FB

FB


Ads

Kamis, 28 Februari 2019

Suling Emas Jilid 001

Pada jaman lima wangsa ( th.907-960 ), kerajaan Nan-Cao merupakan negara kecil di propinsi Yu-Nan sebelah selatan. Mungkin karena kecilnya kerajaan ini tidak dipandang mata oleh kerajaan lain, juga oleh kerajaan Sung yang kemudian di bangun.

Akan tetapi, pada pagi hari di pertengahan musim chun ( semi ) itu, banyak sekali tokoh-tokoh terkenal di dunia kang-ouw termasuk ketua-ketua perkumpulan dari pelbagai aliran, orang-orang muda yang patut di sebut pendekar silat, dan orang-orang aneh yang memiliki kesaktian, Datang membanjiri Nan-cao. Apakah gerangan yang menarik para kelana dan petualangan itu mendatangi Nan-cao? Ada pula hal yang menarik mereka berdatangan dari tempat-tempat yang amat jauh.

Pertama adalah pengangkatan Beng-kauw ( Ketua Agama Beng-kauw ) sebagai Koksu ( Guru Negara ) Kerajaan Nan Cao. Mereka berdatangan untuk memberi selamat kepada Ketua Beng-kauw yang sudah amat terkenal di dunia kang-ouw.

Siapakah tidak mengenal Ketua Agama Beng-kauw yang bernama Liu Gan dan berjuluk Pat-jiu Sin-ong (Raja Sakti Berlengan Delapan) Itu ? Pada masa itu, Pat-jiu Sin-ong Liu gan merupakan tokoh gemblengan yang jarang ditemukan keduanya, jarang menemukan tanding. Selain memiliki kesaktian hebat, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan juga merupakan pendiri Agama Beng-kauw atau pembawa agama itu dari barat.

Tidaklah mengherankan kalau apabila kini tokah-tokoh dari partai persilatan besar seperti Siauw lim-pai, Kun-lun-pai, Hoa-san-pai, dan lain-lain mengirim utusan untuk menghaturkan selamat atas pengangkatan tokoh sakti ini sebagai Koksu Kerajaan Nan-cao.

Adapun hal kedua yang meyebabkan terutama kaum muda, para pendekar perkasa dari pelbagai penjuru dunia ikut pula berdatangan, adalah tersiarnya berita bahwa puteri tunggal Pat-jiu Sin-ong hendak mempergunakan kesempatan berkumpulnya para tokoh persilatan itu untuk mencari jodoh !

Tentu saja hal ini menggegerkan dunia kaum muda, menggerakkan hati mereka untuk ikut datang mempergunakan kesempatan baik mengadu untung. Siapa tahu ! Nama Liu Lu Sian, puteri Ketua Beng Kauw itu sudah terkenal di mana-mana. Terkenal sebagai seorang gadis yang selain tinggi ilmu silatnya, juga memiliki kecantikan seperti dewi khayangan. Terkenal pula betapa gadis jelita ini telah berani menolak pinangan-pinangan yang datangnya dari orang-orang besar, dari putera-putera para ketua perkumpulan, bahkan menolak pula pinangan dari istana beberapa kerajaan !

Tentu saja para pemuda inipun sebagian besar hanya ingin menyaksikan sendiri bagaimana ujud rupa dan bentuk dara yang terkenal itu, karena jarang diantara mereka yang pernah melihat Liu Lu Sian. Yang pernah bertemu dengan gadis ini memuji-muji setinggi langit, terutama sekali tentang kecantikannya, yang menjadi buah bibir para muda, bahkan entah siapa orangnya yang membuat, telah ada sajak pujian bagi Liu Lu Sian.

"Rambutnya Halus licin laksana sutera harum melambai, meraih cinta asmara ! Mata indah, kerling tajam menggunting jantung, bulu mata lentik berkedip mesra membuat bingung ! Hidung mungil, halus laksana lilin diraut, cuping tipis bergerak mesra menambah patut ! Hangat lembut, merah basah juwita Gendewa terpentang berisi sari madu Puspita !"

Banyak lagi puji-puji yang mesra bagi kejelitaan dara ayu Liu Lu Sian, yang dikagumi siapa yang pernah melihatnya, dipuji dari ujung rambut sampai ke telapak kakinya ! Memang sesungguhnyalah, Liu Lu Sian seorang dara jelita.

Usianya baru enam belas tahun (pada jaman itu sudah dewasa dan masak) Namun ilmu silatnya amat tinggi. Hal ini tidak mengherankan karena semenjak kecilnya ia digembleng oleh ayahnya sendiri.

Hanya sayang bahwa sejak berusia dua tahun, Liu Lu Sian telah ditinggal mati ibunya. Ia tidak pernah merasa kasih sayang ibu kandung dan mungkin hal ini yang membuat ia menjadi seorang gadis yang berwatak aneh, riang gembira, lucu jenaka, akan tetapi juga liar bebas, tak terkekang ingin menang dan berkuasa saja, tidak mau tunduk kepada siapapun juga.

Para muda yang mendatangi Nan-Cao semua tahu belaka betapa sukarnya memperoleh gadis puteri ketua Beng-kauw itu. Bagaikan setangkai bunga, Lu Sian adalah bunga dewata yang tumbuh di puncak gunung yang amat tinggi dan sukar didapatkan.

Dara itu puteri tunggal Pat-Jiu Sin-ong yang sakti, yang tentu saja menghendaki seorang mantu pilihan, baik dipandang dari sudut keturunan, keadaan, maupun tingkat kepandainnya. Bahkan kabarnya dara itu hanya mau menjadi isteri seorang pendekar muda yang mampu mengalahkan dirinya ! Namun, para muda yang sudah dimabok asmara, bagaikan serombongan semut yang tertarik oleh harum dan manisnya madu, tidak takut bahaya, berusaha mendapatkannya biarpun bahaya mengancam nyawa.

Tiada hentinya para muda itu mempercakapkan tentang Lu Sian, memuji-muji kecantikannya, menyatakan harapan-harapan muluk ketika mereka bermalam dirumah-rumah penginapan di kota raja sambil menanti saat dibukanya kesempatan bagi mereka untuk memasuki halaman gedung Pat-jiu Sin-ong beberapa hari lagi, dimana selain hendak ikut memberi selamat, merekapun berharap akan dapat menyaksikan kehebatan dara yang mereka percakapkan dan yang kembang mimpi mereka setiap malam.






Liu Lu Sian bukan tidak tahu akan hal ini. Gadis yang manja ini maklum sepenuhnya bahwa ia menjadi bahan percakapan dan pujian. Maka pada pagi hari itu, dua hari sebelum ayahnya menerima para tamu, ia sengaja mengenakan pakaian indah, menunggang seekor kuda putih, lalu melarikan kudanya mengelilingi kota raja!

Memang hebat dara ini. Wajahnya kemerahan, berseri-seri dan pada kedua pipinya yang bagaikan pauh dilayang (merah jambu) itu, nampak lesung pipit menghias senyum dikulum. Rambutnya yang hitam gemuk digelung keatas, diikat rantai mutiara dan ujungnya bergantung dibelakang punggung, halus melambai tertiup angin. Tubuhnya amat ramping, pinggangnya kecil sekali dapat dilingkari jari-jari tangan agaknya, terbungkus pakaian sutera merah muda bergaris pinggir biru dan kuning emas, ketat mancetak bentuk tubuh yang padat berisi karena terpelihara dan terlatih semenjak kecil.

Pengait baju terbuat daripada benang emas yang gemilang, ikat pinggangnya dari sutera biru yang bergerak-gerak bagaikan sepasang ular hidup. Celananya sutera putih yang seakan membayangkan sepasang kaki indah, padat berisi dan sempurna lekuk-lekungnya, diakhiri dengan sepasang sepatu hitam yang berlapis perak. Cantik tak terlukiskan ! Menyaingi bidadari sorga dengan gerak tubuh yang lemah gemulai dan elok, akan tetapi rangka pedang yang tergantung dipinggangnya membuat ia lebih patut menjadi seorang Dewi Kwan Im Pouwsat !

Kuda putih tunggangannya berlari congklang dan Lu Sian memandang lurus ke depan namun ujung matanya menyambarkan kerling tajam kesana-sini, terutama diwaktu kudanya lewat depan rumah-rumah penginapan dimana para tamu muda berjajar depan pintu dengan mata jalang dan mulut ternganga, terpesona mengagumi dewi yang baru lewat.

Setelah dara ayu itu lenyap bayangannya, ributlah para muda teruna itu. Makin parah penyakit asmara menggerogoti jantung. Makin ramai percakapan mereka tentang Si Cantik manis. Rindu dendam dan harapan mereka yang terbawa dari rumah ratusan bahkan ribuan li jauhnya terpenuhi sudah. Mereka dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri dewi pujaan hati mereka. Dan betapa tidak mengecewakan pemandangan itu. Bahkan melebihi semua dugaan dan mimpi. Tergila-gila belaka mereka setelah Lu Sian Lewat di atas kudanya.

"Aduh ..., mati aku ...! Kalau aku tidak berhasil menggandengnya pulang, percuma aku hidup lebih lama lagi...!"

Seorang pemuda tampan tanpa ia sadari mengucapkan kata-kata ini sambil menarik napas panjang.

"Lebih baik mati di bawah kaki si jelita dari pada pulang bertangan hampa !" sambung pemuda ke dua.

"Siapa tahu, rejekiku besar tahun ini menurut perhitungan peramal ! Jodohku seorang gadis bermata bintang. Dan matanya...! Ah , matanya..., Kalah bintang kejora !" kata pemuda lain.

"Mulutnya yang hebat ! Amboooiii mulutnya...ah, ingin aku menjadi buah apel agar dimakannya dan berkenalan dengan bibir itu. Aduhhh...!"

Bermacam-macam seruan para muda itu yang seakan lupa diri, menyatakan perasaan hati masing-masing yang menggelora. Sudah lajim kalau sekumpulan orang muda bercakap-cakap, mereka lebih berani menyatakan perasaan hati masing-masing sehingga percakapan itu menjadi hangat dan kadang-kadang terdengar kata-kata yang kurang sopan.

Apalagi para muda yang tergila-gila pada seorang gadis jelita ini adalah orang-orang kang-ouw, pemuda-pemuda kelana dan petualang. Banyak sudah tempat mereka jelajahi, cukup sudah dara-dara jelita mereka saksikan, namun baru sekali ini mereka menjumpai dara secantik Lu Sian. Melampaui semua kembang mimpi.

Tujuh orang pemuda yang berkumpul dalam sebuah rumah penginapan itu adalah pendekar-pendekar muda dari beberapa partai. Seperti biasa, karena merasa segolongan dan setujuan, mereka lekas bersahabat dan selain menuturkan pengalaman masing-masing yang biasanya mereka lebihi, juga mereka tiada habisnya memuji-muji dan membicarakan diri Liu Lu Sian yang diam-diam mereka perebutkan.

Setelah Lu Sian yang lewat di depan rumah penginapan itu, sampai jauh malam para pemuda ini bicara tentang Lu Sian dan masing-masing menyatakan harapan menjadi orang yang terpilih dengan mengemukakan dan menonjolkan keistimewaan masing-masing.

"Sebagai puteri Beng-kauw, tentu kepandaiannya amat tinggi dan belum tentu aku mampu menandinginya. Akan tetapi, ilmu golokku yang terkenal dan nama Ilmu Golok Pelangi di Awan Biru memiliki keindahan yang melebihi keindahan seni tari manapun juga. Siapa tahu, keindahan seni permainan golokku akan menawan hatinya !"

Kata pemuda muka putih dengan pandang mata merenung penuh harapan dan di depan matanya terbayanglah mulut manis Lu Sian, karena dialah yang jadi tergila-gila oleh mulut manis itu dan ingin menjadi buah apel !

"Aku tidak punya kedudukan, orang tuaku miskin dan akupun tidak berpendidikan, tidak pandai tulis baca. Akan tetapi, biarpun ilmu silatku mungkin tidak setinggi dia, aku memiliki tenaga besar yang boleh diukur dengan tenaga siapapun juga." kata pemuda tinggi besar yang matanya lebar. "Mudah-mudahan nona Lu Sian sudi memandang nama besar Kun-lun-pai sehinga aku sebagai murid kecil Kun-lun-pai akan menarik perhatiannya."

Kata pemuda ke tiga yang tampan juga. Demikianlah, tujuh orang pemuda itu menonjolkan keistimewaan masing-masing dengan harapan dialah yang akan terpilih.

Lewat tengah malam barulah mereka memasuki kamar masing-masing, namun tentu saja mereka tak dapat tidur, karena di depan mata mereka selalu terbayang wajah Liu Lu Sian. Maka ketika terdengar ada tamu baru datang dan disambut oleh pengurus rumah penginapan, mereka bertujuh semua keluar dan melihat tamu seorang pemuda berpakaian indah, berwajah tampan sekali dan bersikap tenang memasuki ruang dalam.

"Maaf, Kongcu (tuan muda), bukan kami kurang hormat terhadap tamu. Akan tetapi, kamar yang patut untuk Kongcu sudah penuh semua. Kecuali kalau diantara para Enghiong (Pendekar) yang terhormat membagi kamarnya..."

Dengan ragu-ragu dan penuh harap pengurus penginapan itu memandang ke arah tujuh pemuda yang sudah keluar dari kamar masing-masing

Tujuh orang muda itu memandang Si Pendatang baru penuh perhatian. Pemuda ini berpakaian seperti orang terpelajar, gerak-geriknya halus, sama sekali tidak membayangkan gerak seorang ahli silat. Otomatis pendekar muda itu memandang rendah. Mana ada seorang pendekar suka membagi kamar dengan kutu buku yang tentu akan menjemukan dan bicaranya tentu soal kitab-kitab dan sajak belaka ?

Pemuda itu agaknya maklum akan pandang mata mereka, maka cepat-cepat ia mengangkat kedua tangan ke depan dada, dan memberi hormat berkata dengan penuh kesopanan.

"Harap Cu-wi Enghiong (Tuan-tuan Pendekar Sekalian) sudi memberi maaf kepada siawte (aku yang muda). Tentu saja siawte tidak berani menggangu para Enghiong, akan tetapi barangkali ada diantara para Cu-wi yang sudi membagi kamar..."

Ia berhenti bicara melihat mereka mengerutkan kening, dan menanti jawaban. Ketika tidak ada jawaban datang, ia tersenyum.

"Saudara siapakah dan dari golongan mana ? Apakah tamu dari Beng-kauwcu Liu-locianpwe (Orang Tua Gagah she Ketua Beng-kauw) ?" tanya pemuda tinggi besar yang bertenaga gajah.

"Siauwte she Kwee bernama Seng, orang lemah seperti siauwte yang setiap hari menekuni huruf-huruf kuno, tidak dari golongan mana-mana dan siauwte hanya pelancong biasa.”

"Hmm, maaf, kamarku sempit sekali." jawab si Tinggi Besar kehilangan perhatian.

"Kamarku juga sempit." jawab orang ke dua.

"Aku tidak biasa tidur berteman." kata orang ke tiga.

"Maaf, maaf, memang siauwte tidak berani mengganggu Cu-wi. Eh, Lopek, kau tadi bilang tentang kamar yang patut, apakah masih ada kamar yang tidak patut ?"

Kwee Seng menoleh kearah pengurus penginapan sedangkan tujuh orang pendekar itu sudah kembali ke kamar masing-masing dan menutupkan daun pintunya.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar