FB

FB


Ads

Kamis, 07 Februari 2019

Bukek Siansu Jilid 084

Kacaulah pengeroyokan itu karena dapat dibayangkan betapa kaget dan gentarnya hati para orang kerdil ketika dalam segebrakan saja setelah gadis itu membalas, di pihak mereka roboh lima orang! Belum lagi pemuda yang kelihatan lebih lihai itu bergerak menyerang! Kalau begini keadaannya, tentu mereka akan roboh semua.

Si kerdil Bergolok yang memimpin mereka, segera mengeluarkan suitan aneh dan gerombolan itu lalu melarikan diri, sambil membawa lima orang teman mereka yang terluka, Si Pemegang Golok berteriak,

"Hai, dua orang muda sombong, kalau memang gagah, ikutlah kami dan lawanlah majikan kami The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li!"

"Suruh mereka keluar menemui kami!" Swat Hong membentak.

"Heh-heh, engkau takut kami jebak, ya? Orang gagah macam apa kamu itu?" Si Pemegang Golok mengejek.

"Keparat, siapa takut?" Swat Hong melompat dan mengejar.

"Sumoi....!"

Sin Liong memperingatkan, akan tetapi Swat Hong tentu saja tidak mau peduli karena dia sudah marah sekali, apalagi mendengar nama The Kwat Lin, dia sudah bersemangat dan ingin segera berhadapan dengan musuh besarnya itu. Melihat sumoinya terus mengejar, terpaksa pula Sin Liong juga meloncat dan berlari cepat mengejar.

Orang-orang kerdil itu berlari terus mendekati lereng bukit, keluar dari hutan memasuki daerah yang tandus berbatu-batu dan di situ terdapat banyak guha batu yang besar-besar, dan dari luar tampak menghitam karena di sebelah dalam guha tidak memperoleh matahari sehingga amat gelap.

Dari belakang Sin Liong melihat betapa orang-orang kerdil itu bagaikan rombongan semut saja dengan sigapnya berloncatan memasuki guha-guha di sekitar itu, akan tetapi sebagian banyak memasuki sebuah guha terbesar dan yang berada di tengah-tengah di antara semua guha.

"Sumoi, berhenti dulu! Ini bukanlah sebuah rawa!" teriak pula Sin Liong, akan tetapi terlambat karena Swat Hong dengan penuh semangat telah menerjang masuk dan lenyap ke dalam guha besar.

"Ah, Sumoi terlalu bersemangat sehingga sikapnya sembrono dan berbahaya,"

Sin Liong mengomel dan terpaksa dia pun cepat mengejar memasuki guha besar itu. Guha itu gelap sekali, gelap dan sunyi.

"Sumoi....!!"

Dia berteriak memanggil, akan tetapi hanya gema suaranya sendiri yang menjawab dari berbagai jurusan! Dia terkejut dan dapat menduga bahwa guha itu merupakan terowongan yang bercabang-cabang. Dia maju terus dan benar saja dugaannya, guha yang gelap itu merupakan lorong dan akhirnya tiba di depan terowongan yang bersimpang tiga!

"Sumoi....!!"

Dia berteriak lagi dan jauh dari depan, terdengar jawaban gema suaranya sendiri lima kali berturut-turut!

"Celaka," pikirnya, "Kita telah terjebak!"

Akan tetapi karena dia harus dapat menemukan sumoinya yang dia khawatirkan terjeblos ke dalam perangkap orang-orang kerdil. Sin Liong tanpa ragu-ragu memilih jalan ke kanan. Setelah kini matanya terbiasa, ternyata terowongan itu tidaklah terlalu gelap benar. Ada sinar matahari yang masuk dan memantul sampai ke dalam terowongan, entah dari mana masuknya sinar itu. Dia berjalan agak cepat ke depan dan terowongan yang dipilihnya itu ternyata berakhir pula dengan simpangan, kini simpang empat!

"Aihhh....!" dia mengeluh lalu mengerahkan khikangnya berteriak memanggil, "Sumoi....!"

Gema suaranya mengaung dan membuat panggilannya itu tidak jelas lagi, mirip auman suara harimau marah! Dia lari memasuki terowongan sebelah kiri setelah meneliti ke bawah tidak melihat bekas tapak sepatu sumoinya saking banyaknya tapak kaki di situ, tapak kaki kecil-kecil dari orang-orang kerdil.






Terowongan ini panjang sekali, menurut taksirannya tentu tidak kurang dari dua li jauhnya dan hatinya makin risau. Sudah begini lama dan jauh dia mengejar dan mencari Swat Hong, akan tetapi bekas dan jejaknyapun belum ditemukan.

"Sumoi....!!"

Dia berteriak lagi kuat-kuat ketika lorong itu berakhir di sebuah ruangan bawah tanah atau dalam gunung yang cukup lebar. Sebagai jawabannya, tiba-tiba terdengar suara berdesingan dan dari depan, kanan dan kiri menyambar sinar-sinar hitam.

Pandang matanya yang tajam dari Sin Liong dapat melihat bahwa benda-benda bersinar itu adalah anak panah-anak panah yang dilepas dari tempat rahasia. Cepat dia memutar tongkat pendek yang berubah menjadi segulung sinar yang melindungi seluruh tubuhnya. Sampai beberapa lama dia menangkis dan akhirnya penyerang gelap itu pun berhenti. Di ruang itu kini penuh dengan anak panah hitam yang agaknya beracun. Dia bergidik. Bagaimana nasib sumoinya di tempat berbahaya ini?

"Sumoi....!!"

Dia segera membalikkan tubuhnya karena ruangan itu merupakan jalan buntu, lalu berlari kembali melalui terowongan yang panjangnya ada dua li itu sampai dia tiba di jalan simpang empat tadi, kini dia melihat terowongan kedua sambil berteriak-teriak memanggil nama sumoinya.

"Swat Hong....! Han Swat Hong....!!"

Panggilan ini dia lakukan dengan pengerahan khikang sekuatnya sehingga dinding terowongan itu menjadi tergetar karenanya. Namun tidak ada jawaban melainkan gema suaranya sendiri yang melengking panjang.

Sin Liong menjadi panik, matanya terbelalak dan mukanya pucat. Baru sekali ini dia merasa sedemikian gelisahnya dan dia menyesali diri sendiri mengapa dia tadi tidak melarang sumoinya memasuki guha-guha rahasia penuh jebakan ini, kalau perlu melarang dengan kekerasan!

Dia berlari terus dengan hati gelisah, akan tetapi dengan kewaspadaan penuh karena dia maklum bahwa tempat itu merupakan tempat rahasia yang amat berbahaya, perpaduan antara kekuasaan alam dan manusia. Tak mungkin tangan manusia membuat guha-guha dan lorong-lorong batu dalam gunung ini, akan tetapi hasil ciptaan alam ini dipergunakan oleh manusia, diperbaiki dan bahkan dipasang jebakan-jebakan yang jahat!

"Haiiitttt!"

Sin Liong cepat meloncat ke atas, lalu meluncur kembali ke belakang sambil berjungkir balik dan jatuh berdiri kembali di jalan yang telah dilalui, terbelalak memandang ke depan.

Kiranya secara tiba-tiba sekali, tentu digerakkan oleh alat rahasia yang terinjak olehnya tadi ketika berlari, di depannya telah terbuka lubang yang panjang ada tiga meter, terbuka tiba-tiba sehingga kalau dia tadi tidak berhasil dan lari terus, tentu akan terjeblos ke dalam jurang itu.

Terdengar suara mendesis-desis dari dalam lubang yang hitam gelap, akan tetapi desis itu dan bau amis membuat Sin Liong bergidik dan tahulah dia bahwa di dalam lubang itu terdapat banyak ular berbisa! Jebakan yang amat keji!

"Keparat....!"

Desisnya dengan marah melihat kekejaman manusia kerdil itu yang tidak segan mempergunakan cara yang amat menjijikkan untuk mengalahkan lawan.

Dia melompati lubang itu dan melanjutkan larinya. Ketika dia berjalan satu li lebih, lorong itu pun berhenti di jalan batu yang merupakan sebuah ruangan besar pula, bahkan ruangan ini cuacanya cukup terang, entah memperoleh sinar dari mana, agaknya ada lubang-lubang dari mana sinar matahari dapat masuk.

Tiba-tiba, seolah-olah muncul dari dalam dinding batu, tampak seorang kerdil yang luar biasa. Bentuknya pendek tegap seperti orang-orang kerdil yang tadi, akan tetapi wajahnya menandakan bahwa dia sudah tua dan sepasang matanya seperti bintang pagi, tajam bersinar-sinar sedangkan kumis dan jenggotnya panjang, juga bentuk pakaiannya lebih mewah dari yang lain. Kakek kerdil ini memegang sebatang pedang yang bersinar-sinar tanda bahwa pedang itu adalah sebuah benda pusaka yang ampuh.

Selagi Sin Liong memandang penuh perhatian dan maklum bahwa tentu di dinding kiri ini terdapat pintu rahasianya yang tadi terbuka cepat untuk dilewati kakek ini, tiba-tiba terdengar suara dari sebelah kiri dan kembali secara tiba-tiba muncul seorang kerdil lain yang tubuhnya amat tegap besar membayangkan kekuatan. Juga orang kerdil ke dua ini pakaiannya mewah, sikapnya gagah dan mukanya penuh dengan berewok tebal menghitam.

Kedua orang ini dari tubuh atas sampai ke pinggang ukurannya seperti manusia biasa, akan tetapi dari pinggang ke bawah amatlah pendeknya sehingga kelihatan aneh dan lucu. Orang Ke dua yang brewok dan mukanya membayangkan kekerasan dan kegagahan ini memegang sebatang toya yang lebih panjang dari pada tubuhnya sendiri. Juga toya ini bersinar-sinar tanda sebatang senjata yang baik.

Sin Liong yang selalu bersikap sabar dan tidak menghendaki permusuhan, biarpun dilanda kekhawatiran, masih dapat menekan perasaannya dan menjura dengan penuh hormat,

"Harap Jiwi-locianpwe sudi memaafkan kalau saya lancang tanpa diundang memasuki daerah kekuasaan Jiwi ini. Akan tetapi saya kehilangan Sumoi di sini dan kalau Jiwi sudi berlaku demikian baik hati untuk mengembalikan Sumoi kepada saya, saya berjanji akan meninggalkan tempat ini bersama Sumoi dan tidak akan berani mengganggu lagi."

Dua orang kakek itu saling pandang dan melihat betapa Sin Liong mengamat-amati dinding yang kini telah tertutup kembali dan sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa di situ ada pintu rahasianya, mereka tertawa dan kakek berjenggot yang rambutnya sudah mulai ada ubannya itu berkata,

"Orang muda, kalian memusuhi The-lihiap dan bilang tidak ada permusuhan dengan kami? Ha-ha, orang muda, siapakah engkau? Dan siapa pula Sumoimu itu?"

"Namaku Kwa Sin Liong dan....sesungguhnya kami tidak mempunyai permusuhan dengan Cuwi di tempat ini."

"Kalau begitu mengapa mencari The Kwat Lin Lihiap?"

"Kami mempunyai urusan pribadi dengan dia, hanya urusan yang amat sekali tidak menyangkut diri orang lain."

Kembali dua orang kekek itu tertawa.
"Ha-ha-ha, aku Ji Bhong dan semua anak buahku, kami bangsa kerdil memang tidak ada urusan denganmu, akan tetapi sekali kalian memusuhi The-lihiap, berarti kalian adalah musuh kami juga. Menyerahlah, orang muda, kalau kau tidak ingin mengalami kesengsaraan seperti Sumoimu."

Sin Liong terkejut sekali, bukan hanya karena mendengar bahwa mereka ini ternyata adalah kaki tangan The Kwat Lin, terutama sekali mendengar akan sumoinya.

"Di mana Sumoi? Apa yang kalian lakukan dengan dia?" bentaknya.

"Ha-ha-ha, menyerahlah dan baru kita bicara!" Ji Bhong, kakek yang menjadi ketua bangsa kerdil itu menjawab.

Tentu saja Sin Liong menjadi gelisah sekali dan dia lalu menerjang maju dengan tongkat pendeknya.

"Sing....siuuuut.... trang-trang....!!"

Dua orang kakek itu sudah menggerakkan pedang dan toya, cepat dan kuat sekali gerakan mereka. Namun kini kedua orang itu berhadapan dengan Kwa Sin Liong murid utama Raja Pulau Es yang telah mewarisi ilmu yang hebat-hebat, maka dalam keadaan penuh kekhawatiran itu, Sin Liong sudah menggerakkan tongkat pendeknya sedemikian rupa sehingga ketika menangkis, dua orang kakek itu berteriak keras karena merasa betapa ada hawa dingin menyusup ke dalam lengan mereka melalui senjata, membuat lengan mereka seperti hampir membeku!

Namun keduanya memang lihai. Cepat mereka memindahkan senjata di tangan kiri dan mengirim serangan-serangan bertubi-tubi. Biarpun berada dalam keadaan gelisah dan marah, Sin Liong masih merasa tidak tega untuk membunuh orang, maka dia mengeluarkan suara melengking keras, tongkatnya dibuang ke bawah dan dengan dua tangan kosong dia memapaki pedang dan toya yang menyambarnya dari kanan kiri, lalu dengan berani dia menangkap dua senjata itu dengan kedua tangan kosong!

Dua orang kakek itu terbelalak. Kalau orang menangkap toya dengan tangan kosong hal ini masih biasa saja, akan tetapi menangkap pedang pusaka dengan tangan telanjang? Benar-benar berani mati karena tangan yang bagaimana kuat pun tentu akan tersayat!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar