"Ah, ada.. Ada, Kongcu. Akan tetapi, itu adalah kamar-kamar kecil di sebelah belakang, dahulu menjadi kamar pelayan, tidak berani saya menawarkannya kepada Kongcu..."
Kwee Seng tersenyum.
"Tidak mengapa, Lopek. Malam sudah begini larut, mencari kamar di penginapan lain pun repot. Biarlah aku bermalam di kamar pelayan itu."
Dengan tergopoh-gopoh pengurus penginapan itu lalu mendahului Kwee Seng sambil membawa sebuah lampu, mengantar tamunya ke sebuah kamar yang berada jauh di ujung belakang. Benar saja, kamar ini kecil, hanya terisi sebuah pembaringan bambu yang setengah reyot, lantainya tidak begitu bersih pula.
"Ah, cukup baik !" seru Kwee Seng sambil menaruh bungkusan pakaiannya di atas pembaringan. "Tidak usah kau tinggal lampumu, Lopek aku biasa tidur gelap." Ia menjatuhkan dirinya di atas pembaringan yang mengeluarkan bunyi berkereotan.
Pengurus penginapan itu keluar dari dalam kamar membawa lampunya sambil menggeleng-geleng kepala saking heran melihat seorang kongcu berpakaian indah itu kelihatannya sudah tidur pulas begitu tubuhnya menyentuh pembaringan, ia menutupkan daun pintu perlahan-lahan.
Sebentar kemudian sekeliling tempat penginapan sunyi. Pengurus dan penjaga pun sudah tidur. Yang terdengar hanya dengkur yang keras dari kamar pemuda tinggi besar. Dari beberapa buah kamar lain terdengar suara orang mengigau menyebut-nyebut nama Liu Lu Sian. Bahkan dalam mimpi pemuda-pemuda ini selalu merindukan Lu Sian!
Suara mengigau ini keluar dari kamar pemuda anak murid Kun-lun-pai. Tiba-tiba sebagai seorang ahli silat, pemuda tampan itu meloncat turun dari pembaringannya ketika pendengarannya, atau agaknya lebih tepat indera keenamnya, mendengar suara yang mencurigakan.
Dalam meloncat tadi sekaligus ia telah mencabut pedangnya, dan sekali menggoncang kepalanya lenyaplah semua kantuk dan ia sudah berada dalam posisi siap siaga, sepasang matanya melirik ke arah jendela kecil kamarnya. Tiba-tiba jendela itu terbuka daunnya dari luar, dan muncullah seorang laki-laki jangkung yang berusia empat puluh tahun lebih, bertangan kosong. Orang ini memasuki kamar melalui jendela dengan gerakan ringan dan sikap tenang saja.
"Siapa kau ? Mau apa..."
"Mau membunuhmu. Manusia macam kau berani menyebut-nyebut puteri Beng-kauwcu harus mampus !" berkata bayangan laki-laki itu dengan suara mendesis, lalu menerjang maju.
Pemuda Kun-lun-pai itu tentu saja tidak menjadi gentar biarpun ia merasa kaget sekali. Pedangnya berkelebat dan bergulung-gulung sinarnya di depan dada bermaksud melindungi dirinya saja terhadap orang yang agaknya gila ini. Akan tetapi, tiba-tiba sekali gerakan pedangnya berhenti seakan-akan tertahan oleh tenaga yang tak tampak dan sebelum pemuda Kun-lun-pai ini tewas seketika tanpa dapat bersambat lagi !
Suara mendengkur dari kamar si Tinggi Besar terhenti seketika. Jagoan bertenaga gajah ini pun biar tidurnya mendengkur, Sedikit suara saja cukup membuat ia terjaga dari tidurnya. Kamarnya berada di sebelah kamar murid Kun-lun-pai, maka ia mendengar suara dari dalam kamar itu, cukup membuatanya terbangun dan curiga.
Karena tiap kamar penginapan terdapat jendela di sebelah belakang, ia cepat membuka daun jendela dan... seperti kilat cepatnya ia meloncat keluar dan menerkam seorang laki-laki yang berdiri di depan jendela murid ku-lun-pai. Kedua lengannya yang kuat bergerak, dalam segebrakan saja si Tinggi Besar berhasil mencekik leher orang itu.
"Hayo mengaku, siapa kau dan... uuhhh!"
Tubuh yang tinggi besar itu seketika menjadi lemas dan kepalanya miring, lalu ia roboh tak berkutik lagi di depan laki-laki setengah tua yang jangkung itu!
"Apa yang kau lakukan? Penjahat...!"
Sebatang golok menyambar dengan hebatnya membentuk sinar melengkung seperti pelangi. Kiranya pemuda yang memiliki Ilmu Golok Pelangi di Awan Biru telah turun tangan melihat ada orang merobohkan temannya yang tinggi besar.
Memang indah gerakannya, gulungan sinar goloknya seperti gerakan pita dan selendang para bidadari sedang menari-nari. Namun, dengan mudah bayangan itu menyelinap di antara gulungan sinar golok dan belum juga sempat jurus Si Pemuda menyerang, ia sudah roboh pula terkena tamparan pada lehernya roboh untuk selamanya karena nyawanya melayang.
Dengan gerakan tenang namun cepat sekali, si Bayangan Maut itu menuju ke kamar yang lain. Namun belum sempat ia membuka jendela, empat orang pemuda yang lain sudah berlari datang dan mengepungnya. Mereka lalu berlari ke belakang dan segera mengepung si Bayangan Maut ketika melihat betapa dua orang temannya sudah menggeletak pula tak bernyawa.
"Kalian harus mampus semua...!"
Bayangan itu mendengus, tubuhnya bergerak secara aneh sekali, menyelinap diantara sambaran empat buah senjata para pengurungnya. Hebat memang kepandaian bayangan maut ini. Empat orang pemuda yang mengeroyoknya bukanlah pemuda-pemuda sembarangan. Mereka itu sudah terdidik dalam ilmu silat yang cukup tinggi, setingkat dengan anak murid Kun-lun-pai dan dengan si Tinggi Besar atau si Golok Pelangi.
Namun menghadapi bayangan maut ini, mereka tak mampu berbuat banyak. Lawan mereka yang mereka keroyok ini seakan-akan hanya bayangan kosong tak mungkin dapat tersinggung senjata mereka.
Tiba-tiba bayangan itu terkekeh dan...setelah terdengar suara "plak-plak-plak-plak !" empat kali, empat orang pemuda itupun roboh, terpukul pada leher mereka dan tewas seketika !
Kwee Seng tersenyum.
"Tidak mengapa, Lopek. Malam sudah begini larut, mencari kamar di penginapan lain pun repot. Biarlah aku bermalam di kamar pelayan itu."
Dengan tergopoh-gopoh pengurus penginapan itu lalu mendahului Kwee Seng sambil membawa sebuah lampu, mengantar tamunya ke sebuah kamar yang berada jauh di ujung belakang. Benar saja, kamar ini kecil, hanya terisi sebuah pembaringan bambu yang setengah reyot, lantainya tidak begitu bersih pula.
"Ah, cukup baik !" seru Kwee Seng sambil menaruh bungkusan pakaiannya di atas pembaringan. "Tidak usah kau tinggal lampumu, Lopek aku biasa tidur gelap." Ia menjatuhkan dirinya di atas pembaringan yang mengeluarkan bunyi berkereotan.
Pengurus penginapan itu keluar dari dalam kamar membawa lampunya sambil menggeleng-geleng kepala saking heran melihat seorang kongcu berpakaian indah itu kelihatannya sudah tidur pulas begitu tubuhnya menyentuh pembaringan, ia menutupkan daun pintu perlahan-lahan.
Sebentar kemudian sekeliling tempat penginapan sunyi. Pengurus dan penjaga pun sudah tidur. Yang terdengar hanya dengkur yang keras dari kamar pemuda tinggi besar. Dari beberapa buah kamar lain terdengar suara orang mengigau menyebut-nyebut nama Liu Lu Sian. Bahkan dalam mimpi pemuda-pemuda ini selalu merindukan Lu Sian!
Suara mengigau ini keluar dari kamar pemuda anak murid Kun-lun-pai. Tiba-tiba sebagai seorang ahli silat, pemuda tampan itu meloncat turun dari pembaringannya ketika pendengarannya, atau agaknya lebih tepat indera keenamnya, mendengar suara yang mencurigakan.
Dalam meloncat tadi sekaligus ia telah mencabut pedangnya, dan sekali menggoncang kepalanya lenyaplah semua kantuk dan ia sudah berada dalam posisi siap siaga, sepasang matanya melirik ke arah jendela kecil kamarnya. Tiba-tiba jendela itu terbuka daunnya dari luar, dan muncullah seorang laki-laki jangkung yang berusia empat puluh tahun lebih, bertangan kosong. Orang ini memasuki kamar melalui jendela dengan gerakan ringan dan sikap tenang saja.
"Siapa kau ? Mau apa..."
"Mau membunuhmu. Manusia macam kau berani menyebut-nyebut puteri Beng-kauwcu harus mampus !" berkata bayangan laki-laki itu dengan suara mendesis, lalu menerjang maju.
Pemuda Kun-lun-pai itu tentu saja tidak menjadi gentar biarpun ia merasa kaget sekali. Pedangnya berkelebat dan bergulung-gulung sinarnya di depan dada bermaksud melindungi dirinya saja terhadap orang yang agaknya gila ini. Akan tetapi, tiba-tiba sekali gerakan pedangnya berhenti seakan-akan tertahan oleh tenaga yang tak tampak dan sebelum pemuda Kun-lun-pai ini tewas seketika tanpa dapat bersambat lagi !
Suara mendengkur dari kamar si Tinggi Besar terhenti seketika. Jagoan bertenaga gajah ini pun biar tidurnya mendengkur, Sedikit suara saja cukup membuat ia terjaga dari tidurnya. Kamarnya berada di sebelah kamar murid Kun-lun-pai, maka ia mendengar suara dari dalam kamar itu, cukup membuatanya terbangun dan curiga.
Karena tiap kamar penginapan terdapat jendela di sebelah belakang, ia cepat membuka daun jendela dan... seperti kilat cepatnya ia meloncat keluar dan menerkam seorang laki-laki yang berdiri di depan jendela murid ku-lun-pai. Kedua lengannya yang kuat bergerak, dalam segebrakan saja si Tinggi Besar berhasil mencekik leher orang itu.
"Hayo mengaku, siapa kau dan... uuhhh!"
Tubuh yang tinggi besar itu seketika menjadi lemas dan kepalanya miring, lalu ia roboh tak berkutik lagi di depan laki-laki setengah tua yang jangkung itu!
"Apa yang kau lakukan? Penjahat...!"
Sebatang golok menyambar dengan hebatnya membentuk sinar melengkung seperti pelangi. Kiranya pemuda yang memiliki Ilmu Golok Pelangi di Awan Biru telah turun tangan melihat ada orang merobohkan temannya yang tinggi besar.
Memang indah gerakannya, gulungan sinar goloknya seperti gerakan pita dan selendang para bidadari sedang menari-nari. Namun, dengan mudah bayangan itu menyelinap di antara gulungan sinar golok dan belum juga sempat jurus Si Pemuda menyerang, ia sudah roboh pula terkena tamparan pada lehernya roboh untuk selamanya karena nyawanya melayang.
Dengan gerakan tenang namun cepat sekali, si Bayangan Maut itu menuju ke kamar yang lain. Namun belum sempat ia membuka jendela, empat orang pemuda yang lain sudah berlari datang dan mengepungnya. Mereka lalu berlari ke belakang dan segera mengepung si Bayangan Maut ketika melihat betapa dua orang temannya sudah menggeletak pula tak bernyawa.
"Kalian harus mampus semua...!"
Bayangan itu mendengus, tubuhnya bergerak secara aneh sekali, menyelinap diantara sambaran empat buah senjata para pengurungnya. Hebat memang kepandaian bayangan maut ini. Empat orang pemuda yang mengeroyoknya bukanlah pemuda-pemuda sembarangan. Mereka itu sudah terdidik dalam ilmu silat yang cukup tinggi, setingkat dengan anak murid Kun-lun-pai dan dengan si Tinggi Besar atau si Golok Pelangi.
Namun menghadapi bayangan maut ini, mereka tak mampu berbuat banyak. Lawan mereka yang mereka keroyok ini seakan-akan hanya bayangan kosong tak mungkin dapat tersinggung senjata mereka.
Tiba-tiba bayangan itu terkekeh dan...setelah terdengar suara "plak-plak-plak-plak !" empat kali, empat orang pemuda itupun roboh, terpukul pada leher mereka dan tewas seketika !
Setelah membunuh tujuh orang pemuda itu, bayangan ini berdiri dengan kaki terpentang lebar, mendongakkan mukanya ke atas sambil tertawa.
"Ha ha hah ! Alangkah lucunya ! Orang-orang macam ini mengharapkan seorang dewi seperti dia ! Ha ha hah !"
Kemudian, melihat suara ribut-ribut dari pengurus penginapan yang agaknya terjaga, sekali meloncat ia sudah berada di atas genteng, lalu bagaikan gerakan seekor kucing, ia berlari ke arah belakang tanpa menimbulkan suara.
Akan tatapi mendadak orang itu berseru perlahan ketika kakinya terpeleset karena genteng yang diinjaknya merosot turun. Cepat ia berjongkok di atas bangunan bagian belakang rumah penginapan itu dan membuka genteng, mengintai.
Kiranya di situ terdapat seorang pemuda lagi yang enak tidur telentang. Sebatang lilin kecil menyala di atas meja. Kepalanya diganjal bantalan pakaian. Tidak tampak senjata di dalam kamar itu sehingga bayangan itu mengerutkan kening. Seorang pemuda pelajar, pikirnya, tak mungkin dia yang main-main denganku. Akan tetapi siapa tahu ?
Ia mengeluarkan sebatang jarum merah dan sekali jari-jari tangannya bergerak, melesatlah sinar merah ke bawah melalui celah-celah genteng, menuju ke arah leher si pemuda yang tidur telentang.
Pemuda di bawah itu yang bukan lain adalah Si Pelajar Kwee Seng, menggeliat dan mengeluh seperti orang mengigau dalam tidurnya, lalu miring. Akan tetapi tiba-tiba tubuh itu menegang kaget dan tak bergerak-gerak lagi. Bayangan orang di atas genteng tersenyum puas melihat korbannya yang ke delapan, maka ia bangkit berdiri dan cepat ia lari pergi dari tempat itu, menghilang di dalam gelap !
"Tolong...! Pembunuhan... pembunuhan...!!"
Suara pengurus penginapan ini terdengar lantang sekali di waktu fajar itu, mengagetkan semua orang. Para pelayan bersama para tamu lainnya berbondong keluar dan sebentar saja di tempat pembunuhan sudah penuh dengan orang.
Obor-obor dan lampu-lampu dipasang sehingga keadaan menjadi terang sekali. Pembunuhan yang sekaligus mengorbankan nyawa tujuh orang pemuda kang-ouw benar-benar merupakan peristiwa hebat yang mengejutkan sekali.
Ketika pengurus penginapan melihat Kwee Seng berada di antara banyak orang itu, ikut menjenguk dan melihat pemuda-pemuda teruna yang menjadi korban pembunuhan aneh, pengurus itu segera memegang lengannya dan berkata.
"Ah, Kongcu benar-benar seorang yang masih dilindungi Thian (Tuhan) ! Seandainya Kongcu diterima tidur dengan mereka, ah... tentu akan bertambah seorang lagi korban pembunuh kejam ini !"
Kwee Seng hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan senyum duka. Di dalam hatinya ia menyangkal keras pendapat pengurus rumah penginapan ini. Andaikata ia diterima bermalam dengan mereka, belum tentu iblis maut yang malam itu merajalela dapat menjatuhkan tangan mautnya.
Diam-diam ia meraba jarum kecil yang ia masukkan ke dalam saku bajunya, jarum merah yang malam tadi pun hampir membunuhnya. Menyesallah hati Kwee Seng mengapa malam tadi ia tidak mengejar si penjahat yang mencoba membunuhnya, dan mengapa ia begitu enak tidur sehingga ia tidak tahu di bagian depan penginapan itu menjadi tempat penyembelihan tujuh orang muda.
Kwee Seng adalah seorang mahasiswa gagal. Ia suka sekali akan bun (sastra), bu (silat), namun bakatnya lebih menjurus kepada bu (silat). Seorang pemuda yatim piatu, sebatang kara merantau tanpa tujuan. Namun ilmu kepandaiannya amat tinggi, ilmu silatnya sukar mendapatkan tandingan karena selain ia telah mempelajarinya dari para pertapa sakti di puncak-puncak gunung sebelah barat, juga ia pernah berjumpa dengan manusia dewa Bu Kek Siansu yang telah menurunkan beberapa macam ilmu kepadanya.
Bu Kek Siansu terkenal sebagai manusia dewa yang sewaktu-waktu muncul untuk mencari bahan baik, tulang pendekar berwatak budiman, dan menurunkan ilmu. Tak seorang pun di dunia ini tahu dari mana asalnya dan di mana tempat tinggalnya yang tetap.
Kwee Seng pernah mengikuti ujian di kota raja namun gagal. Semenjak itu, ia tidak pernah kembali ke kampung halamannya, yaitu di sebuah dusun kecil di kaki gunung Luliang-san, karena ayah bundanya sudah lama meninggal dunia oleh wabah penyakit ketika ia masih kecil. Ia merantau sebagai seorang kang-ouw yang tak terkenal karena semua sepak terjangnya ia sembunyikan. Hanya beberapa orang tokoh besar saja di dunia kang-ouw yang mengenal pendekar sakti muda ini, malah diam-diam ia diberi julukan Kim-mo-eng (pendekar Setan Emas).
Ia disebut setan karena sepak terjangnya seperti setan, tak pernah memperlihatkan diri. Akan tetapi ia disebut emas yang mengandung maksud bahwa pendekar ini berhati emas, membela kebenaran dan keadilan, pembasmi kelaliman dan kekejaman. Namun nama ini hanya kalangan atas terbatas saja pernah mendengar, di dunia kang-ouw nama Kim-mo-eng Kwee Seng tak pernah terdengar.
Kwee Seng tidak berbohong ketika mengatakan kepada ke tujuh orang pendekar pada malam yang lalu bahwa ia adalah seorang pelancong yang kebetulan lewat di kota raja Nan-Cao. Memang ia tidak mempunyai niat untuk menjadi tamu Beng-kauw, sungguhpun nama Pat-jiu Sin-ong bukanlah nama asing baginya. Ia tidak suka tokoh besar itu diangkat menjadi koksu, hal yang ia anggap sebagai bukti kerakusan akan kedudukan dan kemuliaan.
Maka baginya, hal itu tidak perlu diberi selamat. Apalagi mendengar berita tentang putri Pat-jiu Sin-ong yang hendak memilih jodoh, seujung rambutpun tiada niat di hatinya untuk ikut-ikutan memasuki sayembara, bahkan ingin melihat si jelita pun sama sekali ia tidak ada nafsu.
Memang demikianlah watak Kwee Seng. Ia memandang rendah kepada hal-hal yang dianggapnya tidak benar atau menyimpang daripada kebenaran. Padahal harus diakui bahwa ia adalah seorang pemuda yang baru berusia dua puluh tiga tahun, yang tentu saja sebagai seorang pemuda normal, selalu berdebar-debar apabila melihat seorang gadis cantik.
Ia seorang pemuda yang pada dasarnya memiliki watak romantis, suka akan keindahan, suka akan tamasya alam yang permai, suka akan bunga yang indah dan harum, dan tentu saja bentuk tubuh seorang dara jelita. Akan tetapi, kekuatan batinnya cukup untuk menekan semua perasaan ini dan membuat ia tetap tenang.
"Ha ha hah ! Alangkah lucunya ! Orang-orang macam ini mengharapkan seorang dewi seperti dia ! Ha ha hah !"
Kemudian, melihat suara ribut-ribut dari pengurus penginapan yang agaknya terjaga, sekali meloncat ia sudah berada di atas genteng, lalu bagaikan gerakan seekor kucing, ia berlari ke arah belakang tanpa menimbulkan suara.
Akan tatapi mendadak orang itu berseru perlahan ketika kakinya terpeleset karena genteng yang diinjaknya merosot turun. Cepat ia berjongkok di atas bangunan bagian belakang rumah penginapan itu dan membuka genteng, mengintai.
Kiranya di situ terdapat seorang pemuda lagi yang enak tidur telentang. Sebatang lilin kecil menyala di atas meja. Kepalanya diganjal bantalan pakaian. Tidak tampak senjata di dalam kamar itu sehingga bayangan itu mengerutkan kening. Seorang pemuda pelajar, pikirnya, tak mungkin dia yang main-main denganku. Akan tetapi siapa tahu ?
Ia mengeluarkan sebatang jarum merah dan sekali jari-jari tangannya bergerak, melesatlah sinar merah ke bawah melalui celah-celah genteng, menuju ke arah leher si pemuda yang tidur telentang.
Pemuda di bawah itu yang bukan lain adalah Si Pelajar Kwee Seng, menggeliat dan mengeluh seperti orang mengigau dalam tidurnya, lalu miring. Akan tetapi tiba-tiba tubuh itu menegang kaget dan tak bergerak-gerak lagi. Bayangan orang di atas genteng tersenyum puas melihat korbannya yang ke delapan, maka ia bangkit berdiri dan cepat ia lari pergi dari tempat itu, menghilang di dalam gelap !
"Tolong...! Pembunuhan... pembunuhan...!!"
Suara pengurus penginapan ini terdengar lantang sekali di waktu fajar itu, mengagetkan semua orang. Para pelayan bersama para tamu lainnya berbondong keluar dan sebentar saja di tempat pembunuhan sudah penuh dengan orang.
Obor-obor dan lampu-lampu dipasang sehingga keadaan menjadi terang sekali. Pembunuhan yang sekaligus mengorbankan nyawa tujuh orang pemuda kang-ouw benar-benar merupakan peristiwa hebat yang mengejutkan sekali.
Ketika pengurus penginapan melihat Kwee Seng berada di antara banyak orang itu, ikut menjenguk dan melihat pemuda-pemuda teruna yang menjadi korban pembunuhan aneh, pengurus itu segera memegang lengannya dan berkata.
"Ah, Kongcu benar-benar seorang yang masih dilindungi Thian (Tuhan) ! Seandainya Kongcu diterima tidur dengan mereka, ah... tentu akan bertambah seorang lagi korban pembunuh kejam ini !"
Kwee Seng hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan senyum duka. Di dalam hatinya ia menyangkal keras pendapat pengurus rumah penginapan ini. Andaikata ia diterima bermalam dengan mereka, belum tentu iblis maut yang malam itu merajalela dapat menjatuhkan tangan mautnya.
Diam-diam ia meraba jarum kecil yang ia masukkan ke dalam saku bajunya, jarum merah yang malam tadi pun hampir membunuhnya. Menyesallah hati Kwee Seng mengapa malam tadi ia tidak mengejar si penjahat yang mencoba membunuhnya, dan mengapa ia begitu enak tidur sehingga ia tidak tahu di bagian depan penginapan itu menjadi tempat penyembelihan tujuh orang muda.
Kwee Seng adalah seorang mahasiswa gagal. Ia suka sekali akan bun (sastra), bu (silat), namun bakatnya lebih menjurus kepada bu (silat). Seorang pemuda yatim piatu, sebatang kara merantau tanpa tujuan. Namun ilmu kepandaiannya amat tinggi, ilmu silatnya sukar mendapatkan tandingan karena selain ia telah mempelajarinya dari para pertapa sakti di puncak-puncak gunung sebelah barat, juga ia pernah berjumpa dengan manusia dewa Bu Kek Siansu yang telah menurunkan beberapa macam ilmu kepadanya.
Bu Kek Siansu terkenal sebagai manusia dewa yang sewaktu-waktu muncul untuk mencari bahan baik, tulang pendekar berwatak budiman, dan menurunkan ilmu. Tak seorang pun di dunia ini tahu dari mana asalnya dan di mana tempat tinggalnya yang tetap.
Kwee Seng pernah mengikuti ujian di kota raja namun gagal. Semenjak itu, ia tidak pernah kembali ke kampung halamannya, yaitu di sebuah dusun kecil di kaki gunung Luliang-san, karena ayah bundanya sudah lama meninggal dunia oleh wabah penyakit ketika ia masih kecil. Ia merantau sebagai seorang kang-ouw yang tak terkenal karena semua sepak terjangnya ia sembunyikan. Hanya beberapa orang tokoh besar saja di dunia kang-ouw yang mengenal pendekar sakti muda ini, malah diam-diam ia diberi julukan Kim-mo-eng (pendekar Setan Emas).
Ia disebut setan karena sepak terjangnya seperti setan, tak pernah memperlihatkan diri. Akan tetapi ia disebut emas yang mengandung maksud bahwa pendekar ini berhati emas, membela kebenaran dan keadilan, pembasmi kelaliman dan kekejaman. Namun nama ini hanya kalangan atas terbatas saja pernah mendengar, di dunia kang-ouw nama Kim-mo-eng Kwee Seng tak pernah terdengar.
Kwee Seng tidak berbohong ketika mengatakan kepada ke tujuh orang pendekar pada malam yang lalu bahwa ia adalah seorang pelancong yang kebetulan lewat di kota raja Nan-Cao. Memang ia tidak mempunyai niat untuk menjadi tamu Beng-kauw, sungguhpun nama Pat-jiu Sin-ong bukanlah nama asing baginya. Ia tidak suka tokoh besar itu diangkat menjadi koksu, hal yang ia anggap sebagai bukti kerakusan akan kedudukan dan kemuliaan.
Maka baginya, hal itu tidak perlu diberi selamat. Apalagi mendengar berita tentang putri Pat-jiu Sin-ong yang hendak memilih jodoh, seujung rambutpun tiada niat di hatinya untuk ikut-ikutan memasuki sayembara, bahkan ingin melihat si jelita pun sama sekali ia tidak ada nafsu.
Memang demikianlah watak Kwee Seng. Ia memandang rendah kepada hal-hal yang dianggapnya tidak benar atau menyimpang daripada kebenaran. Padahal harus diakui bahwa ia adalah seorang pemuda yang baru berusia dua puluh tiga tahun, yang tentu saja sebagai seorang pemuda normal, selalu berdebar-debar apabila melihat seorang gadis cantik.
Ia seorang pemuda yang pada dasarnya memiliki watak romantis, suka akan keindahan, suka akan tamasya alam yang permai, suka akan bunga yang indah dan harum, dan tentu saja bentuk tubuh seorang dara jelita. Akan tetapi, kekuatan batinnya cukup untuk menekan semua perasaan ini dan membuat ia tetap tenang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar