FB

FB


Ads

Jumat, 08 Maret 2019

Suling Emas Jilid 016

Diserang secara hebat ini, Ban-pi Lo-cia kembali berseru keras dan tubuhnya meloncat ke belakang. Ia berhasil menyelamatkan diri dari bahaya, namun sekali renggut dengan pengerahan tenaga oleh Kwee Seng membuat suling yang terlibat lepas dari ujung cambuk ! Kwee Seng menahan rasa sakit pada telapak tangan yang memegang suling, terasa panas dan kesemutan.

“Hebat ! Kau orang muda aneh dan hebat. Tapi rasakan kini tangan maut Ban-pi Locia!” Seru raksasa itu dengan suara gembira dan wajah berseri.

Memang raksasa gundul ini mempunyai dua macam kesukaan, yaitu wanita-wanita muda yang cantik dan berkelahi ! Makin kuat lawannya, makin gembira hatinya dan makin muda cantik seorang wanita, makin tergila-gila dia sebelum mendapatkannya !

Kini Dewa Locia Berlengan Selaksa itu menjauhkan diri dari lawannya, cambuknya di gerakkan dan lenyaplah cambuk itu, berubah menjadi gulungan sinar hitam yang membentuk lingkaran-lingkaran besar kecil, lingkaran yang telan-menelan membingungkan pandangan mata. Juga diselingi bunyi nyaring seperti halilintar menyambar-nyambar di waktu hujan gerimis.

Dengan cambuknya yang panjang, raksasa ini dapat menyerang Kwee Seng dari jarak jauh tanpa bahaya diserang kembali oleh lawan yang hanya menggunakan dua senjata pendek. Sambil menghujani lawan dengan lecutan cambuk yang merupakan jari-jari maut itu, Ban-pi Lo-cia lari mengelilingi Kwee Seng.

Kagetlah hati pemuda ini. Tak disangkanya tokoh sakti yang terkenal ini selain sakti, juga amat licik dan curang, tidak segan-segan menggunakan akal pengecut untuk mengalahkan lawan. Ia maklum bahwa karena dia berada dalam lingkaran, kedudukannya berbahaya, dan membutuhkan ketenangan sepenuhnya untuk menghadapi serangan seperti itu. Maka ia tiba-tiba menghentikan gerakannya, berdiri dengan kuda-kuda kaki sejajar di kanan kiri, tubuhnya agak merendah, suling diangkat tangan kanan tinggi melintang di atas kepala sedangkan kipas terbuka di tangan kiri melindungi bagian bawah.

Anehnya, Kwee Seng malah meramkan kedua matanya, akan tetapi seakan-akan dapat melihat jelas, ia menggeser kaki setiap kali lawannya berada di belakang tubuhnya. Serangan-serangan membanjir datang dari belakang, kanan dan kiri namun semua itu dapat ia tangkis dengan suling dan dapat ia kebut dengan kipas.

Hebat bukan main pertandingan ini, namun merupakan pertandingan yang berat sebelah karena Ban-pi Lo-cia selalu menyerang sedangkan Kwee Seng selalu melindungi diri tanpa mampu balas menyerang.

Mengapa Kwee Seng meramkan kedua matanya ? Apakah ia memandang rendah lawannya ? Bukan, sama sekali bukan ! Karena kehebatan lawannyalah maka ia terpaksa meramkan matanya. Untuk menghadapi hujan serangan itu, ia membutuhkan ketenangan dan pengerahan panca inderanya, pencurahan perhatian sepenuhnya. Kalau ia membuka mata, maka bayangan yang membentuk lingkaran-lingkaran besar kecil itu akan menyilaukan mata dan mengacaukan perhatiannya. Biarpun kedua matanya meram, namun sepasang telinganya cukup untuk menangkap gerakan lawan.

Dan mengapa pula pendekar sakti yang muda ini rela mengalah dan mempertahankan diri saja tanpa mencari kesempatan balas menyerang ? Ini pun merupakan siasat baginya, karena dengan cara ini, ia tidak mengeluarkan banyak tenaga, sebaliknya lawannya cepat lelah karena harus banyak bergerak dan lari-lari mengitarinya, sedangkan dengan penjagaannya yang kokoh dan kuat ia mampu mempertahankan diri.

Orang-orang cerdik pandai mengatakan bahwa yang diam itu lebih kuat daripada yang gerak. Gentong air yang penuh tak berbunyi, yang kosong berbunyi nyaring. Orang yang mengerti pendiam, yang bodoh penceloteh. Air yang diam dalam, yang bergerak dangkal. Demikian pula dalam dunia persilatan, terutama bagi mereka yang sudah tinggi tingkatnya, terdapat keyakinan bahwa si penahan lebih kuat kedudukannya daripada si penyerang. Setiap penyerang berarti membuka pertahanan sendiri yang menjadi lemah dan juga lengah, sebaliknya si penahan akan selalu menutup diri mempertahankan diri dengan kokoh dan kuat.

Karena bernafsu sekali ingin mengalahkan Kwee Seng dengan cepat, untuk beberapa jam lamanya Ban-pi Lo-cia lupa akan hal ini dan terus menerus menghujankan serangannya yang selalu sia-sia karena dapat ditangkis lawan.

Namun diam-diam Kwee Seng juga mengerti bahwa lawan yang sekali ini bukan lawan yang biasa, dan tidak dapat diharapkan cepat-cepat menjadi lelah. Juga dalam tingkat ilmu silat dan tenaga, Ban-pi Lo-cia benar-benar sudah hebat sekali dan ia tidak berani mengaku sudah lebih pandai daripada lawan ini. Sulingnya sudah retak-retak dan kedua tangannya sudah mulai lelah dipakai menangkis semua serangan itu.






Diam-diam Kwee Seng menggerakkan ujung jari kakinya, mengerahkan tenaga menjebol sepatunya sendiri sehingga ibu jari kaki kanannya tampak keluar dari sepatunya. Ia mencari kesempatan baik. Ketika Ban-pi Lo-cia menggerakkan cambuk ke atas kepala membuat lingkaran-lingkaran baru untuk memulai serangkaian serangan dahsyat, tiba-tiba ibu jari itu menyentil ke depan. Segumpal tanah melayang cepat sekali “memasuki” lubang pertahanan Ban-pi Lo-cia yang terbuka dan cepat menghantam jalan darah di bawah lengan Si Raksasa.

“Ayaaaa….!”

Ban-pi Lo-cia terhuyung-huyung mundur dan tangan kanannya menjadi setengah lumpuh, matanya melotot heran dan kaget.

Tentu saja Kwee Seng tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia meloncat ke depan dan menerkam bagaikan seekor singa, menggerakkan suling dan kipasnya menghantamkan serangan-serangan maut.

Namun Ban-pi Lo-cia adalah seorang tokoh yang banyak pengalaman dan tubuhnya sudah kebal. Serangan segumpal kecil tanah tadi hanya membuat ia terhuyung-huyung sejenak, dan kini tangan kirinya sudah cepat menyambar cambuknya sendiri dari tangan kanan yang agak lumpuh, kemudian cambuk itu melecut-lecut dengan bunyi keras, membentuk benteng sinar bergulung di depan tubuhnya sehingga suling dan kipas Kwee Seng dapat ditangkisnya. Dalam menangkis ini, Si Raksasa mengerahkan lwee-kangnya. Terdengar suara keras ketika cambuk beradu dengan suling dan kipas, akibatnya…. Keduanya terlempar ke belakang sampai tiga empat meter dan keduanya jatuh bergulingan di atas tanah !

Dengan napas terengah-engah dan keringat membasahi mukanya, raksasa gundul itu duduk di atas tanah sambil memandang dengan muka berseri,

“Heh-heh-heh, kau hebat orang muda!”

Kwee Seng juga sudah bangkit duduk dan mengatur napas memulihkan tenaganya.
“Dan kau jahat, Ban-pi Lo-cia!” jawabnya.

Kembali Si Raksasa gundul tertawa.
“Aku pernah mendengar sayup-sayup sampai telingaku tentang seorang tokoh berjuluk Kim-mo-eng, yang tingkat kepandaiannya sudah masuk hitungan. Agaknya kaukah orangnya?”

“Tidak salah, para Locianpwe memberi sebutan Kim-mo-eng kepadaku.”

“Heh-heh-heh, masih muda sudah sombong, ya ? Kau kira Ban-pi Lo-cia kalah olehmu? Kita masih seri, belum ada yang menang atau kalah. Mari kita lanjutkan!” Raksasa itu berdiri, cambuknya terayun-ayun di tangan kanan yang sudah pulih kembali.

Kwee Seng juga bangkit berdiri.
“Aku selalu melayani, kalau kau memang hendak berkelahi, dan aku selalu akan menghalangimu, kalau kau hendak melakukan hal-hal jahat!”

Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak lalu menerjang maju dan memaksa lawannya melakukan pertandingan jarak dekat yang lebih berbahaya. Ia hendak mengadu tenaga dalam pertemuan tenaga tadi si raksasa ini dapat menduga bahwa dalam hal tenaga dalam, ia menang setingkat.

Dan hal ini memang harus diakui oleh Kwee Seng. Pemuda itu kini mendapat kesempatan balas menyerang, namun ia sedapat mungkin menghindarkan adu tenaga karena hal ini akan banyak merugikannya. Sulingnya sudah retak dan kalau terus-menerus diadu dengan cambuk, tentu akan hancur sedangkan cambuk lawannya sama sekali tidak mengalami kerusakan apa-apa, Kwee Seng mengerahkan gin-kang (meringankan tubuh) dan menggunakan kegesitannya untuk menghadapi serangan dengan balasan serangan pula. Ia lebih muda, tubuhnya lebih kecil dan karenanya ia lebih gesit daripada lawannya yang tua dan tinggi besar.

Kini Kwee Seng benar-benar menguras ilmunya. Ia mencoba mainkan segala macam ilmu silat yang pernah ia pelajari, namun tetap saja ia tidak mampu mendesak lawan. Sebaliknya, tidaklah mudah bagi Ban-pi Lo-cia untuk mengalahkan lawan yang amat kuat ini.

Dalam benturan ke dua yang sama dahsyatnya dengan tadi, keduanya kembali terjengkang sampai beberapa meter jauhnya. Pertandingan telah setengah malam dan kini fajar mulai menyingsing, sinar merah mengambang di ufuk timur. Mereka saling pandang, muka berpeluh, uap putih mengepul dari ubun-ubun kepala masing-masing.

“Wah, kau ini orang muda luar biasa. Selama hidup baru sekali ini bertemu orang muda seperti kau. Baru dua kali selama hidupku benar-benar gembira melakukan pertandingan. Pertama melawan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ke dua dengan kau inilah ! Heh-heh-heh ! Orang muda, aku pernah mendengar kau ini diambil murid Bu Kek Siansu. Manusia dewa itu katanya paling sakti, akan tetapi mengapa muridnya hanya seperti kau ini, manusia biasa yang dapat kulawan?”

“Aku tidak mendapat kehormatan sebesar itu menjadi murid beliau, aku hanya pernah beruntung menerima petunjuknya. Tak usah kau membawa-bawa nama suci Bu Kek Siansu. Kalau memang hendak bertanding, mari kita lanjutkan.”

Kwee Seng kini bangkit lebih dulu. Ia mulai penasaran menghadapi lawan yang begini tangguh dan ulet.

“Heh-heh-heh, sampai mati, bocah sombong!”

Ban-pi Lo-cia menerjang maju dan kini ia membekuk cambuknya lalu menghantam dengan gerakan ilmu silat toya. Pukulan yang hebat ini tak mungkin dielakkan lagi. Terpaksa Kwee Seng menangkis dengan sulingnya, berbareng menyodokkan kipasnya.

“Prakkkk!! Uh-uh…!”

Kwee Seng terhuyung mundur, sulingnya hancur ! Akan tetapi Ban-pi Lo-cia juga terhuyung mundur, perutnya kena ditotok ujung kipas sehingga mendadak perut itu menjadi mulas ! Kalau orang lain terkena totokan ujung kipas yang mengandung tenaga sin-kang, tentu akan tembus perutnya atau rusak isi perutnya, mati seketika. Akan tetapi Ban-pi Lo-cia yang sudah kebal itu hanya merasakan perutnya mulas seperti orang terlalu banyak lombok saja !

“Serrr.. serrr… serrr… !”

Belasan batang anak panah menyambar ke arah Ban-pi Lo-cia. Cepat kakek itu mengibaskan lengan bajunya dan anak-anak panah itu runtuh berhamburan. Dari kanan kiri berlompatan keluar belasan orang yang bersenjata lengkap.

“Inilah hwesio jahat itu ! Serbu…! Keroyok…!”

Kiranya belasan orang ini adalah lima orang jago silat bersama teman-temannya, sedangkan di belakang mereka masih tampak puluhan orang yang merupakan regu penjaga keamanan. Agaknya peristiwa di tengah telaga itu telah dilaporkan oleh hartawan Lim yang minta bantuan yang berwajib, sedangkan lima orang jago silat sudah mengundang teman-temannya untuk membantu.

Kwee Seng yang maklum bahwa sekian banyaknya orang itu bukanlah lawan Ban-pi Lo-cia, cepat menerjang lagi si raksasa gundul dengan kipasnya. Ban-pi Lo-cia juga maklum bahwa Kwee Seng merupakan lawan seimbang, kalau sekarang dibantu oleh puluhan orang, ia bisa celaka. Sambil tertawa terkekeh-kekeh, ia melompat dan sekali lompat ia telah melampaui kepala mereka yang mau mengeroyok. Mendadak tujuh orang pengeroyok jatuh berturut-turut dan mati seketika karena kepala mereka telah kena disambar hawa pukulan Ban-pi Lo-cia yang mereka sambil melompat pergi. Dari jauh terdengar suaranya.

“Heh, Kwee Seng. Belum selesai pertandingan kita, lain kali kita lanjutkan!”

“Sekarang pun boleh!”

Kwee Seng juga melompat dan mengejar karena ia makin penasaran, apalagi melihat raksasa itu pergi sambil membunuh tujuh orang.

Akan tetapi beberapa lama ia mengejar, tak tampak bayangan raksasa itu. Kwee Seng tidak mau kembali ke tempat tadi, tidak suka ia bertemu dengan mereka yang tentu hanya akan merepotkannya saja. Ia lalu mengambil jalan sunyi menjauhi telaga. Ia merasa menyesal bahwa sulingnya telah hancur, tak dapat dipakai menyuling, apalagi sebagai senjata. Dengan lesu ia melempar sulingnya yang hancur dan terasa betapa tubuhnya basah semua oleh peluh. Ia perlu beristirahat memulihkan kekuatannya. Ia hendak mencari tempat yang sunyi agar tidak terganggu orang lain.

“Kongcu …!”

Kalau suara ini parau dan kasar, agaknya Kwee Seng takkan mengacuhkannya. Akan tetapi justeru tidak demikian. Suara itu halus dan merdu, dan inilah yang membuat ia bagaikan terpagut ular dan cepat ia berpaling ke kiri.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar