FB

FB


Ads

Jumat, 08 Maret 2019

Suling Emas Jilid 017

Dia sendiri di situ ! Siapa lagi kalau bukan Ang-siauw-hwa, pakaiannya masih serba merah muda, dari pita penghias rambut sampai sepatunya. Akan tetapi terang bukan pakaian yang semalam, karena pakaian ini selain kering juga bersih sekali. Rambutnya digelung indah terhias perhiasan burung Hong dari emas dan permata. Sepasang pipinya kemerahan, matanya bersinar-sinar, bibirnya tersenyum manis. Akan tetapi wajah yang cantik itu kelihatan berbayang menjadi dua tiga oleh pandangan mata Kwee Seng yang berkunang-kunang. Pertandingan setengah malam suntuk itu ternyata hebat pula akibatnya bagi pemuda ini.

“Kongcu, kau kenapa…? Kau terluka…?”

Kwee Seng memaksa diri tersenyum dan menggeleng kepala. Akan tetapi wanita itu sudah maju mendekat dan memegang tangannya.

“Ah, kau tentu terluka. Hwesio itu jahat sekali. Kau kelihatan lemah dan lelah, Kongcu. Aku sengaja menunggumu disini dan kebetulan kau lewat di sini. Bukankah ini jodoh namanya?”

“Jo…doh…?” tanya Kwee Seng lemah, kata-kata ini mengejutkan dan mengherankan hatinya.

Ang-siaw-hwa menarik lengannya.
“Tentu saja jodoh. Kongcu, marilah ikut Ang-siauw-hwa, kau perlu beristirahat, biarlah Ang-siauw-hwa merawatmu…”

Dengan kata-kata yang mesra dan merdu ini wanita itu menggandeng tangan Kwee Seng dan dituntunnya pergi.

“Kenapa… kenapa kau begini baik kepadaku…?”

Kwee Seng masih mencoba menolak. Akan tetapi Ang-siauw-hwa menarik tangannya dan diguncang-guncangnya.

“Kenapa ? Karena kau telah menolong nyawaku, menyelamatkan kehormatanku. Kongcu, karena… karena aku ingin belajar menyuling darimu … “

“Me … nyuling … ?” Akan tetapi keadaan Kwee Seng makin lemas.

Pertemuan ini mengganggu hati dan pikirannya dan amat merugikannya karena seharusnya ia dapat beristirahat memulihkan tenaga dalam yang banyak dikerahkan dalam pertempuran.

Bagaikan seorang mimpi dan linglung ia membiarkan dirinya digandeng dan dituntun Ang-siauw-hwa dan ia hampir tidak sadar ke mana ia dibawa oleh wanita itu. Ketika Kwee Seng membuka matanya, ia telah rebah di atas pembaringan yang hangat, bersih dan berbau harum. Kamar itu indah sekali dan di pinggir pembaringan ia melihat Ang-siauw-hwa duduk memijiti pundak dan lengannya. Melihat betapa di atas meja ada lilin tertutup sutera biru, ia heran dan tahu bahwa saat itu hari telah malam. Akan tetapi melihat wanita cantik itu duduk begitu dekat dengannya dan hanya mengenakan pakaian yang tipis, ia meramkan matanya kembali.

“Ambilkan bubur dan sayur itu, kemudian kalian pergi tinggalkan kamar ini, aku hendak melayani Kongcu makan.” Terdengar Ang-siauw-hwa berkata perlahan.

Dari balik bulu matanya Kwee Seng melihat dua orang wanita pelayan yang tadinya duduk di bawah, bangkit berdiri. Tak lama kemudian mereka datang lagi membawa baki terisi hidangan untuknya.

“Kongcu, kau harus makan dulu. Sudah sehari penuh kau tidur.”

Kata Ang-siauw-hwa sambil menyingkapkan selimut yang menutupi tubuh Kwee Seng. Pemuda ini bangkit duduk, memandang ke sekeliling lalu berkata, penuh kegugupan dan malu-malu.

“Ah, agaknya aku tak sadar tertidur di sini, menyusahkan Nona saja. Biarkan aku pergi…”

Akan tetapi Ang-siauw-hwa merangkulnya.
“Mengapa begitu, Kongcu ? Tidak sudikah Kongcu menerima pembalasan budi dariku ? Apakah Kongcu seperti orang-orang lain memandang rendah kepadaku, seorang… pelacur?” Wanita itu masih memeluknya sambil menangis !






Kwee Seng menarik napas panjang. Ia suka kepada nona ini, yang selain cantik jelita juga halus tutur sapanya, baik budinya. Akan tetapi tentu saja ia tidak suka melibatkan dirinya dalam perhubungan dengan seorang pelacur.

“Sudahlah, Nona. Aku sekali-kali tidak memandang rendah kepadamu. Kau baik sekali.”

Nona itu mengangkat mukanya dan biarpun air mata masih membasahi pipinya, ia tersenyum gembira.

“Marilah makan, Kongcu.” Katanya merdu.

Kwee Seng tidak menolak lagi, perutnya amat lapar. Tidur sehari itu amat bermanfaat baginya, memulihkan sebagian tenaganya. Setelah makan yang dilayani amat mesra oleh Ang-siauw-hwa, ia merasa tubuhnya segar kembali. Ang-siauw-hwa menepuk tangannya dan dua orang pelayan datang dan segera diperintahnya untuk membersihkan mangkok piring, lalu menyuruh mereka pergi lagi. Kemudian, dengan gerakan lemah gemulai dan mesra, tanpa ragu-ragu atau malu-malu lagi Ang-siauw-hwa lalu menghampiri Kwee Seng dan… duduk diatas pangkuannya !

“Eh, Nona… ini… ini.. bagaimana…?” Kwee Seng tergagap.

“Kongcu, budimu terlalu besar. Tak tahu aku dengan apa aku harus membalas budimu, selain dengan penyerahan diriku menjadi hambamu, menjadi budakmu dan melakukan apa saja untuk membalas budimu. Kongcu, bolehkah aku mengetahui namamu?”

Tidak karuan rasa hati Kwee Seng. Kepalanya sampai terasa pening dan dengan halus ia mendorong tubuh nona itu dari atas pangkuannya.

“Nona, duduklah yang betul dan mari kita bicara. Kau mau tahu namaku ? Aku adalah Kwee Seng, seorang pelajar gagal yang tiada tempat tinggal, miskin dan tak berharga.”

“Ah, Kwee-kongcu mengapa bicara begitu ? Kau seorang budiman, gagah perkasa dan amat berharga. Kalau mau bicara tentang orang tak berharga, akulah orangnya…”

Kembali nona itu menangis dan ia kini duduk di atas kursi dan menutupi muka dengan kedua tangannya.

Kwee Seng melihat air mata menetes dari celah-celah jari tangan yang putih, halus dan kecil meruncing itu.

“Nona, kulihat kau bukan orang sembarangan. Kau terpelajar dan tidak kelihatan seperti gadis bodoh. Mengapa kau sampai… sampai…” tidak kuasa ia melanjutkan kata-katanya menyebut pelacur.

“…. Sampai menjadi pelacur?” Ang-siauw-hwa menurunkan tangannya dan mukanya menjadi merah sekali, air mata menetes di sepanjang kedua pipinya yang halus kemerahan. “Ah, panjang ceritanya, Kwee-kongcu. Ketahuilah, di waktu kecilku, aku adalah seorang berdarah bangsawan, Ayahku seorang pangeran dari Kerajaan Tang…”

Kaget seperti disambar petir rasa hati Kwee Seng.
“Ahhh ! Mengapa sampai begini….?”

Nona itu dengan suara pilu bercerita. Ayahnya memang seorang pangeran bernama Khu Si Cai yang mempunyai sepasang puteri kembar. Ketika kerajaan Tang runtuh, sekeluarga pangeran ini menjadi korban pula, semua tewas kecuali sepasang anak kembar itu yang berhasil di bawa lari oleh seorang pelayan. Akan tetapi di tengah jalan mereka terhalang oleh keributan dan perang sehingga seorang di antara dua anak kembar itu terlepas dari gandengan tangan dan hilang. Yang hilang bernama Khu Gin In, Sedangkan yang masih dapat diselamatkan oleh pelayan itu adalah Khu Kim In. Anak ini lalu dipelihara pelayan itu, akan tetapi karena keadannya yang amat miskin, hampir saja mereka berdua mati kelaparan.

Akhirnya, pelayan itu terjerat oleh cengkraman seorang pemilik sarang pelacuran bernama bibi Cang yang mau membantu mereka karena melihat betapa cantiknya anak perempuan bernama Khu Kim In. Makin lama, hutang mereka bertumpuk dan akhirnya, setelah Khu Kim In berusia lima belas tahun, terpaksa Khu Kim In “dijual” kepada bibi Cang sebagai pembayar hutang.

“Demikianlah, Kwee-kongcu. Akulah Khu Kim In. Tak dapat aku melepaskan diri dari cengkraman bibi Cang. Akan tetapai baiknya aku disayang oleh hartawan-hartawan dan pembesar-pembesar sekitar tempat ini sehingga aku dapat mempengaruhi bibi Cang dan aku agak bebas. Aku boleh memilih sendiri laki-laki mana yang akan kulayani, dan karena aku banyak mendatangkan hasil sehingga bibi Cang menjadi kaya, maka aku pun ia perlakukan dengan baik serta mendapat kebebasan, malah aku mempunyai pelayan dan tempat tinggal menyendiri. Akan tetapi semua ini kulakukan dengan pengorbanan besar, Kongcu. Ayah bundaku tewas, Adik Gin In entah kemana, dan aku… aku harus mengorbankan kehormatan, menjadi perempuan hina yang dipandang rendah oleh orang-orang terhormat seperti kau…” kembali Ang-siauw-hwa menangis.

Bukan main terharu hati Kwee Seng. Alangkah buruknya nasib gadis ini. Rasa haru dan kasihan membuat ia memegangi pundak wanita itu dengan halus dan menghibur.

“Sudahlah, Nona. Aku tidak memandang rendah kepadamu dan aku berjanji akan menebusmu dari bibi Cang, kemudian aku akan mencarikan orang tua yang baik yang suka memungutmu sebagai anak. Adapun tentang nona Khu Gin In, biarlah perlahan-lahan kucarikan untukmu.”

“Ah, Kwee-kongcu… kau menumpuk budi kebaikan padaku…”

Ang-siauw-hwa menubruk kwee Seng dan menangis sambil mendekap dada pemuda itu dengan mukanya.

Kini Kwee Seng tidak menolaknya, mengusap-usap rambut wanita itu dengan penuh perasaan kasihan dan sayang. Seorang puteri pangeran sampai begini, pikirnya. Karena ia yakin bahwa semua sikap nona ini bukan pura-pura, melainkan keluar dari setulusnya hati yang amat berhutang budi kepadanya, maka ia pun tidak tega untuk menolak pernyataan kasih sayangnya, apalagi memang ia amat tertarik oleh nona yang memiliki kecantikan jarang keduanya ini. Setelah reda menangis, tanpa melepaskan pelukannya Ang-siauw-hwa berkata, suaranya mesra dan manja.

“Aku tertarik sekali oleh bunyi sulingmu, Kwee-koko, kuharap kau suka mengajarku…”

Hati Kwee Seng berdebar sebutan Kongcu (Tuan Muda) berubah menjadi Koko (Kakanda) ini.

“Sulingku remuk oleh si Hwesio jahanam.” Jawabnya, masih mengagumi rambut hitam halus panjang dan harum itu.

“Di sebelah barat telaga ada penjual suling yang baik, biarlah ku suruh pelayan membeli untukmu.”

“Tak usah, biarlah kubeli sendiri besok. Memilih sebuah suling bukanlah sembarangan, harus dicoba dulu.”

Malam itu merupakan malam yang amat mesra bagi Kwee Seng, akan tetapi juga malam yang menimbulkan kasihan di hatinya terhadap Ang-siauw-hwa, rasa kasihan yang tentu dengan mudah akan menggelimpang menjadi rasa cinta kalau saja ia tidak teringat bahwa nona ini adalah seorang pelacur !

Di lain fihak, sama sekali tidaklah aneh kalau Ang-siauw-hwa Khu Ki In jatuh cinta kepada Kwee Seng karena selama hidupnya, baru sekarang ia bertemu dengan pemuda yang tidak memandangnya sebagai seorang pelacur yang hina. Biasanya, laki-laki yang manapun juga hanya akan menganggap ia sebagai barang permainan, yang datang kepadanya dengan kandungan nafsu dan mengharapkan kesenangan dan hiburan daripadanya.

Akan tetapi kwee Seng ini berbeda sekali, pemuda tampan ini menolongnya tanpa pamrih, menganggapnya manusia terhormat, maka sekaligus hatinya jatuh dan tidak mengherankan kalau dia dengan rela menyerahkan jiwa raga kepada Kwee Seng dan mengharapkan untuk dapat melayani pemuda itu selama hidupnya ! Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kwee Seng berpamit kepada Ang-siauw-hwa yang masih setengah tidur di atas pembaringan.

“Moi-moi, aku pergi dulu hendak mencari suling yang baik.”

Dengan mata masih setengah meram, Ang-siauw-hwa mengembangkan kedua lengannya yang berkulit putih halus ke arah Kwee Seng, lalu berkata, suaranya mesra dan penuh cinta kasih,

“Kwee-koko… jangan kau tinggalkan aku lagi…”

Kwee Seng merasa terharu sekali. Ia merasa yakin akan perasaan cinta wanita ini kepadanya. Untuk sejenak jari-jari tangan mereka saling cengkeram lalu Kwee Seng melepaskannya dan berkata sambil tersenyum.

“Jangan kuatir, Moi-moi, aku takkan meninggalkanmu begitu saja sebelum kau pandai bersuling!”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar