Kwee Seng mendorong wanita itu dalam gelap, kemudian ia meloncat lagi ke dalam perahunya dan mendayung ke bagian lain dari tepi telaga itu untuk menyesatkan perhatian si hwesio terhadap Ang-siauw-hwa. Usaha dan akalnya ini berhasil baik, karena perahu hwesio itu terus mengikutinya setelah mendekat, kemudian terdengar hwesio itu berseru keras.
“Bocah setan, sekali ini aku tidak akan memberi ampun kepadamu!”
Akan tetapi karena ia sudah terbebas daripada keselamatan Ang-siauw-hwa kini Kwee Seng tidak melarikan diri lagi. Ia berdiri di kepala perahunya, berkipas-kipas diri sambil menanti dekatnya perahu si hwesio. Setelah dekat ia berkata,
“Lo-suhu, seorang beribadat seharusnya mengekang nafsu memupuk kebajikan agar menjadi contoh bagi orang banyak. Mengapa Lo-suhu malah mengejar-ngejar seorang pelacur, hendak merampasnya dengan paksa dan memukul orang mengandalkan kepandaian?” Suara Kwee Seng sopan dan halus akan tetapi di dalamnya mengandung teguran pedas.
“Heh he he he, bocah yang masih bau susu ibu ! Macam engkau ini hendak memberi kuliah kepada Ban-pi Lo-cia ? Heh he he!”
Ucapan diselingi tawa ini lalu diikuti bunyi keras seperti petir menyambar-nyambar di atas kepala Kwee Seng dan tampaklah sinar hitam melecut-lecut di udara.
Kiranya kakek itu sudah mengeluarkan sebatang cambuk hitam yang bermain-main di atas kepala Kwee Seng seperti seekor ular hidup yang ganas. Kwee Seng kaget setengah mati mendengar disebutnya nama Ban-pi Lo-cia (Dewa Locia Berlengan Selaksa)!
Nama ini adalah nama seorang tokoh yang tak pernah atau jarang sekali muncul di dunia kang-ouw, namun yang terkenal sebagai tokoh yang amat jahat, keji dan memiliki kesaktian hebat. Kabar tentang tokoh ini yang ia dengar paling akhir adalah bahwa Ban-pi Lo-cia menghilang di utara, di daerah Khitan, karena memang ada berita bahwa dia mempunyai darah bangsa Khitan. Bagaimana tokoh ini dapat muncul secara tiba-tiba di tempat ini?.
Kekagetan dan keheranan hati Kwee Seng inilah agaknya yang membuat ia lengah sehingga ketika ada gulungan sinar hitam menyambar, ia hanya miringkan tubuhnya dan tahu-tahu pinggangnya sudah terlibat cambuk yang bergerak seperti ular. Ketika Ban-pi Lo-cia menggerakkan tangan kanannya, tubuh Kwee Seng melayang seperti terbang, terbawa oleh ujung cambuk ! Kwee Seng terkejut, namun ia dapat menenangkan hati dan mencari akal.
Dengan kipas di depan dada untuk melindungi diri, ia mengerahkan sin-kang di tubuhnya untuk menahan tekanan ujung cambuk yang melilit pinggangnya, kemudian ia membiarkan dirinya terlempar melayang ke arah Ban-pi Lo-cia yang berdiri di atas perahu sambil menyeringai !
Orang gendut itu ternyata amat memandang rendah terhadap Kwee Seng yang dianggapnya seorang pelajar yang tahu sedikit akan ilmu silat, maka ia bermaksud mempermainkannya.
Akan tetapi alangkah kaget hati raksasa gundul ini ketika tubuh Kwee Seng sudah melayang ke dekatnya, tiba-tiba angin pukulan yang hebat bertiup dari kipas disusul totokan kilat yang menuju ke jalan darah di lehernya, dilakukan oleh gagang kipas itu. Begitu cepatnya gerakan ini sehingga hampir saja jalan darah Tiong-cu-hiat di lehernya tertotok !
Ketika raksasa itu mengelak ke belakang, tahu-tahu kaki Kwee Seng sudah menotol pundaknya dan menggunakan pundak raksasa ini sebagai batu loncatan, Kwee Seng mengerahkan tenaganya dan melompat sambil mengerahkan tenaga pada pinggang untuk membebaskan diri daripada libatan ujung cambuk. Usahanya berhasil.
“Bocah setan, sekali ini aku tidak akan memberi ampun kepadamu!”
Akan tetapi karena ia sudah terbebas daripada keselamatan Ang-siauw-hwa kini Kwee Seng tidak melarikan diri lagi. Ia berdiri di kepala perahunya, berkipas-kipas diri sambil menanti dekatnya perahu si hwesio. Setelah dekat ia berkata,
“Lo-suhu, seorang beribadat seharusnya mengekang nafsu memupuk kebajikan agar menjadi contoh bagi orang banyak. Mengapa Lo-suhu malah mengejar-ngejar seorang pelacur, hendak merampasnya dengan paksa dan memukul orang mengandalkan kepandaian?” Suara Kwee Seng sopan dan halus akan tetapi di dalamnya mengandung teguran pedas.
“Heh he he he, bocah yang masih bau susu ibu ! Macam engkau ini hendak memberi kuliah kepada Ban-pi Lo-cia ? Heh he he!”
Ucapan diselingi tawa ini lalu diikuti bunyi keras seperti petir menyambar-nyambar di atas kepala Kwee Seng dan tampaklah sinar hitam melecut-lecut di udara.
Kiranya kakek itu sudah mengeluarkan sebatang cambuk hitam yang bermain-main di atas kepala Kwee Seng seperti seekor ular hidup yang ganas. Kwee Seng kaget setengah mati mendengar disebutnya nama Ban-pi Lo-cia (Dewa Locia Berlengan Selaksa)!
Nama ini adalah nama seorang tokoh yang tak pernah atau jarang sekali muncul di dunia kang-ouw, namun yang terkenal sebagai tokoh yang amat jahat, keji dan memiliki kesaktian hebat. Kabar tentang tokoh ini yang ia dengar paling akhir adalah bahwa Ban-pi Lo-cia menghilang di utara, di daerah Khitan, karena memang ada berita bahwa dia mempunyai darah bangsa Khitan. Bagaimana tokoh ini dapat muncul secara tiba-tiba di tempat ini?.
Kekagetan dan keheranan hati Kwee Seng inilah agaknya yang membuat ia lengah sehingga ketika ada gulungan sinar hitam menyambar, ia hanya miringkan tubuhnya dan tahu-tahu pinggangnya sudah terlibat cambuk yang bergerak seperti ular. Ketika Ban-pi Lo-cia menggerakkan tangan kanannya, tubuh Kwee Seng melayang seperti terbang, terbawa oleh ujung cambuk ! Kwee Seng terkejut, namun ia dapat menenangkan hati dan mencari akal.
Dengan kipas di depan dada untuk melindungi diri, ia mengerahkan sin-kang di tubuhnya untuk menahan tekanan ujung cambuk yang melilit pinggangnya, kemudian ia membiarkan dirinya terlempar melayang ke arah Ban-pi Lo-cia yang berdiri di atas perahu sambil menyeringai !
Orang gendut itu ternyata amat memandang rendah terhadap Kwee Seng yang dianggapnya seorang pelajar yang tahu sedikit akan ilmu silat, maka ia bermaksud mempermainkannya.
Akan tetapi alangkah kaget hati raksasa gundul ini ketika tubuh Kwee Seng sudah melayang ke dekatnya, tiba-tiba angin pukulan yang hebat bertiup dari kipas disusul totokan kilat yang menuju ke jalan darah di lehernya, dilakukan oleh gagang kipas itu. Begitu cepatnya gerakan ini sehingga hampir saja jalan darah Tiong-cu-hiat di lehernya tertotok !
Ketika raksasa itu mengelak ke belakang, tahu-tahu kaki Kwee Seng sudah menotol pundaknya dan menggunakan pundak raksasa ini sebagai batu loncatan, Kwee Seng mengerahkan tenaganya dan melompat sambil mengerahkan tenaga pada pinggang untuk membebaskan diri daripada libatan ujung cambuk. Usahanya berhasil.
Ban-pi Lo-cia berseru heran dan tubuh Kwee Seng sudah melayang kembali ke atas, tepat tiba di gerombolan pohon kembang di pinggir telaga yang cepat disambarnya dan dengan ayunan indah tubuh pemuda itu sudah berada di darat, berdiri dengan tenang dan dengan kipas di tangan sambil memandang ke arah lawan yang masih berada di atas perahunya !
“He he he, kau boleh juga, bocah!”
Ban-pi Lo-cia berseru setengah marah setengah kagum, cambuknya bergerak cepat mengeluarkan ledakan-ledakan keras.
Ternyata cambuk itu memukul air di pinggir perahu dan… bagaikan didorong tenaga gaib, perahunya meluncur cepat sekali ke pinggir telaga, kemudian sekali meloncat raksasa itu sudah melayang dan tiba di depan Kwee Seng !
Dua orang ini kini berhadapan dan saling memandang penuh perhatian. Bulan bersinar terang bersih, indah sekali akan tetapi di dalam keindahan itu tersembunyi kengerian yang di timbulkan oleh pandang mata kedua orang yang saling bertentangan ini.
Pinggir telaga sudah sunyi karena mereka yang mendengar tentang hwesio tinggi besar yang mengamuk, sudah melarikan diri cepat-cepat akan tetapi ada pula beberapa orang yang bersembunyi dan melihat dua orang itu berhadapan dari jauh.
“Ban-pi Lo-cia, sudah lama sekali aku mendengar namamu, dan ternyata keadaanmu cocok benar dengan namamu!”
Kata Kwee Seng yang kini sudah mengeluarkan suling bambu yang tadi ditiupnya dan memegang suling itu di tangan kanannya sedangkan kipasnya ia pegang di tangan kiri. Ia maklum bahwa menghadapi seorang sakti seperti ini ia harus di Bantu sulingnya, karena hanya dengan kipas saja kiranya belum tentu ia akan dapat mencapai kemenangan.
“Heh, kau mengenalku ? Dan kau bilang cocok seakan-akan kau telah mengenalku baik-baik. Orang muda lancang, keadaanku yang bagaimana kau sebut cocok dengan namaku?”
“Kau terkenal sebagai tokoh sakti yang aneh, kejam keji dan memuja kejahatan mengandalkan kepandaian. Nah, bukankah cocok benar dengan perbuatanmu sekarang?”
“Wah, sombong ! Bocah bermulut lancang, siapa namamu?”
“Aku Kwee Seng, datang tidak menonjolkan nama, pergi tidak meninggalkan nama, hanya suling dan kipas ini yang kubawa.”
“Heh..heh, kata-kata muluk ! Kau berlagak sopan dan terpelajar, akan tetapi bukankah kau sendiri juga memperebutkan kembang pelacur telaga ini ? He-heh, orang muda, tiada bedanya antara engkau dan aku, hanya aku lebih suka secara terbuka dan terang-terangan, sebaliknya engkau suka sembunyi-sembunyi dan berkedok kesopanan. Aku paling jemu melihat segala yang palsu ini, maka kau bersiaplah mampus di tangan Ban-pi Lo-cia!”
Berbareng dengan habisnya ucapan itu, sinar hitam bergulung-gulung ke depan dibarengi ledakan-ledakan seperti petir menyambar kepala.
Hebat bukan main kalau Ban-pi Lo-cia mainkan cambuknya, cambuk sakti yang terkenal dengan nama Lui-kong-pian (Cambuk Halilintar). Gerakan cambuk ini mengandung getaran penuh dari sin-kang yang sudah mencapai tingkat tinggi. Jangan kan terkena pukulan cambuk, baru mendengar bunyinya saja membuat lawan menjadi pening kepalanya, melihat sinarnya membuat mata lawan kabur, dan hawa pukulan yang mendahului datangnya ujung cambuk cukup kuat untuk menjungkalkan lawan yang kurang tinggi ilmu kepandaiannya !
Cambuk ini kelihatannya hanya sebatang benda lemas dan licin, akan tetapi jangan dipandang ringan senjata ini. Bahannya saja terbuat daripada sirip dan ekor ular laut hitam yang hanya dapat dilihat belasan tahun sekali di lautan utara, diantara gunung-gunung es. Di tangan Ban-pi Lo-cia, cambuk ini benar-benar menjadi halilintar. Bisa lemas melebihi sutera, bisa kaku keras melebihi baja, dan hebatnya, tidak ada sebuah senjata pun di dunia yang mampu membabatnya putus.
Menyaksikan gerakan ini Kwee Seng maklum bahwa ia berhadapan lawan yang benar-benar sakti dan berbahaya, maka ia pun tidak berani main-main, segera ia menggerakkan suling dan kipasnya untuk menghadapi permainan cambuk halilintar yang dahsyat itu. Karena tahu bahwa ilmu cambuk halilintar adalah ilmu sakti yang sukar dilawan dan harus dilawan dengan ilmu sakti lagi, maka Kwee Seng segera mainkan suling di tangan kanan menurut ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat sedangkan kipasnya ia mainkan dengan ilmu kipas Lo-hai San-hoat.
Ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat (Delapan Dewa) dan ilmu kipas Lo-hai San-hoat (Mengacau Lautan) telah menjadi ilmu silat yang sakti dan hebat setelah ia menerima petunjuk-petunjuk dari seorang manusia dewa, yaitu Bu Kek Siansu, beberapa tahun yang lalu di puncak pegunungan Himalaya.
Kwee Seng tak pernah bertemu tanding yang dapat mengalahkannya. Dan sekarang mengahadapi Ban-pi Lo-cia yang demikian sakti, terpaksa ia mengeluarkan dua ilmunya yang dimainkan dengan lincah dan penuh mengandung tenaga sin-kang. Sulingnya ketika ia gerakkan mengeluarkan bunyi melengking tinggi, lengking yang dapat memecahkan anak telinga lawan dan tepat sekali dipergunakan untuk melawan pengaruh suara cambuk yang menggelegar.
Adapun kipasnya mengeluarkan angin amat kuat yang menyembunyikan totokan-totokan maut oleh ujung gagang kipas yang dua buah banyaknya. Sesungguhnya, kipas inilah yang merupakan senjata penyerang Kwee Seng sedangkan sulingnya lebih banyak menjadi senjata penahan atau pelindung dengan suaranya yang menahan pengaruh suara cambuk dan gerakannya yang menangkis datangnya ujung cambuk.
Kalau Kwee Seng tidak merasa heran menyaksikan kehebatan ilmu cambuk lawannya, sebaliknya Ban-pi Lo-cia kaget dan heran bukan main menyaksikan gerakan lawan. Raksasa gundul ini tadinya memandang rendah kepada Kwee Seng yang masih muda dan bersikap seperti seorang pelajar. Sama sekali ia tidak menyangka bahwa pemuda itu demikian hebat.
Tangkisan suling pemuda itu sanggup menggetarkan cambuknya, sedangkan hawa pukulan kipas itu selalu mengancam jalan darahnya sehingga terpaksa ia harus berlaku hati-hati dan mengelak dengan bantuan gerakan ujung lengan baju kiri untuk menyelamatkan diri.
Padahal ia mengenal betul bahwa suling itu memainkan ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat sedangkan kipas itu mainkan ilmu silat Lo-hai San-hoat. Akan tetapi alangkah bedanya dengan permainan orang lain. Permainan pemuda ini telah membuat dua macam ilmu silat itu menjadi ilmu yang amat dahsyat, yang biarpun sudah ia kenal gerakan-gerakan dan perubahannya, namun masih sukar untuk dihadapi !
Diam-diam Ban-pi Lo-cia harus mengakui pendapat umum di dunia persilatan bahwa kehebatan seseorang bukan semata-mata tergantung kepada ilmu silatnya, melainkan kepada si orang itu sendiri, kematangan dan kesempurnaannya mempelajari ilmu itu. Pula benar kalau orang mengatakan bahwa dalam menghadapi lawan, orang harus berlaku hati-hati terhadap pertapa, yang kelihatan tua dan lemah, terhadap pelajar yang kelihatan halus dan terhadap wanita yang biasanya digolongkan orang lemah !
“Wuuuttt… tar-tar-tar!!”
Sekali serang, cambuk itu sudah menyambar secara berturut-turut hanya selisih beberapa detik saja ke arah ubun-ubun kepala, leher, lalu pusar.
Kwee Seng menggerakkan suling menangkis serangan pada ubun-ubunnya, kemudian ia memiringkan tubuh mengubah kedudukan kaki untuk menghindarkan dari serangan pada leher. Adapun pecutan pada pusarnya ia tangkis lagi dengan sulingnya sambil menggerakkan kipasnya ke depan menotok jalan darah pada siku lawan. Kalau totokan ini mengenai sasaran, tentu lawannya akan terpaksa melepaskan cambuk.
“Aaiihhh!”
Ban-pi Lo-cia berseru keras, mengerahkan sin-kang dan ujung cambuknya terus melibat suling sedangkan totokan pada siku kanannya ia tangkis dengan ujung lengan sebelah kiri.
“Brettt!”
Robeklah ujung lengan baju oleh ujung kipas, akan tetapi totokan itu meleset tidak mengenai sasaran.
Kwee Seng terkejut karena tak mampu menarik kembali sulingnya yang terlibat, maka ia menggerakkan kaki maju setengah langkah, mencondongkan tubuh ke depan dan melanjutkan gerakan kipasnya, kini menusuk lambung lawan disusul kaki kanan menendang ke arah pusar !
“He he he, kau boleh juga, bocah!”
Ban-pi Lo-cia berseru setengah marah setengah kagum, cambuknya bergerak cepat mengeluarkan ledakan-ledakan keras.
Ternyata cambuk itu memukul air di pinggir perahu dan… bagaikan didorong tenaga gaib, perahunya meluncur cepat sekali ke pinggir telaga, kemudian sekali meloncat raksasa itu sudah melayang dan tiba di depan Kwee Seng !
Dua orang ini kini berhadapan dan saling memandang penuh perhatian. Bulan bersinar terang bersih, indah sekali akan tetapi di dalam keindahan itu tersembunyi kengerian yang di timbulkan oleh pandang mata kedua orang yang saling bertentangan ini.
Pinggir telaga sudah sunyi karena mereka yang mendengar tentang hwesio tinggi besar yang mengamuk, sudah melarikan diri cepat-cepat akan tetapi ada pula beberapa orang yang bersembunyi dan melihat dua orang itu berhadapan dari jauh.
“Ban-pi Lo-cia, sudah lama sekali aku mendengar namamu, dan ternyata keadaanmu cocok benar dengan namamu!”
Kata Kwee Seng yang kini sudah mengeluarkan suling bambu yang tadi ditiupnya dan memegang suling itu di tangan kanannya sedangkan kipasnya ia pegang di tangan kiri. Ia maklum bahwa menghadapi seorang sakti seperti ini ia harus di Bantu sulingnya, karena hanya dengan kipas saja kiranya belum tentu ia akan dapat mencapai kemenangan.
“Heh, kau mengenalku ? Dan kau bilang cocok seakan-akan kau telah mengenalku baik-baik. Orang muda lancang, keadaanku yang bagaimana kau sebut cocok dengan namaku?”
“Kau terkenal sebagai tokoh sakti yang aneh, kejam keji dan memuja kejahatan mengandalkan kepandaian. Nah, bukankah cocok benar dengan perbuatanmu sekarang?”
“Wah, sombong ! Bocah bermulut lancang, siapa namamu?”
“Aku Kwee Seng, datang tidak menonjolkan nama, pergi tidak meninggalkan nama, hanya suling dan kipas ini yang kubawa.”
“Heh..heh, kata-kata muluk ! Kau berlagak sopan dan terpelajar, akan tetapi bukankah kau sendiri juga memperebutkan kembang pelacur telaga ini ? He-heh, orang muda, tiada bedanya antara engkau dan aku, hanya aku lebih suka secara terbuka dan terang-terangan, sebaliknya engkau suka sembunyi-sembunyi dan berkedok kesopanan. Aku paling jemu melihat segala yang palsu ini, maka kau bersiaplah mampus di tangan Ban-pi Lo-cia!”
Berbareng dengan habisnya ucapan itu, sinar hitam bergulung-gulung ke depan dibarengi ledakan-ledakan seperti petir menyambar kepala.
Hebat bukan main kalau Ban-pi Lo-cia mainkan cambuknya, cambuk sakti yang terkenal dengan nama Lui-kong-pian (Cambuk Halilintar). Gerakan cambuk ini mengandung getaran penuh dari sin-kang yang sudah mencapai tingkat tinggi. Jangan kan terkena pukulan cambuk, baru mendengar bunyinya saja membuat lawan menjadi pening kepalanya, melihat sinarnya membuat mata lawan kabur, dan hawa pukulan yang mendahului datangnya ujung cambuk cukup kuat untuk menjungkalkan lawan yang kurang tinggi ilmu kepandaiannya !
Cambuk ini kelihatannya hanya sebatang benda lemas dan licin, akan tetapi jangan dipandang ringan senjata ini. Bahannya saja terbuat daripada sirip dan ekor ular laut hitam yang hanya dapat dilihat belasan tahun sekali di lautan utara, diantara gunung-gunung es. Di tangan Ban-pi Lo-cia, cambuk ini benar-benar menjadi halilintar. Bisa lemas melebihi sutera, bisa kaku keras melebihi baja, dan hebatnya, tidak ada sebuah senjata pun di dunia yang mampu membabatnya putus.
Menyaksikan gerakan ini Kwee Seng maklum bahwa ia berhadapan lawan yang benar-benar sakti dan berbahaya, maka ia pun tidak berani main-main, segera ia menggerakkan suling dan kipasnya untuk menghadapi permainan cambuk halilintar yang dahsyat itu. Karena tahu bahwa ilmu cambuk halilintar adalah ilmu sakti yang sukar dilawan dan harus dilawan dengan ilmu sakti lagi, maka Kwee Seng segera mainkan suling di tangan kanan menurut ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat sedangkan kipasnya ia mainkan dengan ilmu kipas Lo-hai San-hoat.
Ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat (Delapan Dewa) dan ilmu kipas Lo-hai San-hoat (Mengacau Lautan) telah menjadi ilmu silat yang sakti dan hebat setelah ia menerima petunjuk-petunjuk dari seorang manusia dewa, yaitu Bu Kek Siansu, beberapa tahun yang lalu di puncak pegunungan Himalaya.
Kwee Seng tak pernah bertemu tanding yang dapat mengalahkannya. Dan sekarang mengahadapi Ban-pi Lo-cia yang demikian sakti, terpaksa ia mengeluarkan dua ilmunya yang dimainkan dengan lincah dan penuh mengandung tenaga sin-kang. Sulingnya ketika ia gerakkan mengeluarkan bunyi melengking tinggi, lengking yang dapat memecahkan anak telinga lawan dan tepat sekali dipergunakan untuk melawan pengaruh suara cambuk yang menggelegar.
Adapun kipasnya mengeluarkan angin amat kuat yang menyembunyikan totokan-totokan maut oleh ujung gagang kipas yang dua buah banyaknya. Sesungguhnya, kipas inilah yang merupakan senjata penyerang Kwee Seng sedangkan sulingnya lebih banyak menjadi senjata penahan atau pelindung dengan suaranya yang menahan pengaruh suara cambuk dan gerakannya yang menangkis datangnya ujung cambuk.
Kalau Kwee Seng tidak merasa heran menyaksikan kehebatan ilmu cambuk lawannya, sebaliknya Ban-pi Lo-cia kaget dan heran bukan main menyaksikan gerakan lawan. Raksasa gundul ini tadinya memandang rendah kepada Kwee Seng yang masih muda dan bersikap seperti seorang pelajar. Sama sekali ia tidak menyangka bahwa pemuda itu demikian hebat.
Tangkisan suling pemuda itu sanggup menggetarkan cambuknya, sedangkan hawa pukulan kipas itu selalu mengancam jalan darahnya sehingga terpaksa ia harus berlaku hati-hati dan mengelak dengan bantuan gerakan ujung lengan baju kiri untuk menyelamatkan diri.
Padahal ia mengenal betul bahwa suling itu memainkan ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat sedangkan kipas itu mainkan ilmu silat Lo-hai San-hoat. Akan tetapi alangkah bedanya dengan permainan orang lain. Permainan pemuda ini telah membuat dua macam ilmu silat itu menjadi ilmu yang amat dahsyat, yang biarpun sudah ia kenal gerakan-gerakan dan perubahannya, namun masih sukar untuk dihadapi !
Diam-diam Ban-pi Lo-cia harus mengakui pendapat umum di dunia persilatan bahwa kehebatan seseorang bukan semata-mata tergantung kepada ilmu silatnya, melainkan kepada si orang itu sendiri, kematangan dan kesempurnaannya mempelajari ilmu itu. Pula benar kalau orang mengatakan bahwa dalam menghadapi lawan, orang harus berlaku hati-hati terhadap pertapa, yang kelihatan tua dan lemah, terhadap pelajar yang kelihatan halus dan terhadap wanita yang biasanya digolongkan orang lemah !
“Wuuuttt… tar-tar-tar!!”
Sekali serang, cambuk itu sudah menyambar secara berturut-turut hanya selisih beberapa detik saja ke arah ubun-ubun kepala, leher, lalu pusar.
Kwee Seng menggerakkan suling menangkis serangan pada ubun-ubunnya, kemudian ia memiringkan tubuh mengubah kedudukan kaki untuk menghindarkan dari serangan pada leher. Adapun pecutan pada pusarnya ia tangkis lagi dengan sulingnya sambil menggerakkan kipasnya ke depan menotok jalan darah pada siku lawan. Kalau totokan ini mengenai sasaran, tentu lawannya akan terpaksa melepaskan cambuk.
“Aaiihhh!”
Ban-pi Lo-cia berseru keras, mengerahkan sin-kang dan ujung cambuknya terus melibat suling sedangkan totokan pada siku kanannya ia tangkis dengan ujung lengan sebelah kiri.
“Brettt!”
Robeklah ujung lengan baju oleh ujung kipas, akan tetapi totokan itu meleset tidak mengenai sasaran.
Kwee Seng terkejut karena tak mampu menarik kembali sulingnya yang terlibat, maka ia menggerakkan kaki maju setengah langkah, mencondongkan tubuh ke depan dan melanjutkan gerakan kipasnya, kini menusuk lambung lawan disusul kaki kanan menendang ke arah pusar !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar