaban hwesio itu membuat aku… tak mungkin dapat melihatmu lagi di dunia ini… aku… aku… ah… koko, aku cinta padamu… kau carikan saudaraku Gin In…”
“Moi-moi…!”
Akan tetapi Ang-siauw-hwa atau Khu Lim In yang bernasib malang itu telah menghembuskan napas terakhir dalam pelukan Kwee Seng.
Pada saat itu, dari luar terdengar suara perempuan memanggil.
“Ang-siauw-hwa…! Kenapa kau dua hari tidak kembali ke kota ? Aku menanti-nantimu, banyak tamu menanyakan kau…!” Lalu terdengar jerit wanita.
Kwee Seng maklum bahwa tentu wanita yang datang itu Bibi Cang yang sudah melihat dua orang pelayan yang tewas, maka untuk tidak melibatkan diri dalam urusan pembunuhan ini, cepat ia merebahkan tubuh Ang-siauw-hwa di atas pembaringan, menunduk dan mencium bibir yang mulai layu itu dan secepat kilat ia melompat ke luar kamar melalui jendela, membawa jubahnya yang kemarin dipinjam Ang-siauw-hwa, dan meninggalkan sulingnya di dekat tubuh pelacur itu.
“Demikianlah, Sian-moi, pertemuanku dengan Ban-pi Lo-cia yang mengangkibatkan sulingku hancur!”
Kwee Seng mengakhiri ceritanya kepada Liu Lu Sian. Tentu saja dalam cerita itu ia tidak menjelaskan hubungannya dengan Ang-siaw-hwa secara jelas. Dalam pandangannya, dibandingkan dengan Ang-siauw-hwa, Liu Lu Sian menang segala-galanya.
Kalau Ang-siauw-hwa diumpamakan setangkai bunga, maka pelacur itu adalah bunga botan yang tumbuh dilapangan rumput, tiada pelindung dan mudah dilayukan sinar matahari dan dirontokkan angin besar. Akan tetapi Liu Lu Sian merupakan setangkai bunga mawar hutan yang semerbak harum, indah terlindungi pohon besar, di samping itu sukar dipetik karena tertutup duri-durinya yang runcing.
“Kwee-koko, mengapa ketika kau bercerita tentang dicemarkannya pelacur itu oleh Ban-pi Lo-cia, matamu berkilat marah ! Seorang perempuan lacur macam Ang-siauw-hwa itu, mana ada harganya untuk dibela?”
Memang ini termasuk sebuah di antara watak Lu Sian yang aneh. Kalau ada laki-laki menyatakan suka atau tertarik oleh wanita lain, biarpun laki-laki itu bukan apa-apanya, ia akan merasa iri hati dan cemburu ! Di lain fihak, Kwee Seng adalah seorang pemuda yang sama sekali belum berpengalaman tentang wanita dan asmara, maka ia tidak tahu dan tidak mengerti akan sikap ini. Ia malah merah mukanya karena jengah mendengar teguran Lu Sian.
“Ah, mengapa kau bilang begitu, Sian-moi ? Pelacur atau bukan, dia hanya seorang lemah yang diperkosa oleh seorang jahat yang kuat. Sudah menjadi kewajibanku untuk membelanya, dan sudah semestinya kalau aku marah melihat kejahatan Ban-pi Lo-cia. Aku mengharapkan perjumpaan sekali lagi dengan pendeta iblis itu!”
Makin tak senang hati Lu Sian karena dianggapnya bahwa kematian pelacur itu membuat Kwee Seng sakit hati dan ini menandakan bahwa pemuda itu jatuh cinta kepada Si Pelacur.
“Koko, apakah kau mencinta perempuan hina itu?” tiba-tiba ia bertanya, matanya memandang tajam.
Kwee Seng juga memandang dan melihat sinar mata bening tajam itu bertambah kagumlah hatinya.
“Tidak, aku hanya kasihan kepadanya.” Jawab Kwee Seng, suaranya jelas menyatakan isi hatinya.
Akan tetapi agaknya Liu Lu Sian belum puas. Gadis ini mengerutkan keningnya dan mendesak lagi.
“Pernahkah kau jatuh cinta ? Adakah seorang wanita yang kau cinta di dunia ini?”
Bertemu dengan pandang mata tajam bening penuh selidik itu, muka Kwee Seng menjadi makin merah. Sebelum menjawab ia menggigit bibir menekan perasaan, kemudian katanya.
“Selama ini aku tidak pernah jatuh cinta. Hanya… hanya setelah bertemu dengan engkau, Sian-moi… ah, entahlah. Agaknya kalau ini yang dinamakan cinta, berarti aku jatuh cinta kepadamu!”
Mendengar kata-kata ini, lu Sian hanya tertawa, tertawa senang sekali. Kemudian ia bangkit dari tempat duduknya dan berkata.
“Kwee-koko, mari kita melanjutkan perjalanan.”
“Apa ? Hampir tengah malam begini?”
Akan tetapi Lu Sian sudah melangkah ke kamarnya dan tak lama kemudian ia keluar lagi membawa buntalan pakaian dan memanggil pelayan dengan suara nyaring. Ketika pelayan berlari-lari datang, ia cepat memerintahkan pelayan untuk menuntun dua ekor kuda mereka dan menyiapkannya di depan rumah penginapan.
“Mengapa tidak, Koko ? Apa salahnya melakukan perjalanan malam ? Setelah keributan tadi, aku tidak senang di sini, ingin lekas-lekas pergi saja. Aku ingin berada di tempat bebas dan udara terbuka untuk mendinginkan kepala agar dapat aku enak memikirkan.”
“Memikirkan sesuatu saja harus pergi tengah malam di tempat terbuka?” Kwee Seng mengomel karena sesungguhnya ingin ia mengaso. “Memikirkan apa saja, sih?”
Liu Lu Sian tersenyum manis.
“Memikirkan pernyataan cintamu tadi itu!”
Kwee Seng melongo dan pipinya menjadi merah, akan tetapi cepat-cepat ia pun mengambil pakaian dan keduanya lalu keluar dari rumah penginapan, melompat ke atas kuda dan meninggalkan pelayan-pelayan yang memandang dengan mata terbelalak, terheran-heran menyaksikan dua orang muda yang lihai dan royal itu, yang meninggalkan hadiah tidak sedikit di tangan mereka sebelum pergi.
Begitu keluar dari kota, Lu Sian membalapkan kudanya, Kwee Seng terpaksa mengikutinya dengan perasaan heran. Alangkah anehnya gadis ini, pikirnya, dan hatinya berdebar kalau ia teringat betapa tadi ia telah mengucapkan pengakuan cintanya kepada Lu Sian. Akan tetapi ternyata gadis ini melakukan perjalanan setengah malam suntuk tanpa bicara dan Kwee Seng yang masih marasa malu karena pengakuan cintanya, tidak berani bicara sesuatu, hanya mengiringkan gadis itu dari belakang.
“He, paman tukang perahu ! Mari kau seberangkan aku dan kudaku ke sana ! Berapa biayanya kubayar!”
Tukang perahu yang kurus dan bermata sipit memakai topi lebar itu segera meminggirkan perahunya, perahu yang cukup besar. Ternyata ia seorang nelayan karena di atas dek perahu tampak alat-alat pancing dan jaring. Di bagian belakang perahu duduk seorang anak tanggung memegang dayung bambu panjang.
“Naiklah, nona. Memang setiap hari kerjaku hanya menyeberangkan orang yang lari mengungsi. Akan tetapi dari seberang sana ke sini. Sungguh heran sekali pagi-pagi buta begini nona malah hendak menyeberang ke sana.” Kata si tukang perahu dengan suara penuh keheranan.
“Moi-moi… siapa melakukan ini…?” Ia mengguncang-guncang pundak wanita itu.
Ang-siauw-hwa membuka matanya yang sudah layu dan tiba-tiba gadis itu tersenyum lemah.
“Kwee-koko… kau datang terlambat… tapi lebih baik begini… tak mungkin aku dapat melihat mukamu setelah apa yang terjadi… lebih baik aku akhiri hidupku…”
“Apa katamu ? Kau membunuh diri ? Tapi… tapi mengapa, Moi-moi…?
“Koko… pada saat kau pergi… datang hwesio iblis itu… ah, dua orang pelayanku dibunuhnya dan aku… aku…” Wanita itu menangis dan napasnya terengah-engah. “Setelah bertemu dengan engkau… setelah aku bersumpah setia hanya padamu seorang… kebiadaban hwesio itu membuat aku… tak mungkin dapat melihatmu lagi di dunia ini… aku… aku… ah… koko, aku cinta padamu… kau carikan saudaraku Gin In…”
“Moi-moi…!”
Akan tetapi Ang-siauw-hwa atau Khu Lim In yang bernasib malang itu telah menghembuskan napas terakhir dalam pelukan Kwee Seng.
Pada saat itu, dari luar terdengar suara perempuan memanggil.
“Ang-siauw-hwa…! Kenapa kau dua hari tidak kembali ke kota ? Aku menanti-nantimu, banyak tamu menanyakan kau…!” Lalu terdengar jerit wanita.
Kwee Seng maklum bahwa tentu wanita yang datang itu Bibi Cang yang sudah melihat dua orang pelayan yang tewas, maka untuk tidak melibatkan diri dalam urusan pembunuhan ini, cepat ia merebahkan tubuh Ang-siauw-hwa di atas pembaringan, menunduk dan mencium bibir yang mulai layu itu dan secepat kilat ia melompat ke luar kamar melalui jendela, membawa jubahnya yang kemarin dipinjam Ang-siauw-hwa, dan meninggalkan sulingnya di dekat tubuh pelacur itu.
“Demikianlah, Sian-moi, pertemuanku dengan Ban-pi Lo-cia yang mengangkibatkan sulingku hancur!”
Kwee Seng mengakhiri ceritanya kepada Liu Lu Sian. Tentu saja dalam cerita itu ia tidak menjelaskan hubungannya dengan Ang-siaw-hwa secara jelas. Dalam pandangannya, dibandingkan dengan Ang-siauw-hwa, Liu Lu Sian menang segala-galanya.
Kalau Ang-siauw-hwa diumpamakan setangkai bunga, maka pelacur itu adalah bunga botan yang tumbuh dilapangan rumput, tiada pelindung dan mudah dilayukan sinar matahari dan dirontokkan angin besar. Akan tetapi Liu Lu Sian merupakan setangkai bunga mawar hutan yang semerbak harum, indah terlindungi pohon besar, di samping itu sukar dipetik karena tertutup duri-durinya yang runcing.
“Kwee-koko, mengapa ketika kau bercerita tentang dicemarkannya pelacur itu oleh Ban-pi Lo-cia, matamu berkilat marah ! Seorang perempuan lacur macam Ang-siauw-hwa itu, mana ada harganya untuk dibela?”
Memang ini termasuk sebuah di antara watak Lu Sian yang aneh. Kalau ada laki-laki menyatakan suka atau tertarik oleh wanita lain, biarpun laki-laki itu bukan apa-apanya, ia akan merasa iri hati dan cemburu ! Di lain fihak, Kwee Seng adalah seorang pemuda yang sama sekali belum berpengalaman tentang wanita dan asmara, maka ia tidak tahu dan tidak mengerti akan sikap ini. Ia malah merah mukanya karena jengah mendengar teguran Lu Sian.
“Ah, mengapa kau bilang begitu, Sian-moi ? Pelacur atau bukan, dia hanya seorang lemah yang diperkosa oleh seorang jahat yang kuat. Sudah menjadi kewajibanku untuk membelanya, dan sudah semestinya kalau aku marah melihat kejahatan Ban-pi Lo-cia. Aku mengharapkan perjumpaan sekali lagi dengan pendeta iblis itu!”
Makin tak senang hati Lu Sian karena dianggapnya bahwa kematian pelacur itu membuat Kwee Seng sakit hati dan ini menandakan bahwa pemuda itu jatuh cinta kepada Si Pelacur.
“Koko, apakah kau mencinta perempuan hina itu?” tiba-tiba ia bertanya, matanya memandang tajam.
Kwee Seng juga memandang dan melihat sinar mata bening tajam itu bertambah kagumlah hatinya.
“Tidak, aku hanya kasihan kepadanya.” Jawab Kwee Seng, suaranya jelas menyatakan isi hatinya.
Akan tetapi agaknya Liu Lu Sian belum puas. Gadis ini mengerutkan keningnya dan mendesak lagi.
“Pernahkah kau jatuh cinta ? Adakah seorang wanita yang kau cinta di dunia ini?”
Bertemu dengan pandang mata tajam bening penuh selidik itu, muka Kwee Seng menjadi makin merah. Sebelum menjawab ia menggigit bibir menekan perasaan, kemudian katanya.
“Selama ini aku tidak pernah jatuh cinta. Hanya… hanya setelah bertemu dengan engkau, Sian-moi… ah, entahlah. Agaknya kalau ini yang dinamakan cinta, berarti aku jatuh cinta kepadamu!”
Mendengar kata-kata ini, lu Sian hanya tertawa, tertawa senang sekali. Kemudian ia bangkit dari tempat duduknya dan berkata.
“Kwee-koko, mari kita melanjutkan perjalanan.”
“Apa ? Hampir tengah malam begini?”
Akan tetapi Lu Sian sudah melangkah ke kamarnya dan tak lama kemudian ia keluar lagi membawa buntalan pakaian dan memanggil pelayan dengan suara nyaring. Ketika pelayan berlari-lari datang, ia cepat memerintahkan pelayan untuk menuntun dua ekor kuda mereka dan menyiapkannya di depan rumah penginapan.
“Mengapa tidak, Koko ? Apa salahnya melakukan perjalanan malam ? Setelah keributan tadi, aku tidak senang di sini, ingin lekas-lekas pergi saja. Aku ingin berada di tempat bebas dan udara terbuka untuk mendinginkan kepala agar dapat aku enak memikirkan.”
“Memikirkan sesuatu saja harus pergi tengah malam di tempat terbuka?” Kwee Seng mengomel karena sesungguhnya ingin ia mengaso. “Memikirkan apa saja, sih?”
Liu Lu Sian tersenyum manis.
“Memikirkan pernyataan cintamu tadi itu!”
Kwee Seng melongo dan pipinya menjadi merah, akan tetapi cepat-cepat ia pun mengambil pakaian dan keduanya lalu keluar dari rumah penginapan, melompat ke atas kuda dan meninggalkan pelayan-pelayan yang memandang dengan mata terbelalak, terheran-heran menyaksikan dua orang muda yang lihai dan royal itu, yang meninggalkan hadiah tidak sedikit di tangan mereka sebelum pergi.
Begitu keluar dari kota, Lu Sian membalapkan kudanya, Kwee Seng terpaksa mengikutinya dengan perasaan heran. Alangkah anehnya gadis ini, pikirnya, dan hatinya berdebar kalau ia teringat betapa tadi ia telah mengucapkan pengakuan cintanya kepada Lu Sian. Akan tetapi ternyata gadis ini melakukan perjalanan setengah malam suntuk tanpa bicara dan Kwee Seng yang masih marasa malu karena pengakuan cintanya, tidak berani bicara sesuatu, hanya mengiringkan gadis itu dari belakang.
“He, paman tukang perahu ! Mari kau seberangkan aku dan kudaku ke sana ! Berapa biayanya kubayar!”
Tukang perahu yang kurus dan bermata sipit memakai topi lebar itu segera meminggirkan perahunya, perahu yang cukup besar. Ternyata ia seorang nelayan karena di atas dek perahu tampak alat-alat pancing dan jaring. Di bagian belakang perahu duduk seorang anak tanggung memegang dayung bambu panjang.
“Naiklah, nona. Memang setiap hari kerjaku hanya menyeberangkan orang yang lari mengungsi. Akan tetapi dari seberang sana ke sini. Sungguh heran sekali pagi-pagi buta begini nona malah hendak menyeberang ke sana.” Kata si tukang perahu dengan suara penuh keheranan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar