Tiba-tiba dari pintu bilik perahu besar itu meloncat seorang laki-laki tinggi kurus yang mengenakan pakaian ringkas dan punggungnya terhias sebatang golok. Gerakan laki-laki ini ringan dan cepat, tahu-tahu ia sudah berdiri di depan hwesio itu dengan mata berkilat.
“Eh, eh, hwesio jahat darimana berani mengganggu kesenangan kami ? Apakah kau sahabat dari Si Jahanaman Lo Houw yang kulempar ke dalam air?”
Hwesio itu memandang sejenak lalu tertawa.
“Heh-heh-heh, aku tidak tahu itu Lo Houw, dan tidak kenal pula tikus kecil macammu. Aku hanya datang untuk mengambil Ang-siauw-hwa, kutukar dengan lima pelacur itu. Wanita macam Ang-siauw-hwa yang disebut-sebut kembang pelacur di telaga ini patut mengawaniku bersenang-senang. Lekas suruh dia keluar dan berikan kepadaku sebelum perahu ini kubikin tenggelam berikut semua penumpangnya!”
“Hwesio sesat ! Pergilah!” Si Jangkung Kurus menerjang maju dengan gerakan kilat.
Cepat sekali gerakannya dan Kwee Seng yang menonton tahu bahwa si jangkung itu memiliki ilmu silat tangan kosong yang cukup hebat. Hwesio ini mencari penyakit, pikirnya, penghuni perahu besar itu ternyata bukan orang-orang lemah.
Pukulan si jangkung itu selain cepat, juga jelas mengandung tenaga yang besar, tampak gerakannya begitu mantap dan sekali pukul, kedua tangan si jangkung itu secara berbareng menyerang dada dan lambung. Anehnya, hwesio tinggi besar itu masih tertawa, sama sekali tidak mengelak. Celaka, pikir Kwee Seng, betapapun lihainya, mana hwesio itu akan dapat menahan pukulan yang mengandung tenaga dalam itu?
“Buk ! Buk!” Dua buah pukulan itu tepat mengenai dada dan lambung.
“Ha-ha-ha-ha!”
Si Hwesio malah tertawa bergelak, sedikit pun tidak terpengaruh dua pukulan itu. Sejenak si jangkung terbelalak kaget, kemudian tampak sinar bergulung ketika ia mencabut goloknya dan membacok dengan cepat mengarah leher.
“Celaka…!”
Kata Kwee Seng, akan tetapi kali ini ia menyebut celaka bukan untuk si hwesio karena segera ia maklum bahwa hwesio itu benar-benar memiliki sin-kang (tenaga sakti) yang amat tinggi dan pencabutan golok oleh si jangkung itu hanya akan berarti celaka bagi si jangkung.
Memang tidak berlebihan penafsiran Kwee Seng ini. Hanya sedikit menggerakkan tubuhnya si hwesio sudah mampu mengelak dan sebelum si jangkung sempat menyerang lagi, tubuhnya sudah tertangkap dan sekali melontarkan tangkapannya sambil tertawa, hwesio tinggi besar itu sudah melempar lawannya jauh ke luar perahu !
“Byurrrr!” Air muncrat tinggi dan si jangkung megap-megap dalam usahanya menyelamatkan diri.
“Hwesio keparat, berani kau memukul Suteku (adik seperguruanku)?”
Kini muncul seorang pendek gemuk dengan sebatang toya (tongkat panjang) melintang di tangan. Tanpa menanti jawaban, si gemuk ini sudah menggerakkan toyanya menghantam leher hwesio itu. Sebagai kakak seperguruan si jangkung tadi, dapat di bayangkan betapa hebat serangan si gemuk pendek ini. Batu karang yang kuat agaknya akan pecah terkena pukulan toya baja itu. Namun, si hwesio sama sekali tidak mengelak, hanya miringkan tubuh dan menerima hantaman toya itu dengan pangkal lengannya.
“Bukkk!”
Si hwesio masih tertawa-tawa dan kedua lengannya bergerak. Tahu-tahu si gemuk memekik keras dan tubuhnya terlempar keluar perahu. Kembali terdengar air menjebur dan tubuh gemuk itu tenggelam timbul, agaknya lebih parah lukanya daripada sutenya.
“Hebat…!”
Diam-diam Kwee Seng terkejut dan kagum. Perhatiannya kini tertuju pada hwesio itu sambil mengingat siapa gerangan hwesio yang demikian lihainya itu. Terang bahwa kepandaian dua orang yang dikalahkannya secara mudah tadi cukup tinggi dan hanya seorang sakti saja yang dapat mengalahkan mereka dengan sekali gebrakan.
Akan tetapi kalau memang hwesio ini seorang tokoh sakti, mengapa sikap dan kelakuannya begitu gila-gilaan ? Sama sekali tidak patut dilakukan oleh seorang tokoh sakti yang terkenal. Merampas seorang pelacur ! Benar-benar mengherankan sekali !
Sementara itu, dari dalam bilik perahu sudah berloncatan tiga orang laki-laki. Usia mereka rata-rata empat puluh tahun lebih, dan ketiganya memegang pedang. Gerakan-gerakan mereka pun cepat dan ringan, malah agaknya lebih cekatan daripada dua orang yang sudah kalah oleh si hwesio. Begitu keluar, mereka serentak mengurung dan menyerang hwesio itu dengan pedang mereka.
Kwee Seng melihat hwesio itu tertawa, akan tetapi segera perhatiannya tertarik oleh kejadian lain. Ia melihat seorang wanita berpakaian merah muda berlari-lari ke pinggir perahu besar itu lalu… wanita itu meloncat ke air !
“Byurrr!” air muncrat tinggi dan tubuh wanita itu lenyap !
“Celaka…!”
Untuk ketiga kalinya selama beberapa menit itu Kwee Seng menyebut celaka, akan tetapi ia cepat mendayung perahunya ke arah terjunnya si pakaian merah tadi.
Selagi ia hendak menyelam, tiba-tiba wanita itu muncul dan legalah hati Kwee Seng melihat bahwa wanita itu ternyata pandai berenang ! Ah, benar-benar pelacur yang aneh sampai berenang pun pandai ! Pelacur itu memang bukan lain adalah Ang-siauw-hwa yang kini berenang cepat ke arah perahu Kwee Seng.
“Kongcu yang pandai bersuling, kau tolonglah aku yang bernasib malang…”
Katanya sambil berusaha mengangkat tubuh memegang pinggir perahu. Akan tetapi beberapa kali usahanya tak berhasil karena pinggiran perahu itu terlampau tinggi dari permukaan air.
Kwee Seng lalu mengulur tangannya dan menarik tubuh wanita itu ke dalam perahunya. Ia memandang kagum. Memang patut dikagumi wanita ini. Pakaiannya basah kuyup dan karena pakaian ini terbuat daripada sutera tipis dan halus, maka kini tercetaklah tubuhnya membayangkan bentuk tubuh yang padat ramping, dengan lekuk lengkung sempurna, tubuh seorang wanita muda yang sudah masak.
“Kenapa kau meloncat ke air?”
Kwee Seng bertanya, menekan gelora jantungnya yang membuat darah mudanya yang bergerak lebih cepat daripada biasanya.
“Ah, hwesio demikian hebat. Kalau aku dirampasnya bagaimana nasibku ? Lim-wangwe yang sudah tua dan pendekar-pendekar itu semua bersikap sopan kepadaku, akan tetapi belum tentu hwesio itu begitu baik sikapnya. Ah, Kongcu, kau tolonglah aku… biarlah aku akan mengerjakan apa saja yang kau kehendaki untuk membalas budimu ini…”
Sambil berkata demikian, Ang-siauw-hwa mendekat dan bau harum menerjang hidung Kwee Seng yang tertegun melihat wanita itu tersenyum manis dan mengerling penuh arti.
“Aku… aku bersedia menolong, tapi… tapi aku tidak menghendaki apa-apa darimu…” jawabnya gagap sambil menggerakkan dayung.
Wanita di belakangnya menarik napas panjang.
“Ahhh… sudah kuduga, kau seorang pelajar yang sopan dan penuh susila, mana mungkin mau berkenalan dengan seorang tuna susila macam Ang-siauw-hwa?” Suaranya mulai terisak. “Beginilah nasibku, kongcu hanya orang-orang rendah budi saja yang suka berkenalan denganku, dengan maksud yang kotor, akan tetapi orang baik-baik selalu menjauhkan diri dariku.”
Kwee Seng menoleh, agak terharu juga. Memang demikianlah nasib wanita yang terperosok ke Lumpur kehinaan.
“Bukan begitu, Nona. Tadi pun aku hendak memesanmu menemaniku minum arak, menikmati keindahan telaga sambil bersuling dan bernyanyi atau mengarang syair. Akan tetapi karena kau telah disewa hartawan itu, aku berperahu seorang diri. Hanya perlu kau ketahui bahwa aku sekali-kali bukan menolongmu karena hendak minta upah. Nih, kau pakai jubah luarku untuk menahan dingin dan angin. Kita harus pergi cepat-cepat dari sini.”
Setelah melemparkan jubah luarnya untuk dipakai berselimut Ang-siauw-hwa, Kwee Seng cepat mendayung perahunya. Akan tetapi di atas perahu besar terdengar suara berkerontangan, disusul pekik-pekik kesakitan dan berturut turut tubuh tiga orang jago silat itu pun terlempar ke dalam telaga. Bahkan orang ke tiga terlempar ke arah perahu Kwee Seng disusul bentakan hwesio itu yang parau dan nyaring.
“Eh, Ang-siauw-hwa kembang pelacur ! Kau hendak lari kemana ? Tak boleh lari sebelum melayaniku sampai puas!”
Melihat menyambarnya tubuh orang ke arah perahunya, Kwee Seng menggerakkan dayung sehingga perahunya menyeleweng mengelak dan tubuh orang itu terbanting ke dalam air, hanya tiga kaki dari kepala perahunya. Air muncrat membasahi bajunya.
“Ah, celaka kita, kongcu…!”
Ang-siauw-hwa berseru ketakutan, tubuhnya yang sudah dingin itu kini ditambah rasa takut mulai menggigil.
“Tak usah takut, kita akan minggir lebih dulu daripada dia.”
Jawab Kwee Seng sambil mengerahkan tenaga mendayung sehingga perahunya meluncur seperti anak panah terlepas dari busurnya.
Ang-siauw-hwa menengok dan melihat betapa hwesio yang menakutkan itu sudah meloncat ke dalam perahunya sendiri. Sekali ia menggentakkan perahu, lima orang pelacur yang mabok-mabokan di dalam perahu itu terlempar ke dalam air pula !
“Menjemukan ! Tingallah kalian di air!”
Kata hwesio itu sambil tertawa bergelak dan mulailah ia mendayung perahunya mengejar perahu Kwee Seng.
Sementara itu, para penghuni perahu sibuk menolong lima orang jago silat dan juga lima orang pelacur yang menjerit-jerit dan gelagapan seperti lima ekor anak ayam terlempar ke air.
“Kongcu, dia… dia mengejar…” Ang-siauw-hwa memeluk pinggang Kwee Seng dari belakang.
Bau harum dan kelunakan tubuh yang merapat di punggungnya membuat Kwee Seng meramkan matanya dan menahan napas. Diam-diam hatinya mengeluh. Usianya sudah dua puluh dua dan belum pernah ia berdekatan begini dengan seorang wanita. Getaran yang menggelora di jantungnya melemahkan tenaga sakti sehingga kurang cepat ia mendayung perahu.
“He, orang muda tolol ! Apakah kau bosan hidup ? Berhenti dan berikan gadis itu kepadaku!”
Suara hwesio itu melengking di telinganya. Akan tetapi Kwee Seng tidak peduli dan cepat ia mengerahkan tenaga mendayung perahunya.
“Kau ingin mampus!” Suara ini disusul oleh desir angin ke arah kepala Kwee Seng.
Maklum bahwa ada benda menyambar, Kwee Seng mengibaskan tangannya dan dari ujung lengan bajunya menyambar angin yang memukul runtuh benda itu yang ternyata adalah sekepal kayu, agaknya gagang dayung yang diremas hancur oleh hwesio hebat itu!
Kwee Seng maklum bahwa kali ini ia menghadapi lawan yang amat tangguh, mungkin lawan yang paling tangguh yang selama hidupnya pernah ia hadapi. Dengan adanya Ang-siauw-hwa di dalam perahu, tentu saja hal ini berarti melemahkan kedudukannya sendiri apabila terjadi pertandingan melawan hwesio kosen itu, apalagi kalau diingat bahwa hwesio memang bermaksud merampas Ang-siauw-hwa.
Selain itu juga, bertanding di atas perahu amatlah berbahaya. Kepandaiannya di atas air hanya terbatas dan sekali jatuh ke dalam air, takkan ada gunanya lagi. Inilah sebabnya maka Kwee Seng segera mengerahkan tenaga sekuatnya sehingga perahunya meluncur lebih cepat lagi meninggalkan perahu hwesio yang mengejarnya.
Sesampainya di pinggir telaga, Kwee Seng cepat menarik lengan Ang-siauw-hwa dan diajaknya melompat ke darat, lalu berkata lirih,
“Nona, cepatlah, kau lari dari sini!”
“Tapi… tapi kau… bagaimana, Kongcu…?”
“Jangan pikirkan aku, lekas lari.”
“Eh, eh, hwesio jahat darimana berani mengganggu kesenangan kami ? Apakah kau sahabat dari Si Jahanaman Lo Houw yang kulempar ke dalam air?”
Hwesio itu memandang sejenak lalu tertawa.
“Heh-heh-heh, aku tidak tahu itu Lo Houw, dan tidak kenal pula tikus kecil macammu. Aku hanya datang untuk mengambil Ang-siauw-hwa, kutukar dengan lima pelacur itu. Wanita macam Ang-siauw-hwa yang disebut-sebut kembang pelacur di telaga ini patut mengawaniku bersenang-senang. Lekas suruh dia keluar dan berikan kepadaku sebelum perahu ini kubikin tenggelam berikut semua penumpangnya!”
“Hwesio sesat ! Pergilah!” Si Jangkung Kurus menerjang maju dengan gerakan kilat.
Cepat sekali gerakannya dan Kwee Seng yang menonton tahu bahwa si jangkung itu memiliki ilmu silat tangan kosong yang cukup hebat. Hwesio ini mencari penyakit, pikirnya, penghuni perahu besar itu ternyata bukan orang-orang lemah.
Pukulan si jangkung itu selain cepat, juga jelas mengandung tenaga yang besar, tampak gerakannya begitu mantap dan sekali pukul, kedua tangan si jangkung itu secara berbareng menyerang dada dan lambung. Anehnya, hwesio tinggi besar itu masih tertawa, sama sekali tidak mengelak. Celaka, pikir Kwee Seng, betapapun lihainya, mana hwesio itu akan dapat menahan pukulan yang mengandung tenaga dalam itu?
“Buk ! Buk!” Dua buah pukulan itu tepat mengenai dada dan lambung.
“Ha-ha-ha-ha!”
Si Hwesio malah tertawa bergelak, sedikit pun tidak terpengaruh dua pukulan itu. Sejenak si jangkung terbelalak kaget, kemudian tampak sinar bergulung ketika ia mencabut goloknya dan membacok dengan cepat mengarah leher.
“Celaka…!”
Kata Kwee Seng, akan tetapi kali ini ia menyebut celaka bukan untuk si hwesio karena segera ia maklum bahwa hwesio itu benar-benar memiliki sin-kang (tenaga sakti) yang amat tinggi dan pencabutan golok oleh si jangkung itu hanya akan berarti celaka bagi si jangkung.
Memang tidak berlebihan penafsiran Kwee Seng ini. Hanya sedikit menggerakkan tubuhnya si hwesio sudah mampu mengelak dan sebelum si jangkung sempat menyerang lagi, tubuhnya sudah tertangkap dan sekali melontarkan tangkapannya sambil tertawa, hwesio tinggi besar itu sudah melempar lawannya jauh ke luar perahu !
“Byurrrr!” Air muncrat tinggi dan si jangkung megap-megap dalam usahanya menyelamatkan diri.
“Hwesio keparat, berani kau memukul Suteku (adik seperguruanku)?”
Kini muncul seorang pendek gemuk dengan sebatang toya (tongkat panjang) melintang di tangan. Tanpa menanti jawaban, si gemuk ini sudah menggerakkan toyanya menghantam leher hwesio itu. Sebagai kakak seperguruan si jangkung tadi, dapat di bayangkan betapa hebat serangan si gemuk pendek ini. Batu karang yang kuat agaknya akan pecah terkena pukulan toya baja itu. Namun, si hwesio sama sekali tidak mengelak, hanya miringkan tubuh dan menerima hantaman toya itu dengan pangkal lengannya.
“Bukkk!”
Si hwesio masih tertawa-tawa dan kedua lengannya bergerak. Tahu-tahu si gemuk memekik keras dan tubuhnya terlempar keluar perahu. Kembali terdengar air menjebur dan tubuh gemuk itu tenggelam timbul, agaknya lebih parah lukanya daripada sutenya.
“Hebat…!”
Diam-diam Kwee Seng terkejut dan kagum. Perhatiannya kini tertuju pada hwesio itu sambil mengingat siapa gerangan hwesio yang demikian lihainya itu. Terang bahwa kepandaian dua orang yang dikalahkannya secara mudah tadi cukup tinggi dan hanya seorang sakti saja yang dapat mengalahkan mereka dengan sekali gebrakan.
Akan tetapi kalau memang hwesio ini seorang tokoh sakti, mengapa sikap dan kelakuannya begitu gila-gilaan ? Sama sekali tidak patut dilakukan oleh seorang tokoh sakti yang terkenal. Merampas seorang pelacur ! Benar-benar mengherankan sekali !
Sementara itu, dari dalam bilik perahu sudah berloncatan tiga orang laki-laki. Usia mereka rata-rata empat puluh tahun lebih, dan ketiganya memegang pedang. Gerakan-gerakan mereka pun cepat dan ringan, malah agaknya lebih cekatan daripada dua orang yang sudah kalah oleh si hwesio. Begitu keluar, mereka serentak mengurung dan menyerang hwesio itu dengan pedang mereka.
Kwee Seng melihat hwesio itu tertawa, akan tetapi segera perhatiannya tertarik oleh kejadian lain. Ia melihat seorang wanita berpakaian merah muda berlari-lari ke pinggir perahu besar itu lalu… wanita itu meloncat ke air !
“Byurrr!” air muncrat tinggi dan tubuh wanita itu lenyap !
“Celaka…!”
Untuk ketiga kalinya selama beberapa menit itu Kwee Seng menyebut celaka, akan tetapi ia cepat mendayung perahunya ke arah terjunnya si pakaian merah tadi.
Selagi ia hendak menyelam, tiba-tiba wanita itu muncul dan legalah hati Kwee Seng melihat bahwa wanita itu ternyata pandai berenang ! Ah, benar-benar pelacur yang aneh sampai berenang pun pandai ! Pelacur itu memang bukan lain adalah Ang-siauw-hwa yang kini berenang cepat ke arah perahu Kwee Seng.
“Kongcu yang pandai bersuling, kau tolonglah aku yang bernasib malang…”
Katanya sambil berusaha mengangkat tubuh memegang pinggir perahu. Akan tetapi beberapa kali usahanya tak berhasil karena pinggiran perahu itu terlampau tinggi dari permukaan air.
Kwee Seng lalu mengulur tangannya dan menarik tubuh wanita itu ke dalam perahunya. Ia memandang kagum. Memang patut dikagumi wanita ini. Pakaiannya basah kuyup dan karena pakaian ini terbuat daripada sutera tipis dan halus, maka kini tercetaklah tubuhnya membayangkan bentuk tubuh yang padat ramping, dengan lekuk lengkung sempurna, tubuh seorang wanita muda yang sudah masak.
“Kenapa kau meloncat ke air?”
Kwee Seng bertanya, menekan gelora jantungnya yang membuat darah mudanya yang bergerak lebih cepat daripada biasanya.
“Ah, hwesio demikian hebat. Kalau aku dirampasnya bagaimana nasibku ? Lim-wangwe yang sudah tua dan pendekar-pendekar itu semua bersikap sopan kepadaku, akan tetapi belum tentu hwesio itu begitu baik sikapnya. Ah, Kongcu, kau tolonglah aku… biarlah aku akan mengerjakan apa saja yang kau kehendaki untuk membalas budimu ini…”
Sambil berkata demikian, Ang-siauw-hwa mendekat dan bau harum menerjang hidung Kwee Seng yang tertegun melihat wanita itu tersenyum manis dan mengerling penuh arti.
“Aku… aku bersedia menolong, tapi… tapi aku tidak menghendaki apa-apa darimu…” jawabnya gagap sambil menggerakkan dayung.
Wanita di belakangnya menarik napas panjang.
“Ahhh… sudah kuduga, kau seorang pelajar yang sopan dan penuh susila, mana mungkin mau berkenalan dengan seorang tuna susila macam Ang-siauw-hwa?” Suaranya mulai terisak. “Beginilah nasibku, kongcu hanya orang-orang rendah budi saja yang suka berkenalan denganku, dengan maksud yang kotor, akan tetapi orang baik-baik selalu menjauhkan diri dariku.”
Kwee Seng menoleh, agak terharu juga. Memang demikianlah nasib wanita yang terperosok ke Lumpur kehinaan.
“Bukan begitu, Nona. Tadi pun aku hendak memesanmu menemaniku minum arak, menikmati keindahan telaga sambil bersuling dan bernyanyi atau mengarang syair. Akan tetapi karena kau telah disewa hartawan itu, aku berperahu seorang diri. Hanya perlu kau ketahui bahwa aku sekali-kali bukan menolongmu karena hendak minta upah. Nih, kau pakai jubah luarku untuk menahan dingin dan angin. Kita harus pergi cepat-cepat dari sini.”
Setelah melemparkan jubah luarnya untuk dipakai berselimut Ang-siauw-hwa, Kwee Seng cepat mendayung perahunya. Akan tetapi di atas perahu besar terdengar suara berkerontangan, disusul pekik-pekik kesakitan dan berturut turut tubuh tiga orang jago silat itu pun terlempar ke dalam telaga. Bahkan orang ke tiga terlempar ke arah perahu Kwee Seng disusul bentakan hwesio itu yang parau dan nyaring.
“Eh, Ang-siauw-hwa kembang pelacur ! Kau hendak lari kemana ? Tak boleh lari sebelum melayaniku sampai puas!”
Melihat menyambarnya tubuh orang ke arah perahunya, Kwee Seng menggerakkan dayung sehingga perahunya menyeleweng mengelak dan tubuh orang itu terbanting ke dalam air, hanya tiga kaki dari kepala perahunya. Air muncrat membasahi bajunya.
“Ah, celaka kita, kongcu…!”
Ang-siauw-hwa berseru ketakutan, tubuhnya yang sudah dingin itu kini ditambah rasa takut mulai menggigil.
“Tak usah takut, kita akan minggir lebih dulu daripada dia.”
Jawab Kwee Seng sambil mengerahkan tenaga mendayung sehingga perahunya meluncur seperti anak panah terlepas dari busurnya.
Ang-siauw-hwa menengok dan melihat betapa hwesio yang menakutkan itu sudah meloncat ke dalam perahunya sendiri. Sekali ia menggentakkan perahu, lima orang pelacur yang mabok-mabokan di dalam perahu itu terlempar ke dalam air pula !
“Menjemukan ! Tingallah kalian di air!”
Kata hwesio itu sambil tertawa bergelak dan mulailah ia mendayung perahunya mengejar perahu Kwee Seng.
Sementara itu, para penghuni perahu sibuk menolong lima orang jago silat dan juga lima orang pelacur yang menjerit-jerit dan gelagapan seperti lima ekor anak ayam terlempar ke air.
“Kongcu, dia… dia mengejar…” Ang-siauw-hwa memeluk pinggang Kwee Seng dari belakang.
Bau harum dan kelunakan tubuh yang merapat di punggungnya membuat Kwee Seng meramkan matanya dan menahan napas. Diam-diam hatinya mengeluh. Usianya sudah dua puluh dua dan belum pernah ia berdekatan begini dengan seorang wanita. Getaran yang menggelora di jantungnya melemahkan tenaga sakti sehingga kurang cepat ia mendayung perahu.
“He, orang muda tolol ! Apakah kau bosan hidup ? Berhenti dan berikan gadis itu kepadaku!”
Suara hwesio itu melengking di telinganya. Akan tetapi Kwee Seng tidak peduli dan cepat ia mengerahkan tenaga mendayung perahunya.
“Kau ingin mampus!” Suara ini disusul oleh desir angin ke arah kepala Kwee Seng.
Maklum bahwa ada benda menyambar, Kwee Seng mengibaskan tangannya dan dari ujung lengan bajunya menyambar angin yang memukul runtuh benda itu yang ternyata adalah sekepal kayu, agaknya gagang dayung yang diremas hancur oleh hwesio hebat itu!
Kwee Seng maklum bahwa kali ini ia menghadapi lawan yang amat tangguh, mungkin lawan yang paling tangguh yang selama hidupnya pernah ia hadapi. Dengan adanya Ang-siauw-hwa di dalam perahu, tentu saja hal ini berarti melemahkan kedudukannya sendiri apabila terjadi pertandingan melawan hwesio kosen itu, apalagi kalau diingat bahwa hwesio memang bermaksud merampas Ang-siauw-hwa.
Selain itu juga, bertanding di atas perahu amatlah berbahaya. Kepandaiannya di atas air hanya terbatas dan sekali jatuh ke dalam air, takkan ada gunanya lagi. Inilah sebabnya maka Kwee Seng segera mengerahkan tenaga sekuatnya sehingga perahunya meluncur lebih cepat lagi meninggalkan perahu hwesio yang mengejarnya.
Sesampainya di pinggir telaga, Kwee Seng cepat menarik lengan Ang-siauw-hwa dan diajaknya melompat ke darat, lalu berkata lirih,
“Nona, cepatlah, kau lari dari sini!”
“Tapi… tapi kau… bagaimana, Kongcu…?”
“Jangan pikirkan aku, lekas lari.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar