FB

FB


Ads

Jumat, 08 Maret 2019

Suling Emas Jilid 020

Di persimpangan jalan mereka melihat banyak orang pengungsi pula, akan tetapi anehnya mereka itu bukan berjalan ke selatan, sebaliknya mereka menuju ke utara ! Bukan hanya Lu Sian yang merasa heran, juga Kwee Seng terheran-heran sehingga pemuda ini menanya kepada seorang pengungsi laki-laki yang sudah tua.

“Lopek, kalian semua hendak mengungsi ke manakah?”

“Ke mana lagi kalau tidak ke benteng Naga Emas ? Hanya di sanalah tempat yang aman bagi kami, karena Kam-goan-swe (Jenderal Kam) berada di sana.”

“Mengapa di lain tempat tidak aman Lopek ? Apakah yang mengancam keselamatan kalian?”

Kwee Seng mulai tertarik sedangkan Lu Sian juga mendengarkan dengan penuh perhatian.

Mendengar pertanyaan ini kakek itu memandang heran.
“Kongcu datang dari manakah sehingga tidak tahu keadaan disini ? Dimana-mana terdapat manusia-manusia serigala, bala tentara gubernur merajalela menganggu penduduk dan merampok harta memperkosa wanita dengan alasan membasmi pemberontak ! Semua orang takut menentang Gubernur Li, hanya Kam-goanswe seorang yang berani melindungi kami. Kongcu dan Nona sebagai orang-orang asing sebaiknya jangan melakukan perjalanan di daerah ini, berbahaya.”

Setelah berkata demikian, kakek itu melanjutkan perjalanan bersama rombongan pengungsi yang terdiri dari tiga puluh orang lebih itu.

“Lopek, masih jauhkah benteng itu dari sini?” tiba-tiba Lu Sian bertanya sambil mengajukan kudanya.

Kakek itu menoleh dan memandang, akan tetapi keningnya berkerut, tidak mau menjawab, malah lalu berjalan lagi dan timbul kemarahannya, membentak,

“Eh, Kakek ! Apakah kau tuli dan bisu?

Kakek itu cemberut, menoleh lagi dan mengomel.
“Tidak ada wanita baik di jaman edan ini!”

Tentu saja Lu Sian makin marah. Melihat ini, Kwee Seng khawatir kalau-kalau Liu Sian akan turun tangan, maka ia cepat mengeprak kudanya, maju ke depan Lu Sian dan berkata kepada kakek itu.

“Lopek, sahabatku ini bertanya baik-baik, mengapa kau tidak mau menjawab ? harap jangan salah melihat orang, sahabatku ini seorang pendekar wanita yang berhati mulia.”

Lenyap kemarahan Lu Sian dan ia tersenyum-senyum mendengar pujian ini. Adapun kakek itu lalu membalikkan tubuh, memandang ragu kepada Lu Sian lalu menjura.

“Harap nona suka maafkan. Baru pagi tadi disini lewat pula tiga orang gadis seperti nona, akan tetapi mereka itu kasar bukan main, bahkan lima orang kami mereka pukul dengan cambuk karena kurang cepat minggir untuk mereka lewat dengan kuda mereka yang besar-besar. Kalau nona hendak mengetahui, benteng itu tidak jauh lagi, kurang lebih tiga li lagi dari sini.”

Setelah rombongan itu bergerak lagi dan Kwee Seng mulai menggerakkan kendali untuk melanjutkan perjalanan, Lu Sian menyentuh lengannya dan berkata,

“Kwee-koko, kita berhenti disini, mencari tempat mengaso sampai nanti malam.”

“Eh, mengapa begitu ? Hari masih siang, dan perjalanan masih jauh. Ada keperluan apa harus berhenti disini?”

“Keadaan benteng itu, Jenderal Kam itu, dan tiga orang gadis yang agaknya juga pergi kesana, menarik hatiku untuk menyelidiki. Malam nanti aku hendak menyelidiki kesana, melihat keadaan dan mencari tahu apakah sebenarnya yang terjadi.”

“Ah, Moi-moi, mengapa kau mencari urusan yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kita ? Urusan Jenderal Kam adalah urusan negara, dan selama orang menyangkutkan diri dengan urusan negara, maka tak boleh tidak ia mempunyai cita-cita yang kotor. Tak perlu kita mencampurinya, Moi-moi.”






Akan tetapi Lu Sian sudah memutar kudanya dan mencari tempat yang enak untuk mengaso dan bermalam. Akhirnya ia berhenti di bawah pohon yang besar, lalu turun dari kudanya. Terpaksa Kwee Seng mengikutinya.

“Sudahlah, koko, aku lapar karena terlalu banyak bicara. Biar kucarikan daging untuk teman roti kering kita.”

Gadis itu meloncat dan lenyap memasuki hutan yang gelap. Tak lama kemudian ia tertawa-tawa sambil memegang dua ekor kelinci gemuk pada telinganya, Kwee Seng tidak berkata apa-apa, hanya membantu gadis itu menguliti kelinci dan membakar dagingnya.

Setelah mereka makan kenyang, Lu Sian merebahkan diri di atas rumput yang gemuk empuk. Tak sampai sepuluh menit kemudian gadis itu sudah tidur nyenyak, mukanya miring berbantal tangan, napasnya panjang teratur, pipinya kemerahan, bulu matanya yang merapat kelihatan panjang membentuk bayangan pada pipi.

Berjam-jam Kwee Seng hanya duduk sambil memandangi tubuh yang rebah miring di depannya. Pikirannya melayang-layang. Alangkah cantiknya gadis ini. Rambutnya yang hitam itu agak kacau, sebagian rambut yang terlepas dari ikatan menutupi pipi dan kening.

Dahi yang halus putih itu agak basah oleh peluh karena hawa memang panas menjelang senja itu. Kwee Seng melihat ini lalu memadamkan api unggun yang tadi dipakai memanggang daging kelinci. Kemudian ia duduk lagi menghadapi Lu Sian sambil menikmati wajah ayu itu.

Lu Sian bergerak sedikit dalam tidurnya, bibirnya tersenyum, tangannya menyibakkan rambut yang menutup pipi dan kening, lalu tubuhnya bergerak terlentang, terdengar bisikannya,

“Kwee-koko…”

Berdebar keras jantung Kwee Seng. Gadis ini mengigau dan menyebut-nyebut namanya dalam tidur ! bukankah itu berarti bahwa Lu Sian juga menaruh hati kepadanya?

Ia memandang lagi. Mulut yang manis itu masih tersenyum. Tiada bosannya memandang wajah ini, bagaikan orang memandang setangkai bunga mawar segar. Terpesona Kwee Seng memandangi rambut hitam panjang yang kini awut-awutan itu, mengingatkan ia akan syair tentang keindahan rambut yang pernah di bacanya :

Halus licin laksana sutera hitam mulus melebihi tinta gemuk panjang berikal mayang mengikat kalbu menimbulkan sayang harum semerbak laksana bunga melambai meraih cinta asmara sinom berikal di tengkuk dan dahi pembangkit gairah dendam berahi !

Setelah kenyang pandang matanya menikmati keindahan rambut di kepala lalu pandang mata itu menurun, berhenti di alis dan mata yang terlindung bulu mata panjang melengkung, sejenak terpesona oleh bukit hidung.

Kecil mungil mancung dan patut halus laksana lilin diraut cuping tipis bergerak mesra mengandung seribu rahasia

Makin berdebar jantung Kwee seng, hampir tak terahankan lagi, serasa hendak meledak. Melihat rambut itu, bulu mata, hidung yang agak berkembang-kempis cupingnya, mulut manis yang tersenyum-senyum dalam tidur, pipi yang putih kemerahan, teringatlah ia akan Ang-siauw-hwa.

Bukan gadis pelacur itu yang terbayang, melainkan pengalaman mesra penuh asyik yang pada saat itu mendorong semua gairah birahi memenuhi hati dan pikirannya bagaikan awan mendung hitam menggelapkan kesadarannya. Dengan tubuh gemetar menggigil, Kwee Seng lalu membungkuk ke arah wajah ayu itu dan mencium bibir dan pipi Lu Sian sepenuh kasih hatinya.

Suara ketawa gadis itu mengejutkannya, membuyarkan sebagian awan mendung yang menutupi kesadarannya. Terkejutlah Kwee Seng, mukanya pucat dan ia cepat-cepat menjauhkan diri, jantungnya berdebar keras dan barulah lega hatinya ketika ia melihat bahwa Lu Sian masih tidur. Suara ketawa tadi pun agaknya hanya dalam keadaan mimpi. Akan tetapi ciumannya tadi membuat ia makin dalam terjatuh ke jurang asmara !

Lewat senja, setelah matahari mulai bersembunyi, Lu Sian menggeliat dan membuka matanya.

“Ahhh, alangkah sedapnya tidur di sini. Eh… kwee-koko, kau masih duduk di situ sejak tadi ? Tidak mengaso?”

Gadis itu kini bangkit duduk dan membereskan rambutnya. Duduk seperti itu, kedua kaki di tekuk ke belakang, tubuh tegak dada membusung, kedua lengan dikembangkan karena sepuluh buah jari tangannya sibuk menyanggul rambut di belakang kepala, benar-benar merupakan pemandangan indah.

Hemm, kalau saja aku pandai melukis, alangkah indahnya gadis ini dilukis dalam keadaan begini, pikir Kwee Seng, demikian terpesona sehingga ia seakan-akan tidak mendengar akan kata-kata Lu Sian.

“Hih ! Kwee-koko, apakah kau sudah berubah menjadi arca ? Apa sih yang kau lihat?”

Tegur Lu Sian, senyumnya lebar dan sepasang matanya berkedip-kedip mengandung ejekan.

“Eh… oh… kau bilang apa tadi, Moi-moi…?” Kwee seng tergagap.

Kini Lu Sian tertawa,
“Kukira kau tidak mengaso kiranya kau agaknya malah tidur. Kwee-koko, aku ingin sekali mandi. Kalau saja ada anak sungai disini…”

“Kudengar suara air gemericik di sebelah kiri sana, Sian-moi. Mungkin ada anak sungai atau air terjun di sana.”

“Bagus, mari kita kesana, Koko.”

Seperti seorang anak kecil, Lu Sian menyambar tangan Kwee Seng dan menariknya berlari-lari kearah kiri.

Benar saja dugaan Kwee Seng, disitu terdapat sebatang sungai kecil yang amat jernih airnya, pula tidak dalam, hanya semeter kurang lebih. Batu-batu licin di dasar tampak beraneka warna menambah keindahan dan kesejukan air.

“Wah, dingin dan segar, Koko!” teriak Lu Sian kegirangan ketika memasukkan tangannya ke dalam air di pinggir sungai. “Koko, aku hendak mandi ! Kau jangan melihat kesini sebelum aku masuk ke dalam air. Awas, kalau kau menengok, kumaki kau kurang sopan dan kusambit kau dengan batu!”

Kwee Seng tertawa, terseret oleh kenakalan dan kegembiraan gadis itu.
“Siapa ingin melihat?”

Serunya sambil membalikkan tubuh berdiri membelakangi sungai. Ia hanya mendengar gerakan gadis itu, suara pakaian dilepas, kemudian mendengar gadis itu turun ke dalam air. Semua yang didengarnya ini menimbulkan bayangan yang amat menggodanya sehingga ia meramkan kedua matanya seakan-akan hendak mengusir bayangan itu dari depan mata.

“Sudah, Kwee-koko. Kau sekarang boleh saja melihat kesini, aku sudah aman tertutup air. Ah, enak benar, Koko. Kau mandilah segar bukan main.”

Kwee Seng membalikkan tubuhnya dan ia terpaku di tempat ia berdiri. Kedua kakinya menggigil dan matanya berkunang-kunang. Aduh, Lu Sian apakah benar-benar sengaja kau ingin menggodaku ? Demikian keluhnya dalam hati.

Ketika ia menengok, ia melihat pakaian gadis itu bertumpuk di pinggir sungai, di atas sebuah batu besar, semua pakaian berikut sepatu dan pita rambut. Kemudian, apa yang dilihatnya di tengah sungai itu benar-benar membuat ia berkunang dan lemas.

Memang gadis itu merendamkan tubuhnya di dalam air sehingga yang tampak dari luar air hanya leher dan kepalanya. Akan tetapi agaknya Lu Sian lupa bahwa air itu amat jernih ! Ataukah memang sengaja ? Air itu demikian jernihnya sehingga batu-batu di dasarnya tampak. Apalagi tubuh yang duduk di atasnya !

Pemandangan aneh tampak oleh Kwee Seng. Tubuh padat berisi sempurna lekuk-lekungnya, bergoyang-goyang bayangannya oleh air. Cepat-cepat ia menundukkan mukanya. Kuatkan hatimu ! Ah, kuatkan hatimu sebelum kau kemasukan iblis ! Demikianlah dengan kaki gemetar Kwee Seng berdiri menundukkan mukanya, mengerahkan tenaga batinnya untuk melawan dorongan nafsu.

“Moi-moi…” Ia berhenti karena suaranya kedengaran aneh.

“Hemm…? Kau mau bilang apa, Koko?”

Kwee Seng menarik napas panjang dan mulai tenanglah gelora isi dadanya.
“Sian-moi, aku tidak mandi. Kau mandilah yang puas, biar kunanti kau disana. Aku khawatir kalau-kalau kuda kita dicuri orang.”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar